• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, maka perkawinan diadakan bukan untuk sementara dan bukan ikatan lahir saja, melainkan ikatan lahir dan batin serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia untuk selamanya atau permanen. Oleh karena itu,

perceraian dan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan bila ada alasan atau alasan yang memaksa, yang menyimpang dari hukum bila diteruskan.43

Dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 26 dan 27 diatur mengenai alasan-alasan pembatalan perkawinan.

Pasal 26 menyebutkan :

a. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

b. Hal untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27 menyebutkan :

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau pun istri.

c. Apabila ancaman itu telah berhenti, atau yang beralah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih hidup bersama sebagai suami istri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan maka haknya gugur.

Sedangkan Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah memiliki empat orang istri. Dalam Hukum Islam laki-laki hanya boleh memiliki empat orang istri dikarenakan takut seorang laki-laki tersebut tidak dapat adil kepada istri-istrinya

b. Seseorang menikahi istrinya yang telah dili’annya.

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lainyang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan sudah habis masa iddahnya.

d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan.

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

Selanjutnya Pasal 71 KHI diaturbmengenai suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama. Seorang laki-laki jika ingin melakukan pernikahan untuk yang kedua kalinya maka laki-laki tersebut haruslah meminta izin dari istri yang pertama, dan meminta izin dari Pengadilan Agama jika tidak ada dari kedua belah pihak tersebut, maka pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki tersebut tidak sah.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud (hilang).

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika kedua belah pihak belum mencapai umur yang di atur undang-undang maka kedua belah pihak dapat meminta izin ke Pengadilan Agama.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Dari ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur oleh Pasal 70-71 KHI terikat bahwa perkawinan yang batal dan pernikahan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang melanggar larangan perkawinan, sebagai mana yang diatur oleh Pasal 39 KHI. Sementara ketentuan Pasal 72 KHI sama dengan ketentuan Pasal 27 UUP.

Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat yang yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami isteri saja, tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta kekayaan hasil perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama diwilayah tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan atau kepengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami istri tersebut.44

44

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, jakarta PT Raja Grafindo Persadia jakarta, hal 52

Beberapa tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu:

1. Pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

mendatangi Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Muslim (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 73) 2. Kemudian mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua

Pengadilan (HIR Pasal 118 ayat (1) atau Rbg Pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.

3. Penggugat, Tergugat harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 82 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 26,27 dan 28 Jo HIR Pasal 121,124 dan 125)

4. Penggugat dan Tergugat secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan atau tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR Pasal 164 atau Rbg Pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.

5. Penggugat atau Tergugat secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

6. Penggugat dan Tergugat menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan

7. Setelah menerima akta pembatalan, sebagai Penggugat segera meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS).45

Batasan waktu pengajuan pembatalan perkawinan untuk keadaan karena suami memalsukan identitasnya atau karena perkawinan terjadi adanya ancaman atau paksaan, pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan masih hidup bersama sebagai suami istri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan istri. Kapanpun pihak istri dapat mengajukan pembatalannya.46

Dokumen terkait