• Tidak ada hasil yang ditemukan

29. Dalil Pemohon Terkait bahwa uji formil Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014 masih dapat dilakukan karena pembuatan Undang-Undanga quo belum melampaui waktu 45 hari sebagaimana ditentukan Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009.(Dalil Pemohon Angka III.1, Hal. 23-25);

Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum sebagaimana dimuat dalam paragraph “3.34” Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:

[3.34] Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;

30. Bahwa Pemohontelah salah dalam menafsirkan batas tenggang waktu pengajuan uji formil terhadap diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, sebagaimana pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Pemohon tidak mencermati makna

putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 di maksud yang secara tegas menyatakan bahwa tenggang waktu pengujian formil terhadap Undang-Undang adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang-Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara. Atau dengan kata lain Uji formil dapat diajukan permohonannya dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah RUU disahkan menjadi Undang-Undang dan di masukan dalam lembaran negara;

31. Bahwa Pemohon telah salah dalam menetapkan tanggal 8 Juli 2014 adalah sebagai tanggal pengesahan Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014. Faktanya UU Nomor17 Tahun 2014 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014 sebagaimana tertulis dalam halaman terakhir naskahUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan diundangkan pada tanggal 5 agustus 2014 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182;

32. Bahwa Tanggal 8 Juli 2014 adalah tanggal persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden terhadap RUU MD3. Hal mana sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu:

“Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”

33. Bahwa oleh karena permohonan Pemohon didaftarkan pada tanggal 25 Juli 2014 yang kemudian diregister dalam perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 atau ketika UUNomor17 Tahun 2014 masih dalam bentuk RUU dan belum dimasukan dalam Lembaran Negara, maka terbukti permohonan a quo premature karena diajukan sebelum disahkan menjadi Undang-Undang dan cukup beralasan hukum bagi Mahkamah menyatakan Permohonan aquo tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

34. Bahwa dalilpermohonan Pemohon terkait denganpembentukan Undang –

Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, terutama asas “keterbukaan,”

disebabkan materi final muatan Pasal 84Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tidak berasal dari “Naskah Akademik” yang diajukan di awal

pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah, dimana Pemerintah pun tidak mengajukan usulan perubahan materi muatan

sebagaimana telah dirumuskan dalam Naskah Amademik RUU MD3 dari pihak DPR.(Dalil Pemohon Hal. 24). Maka, Pihak Terkait berpendapat Bahwa dalam Penjelasan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 52341; Lampiran IUndang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Teknik penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang,Rancangan peraturan daerah provinsi, dan rancangan peraturan daerah Kabupaten/Kota

Disebutkan Pada Bab I Huruf (C) bahwa:

“Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.

2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. 4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup

pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.”

Kata “Acuan atau referensi” menunjukan bahwa Naskah Akademik hanya menjadi acuan atau referensi saja dalam menyusun rancangan suatu Undang-Undangsehingga ada tidaknya naskah akademik tidak menentukan sah atau tidaknya Undang-Undang yang sudah disahkan. 35. Bahwa terkait dengan [ermohonan Pemohon tentang pengujian formil atas

mempertimbangkan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, menurut Pihak Terkait Pemohon telah keliru dalam memahami mengenai doktrin dan asas-asas pengujian formil (toetsingsrecht). Dalam pengujian formil atas suatu Undang-Undang, maka objek pengujiannya adalah proses pembentukan Undang-Undang dalam arti suatu Undang-Undang dan bukan ketentuan dalam Undang-Undang secara parsial apakah telah sesuai atau tidak dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai pelaksana perintah konstitusi yang berkaitan dengan: a. lembaga pembentuknya berwenang atau tidak; b. prosedur pembentukannya sesuai atau tidak dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagimana yang telah diuraikan di atas. Hal ini berarti yang dinilai adalah keseluruhan ketentuan Undang-Undang yang merupakan isi atau materi muatan suatu Undang-Undang. Suatu ketentuan dapat dikatakan sebagai norma yang mengikat ketika norma;norma tersebut dibuat dalam bentuk tertentu dan diputuskan oleh lembaga yang diberikan kewenangan oleh konstitusi serta telah mendapatkan legitimasi baik administrasi maupun publik (pengesahan dalam lembaran negara). Hal ini berarti peraturan perundang-undangan sebagai keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan tingkah laku tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban, fungsi, status dan suatu tatanan;

36. Bahwa oleh karena objectumlitis Pemohon tidak sesuai dengan doktrin dan asas pengujian formil yaitu Pasal 84 yang merupakan bagian dari ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Karena objectumlitis pengujian formil adalah terhadap prosedur pembentukan suatu Undang-Undang dalam hal ini prosedur pembentukan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Dengan demikian, objek permohonan Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 tidak berdasar hukum dan tidak memiliki alasan yang dibenarkan hukum atau obscuur libel, dan oleh karena itu permohonan pengujian formil Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 harus ditolak.