• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan Oleh Orangtua Terhadap Anaknya Di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus Di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara 238/Pdtg/2010/Ms-Lgs)"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

1

TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LANGSA

(Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 090200341 SELLA SARTIKA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERKAWINAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH

SYAR’IYAH LANGSA

(Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

NIM: 090200341 SELLA SARTIKA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

NIP. 196603031985081001 Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, SH, M.A Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum NIP. 196302161988031002 NIP. 197512102002122001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan

rahmat yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

penulis persembahkan kepada kedua orangtua, sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan

oleh Orangtua terhadap Anaknya di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus di

Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa Nomor Perkara

238/PdtG/2010/MS-LGS) sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan

studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Penulis menyadari, dalam penyajiannya terdapat berbagai kekurangan dan

kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh

penulis. Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah

mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak-banyaknya

kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut:

1. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Prof. Dr.

Runtung, SH, M. Hum, beserta Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum

(4)

Pembantu Dekan II, Bapak Muhammad Husni SH. M.Hum selaku

Pembantu Dekan III.

2. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen

Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH. M.A selaku dosen Pembimbing I yang telah

membantu penulisan skripsi ini dan memberikan banyak masukan serta

bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum selaku dosen Pembimbing II yang telah

membantu dalam penyempurnaan skripsi ini dan memberikan banyak

masukan serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini.

5. Kepada kedua orangtua saya, papa saya H. Jauhari Amin SH MH dan

mama tercinta Hj. Sri Kemala Nurli SE, karena atas dorongan mereka saya

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua

saya dalam membiayai dan membesarkan saya maka saya dapat berkuliah

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga saya sampai

kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.

6. Kepada Adik kesayangan saya Faridz Mawardi yang telah mendukung

saya.

7. Kepada ibu Hj. Dewi Nursanti, SH, MH yang telah membantu saya dalam

(5)

8. Bapak Drs Aziz SH MH dan Bapak Sakwanah, S.Ag,MH selaku Hakim di

Mahkamah Syar’iyah Langsa yang banyak membantu dan memberikan

informasi kepada penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah

memberikan didikan dan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama

masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta

kepada pegawai-pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10.Kepada sahabat-sahabat penulis selama menjalani masa perkuliahan yang

selalu mendukung dan memotivasi penulis, yang menamakan diri sebagai

kelompok GG yaitu: Sophie Khanda Aulia Brahmana-Sophie Dhinda

Aulia Brahmana, Lailan Hafni Harahap, Sitiara Manik, Seviola Islaini,

Meilisa Bangun, Carina Etta Siahaan, Pasca Putri Q. Purba, Erika, Yuthi

Sinari, Jennifer dan Vilany Lafiza yang selalu mendukung dan membantu

dalam penulisan skripsi ini.

11.Kepada kelompok AAYD Tommy Elvani Siregar, Mario Tondi Natio

Simamora, Enriko Abianto Lumban Tobing, Putra Ananta Silalahi, Agung

Setiadi, Timbul Tua Marojahan, Awlia Sofwan Lubis, Adri Hariadi,

Iswanda Abdullah Situmorang dan Irvan Deriza juga selalu mendukung

dalam penulisan skripsi ini.

12.Kepada Dewina Ulfah Nasution yang selalu memberi dukungan dan

motivasi kepada penulis.

13.Kepada Liza Agnesta Krisna, SH, MH yang selalu memberi bantuan dan

(6)

14.Kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung penulis

dalam berbagai cara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan semoga apa yang telah kita

lakukan mendapat rahmat dan ridho dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh

karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang

membangun. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan

masyarakat

Medan, Maret 2013 Penulis,

(7)

ABSTRAK

Sella Sartika1 Edy Ikhsan2 Yefrizawati3

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam suatu perkawinan terkadang dapat dilakukan suatu pembatalan perkawinan. Salah satu kasusnya yaitu putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, di mana orang tua dalam hal ini bapak kandung mengajukan gugatan terhadap perkawinan anaknya yang dinilai cacat hukum, hal tersebut disebabkan karena pernikahan tersebut tidak ada wali sahnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu bapak dari anak perempuan tersebut masih hidup. Adapun permasalahan yang di bahas adalah apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya, bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya, serta apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap perkawinan anaknya.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer, metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan dan studi lapangan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.

Dilakukannya pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya dikarenakan perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali nasab yang sah atau ayahnya sehingga salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, selain itu dalam perkawinan tersebut telah dilakukan manipulasi identitas oleh petugas dan penyalahgunaan wewenang. Hakim mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 2 PERMA Nomor 2 Tahun 1987 jo Pasal 23 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu jika wali nasab enggan menikahkan maka harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama dan menurut Pasal 71 ayat e Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, karena hal tersebut maka berhak dilakukan pembatalan terhadap pernikahan tersebut.

Kata kunci: Perkawinan, Pembatalan Perkawinan

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3

(8)

B. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan ... 39

C. Alasan Pembatalan Perkawinan ... 40

D. Saat Mulai Berlakunya Pembatalan Perkawinan ... 46

E. Akibat Pembatalan Perkawinan ... 46

BAB IV PEMBATALAN PERKAWINAN OLEH ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA DI MAHKAMAH SYAR’IYAH LANGSA (Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS A. Kasus Posisi ... 52

B. Fakta dan Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Kedua Belah Pihak... 54

C. Pertimbangan Hakim dari Majelis Hakim ... 55

D. Kesimpulan atau Isi Vonnis ... 59

E. Analisis ... 60

1. Faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya ... 60

2. Pertimbangan hakim ... 64

3. Akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua/wali terhadap anaknya ... 66

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(9)

ABSTRAK

Sella Sartika1 Edy Ikhsan2 Yefrizawati3

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan manusia, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam suatu perkawinan terkadang dapat dilakukan suatu pembatalan perkawinan. Salah satu kasusnya yaitu putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, di mana orang tua dalam hal ini bapak kandung mengajukan gugatan terhadap perkawinan anaknya yang dinilai cacat hukum, hal tersebut disebabkan karena pernikahan tersebut tidak ada wali sahnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu bapak dari anak perempuan tersebut masih hidup. Adapun permasalahan yang di bahas adalah apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya, bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya, serta apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap perkawinan anaknya.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer, metode pengumpulan merupakan studi kepustakaan dan studi lapangan sedangkan analisa datanya adalah kualitatif.

Dilakukannya pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya dikarenakan perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali nasab yang sah atau ayahnya sehingga salah satu rukun nikah tidak terpenuhi, selain itu dalam perkawinan tersebut telah dilakukan manipulasi identitas oleh petugas dan penyalahgunaan wewenang. Hakim mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan tersebut karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 2 PERMA Nomor 2 Tahun 1987 jo Pasal 23 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu jika wali nasab enggan menikahkan maka harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama dan menurut Pasal 71 ayat e Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak, karena hal tersebut maka berhak dilakukan pembatalan terhadap pernikahan tersebut.

Kata kunci: Perkawinan, Pembatalan Perkawinan

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang adalah perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan naluri manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam melakukan hubungan biologis dan berkeluarga.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dalam Pasal 1 bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Tujuan perkawinan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 di atas adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna tercipta kehidupan kekerabatan yang rukun dan damai atas ridha Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu perkawinan semata-mata bukan untuk kepentingan suami istri yang bersangkutan, melainkan juga termasuk kepentingan anak-anaknya atau orang tuanya dan kerabatnya.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur mengenai sahnya suatu perkawinan yaitu pada Pasal 2 yang menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan hukum Islam di Indonesia untuk mengadakan akad perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu :

Rukun perkawinan tersebut meliputi:

1. Adanya calon suami istri,

2. Wali nikah,

3. Dua orang saksi, dan

4. Lafal ijab kabul

(11)

perkawinan. Pencegahan perkawinan dilakukan pada saat perkawinan belum berlangsung dengan mengajukan pencegahan tersebut kepada pengadilan pada daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan serta memberitahukan kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan.

Namun apabila perkawinan telah berlangsung maka dapat dilakukan pembatalan Pasal 22 UUP menyebutkan :

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Seperti pada kasus pembatalan perkawinan dalam putusan/penetapan Mahkamah Syar’iyah Langsa Nomor 238/Pdt.G.2010/MS-LGS tanggal 19 Januari 2011, dimana orang tua dalam hal ini (Ayah/Bapak) kandung yang bernama Syafruddin Bin Daud sebagai Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan anak perempuannya. Pada kasus ini Tergugat I adalah Pahrim sebagai PNS PPN KUA Kec.Labuhan Deli, Tergugat II Yessy Sicnorina, dan Tergugat III Riza Rahmad yang melangsungkan pernikahan pada hari Kamis tanggal 30 September 2010 di KUA Kec.Labuhan Deli kab Deli Serdang. Bahwa pernikahan Tergugat II dan Tergugat III yang dilaksanakan tersebut dinilai cacat hukum baik dari sudut pandang Hukum Islam maupun sudut pandang Hukum Positif, dikarenakan pernikahan tersebut tidak ada wali nasabnya yaitu Ayah kandungnya sewaktu pelaksanaan pernikahan berlangsung, padahal wali nasabnya yaitu Ayah dari anak perempuan tersebut masih hidup. Namun pada kasus ini setelah mendapatkan putusan pembatalan perkawinan oleh pengadilan Mahkamah Syar’iyah kota Langsa Tergugat II dan Tergugat III masih hidup bersama. Hal ini menjadi fenomena menarik bagi penulis untuk mencermati lebih dalam tentang pembatalan perkawinan, maka penulis mengangkat skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan oleh Orang Tua terhadap anaknya di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS)”.

B.Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1. Apa faktor penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan

oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan permohonan

(12)

3. Apa akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua/wali terhadap

perkawinan anaknya?

C.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya gugatan permohonan pembatalan

perkawinan oleh orang tua terhadap perkawinan anaknya.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan

permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

3. Untuk mengetahui akibat hukum atas pembatalan perkawinan oleh orang tua

terhadap status anaknya.

D.Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi

kalangan akademis dan masyarakat yang ingin mengetahui dan memperdalam

tentang pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anknya.

b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum

Perdata.

(13)

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya

memberikan informasi ilmiah mengenai kajian hukum terhadap pembatalan

perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

b. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi para hakim tentang

pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya.

E.Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat dalam

perumusan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum deskriptif. Penelitian deskriptif ialah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya.4 Selain itu skripsi ini juga menganalisis putusan Mahkamah Syar’iyah Langsa yang menyangkut masalah Pembatalan Perkawinan yang dilaporkan oleh orang tuanya.

2. Metode pendeketan

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam skripsi ini ialah metode pendekatan secara kualitatif yaitu metode pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan pengamatan dan studi kasus dengan pedoman wawancara untuk mendapatkan hasil kesimpulan dari permasalahan didalam skripsi ini.5

4

di akses pada tanggal 9 juni 2013 5

(14)

3. Data dan sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder

didukung dengan data primer. Data sekunder yaitu, data dari bahan-bahan

kepustakaan yang antara lain meliputi bahan kepustakaan seperti buku-buku,

literatur, koran, majalah, jurnal, maupun arsip-arsip yang sesuai dengan

permasalahan yang akan diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang paling utama

digunakan dalam penelitian adalah :

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam;

3) Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975

Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan

hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya

(15)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman

dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan

oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

Penggunaan data primer dalam bentuk hasil wawancara hanya berfungsi untuk

memenuhi persoalan yang dikaji lebih baik dan sekaligus untuk mendukung

studi normatif yang dilakukan.

4. Metode Pengumpulan Data

a. Studi kepustakaan (library research), yakni studi dokumen dengan

mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur,

tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang

berkaitan dengan penulisan skripsi ini, dan dokumen yang diteliti adalah

putusan pengadilan.

b. Studi lapangan (field research), yakni studi lapangan dengan melakukan

wawancara dengan para informan yaitu hakim dari Pengadilan

Mahkamah Syar’iyah Kota Langsa, Para penggugat dan Tergugat, serta

Akademis Hukum.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif, yaitu dengan

(16)

yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk

menentukan hasil.

F. Keaslian Penelitian

Skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Pembatalan Perkawinan oleh Orang Tua terhadap Anaknya di Mahkamah Syar’iyah langsa (Studi kasus di pengadilan Mahkamah syar’iyah kota Langsa Nomor Perkara 238/PdtG.2010/MS.Lgs)”telah diperiksa melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sepengetahuan penulisan belum pernah ditulis oleh siapapun di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Data yang digunakan guna melengkapi penulisan skripsi ini memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai media, baik itu media cetak atau pun pengumpulan informasi melalui internet. Maka apabila di kemudian hari terdapat judul dan objek pembahasan yang sama sebelum tulisan ini dibuat maka penulis siap untuk mempertanggungjawabkannya secara moral dan ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar

dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan dan

pembahasan yang jelas, adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima

bab yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman mengenai isi tulisan skripsi

ini. Sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan, bab ini dimulai dengan mengemukakan

mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

(17)

Bab II merupakan pengaturan perkawinan di Indonesia, bab ini menjelaskan

tentang hukum positif tentang perkawinan, pihak-pihak yang berkompeten dalam

pelaksanaan perkawinan, tujuan perkawinan, perjanjian perkawinan, pencegahan

perkawinan, dan batalnya perkawinan.

Bab III merupakan pembatalan perkawinan menurut hukum Islam, yang

membahas pengertian pembatalan perkawinan, pihak-pihak yang berhak

mengajukan pembatalan perkawinan, alasan pembatalan perkawinan, saat mulai

berlakunya pembatalan perkawinan dan akibat pembatalan perkawinan.

Bab IV merupakan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap anaknya

di Mahkamah Syar’iyah Langsa (Studi Kasus di Pengadilan Mahkamah Syar’iyah

Kota Langsa No. Perkara 238/PdtG/2010/MS-LGS), bab ini memaparkan hasil

penelitian yang berupa kasus posisi, fakta dan dasar-dasar hukum yang dipakai

oleh kedua belah pihak, pertimbangan hukum dari majelis hakim, kesimpulan atau

isi vonis. Dari kesimpulan di atas terdapat analisis yang berupa faktor penyebab

terjadinya gugatan permohonan pembatalan perkawinan oleh orang tua terhadap

perkawinan anaknya, pertimbangan hakim, dan akibat hukum atas pembatalan

perkawinan oleh orang tua atau wali terhadap anaknya.

Bab V merupakan kesimpulan dan saran, bab ini merupakan bab penutup

(18)

yang dikemukan dalam skripsi ini, selanjutnya penulisan akan memberikan saran

(19)

19

PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA

A.Hukum Positif tentang Perkawinan

Berbicara tentang hukum, maka yang senantiasa dimaksudkan adalah

hukum pada saat ini atau pada saat tertentu di tempat tertentu yang sedang berlaku

baik berupa tertulis maupun tidak tertulis, hukum ini diberi nama Hukum Positif

atau disebut Hukum Berlaku (positief recht, geldend recht, atau stelling recht).6

Ilmu hukum positif berusaha mencari kausalitas (causaliteit) antara gejala-gejala

hukum di sekitar kita, yaitu antara hubungan gejala-gejala hukum itu. Hukum

positif sebagai ilmu harus menguji apakah pangkal peninjauannya dan azas-azas

dan dasar yang diterimanya sebagai dasar sistem yang hendak dipakainya

memang benar dan sesuai dengan realitas.7

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum eropa, hukum adat dan hukum agama. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan

penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah nusantara. Selain itu Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Agama Islam, maka dominasi hukum atau Syar’iyah Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan

6

E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, P.T Ichtiar Baru, Jakarta, 1983, hal. 21-22

7

(20)

warisan.8

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Masalah perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:

Bangsa Indonesia pernah mempunyai pengalaman yang sangat

mengesankan, yaitu ketika hendak merumuskan Undang-undang Perkawinan.

Dengan alasan unifikasi hukum, pada tahun 1973 pemerintah mengusulkan

Rancangan Undang-Undang perkawinan (RUUP). Pada tanggal 22 Desember

1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep Rancangan

Undang-undang Perkawinan yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

menjadi Undang-undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974,

Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam

Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

Undang-undang Perkawinan ini terdiri dari 14 Bab, 67 pasal. Dalam

undang-undang ini diatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan mulai

dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,

batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri,

harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan

anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian,

ketentuan-ketentuan lain, ketentuan-ketentuan peralihan, dan ketentuan-ketentuan penutup.

Hazairin Guru besar Hukum Islam Universitas Indonesia (UI), dalam bukunya: “Tinjauan Mengenai Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menamakan undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan

kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pembentukan undang-undang tersebut bertujuan untuk melengkapi hukum positif di Indonesia yaitu sesuatu

8

(21)

yang tidak diatur oleh hukum agama atau kepercayaan sehingga negara berhak mengaturnya sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zamannya.9

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan undang, untuk menjalankan undang-undang. Pembentukkan peraturan pemerintah ini hanya bersifat teknis, yakni sebuah peraturan yang bertujuan untuk membuat Undang-Undang dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.10

Peraturan Pemerintah tersebut terdiri dari 10 Bab, 49 pasal dalam peraturan pemerintah ini diatur mengenai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mulai dari ketentuan umum, pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta

perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, beristri lebih dari seorang, ketentuan pidana, dan penutup.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dibentuk dan dijadikan hukum positif di Indonesia pada tanggal 1 April 1975, dimana Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk atas dasar untuk melakukan Pelaksanaan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Kompilasi Hukum Islam

Kompilasi berasal dari bahasa latin “compilare”, yang diartikan

mengumpul kan bersama-sama, seperti mengumpul kan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Istilah ini dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau compilatie dalam bahasa Belanda. Kemudian dipergunakan dalam bahasa Indonesia menjadi kompilasi, sebagai terjemahan langsung dari dua perkataan tersebut.

Kompilasi Hukum Islam ini terdiri dari III buku. Buku I tentang Hukum Perkawinan yang terdiri dari 19 Bab, buku II tentang Hukum Kewarisan yang terdiri dari 6 Bab, dan buku III tentang Hukum Perwakafan yang terdiri dari 6 Bab. Yang keseluruhannya terdiri dari 229 Pasal. Buku I mengatur mengenai ketentuan umum, dasar-dasar perkawinan, peminangan, rukun dan syarat

perkawinan, mahar, larangan kawin, perjanjian perkawinan, kawin hamil, beristeri

9

K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 4 -5 10

(22)

lebih dari satu orang, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami isteri, harta kekayaan dalam perkawinan, pemeliharaan anak, perwalian, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, rujuk, dan masa berkabung. Buku II mengatur mengenai ketentuan umum, ahli waris, besarnya bagian, aul dan rad, wasiat, hibah. Sedangkan buku ke III mengatur tentang ketentuan umum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, perubahan, penyelesaian, dan pengawasan benda wakaf, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada awal penyusunannya tidak nampak pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksud dengan kompilasi itu. Penyusunannya tidak secara tegas menganut suatu paham mengenai apa yang disebut kompilasi, sehingga tidak menuai reaksi dari pihak manapun. Kompilasi Hukum Islam ini diperuntukkan sebagai pedoman bagi para hakim di Pengadilan Agama, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang menjadi wewenang Pengadilan Agama di seluruh

Indonesia. Berdasarkan pertimbangan ini maka Kompilasi Hukum Islam dapat diartikan sebagai rangkuman dari berbagai pendapat Ulama’ fikih. Secara substansial, Kompilasi Hukum Islam ini merupakan hukum normatif bagi Umat Islam, dimana kekuatan yuridisnya terletak pada Instruksi Presiden selaku pemegang otoritas di bidang perundang-undangan.

B.Pihak-pihak yang Berkompeten dalam Pelaksanaan Perkawinan

Pihak-pihak yang harus ada dalam sebuah perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah :

1. Calon suami

Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai batas usia calon suami untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Dalam Kompilasi Hukum Islam ketentuan batas usia calon suami mengacu kepada ketentuan UUP, hal ini disebutkan dalam Pasal 15 ayat 1 KHI.

(23)

halal untuk dinikahi, mengerti hukum-hukum dan layak berumah tangga, tidak ada halangan perkawinan.11

2. Calon istri

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatakan seorang wanita dapat melangsungkan perkawinan jika wanita tersebut sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan batas usia tersebut sama dengan Pasal 15 ayat 1 KHI. Ada beberapa syarat untuk menjadi calon mempelai wanita yaitu : Memiliki jenis kelamin harus wanita atau perempuan normal, beragama Islam, bukan mahram calon suami, mengizinkan wali untuk menikahinya, tidak dalam masa iddah, tidak sedang bersuami, belum pernah li’an, tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah.12

3. Wali nikah

Adalah pihak yang menjadi orang yang memberikan ijin berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan. Wali nikah hanya ditetapkan bagi pihak penganten perempuan.13

Pasal 20 KHI mengatur beberapa syarat untuk menjadi wali yaitu :

a. Haruslah beragama Islam,

Syarat ini berdasarkan Nash Al-Qur’an Surat Al-Imran ayat 28 yang artinya berbunyi :

“Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).”

b. Berakal

Berakal adalah seseorang yang memiliki akal dan pikiran yang sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

11

http://vanpierre.blogspot.com/2011/12/syaratsyaratcalonmempelaidan -ijab.html?m=1 diakses pada tanggal 12 juni 2013

12 Ibid 13

(24)

c. Baliq

Telah dewasa d. Laki-laki.

Berjenis kelamin laki-laki yang normal.

Menurut hukum perkawinan islam, wali ada 3 yaitu :

1). Wali mujbir : wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seseorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah ayah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya apabila hal tersebut dipandang demi kebaikan bagi putrinya dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu.

b) Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedududkan

putrinya (mahar mithl).

c) Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.

d) Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya

dengan laki-laki (calon suaminya).

e) Jika putrinya tidak mengikrarkan bahwa ia tidak perawan lagi.

(25)

Surat Al-Baqarah ayat 232, yang berbunyi14

“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedangkamu tidak mengetahui.”

:

2). Wali nasab : wali nikah yang memiliki hubungan keluarga dengan calon penganten perempuan. Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, sebapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilineal (laki-laki).

3). Wali hakim : wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami-istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadli. Pengertian wali hakim ini termasuk Qadli di pengadilan. Dalam masalah wali nikah ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa ketiga wali diatas harus berurutan. Artinya diawali dengan wali mujbir, lalu jika tidak adanya wali mujbir baru pindah ke wali nasab dan jika wali nasab tidak ada barulah pindah ke wali hakim. Wali nikah termasuk salah satu syarat dan rukun nikah. 4. Dua orang saksi

Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.

Saksi dalam pernikahan mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut15 a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang. Ini lah pendapat yang

dipegang oleh jumhur ulama. Bagi ulama Hanafiyah saksi itu boleh

terdirir dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (Ibnu

al-Humam; 250), sedangkan bagi ulama Zhahiriyah boleh saksi itu terdiri

dari empat orang perempuan.

:

b. Kedua orang saksi itu adalah beragama Isalam.

c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka .

14

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Cv Asy-Syifa, Semarang, 2000, hal 80

15

(26)

d. Kedua saksi itu adalah laki-laki. Sebagaimana disebutkan dalam syarat

ulama Hanafiyah membolehkan saksi perempuan asalkan di antaranya

ada saksi laki-laki. Sedangkan ulama Zhahiriyah membolehkan

semuanya perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama

dengan kedudukannya dengn seorang laki-laki (Ibnu al-Humam, 199;

Ibnu Hazmin, 465)

e. lKedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa

besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah.

Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu

al-Humam:197)

f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.

Pasal 25 KHI mengatur mengenai syarat saksi nikah yaitu :

“Seorang laki-laki muslim, adil, akil-balik, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”

Pasal 26 KHI juga menyatakan :

“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah beserta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan”.

5. Ijab dan Kabul

Ijab adalah pernyataan calon istri tentang kesediaannya dikawinkan dengan calon suami sedangkan kabul ialah jawaban pihak suami bahwa iya menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.16

Pasal 27 KHI menyatakan ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun, dan tidak berselang waktu.

Menurut jumhur ulama syarat ijab kabul sebagai berikut17 a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.

:

16

pada tanggal 21 Agustus 2013 17

(27)

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

c. Memakai kata-kata nikah, tajwid, atau terjemahan darai kedua kata

tersebut.

d. Antara ijab dan kabul bersambungan.

e. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya.

f. Orang yang terkait dengan ijab dan kabul tidak sedang ihram haji atau

umroh.

g. Majelis ijab dan kabul itu harus hadir minimum empat orang yaitu calon

suami, wali dari calon istri, dan dua orang saksi.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 undang-undang perkawinan antara lain :

a. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

b. Adanya izin kedua orang tua atau wali bagi mempelai yang belum

berusia 21 tahun.

c. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai

wanita sudah mencapai 16 tahun.

d. Adanya izin dari pengadilan yaitu jika batas umur yang dimaksud pada

point diatas belum terpenuhi yaitu dengan dimintakan dispensasi kepada

pengadilan.

e. Tidak ada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.

f. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama kepercayaan mereka tidak

(28)

g. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang

janda.

h. Tidak lewat waktu 10 hari sejak pelaporan kehendak kawin.

i. Tidak ada pihak yang mengajukan pencegahan perkawinan.

j. Tidak ada larangan perkawinan.

Rukun dan syarat perkawinan wajib dipenuhi, bila tidak maka tidak sah. Dalam kitab al-fiqih ‘ala al-mazhib al-arabah’ah disebutkan bahwa nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya, sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah.18

C.Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa , artinya bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 3 yaitu perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan ramah.

Menurut Hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah, dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syar’iyah Islam.19

Ada lima tujan Perkawinan yaitu :

1. Memperoleh kehidupan sakiinah, mawaddah, dan rahmah

Sakiinah artinya tenang dan tentram. Mawaddah artinya cinta dan harapan.

Rahmah artinya kasih saying.

18

Abdurahman al-Jaziry, kitab al-fiqih ‘ala al-mazahib al-arba’ah, maktabah al-tijariyah kurba jaz IV, hal. 118

19

(29)

Tiga kata utama tersebut sejatinya merupakan istilah khas Arab-Islam yang

dirujuk dari QS. Ar-Rum ayat 21 yang artinya berbunyi20

“Di antara tanda-tanda (kemahaan-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia) pasangan-pasangan agar kamu memperoleh sakiinah disisinya, dan dijadikannya di antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum:21)

:

Dalam perkembangannya, kata sakiinah diadopsi ke dalam Bahasa

Indonesia dengan ejaan yang disesuaikan menjadi sakinah yang berarti

kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Kata mawaddah juga sudah

diadopsi ke Bahasa Indonesia menjadi mawadah yang berarti kasih sayang.

Mawaddah mengandung pengertian filosofis adanya dorongan batin yang kuat

dalam diri sang pencinta untuk senantiasa berharap dan berusaha menghindarkan

orang yang dicintainya dari segala hal yang buruk, dibenci dan menyakitinya.

Mawaddah adalah kelapangan dada dan kehendak jiwa dari kehendak buruk.

Adapun kata rahmah, setelah diadopsi dalam Bahasa Indonesia ejaannya

disesuaikan menjadi rahmat yang berarti kelembutan hati dan perasaan empati

yang mendorong seseorang melakukan kebaikan kepada pihak lain yang patut

dikasihi dan disayangi.21

2. Reproduksi atau regenerasi

Tujuan ini adalah tujuan untuk memperoleh atau menghasilkan keturunan, yaitu anak yang sah. Memperoleh anak dalam perkawinan adalah tujuan untuk

20

Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 899 21

(30)

mengembangbiakan ummat manusia (reproduksi) di muka bumi ini, dapat dilihat dalam beberapa ayat yaitu :

a. Surat Asy-Syura ayat 11 yang artinya berbunyi22

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang baik dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

:

b. Surat An-Nahl ayat 72 yang artinya berbunyi23

“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari ni’mat Allah”

:

Suami istri yang hidup berumah tangga tanpa kehadiran seorang anak, tentu akan terasa sepi dan hampa. Walaupun keadaan rumah tangga serba berkecukupan harta, berpangkat dan berkedudukan tinggi, semua itu tidak akan ada artinya apabila dalam rumah tangga tersebut tidak memiliki anak atau yang disebut keturunan. Kehadiran anak atau keturunan akan senantiasa memberikan arti tersendiri bagi setiap pasangan suami istri, karenanya kehadiran anak merupakan kesempurnaan dalam sebuah rumah tangga yang bahagia.

3. Pemenuhan kebutuhan biologis

Tujuan ketiga, pemenuhan biologis (seksual) dapat dilihat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an yaitu :

a. Surat Al-Baqarah ayat 187 yang artinya berbunyi24

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af padamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah,

:

22

Op.Cit, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal 1078 23

Ibid, hal 587

24

(31)

maka jangan lah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”

b. Surat Al-Baqarah ayat 223 yang artinya berbunyi25

“Istri-istri mu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocoktanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.”

:

c. Surat An-Nur ayat 33 yang artinya berbunyi26

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memapukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian, dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada mu. Dan jangan lah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri ingin kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”

:

4. Menjaga Kehormatan

Tujuan dari perkawinan ialah menjaga kehormatan, dimaksud dengan kehormatan ialah seorang suami atau istri menjaga kehormatan dirinya sendiri, anak, dan keluarga. Menjaga kehormatan harus menjadi kesatuan dengan tujuan pemenuhan biologis. Artinya di samping untuk memenuhi kebutuhan biologis, perkawinan juga bertujuan untuk menjaga kehormatan. Apabila hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, seorang laki-laki atau perempuan dapat saja mencari pasangan lawan jenisnya, lalu melakukan hubungan badan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tetapi dengan itu ia akan kehilangan kehormatannya. Sebaliknya dengan perkawinan dua kebutuhan tersebut dapat

25

Ibid, hal 76 26

(32)

terpenuhi kepada Allah, yakni kebutuhan seksualnya terpenuhi, demikan juga kehormatan terjaga.27

5. Ibadah

Tujuan perkawinan ini ialah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, Ini sangat tegas menyebut bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari melakukan agama. Melakukan perintah dan ajaran agama tentu bagian dari ibadah. Dengan demikian maka menjadi jelas bahwa melakukan perkawinan adalah bagian dari ibadah.28

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah tujuan yang menyatu dan terpadu. Artinya semua tujuan itu harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh saling berkaitan. Tujuan reproduksi tidak bisa dipisahkan dari tujuan pemenuhan kebutuhan biologis, tujuan memperoleh kehidupan yang tentram penuh cinta dan kasih sayang, tujuan menjaga kehormatan dan tujuan ibadah.

D.Perjanjian Perkawinan

Perjanjian kawin di Indonesia tidak begitu populer, karena mengadakan suatu perjanjian mengenai harta, antara calon suami dan calon istri, mungkin dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas. Perjanjian kawin memang tidak diharuskan, hanya banyak manfaat yang bisa dirasakan jika sebuah perkawinan itu juga disertai adanya perjanjian kawin terlebih dahulu. Namun perjanjian kawin itu biasanya didasarkan atas kesepakatan antara calon suami dan calon istri yang akan berumah tangga. Jika salah satu dari mereka tidak setuju, maka perjanjian tidak dapat dilakukan sebab hal ini tidak bisa dipaksakan, karena sifatnya yang tidak wajib. Tidak adanya perjanjian kawin tidak lantas menggugurkan status perkawinan, pembuat perjanjian kawin ini lebih didorong karena adanya kemungkinan hak-hak dari pihak yang terganggu jika perkawinan mereka telah dilangsungkan.

Perjanjian perkawinan hanya diatur oleh satu pasal di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan :

“pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan

27

diakses pada tanggal 20 Agustus 2013 28

(33)

oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 Undang-undang Perkawinan ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja (overeenkomst), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi “verbintenissen uit de wet” (perikatan yang bersumber pada undang-undang).29

Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan sebagai satu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.

Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah.

30

Lebih jelasnya dapat dikatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatatan nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.31 Menurut Henry Lee A Weng perjanjian perkawinan lebih luas dari “huwelijksche voorwaarden” seperti yang diatur di dalam hukum perdata. Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.32

Sebagaimana yang dimuat dalan Undang-Undang Perkawinan, ta’lik talak tidak termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal yang telah disebut menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak wanita yang sebenarnya dijunjung tinggi oleh

29

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 29

30 Ibid 31

Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Djambatan, Jakarta, 1998, hal. 39

32

(34)

Islam.33

1. Calon suami dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan

dengan hukum Islam.

Berbeda halnya dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, tentang Pasal 11 yang menyatakan :

2. Perjanjian yang berupa ta’lik talak dianggap sah kalau perjanjian itu

diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah

dilangsungkan.

Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyebutkan :

“Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”

Adanya penjelasan pada Pasal 29 Undang-undang Perkawinan yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk ta’lik talak. Jadi, tampaknya ada pertentangan antara penjelasan Pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik talak yang memuat perjanjian tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama, maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk ke dalam kategori perjanjian perkawinan. Jadi dapat dikatakan walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.

Apabila perjanjian perkawinan telah disepakati bersama antara suami istri, tidak dipenuhi salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh suami maka istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya, sebaliknya jika terjadi pada istri yang melanggar perjanjian di luar ta’lik talak maka suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.34

E.Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 13 yang berbunyi :

33

Ibid, hal. 218 34

(35)

“Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang oleh hukum Islam dan peraturan perundang-undangan maka diatur tentang tata cara pencegahan perkawinan.35

Adapun para pihak yang boleh mengajukan pencegahan menurut Pasal 14 Undang-undang Perkawinan adalah :

a. Keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah.

b. Saudara.

c. Wali nikah.

d. Wali pengampu.

e. Suami atau istri (lain) yang masih terikat perkawinan dengan calon suami atau

istri tersebut.

f. Pejabat pengawas perkawinan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat 1 Undang-undang Perkawinan, pencegahan itu diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilakukan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatatan Perkawinan. Selanjutnya Pasal 17 ayat 2 Undang-undang Perkawinan menyebutkan Pegawai Pencatatan Perkawinan memberitahukan kepada calon-calon mempelai tentang adanya permohonan pencegahan tersebut.36

1. Diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan

dilaksanakan. Di sini hanya menyebut perkataan pengadilan. Tidak menyebut

tegas Pengadilan Negeri. Hal ini sebenarnya sudah ditegaskan pada Pasal 63

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa yang dimaksud dengan

pengadilan dalam undang-undang ini ialah :

Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Perkawinan ada prosedur untuk mengajukan permohonan pencegahan perkawinan :

35

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV.Zahir Trading Co, Medan, 1975, hal. 63

36

(36)

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

b. Pengadilan Umum bagi yang tidak beragama Islam.

2. Pencegahan juga disampaikan kepada pejabat pencatat perkawinan.

Diberitahukan juga kepada calon-calon mempelai tentang permohonan

pencegahan perkawinan tersebut.

Pencegahan menurut Kompilasi Hukum Islam di atur pada Pasal 60 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

“Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan peraturan perundang-undang”

Menurut Kompilasi Hukum Islam yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampun dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan Pasal 62 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Selainn yang disebutkan Pasal 62 tersebut dapat pula dilakukan oleh suami atau istri yang masih terikat dalam perkawinan, Pasal 63 Kompilasi Hukum Islam.

F. Batalnya Perkawinan

Pembatalan perkawinan ialah tindakan pengadilan yang berupa keputusan

yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (No legal

force or declared void). Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan yaitu37

1. Perkawinan dianggap tidak sah (no legal force)

:

2. Juga dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed)

37

(37)

3. Oleh karena itu si laki-laki dan si perempuan yang dibatalkan perkawinannya

dianggap tidak pernah kawin sebagai suami istri.

Pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV, Pasal 22-Pasal 28

Undang-undang Perkawinan. Dalam bab ini diatur alasan pembatalan perkawinan,

pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan, prosedur pembatalan

perkawinan,serta akibat pembatalan perkawinan. Sementara dalam Kompilasi

Hukum Islam pembatalan perkaiwnan diatur dalam Bab XI, Pasal 70-76 yang

mengatur tentang hal-hal yang kurang lebih sama dengan yang di tur

Undang-undang Perkawinan. Lebih lanjut pembahasan tentang pembatalan perkawinan

(38)

38

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah

dilangsungkan akan nikah. Selain itu pembatalan perkawinan juga tindakan

putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak

sah akibatnya perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Maka akibatnya segala

sesuatu yang dihasilkan dari perkawinan itu menjadi batal dan semuanya dianggap

tidak pernah terjadi pula.

Pembatalan perkawinan dalam hukum islam disebut fasakh yang artinya

merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya

perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang telah

berlangsung.38 Fasakh disebabkan dua hal39

1. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau

terdapat adanya halangan perkawinan. :

2. Disebabkan terjadinya sesuatu dalan kehidupan rumah tangga yang tidak

memungkinkan rumahtangga itu dilanjutkan.

38

Ahmad Ajhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII press, yogyakarta, 2000, hal 85. 39

(39)

Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya

sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry menyatakan bahwa nikah

fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya,

sedangkan nikah al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah

al-fasid dan al-batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi

undang-undang perkawinan nikah al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan

dan bukan pada pencegahan.40

Pembatalan perkawinan di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 pada Pasal 22 apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Pembatalan perkawinan diatur dalam UUP pada Bab

IV, Pasal 22-28. Pasal 22 menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan dapat

dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syatrat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Di dalam penjelasannya kata “dapat” dalam pasal ini

bisa diartikan bisa batal atau tidak batal, bila mana ketentuan hukum agamanya

tidak menentukan lain. Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur pada Bab

XI, Pasal 70-76.

Istilah “batal” nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena

terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal tersebut. Batal berarti nietig

zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat

40

(40)

dibatalkan berarti nietig verklraad, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan

mutlak.41

Istilah dapat dibatalkan dalam UUP ini berarti dapat difasidkan, jadi relatif

nietg. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah

terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap

aturan-aturan tertentu.

42

Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya

pengawasan baik pihak kelaurga atau pejabat berwenang sehingga perkaiwnan itu

terlanjut terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap UUP atau

hukum munakahat.

Jika ini terjadi maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan

tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Suatu perkawinan

dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana

ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran

prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan.

Selanjutnya dalam skripsi ini penyebab pembatalan perkawinan yaitu

perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II batal dan tidak sah dikarenakan

salah satu pihak telah memalsukan identitas, selanjutnya Tergugat II dan Tergugat

III melakukan perkawinan tanpa ada persetujuan dari wali nasab yang sah, dan di

nikahkan dengan wali yang tidak sah. Perkawinan ini tidak lah memenuhi rukun

41

Martiman P, Hukum Perkawinan Indonesia, Center Publishing, Jakarta, 2002, hal. 25 42

(41)

maupun syarat perkawinan dan apabila perkawinan tersebut tidak dibatalkan,

maka mereka telah berbuat zina yang sesuai apa yang diatur dalam QS.

AN-NISA’ :24.

Kemudian dalam proses pelaksanaan pembatalan perkawinan

langkah-langkahnya meliputi:

1. Pendaftaran Perkara,

2. Penunjukan Majelis Hakim,

3. Pemanggilan Pihak-pihak,

4. Sidang Pertama,

5. Tahap Jawab-berjawab,

6. Tahap Pembuktian,

7. Tahap Penyusunan Konklusi,

8. Musyawarah Majelis Hakim,

9. Pengucapan Keputusan.

Selain langkah-langkah tersebut pihak Penggugat mengajukan alat bukti

berupa surat dan seorang saksi. Sementara itu perkawinan yang batal dan tidak

sah menimbulkan akibat hukum dalam perkawinan tersebut. Maka akibat hukum

dalam pembatalan tersebut akta nikah yang bersangkutan tidak berkekuatan

hukum lagi. Dengan adanya putusan pembatalan perkawinan yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan tersebut putus sebagaimana

(42)

Sedangkan landasan hukum yang dipakai dalam pengambilan putusan pembatalan

perkawinan meliputi:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

3. Al-Qur’an,

4. Hadits,

5. Kompilasi Hukum Islam.

B. Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan

ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya menentukan bahwa

permohonan pembatalan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berhak

mengajukan kepada pengadilan di daerah hukumnya yang meliputi tempat

berlangsungnya perkawinan atau tempat tinggal istri, suami atau istri (Pasal 38

ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975)

Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 yang

menjadi pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan adalah :

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri

2. Suami atau istri artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari

suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama

dapat mengajukan pembatalan perkawinan.

(43)

4. Pejabat pengadilan.

Sedangkan dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa

yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami

atau istri

2. Suami atau istri

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut

undang-undang

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun

dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan

Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Dapat disebutkan juga bahwa barang siapa yang karena perkawinan

tersebut masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar

masih adanya perkawinan tersebut, dapat mengajukan pembatalan perkawinan

yang baru dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 44

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

C. Alasan Pembatalan Perkawinan

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, maka perkawinan diadakan bukan untuk sementara dan bukan ikatan lahir saja, melainkan ikatan lahir dan batin serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia untuk selamanya atau permanen. Oleh karena itu,

perceraian dan pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan bila ada alasan atau alasan yang memaksa, yang menyimpang dari hukum bila diteruskan.43

Dalam

(44)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal 26 dan 27 diatur mengenai alasan-alasan pembatalan perkawinan.

Pasal 26 menyebutkan :

a. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau

pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang

tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi

dapat diminta pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan

lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

b. Hal untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam

ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai

suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat

pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan

harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27 menyebutkan :

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang

melanggar hukum.

b. Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka

mengenai diri suami atau pun istri.

c. Apabila ancaman itu telah berhenti, atau yang beralah sangka itu

menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah

itu masih hidup bersama sebagai suami istri dan tidak mempergunakan

(45)

Sedangkan Pasal 70 KHI perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan

akad nikah karena sudah memiliki empat orang istri. Dalam Hukum

Islam laki-laki hanya boleh memiliki empat orang istri dikarenakan takut

seorang laki-laki tersebut tidak dapat adil kepada istri-istrinya

b. Seseorang menikahi istrinya yang telah dili’annya.

c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak

olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria

lainyang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan

sudah habis masa iddahnya.

d. Perkawinan yang dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan

darah semenda dan sesusuan.

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri

atau istri-istrinya.

Selanjutnya Pasal 71 KHI diaturbmengenai suatu perkawinan dapat

dibatalkan apabila :

a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

Seorang laki-laki jika ingin melakukan pernikahan untuk yang kedua

kalinya maka laki-laki tersebut haruslah meminta izin dari istri yang

pertama, dan meminta izin dari Pengadilan Agama jika tidak ada dari

kedua belah pihak tersebut, maka pernikahan yang dilakukan oleh

(46)

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi

istri pria lain yang mafqud (hilang).

c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami

lain.

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Yaitu

jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan

pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Jika kedua belah

pihak belum mencapai umur yang di atur undang-undang maka kedua

belah pihak dapat meminta izin ke Pengadilan Agama.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang

tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Dari ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur oleh Pasal 70-71 KHI terikat bahwa perkawinan yang batal dan pernikahan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang melanggar larangan perkawinan, sebagai mana yang diatur oleh Pasal 39 KHI. Sementara ketentuan Pasal 72 KHI sama dengan ketentuan Pasal 27 UUP.

Pembatalan perkawinan sebagai salah satu upaya pemutusan perkawinan adalah menjadi wewenang dan tanggung jawab badan peradilan, mengingat akibat yang yang ditimbulkan tidak hanya menyangkut suami isteri saja, tetapi juga termasuk keturunan dan pembagian harta kekayaan hasil perkawinan. Gugatan pembatalan perkawinan diajukan kepengadilan agama diwilayah tempat perkawinan itu dahulunya dilangsungkan atau kepengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal suami istri yang bersangkutan atau ke pengadilan agama yang mewilayahi tempat kediaman salah seorang dari suami istri tersebut.44

44

Referensi

Dokumen terkait

Penilaian Tingkat Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami pada Siswa Sekolah Menengah Pertama Kota Padang Tahun 2019. Studi explorasi pengetahuan dan sikap

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai tata

2) Dalam satu penerbangan internasional, apabila salah satu penerbang berusia 60 tahun atau lebih, maka penerbang lainnya harus berusia kurang dari 60 tahun. 3) Umur maksimal

Bila pada tahun 1961, Yuri Gagarin adalah manusia pertama yang dilucurkan ke luar angkasa oleh Uni Soviet dengan pesawat Vostok I nya, yang kemudian disusul oleh Amerika pada

ditetapkan oleh hukum, misalnya dalam bentuk kekuasaaan orang tua, kekuasaan wali dari anak di bawah umur, kewenangan kurator untuk mengurus harta pailit. Prinsip

Masyarakat di Malang memiliki kebiasaan yang tentunya berbeda dengan masyarakat Alor dalam masyarakatnya hal terebut terlihat dari adanya berbagai suku yang berada di Malang yang

Dimensi kemampuan spasial yang termasuk dalam kategori mental dinamis adalah dimensi kemampuan visualisasi, dimensi kemampuan rotasi, dan dimensi kemampuan

Setelah melihat kekurangan pada proses pembelajaran siklus 1, maka guru mencoba menerapkan metode pembelajaran diskusi tipe buzz group dengan: (1) menambahkan