• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alasan Memilih Teori Linguistik Fungsional

Linguistik sistemik fungsional atau systemic functional linguistics yang juga disebut sebagai critical linguistics (Fairclough, 1992) merupakan teori sosial bahasa yang dikembangkan dan dipengaruhi oleh beberapa ahli bahasa sebelumnya, seperti Malinowski, Firth, Pike, dan Hymes, khususnya dalam hal konsep konteks situasi dan konteks budaya (Halliday, 1985; Bloor dan Bloor, 1995). LSF juga telah dipengaruhi oleh teori linguistik yang disebut The Prague School, berkaitan dengan nosi perspektif kalimat fungsional, yang menganalisis ujaran berdasarkan informasi yang dikandungnya, dan peran masing-masing bagian ujaran itu dalam kontribusi semantiknya terhadap ujaran secara keseluruhan (Halliday, 1994). LSF juga banyak dipengaruhi oleh hasil karya Whorf dalam hal bahwa LSF mengkaji hubungan antara bahasa dan budaya, juga dipengaruhi oleh Ferdinan de Saussure dan Hjelmslev dalam menginterpretasi teori bahasa sebagai sistem semiotik, khususnya nosi sistem

(paradigmatik pilihan linguistik yang tersedia bagi pemakai suatu bahasa) dan fungsi (kombinasi sintagmatik struktur bahasa yang dideskripsikan dalam hal peran fungsi struktur bahasa itu dalam klausa) (Bloor & Bloor, 1995; Butt, 2003).

Prinsip dasar teori LSF yang dijadikan alasan yang paling relevan dengan penelitian ini terdiri atas tiga prinsip. Prinsip dasar pertama bahwa LSF sangat memperhatikan keterkaitan antara teks dan konteks sosial daripada teks sebagai identitas yang didekontekstualisasikan (Halliday, 1975:57). Dalam hal ini, Halliday dan Martin (1993: 22-23) menulis, “LSF looks … for solidarity relationships between

texts and the social practices they realize.” LSF menganggap bahwa konteks bersifat

kritis terhadap makna dalam linguistic event apa pun, bahasa apa pun, dan apa yang kita tulis atau katakan sangat tergantung kepada topik, kapan dan dalam kesempatan apa (Eggins, 2004:7). Dalam konteks ini, Bloor & Bloor (1995) menegaskan sebagai-berikut:

Each individual utterance in a given context has a particular use. … A speaker might say „good afternoon as a means of greeting a friend at an appropriate time of a day. We can say that the communicative function of „good afternoon is greeting. This greeting can have a different communicative function when it is said in different situation, for example when a teacher says this to a student who comes late. These words become a reprimand (Bloor & Bloor, 1995:8).

Berdasarkan prinsip dasar LSF di atas, penelitian ini juga berusaha untuk meneliti kemampuan peserta didik etik Tionghoa Medan dalam menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam teks yang mereka buat, yakni teks Imlek, untuk menjadikan teks itu sebagai teks yang berhasil mencapai tujuan sosialnya. Penelitian

ini juga mengkaji kesadaran peserta didik akan kenyataan bahwa penggunaan bahasa sangat tergantung kepada topik yang dibicarakan, kepada siapa, dan dalam situasi yang bagaimana.

Selain dari prinsip dasar di atas, LSF menjunjung tinggi beberapa nosi penting. Satu nosi yang paling relevan dengan penelitian ini adalah metafungsi bahasa, yang berkaitan dengan tata bahasa sistemik fungsional yang akan menjadi alat analisis teks dalam penelitian ini.

Di dalam teori LSF terdapat tiga metafungsi bahasa yang dimiliki oleh semua bahasa. Ketiga metafungsi bahasa ini adalah: metafungsi ideasional (fungsi observer), metafungsi interpersonal (fungsi intruder), dan metafungsi tekstual. Metafungsi ideasional berkaitan dengan bagaimana bahasa digunakan untuk merepresentasikan pengalaman, atau untuk mengorganisasikan, memahami dan mengekspresikan persepsi tentang dunia dan kesadaran kita. Metafungsi ini dapat diklasifikasikan dalam dua sub metafungsi, yakni fungsi eksperiensial, yang berkaitan dengan isi atau gagasan, dan fungsi logis, berkenaan dengan keterkaitan antar gagasan. Metafungsi interpersonal berkenaan dengan penggunaan bahasa untuk men-set up dan mempertahankan interaksi antara pengguna bahasa. Selain itu, metafungsi tekstual berkaitan dengan bagaimana bahasa beroperasi untuk menciptakan wacana yang utuh, berkesinambungan, kohesif dan koheren (Halliday, 1975; Bloor & Bloor, 1995).

Sejalan dengan Halliday, Eggins (2004) mengatakan bahwa ketiga jenis makna dapat berkaitan ke atas (terhadap konteks) dan ke bawah (dengan leksikogrammar). Lebih lanjut, Eggins menulis berikut ini.

- The field of a text can be associated with the realization of experiential meanings, realized through the Transitivity patterns of the grammar. - The mode of a text can be associated with the realization of textual meanings, realized through the Theme patterns of grammar.

- The tenor of a text can be associated with the realization of interpersonal meanings, realized through the

Mood patterns of the grammar (Eggins, 2004:78).

Mengingat keterkaitan antara organisasi konteks dan organisasi tata bahasa, menurut Martin (1992), kalau kita mengetahui sesuatu tentang konteks dari sebuah teks, maka kita akan bisa memprediksi tata bahasanya; dan sebaliknya kalau kita menganalisis tata bahasa sebuah teks, maka kita bisa menemukan informasi mengenai konteks dari teks itu.

Semua jenis makna dalam LSF bertema dalam satu wacana. Kita tidak bisa memilih satu kata atau satu frasa dan mengatakan bahwa kata ini mempunyai makna ekperiensial, atau makna interpersonal. Bahasa beroperasi menciptakan ketiga makna itu secara simultan, seperti dikatakan oleh Halliday (1985) berikut ini.

Every sentence in a text is multifunctional; but not in such a way that you can point to one particular constituent or segment and say this segment has just this function. The meanings are woven together in a very dense fabric in such a way that to understand them we do not look separately at its different parts; rather, we look at the whole thing simultaneously from a number of different angles, each perspective contributing towards the total interpretation

(Halliday, 1985: 23).

Prinsip dasar kedua adalah bahwa bahasa lebih merupakan sumber untuk

memaknai atau memahami ketimbang sebagai sistem aturan (Halliday,1994). Dengan prinsip dasar ini, LSF melihat makna sebagai pilihan, sebagai satu set alternatif yang mungkin. Hal ini sejalan dengan pandangan Halliday (1994:xxvi), “LSF sees meaning

as choice, which is not a conscious decision made in real time but a set of possible alternatives.”

Prinsip dasar ketiga, yang mempunyai dampak yang sangat besar terhadap

penelitian bahasa, dan juga sangat relevan dalam prosedur analisis teks dalam penelitian ini adalah bahwa LSF mengkaji teks, bukan kalimat, sebagi unit dasar untuk menegosiasi makna (Halliday, 1994). Teori LSF menyarankan bahwa objek penelitian bahasa seharusnya melibatkan teks secara keseluruhan, bukan ujaran atau kalimat yang didekontekstualisasikan (decontextualised sentences or utterance) (Eggins, 2004). Dengan konsep ini, LSF memperlakukan tata bahasa sebagai realisasi wacana, dan dari situlah muncul konsepsi tata bahasa fungsional, yang secara alamiah berkaitan dengan semantik teksnya. Hal ini, seperti yang dikatakan oleh Halliday & Martin (1993), memungkinkan penganalisaan organisasi semantik dan sistem makna yang dicontohkannya dari berbagai jenis teks, termasuk teks ilmiah.

Dengan menggunakan prinsip dasar LSF di atas, maka penelitian ini mengkaji teks sebagai satu kesatuan teks secara utuh yang dibuat oleh peserta didik etnik Tionghoa Medan sebagai partisipan dalam penelitian ini. Teks yang ditulis oleh peserta didik tersebut bertema perayaan Imlek sebagai sebuah tradisi yang dipertahankan oleh etnik Tionghoa di Indonesia. Teks yang dibuat oleh peserta didik tersebut dianalisis dan dilakukan uji silang terhadap konteks sebagai sesuatu yang berkonstrual dalam penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang menjadi bahasa kedua peserta didik etnik Tionghoa di Kota Medan.

Dokumen terkait