• Tidak ada hasil yang ditemukan

BahwaPihak Terkait menolak dalil Para Pemohon a quo untuk

keseluruhannya dengan alasan sebagai berikut:

37. Bahwa perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah paradigma ketatanegaraan adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 merupakan penegasan secara eksplisit tentang dianutnya prinsip Negara hukum. Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa: ”Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma tidak berdiri sendiri, tetapi paradigma demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus didasarkan pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti paradigma demokrasi berbanding lurus dengan paradigma hukum dan inilah paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan negara, model kekuasaan negara, prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances, serta kontrol normatif yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga peradilan. Oleh karena itu paradigma tersebut mengubah paradigma supremasi parlemen menjadi paradigma supremasi hukum (Negara, pemerintah dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum). Prinsip supremasi hukum bermakna bahwa semua kebijakan publik, lembaga-lembaga publik dan pemilihan pejabat-pejabat publik harus didasarkan pada aturan hukum. Prinsip ini maka the rule of law dalam kehidupan berbangsa dan bernagara menjadi unsur landasan tata tertib kehidupan, sehingga pemerintahan dijalankan berdasarkan atas hukum dan tidak oleh manusia. Perhatian publik terhadap dunia hukum semakin meningkat bersamaan dengan atmosfir keterbukaan yang dinikmati oleh bangsa Indonesia sejak memasuki masa reformasi. Pertanyaan dan perdebatan kritis mengemuka dan menyentuh hingga persoalan-persoalan mendasar. Keterbukaan dan perdebatan publik semakin lama semakin menunjukkan bahwa hukum dan penegakan hukum di Indonesia perlu perubahan mendasar, tidak saja dalam praktiknya melainkan juga pada tataran konstruksi ilmu hukum dan pemaknaan terhadap hukum. Meskipun

UUD 1945 telah berubah, namun pemahaman atas hukum dan cara berhukum, terutama akademisi, legislator, penegak hukum, belum banyak mengalami perubahan. Oleh karena itu hukum di Indonesia saat ini masih memiliki watak konservatif. Kondisi hukum dan penegakan hukum di atas telah melahirkan cara berhukum yang kehilangan sukma moral dan keadilan. Hukum berbelok menjadi semata-mata urusan formal-prosedural. Nilai-nilai etika, moral, dan rasa keadilan seringkali diabaikan. Jika ditarik ke permasalahan yang mendasar, masih terdapat ambiguitas konsepsi negara hukum yang dianut, antara rechtsstaat yang mengedepankan kepastian hukum dan konsepsi the rule of law yang menekankan pada rasa keadilan;

38. Bahwa Penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tercermin dalam ’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan (DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses politik justru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam perwujudan kesejahteraan bersama. Agar menghasilkan produk kebijakan yang memiliki kaulitas tinggi dan pemihakan yang jelas terhadap kesejahteraan bersama, maka diperlukan pemikiran, konsep yang teknokratis yang dapat diukur dan diuji keberhasilannya. Prinsip demokrasi tercermin dalam aspek ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi tercermin dalam aspek ’kompetensi’ Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip ’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan publik yang diterima oleh masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap perwujudan indikator kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’ harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum (legal), dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian besar masyarakat (legitimate) karenakesalehan intelektual, moral dan berkeinerja tinggi (competence). Oleh karena itu, Pemilu memiliki posisi yang strategis dalam membangun demokrasi yang bermartabat, maka penyelenggaraannya harus mengacu pada prinsip mandiri; jujur; adil;

kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan efektifitas. Jika proses ’recruitment’ untuk mengisi jabatan publik, dan cara pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik dilakukan melalui proses demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan, maka hasilnya bukan saja kepastian, tetapi didalamnya terangkum keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka memajukan kesejahteraan bersama;

39. Bahwa dalam prinsip demokrasi, tidak menganut kesetaraan formal melainkan kesetaraan substantif. Kesetaraan substantif memutar ulang konsep keadilan lama dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama, yang tidak sama diperlakukan lain”.Demos adalah konsep yang berpagar. Kesetaran hanya berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos diukur berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik yangsamadalam arti yang tidak berbagi substansi politik yang sama adalah non-demos, sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi berkerja dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Prinsip homogenitas mengkaitkan dengan gagasan kesetaraan atau kesamaan kedudukan dalam hukum (equality befor the law), sehingga subyek hukum disebut Pihak dan bukan subordinat dengan mengedepankan kepentinganbersama (individu) dan kepentingan umum (kolektif). Oleh karena itu dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinanakan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Untuk melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, terdapat beberapa agenda: 1) Memperluas akses warga Negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang professional dan independen;

40. Bahwasalah satu prinsip demokrasi yang paling penting adalah majority rule, artinya kedaulatan suara mayoritas, sebagai penentu suara demokrasi itu. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi. Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994; 57) bahwa prinsip mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga tipe: (1) mayoritas absolut (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority), yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas bersyarat (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan perhitungan tertentu, sehingga 3/4 atau 2/3 suara. Berdasarkan hal tersebut norma yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang berlaku secara universal, yakni prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sesuai dengan amanah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUD 1945 dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945;

41. Bahwa Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan Undang-Undang”. Jadi Konstitusi tidak menentukan bagaimana cara pengisian Pimpinan DPR, oleh karena itu mekanisme pemilihan ketua dan wakil ketua DPR merupakan open legal policy, yang merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Hal ini dikarenakan untuk mewujudkan dan memaksimalkan DPR dalam melaksankan fungsi sebagai pengawasan, anggaran, pembentuk Undang-Undang dibolehkan memilih mekanisme apa yang buat untuk menentukan/memilih ketua dan wakil ketua DPR serta pimpinan kelengkapan DPR. Norma yang terkandung dalam Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimaksud menganut absolute majority system sebagaimana telah pula dipraktekkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sistem ini jauh lebih demokratis dan legitimate dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yang menggunakan simple majority system yang mengatur Pimpinan DPR ialah anggota DPR yang berasal partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di

DPR. Dengan mekanisme apapun, Siapa pun dan dari partai apa pun yang mengisi Ketua dan Wakil Ketua DPR haruslah memiliki komitmen untuk mewujudkan dan memaksimalkan fungsi DPR demi terwujudnya cita-cita negara menuju masyarakat adil dan makmur;

42. Bahwa partai pemenang pemilu/kursi terbanyak otomatis menjadi ketua DPR biasanya terdapat pada sistem dua partai seperti di Amerika, karena pemenang Pemilu dapat dipastikan sebagai pemenang secara absolute majority, sedangkan sistem demokrasi yang menganut multi partai pengisian Pimpinan DPR melalui musyawarah mufakat dan suara terbanyak menjadi rasional karena merupakan wujud kedaulatan rakyat. Justru kurang legitimate apabila Ketua DPR dan kelengkapannya dipimpin oleh partai pemenang Pemilu yang hanya 18,95% jumlah kursi DPR. Ketua dan Wakil Ketua DPR adalah simbol dari kekuasaan legislatif yang mengontrol eksekutif untuk mewujudkan aspirasi dan memastikan kedaulatan rakyat tidak dinegasikan, maka pemilihan melalui musyawarah mufakat dan pemilihan menjadi niscaya dan penting. Hal ini sebagai upaya melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling mengimbangi checks and balances;

43. Bahwa setiap anggota DPR memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR sesuai amanatPasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa, “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;

44. Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka norma yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014tidak bertentangan dengan UUD 1945;

45. Bahwa dengan demikian dalil pemohon adalah tidak benar dan harus dikesampingkan oleh Mahkamah karena dasar filosofis lahirnya Undang-UndangNomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD berangkat dari pemikiran bahwa penentuan pimpinan DPR yang mengaju pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada peraih suara terbanyak (pemenang pemilu) justru tidak relevan dan sangat tidak demokratis karena merugikan partai-partai peserta pemilu yang

memperoleh suara/kursi kecil diparlemen sehingga partai-partai kecil tidak memiliki kesempatan untuk menduduki pimpinan DPR RI.

46. Bahwa sebaliknya lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 justru memberikan rasa keadilan dan persamaan hak bagi setiap anggota DPR RI sebagaimana dijamin oleh konstitusi kita (UUD 1945) sehingga dapat memberikan kesempatan kepada setiap Partai Peserta Pemilu yang lolos parliamentary tresshold untuk mencalonkan setiap anggotanya sebagai pimpinan DPR RI, karena syarat penentuan pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR bukan didasarkan pada partai politik peraih suara terbanyak.

IV. PETITUM

Berdasarkan alasan-alasan yuridis di atas, dengan ini perkenankan kami memohon agar Majelis Hakim berkenan memutus dengan amar sebagai berikut: