HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN BEBERAPA
FAKTOR LAIN TERHADAP WAKTU SADAR EFEKTIF DI
KALANGAN CALON DAN AWAK PESAWAT MILITER
PADA SIMULASI KETINGGIAN 25000 KAKI
TESIS
VERONICA GALIH GUNARSIH 1106026766
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN PENERBANGAN JAKARTA
HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN BEBERAPA
FAKTOR LAIN TERHADAP WAKTU SADAR EFEKTIF DI
KALANGAN CALON DAN AWAK PESAWAT MILITER
PADA SIMULASI KETINGGIAN 25000 KAKI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Penerbangan
VERONICA GALIH GUNARSIH 1106026766
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN PENERBANGAN JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Spesialis Kedokteran Penerbangan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa banyak bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai dari perkuliahan sampai penyusunan tesis ini selesai. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof.dr.Bastaman Basuki, MPH, Sp.KP, selaku Ketua Program Studi, yang setiap saat selalu memberi bimbingan dan pengarahan.
2. dr.Flora Ekasari, Sp.P dan dr Bobby Drastyawan, Sp.P, selaku pembimbing tesis, yang selalu memberi bimbingan dan memberi masukan
3. Kepala Lakespra Saryanto, yang telah memberikan izin Lakespra Saryanto sebagai tempat penelitian
4. Kepala Aerofisiologi dan Aeroklinik Lakespra Saryanto beserta seluruh staf yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
5. Suami, B.Andy Widyanto, SH, yang selalu memberi dukungan baik selama perkuliahan hingga penulisan tesis ini.
6. Anak-anakku tercinta, Dina, Dika, dan Anna, yang selalu memberi dukungan berupa suasana yang nyaman dalam belajar dan mengerjakan tesis ini.
7. Senior dan rekan-rekan mahasiswa PPDS Kedokteran Penerbangan FKUI yang senantiasa memberi dukungan dan masukan dalam penyusunan tesis ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan bidang Kedokteran Penerbangan.
Jakarta, Juni 2014
Veronica Galih Gunarsih iv
Nama : Veronica Galih Gunarsih Program Studi : PPDS Kedokteran Penerbangan
Judul : Hubungan kadar hemoglobin dan beberapa faktor lain terhadap waktu sadar efektif di kalangan calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
Latar belakang : Hipoksia merupakan bahaya potensial dalam penerbangan. Waktu sadar efektif (WSE) merupakan waktu ketika seorang penerbang atau awak pesawat mulai terpajan hipoksia sampai sebelum mengalami inkapasitansi. Selama rentang waktu tersebut seorang penerbang dapat membuat keputusan atau tindakan yang tepat. Hemoglobin sangat berpengaruh terhadap saturasi O2 yang
menentukan oksigenasi jaringan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WSE yaitu pada calon dan awak pesawat militer di Indonesia.
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Data diambil dari hasil pelaksanaan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto selama Januari-Mei 2014. Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. Lama WSE diperoleh dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Nilai kesamaptaan jasmani ditentukan dengan VO2maks. Analisis
regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko WSE.
Hasil: Calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA sebanyak 183 orang. Duapuluh lima subyek dikeluarkan karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung, 158 subyek memenuhi kriteria inklusi. Faktor dominan yang memperpanjang WSE adalah Hb, sedangkan yang mempersingkat adalah IMT dan umur. Setiap 1 g/dL Hb menambah WSE 14,7 detik [koefisien regresi (β) = 14,677 ; p = 0,010]. Kenaikan IMT 1 kg/m2
mengurangi WSE 3,3 detik [β = -3,274; 95% interval kepercayaan (CI) = -8,287;1,738 ; p = 0,199]. Penambahan umur 1 tahun mengurangi WSE
3,9 detik (β = -3,917; p = 0,000).
Kesimpulan: Kenaikan Hb memperpanjang WSE. Peningkatan IMT dan umur yang bertambah mempersingkat WSE.
ABSTRACT
Name : Veronica Galih Gunarsih
Study Programme : Aviation Medicine Department of Community Medicine
Title : Correlation between haemoglobin and other risk factors to time of useful consciousness among candidate and military aircrew in 25000 feet hypobaric chamber simulation
Background: Hypoxia is potential hazard in aviation. Time of useful consciousness (TUC) is time during when a pilot or aircrew exposed hypoxia before experiencing incapacitation. During the span of time, a pilot can make the right decision or action. Haemoglobin (Hb) influences the oxygen saturation that determines oxygenation of the body tissue. This study aims to identify the factors affect WSE on candidates and military aircrew in Indonesia.
Methods: Study designed was cross sectional with purposive sampling. Data taken from the result of Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) in Lakespra Saryanto Jakarta during January to May 2014. Research subjects were candidates and military aircrews. Time of useful consciousness was obtained from hypoxia demonstration in hypobaric Chambers at 25000 feet altitude simulation. The value of physical fitness was determined by VO2max. Linear regression analysis was
used to identify risk factors of TUC.
Results: Candidates and military aircrew carried out the ILA were 183 persons. Twenty-five subjects were excluded because of not carried out hypoxia demonstration in hypobaric chamber or treadmill test. The dominant factors that extend TUC were Hb. while shortening were BMI and age. Each 1 g/dL Hb extend TUC 14.7 seconds [regression coefficient (β) = 14.677 ; p = 0.010]. Increasing BMI of 1 kg/m2 shorten TUC 3.3 seconds [(β) = -3.274; 95% confidence interval (CI) = -8.287;1.738 ; p = 0.199]. Addition of age 1 year shorten TUC 3.3 seconds (β= -3.917 ; p = 0.000).
Conclusion: Increasing Hb extends TUC, while gain BMI and addition age shorten TUC.
HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PENGESAHAN ... KATA PENGANTAR ... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ABSTRAK ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... i ii iii iv v vi viii x xi xii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar belakang ... Tujuan penelitian ... 1 2 1.2.1 1.2.2 Tujuan umum ... Tujuan khusus ... 2 2 1.3 1.4 Hipotesis ... Manfaat penelitian ... 3 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 Waktu sadar efektif (WSE) ... Pengaruh hipoksia terhadap metabolisme otak ... Efek neurologis hipoksia hipobarik ... Respons pernapasan terhadap hipoksia hipobarik ... Respons kardiovaskular terhadap hipoksia hipobarik ... Kerangka teori ... Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif .... 5 6 7 9 10 12 14 2.7.1 Faktor-faktor dominan ... 14 2.7.1.1 2.7.1.2 2.7.1.3 2.7.1.4 Kadar hemoglobin ... Overweight dan obesitas ... Kesamaptaan jasmani ... Umur ... 14 16 17 18 2.7.2 Faktor-faktor lain ... 19 2.7.2.1 2.7.2.2 2.7.2.3 2.7.2.4 2.7.2.5 2.7.2.6 Self imposed factors ... Ketinggian dari permukaan laut ... Kecepatan ascent ... Lama pajanan ... Aktivitas fisik ... Suhu lingkungan ... 19 21 21 23 24 25 2.8 Kerangka konsep ... 25 3. METODE ... 26
3.1 Hasiljadi dan faktor risiko ... 26
3.1.1 Definisi (lengkap) hasiljadi dan metode diagnostik ... 26
3.1.1.2 Prosedur pengukuran WSE ... 27 3.1.2 Definisi pajanan utama dan metode diagnostiknya ... 28 3.2 Metode ... 29 3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4 3.2.5 Desain penelitian ... Perhitungan jumlah sampel ... Tempat dan waktu penelitian ... Populasi penelitian ... Cara identifikasi subyek ...
29 29 30 30 32 3.2.5.1 3.2.5.2 Kriteria inklusi ... Kriteria eksklusi ... 32 33 3.3 3.4 Penyajian data ... Faktor risiko lain dan definisi operasional ...
33 31 3.4.1 3.4.2 3.4.3 3.4.4 Umur ... Indeks masa tubuh (IMT) ... Kesamaptaan jasmani ... Jam terbang ... 33 33 34 34 3.5 Etika penelitian ... 34 4. HASIL ... 37 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Silsilah subyek penelitian ... Profil subyek penelitian ... Analisis univariat ... Analisis bivariat ... Analisis multivariat ... 37 37 38 39 41 5. PEMBAHASAN ... 43 5.1 5.2 5.3 Keterbatasan ... Profil subyek penelitian ... Hasil penelitian ... 43 43 44 5.3.1 5.3.2 5.3.3 5.3.4
Hubungan antara WSE dan kadar Hb ... Hubungan antara WSE dan IMT ... Hubungan antara WSE dan kesamaptaan jasmani ... Hubungan antara WSE dan umur ...
44 45 46 47 5.4 Prediksi nilai WSE ... 50
6. SIMPULAN DAN SARAN ... 51 6.1 6.2 Simpulan ... Saran ... 51 51 RUJUKAN ... LAMPIRAN ... 52 57
DAFTAR TABEL Tabel 2. Tabel 3 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6
Waktu sadar efektif berdasarkan ketinggian dari permukaan laut ... Risiko penelitian dan tindakan pencegahannya ... Silsilah subyek penelitian ... Karakteristik subyek penelitian ... Sebaran umur, jam terbang, Hb, IMT, VO2maks dan waktu
sadar efektif subyek (n=158) ... Kadar hemoglobin, IMT, VO2maks, umur dan jam terbang
terhadap waktu sadar efektif (n= 158) ... Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif
(n=158) ... Beberapa faktor dominan terhadap waktu sadar efektif (model kedua) ... 6 35 37 37 38 37 41 41
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 3. Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5
Kerangka teori penelitian ... Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ... Perbandingan saturasi COHb pada penerbang perokok dan
bukan perokok ... Kerangka konsep penelitian ... Profil simulasi ruang udara bertekanan rendah ... Diagram baur antara WSE dan kadar Hb... Diagram baur antara WSE dan IMT ... Diagram baur antara WSE dan umur subyek ... Diagram baur antara WSE dan jam terbang ... Diagram baur antara WSE dan VO2maks ...
13 15 20 25 28 40 40 40 40 40
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3 Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.
Persetujuan penelitian dari Komite Etik FKUI ... Surat izin penelitian dari Lakespra Saryanto ... Penjelasan penelitian. ... Formulir persetujuan setelah penjelasan ... Definisi operasional ... Formulir pengumpulan data ... Contoh penjumlahan matematika 2 digit ... Tabel jumlah sampel ... Bukti perhitungan Stata ...
57 58 59 60 61 62 63 64 65
1.1 Latar belakang
Waktu sadar efektif (WSE) merupakan rentang waktu saat seorang penerbang mulai terpajan lingkungan dengan tekanan oksigen inspirasi (PiO2) yang
berkurang hingga tidak mampu melakukan tindakan yang tepat atau terjadi gangguan kemampuan terbangnya.[1,2] Waktu ini (WSE) merupakan rentang waktu yang sangat menentukan, dan berkaitan erat dengan hipoksia dalam penerbangan. Selama rentang waktu inilah penerbang dapat membuat keputusan dan melakukan tindakan yang tepat sebelum mengalami inkapasitansi akibat hipoksia.[1]
Kejadian hipoksia dalam penerbangan militer maupun sipil pernah dilaporkan. Rayman dan McNaughton melaporkan selama tahun 1976 hingga 1990 terjadi 296 kasus hipoksia selama penerbangan pada angkatan udara Amerika Serikat. Pada penerbangan sipil kasus hipoksia selama penerbangan lebih jarang terjadi. Kecelakaan penerbangan sipil akibat hipoksia selama penerbangan yang pernah dilaporkan diantaranya adalah kecelakaan sebuah Lear Jet di dekat Aberdeenm, Dakota Selatan tahun 1999, dan Helios B737 yang jatuh di Yunani pada tahun 2005.[3]
Berbagai penelitian mengenai hipoksia dan WSE telah dilakukan. Penelitian tentang WSE yang dilakukan Mahyastuti terhadap 100 anggota Paskhas TNI AU (1994) dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian setara 20000 kaki (6096 m) mendapatkan bahwa semakin tinggi kadar hemoglobin (Hb), semakin panjang WSE.[4] Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Lopez dan kawan-kawan terhadap 161 pasukan tempur Angkatan Darat Spanyol yang melakukan latihan hipoksia dalam RUBR pada ketinggian setara 25000 kaki (7620 m) selama 6 tahun (1993-1999), mendapatkan bahwa kelompok umur 30-39 tahun mempunyai toleransi terhadap hipoksia yang lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok umur yang lebih muda maupun tua.[5] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Ribeiro dkk (1999) pada 43 orang
anggota militer angkatan udara Portugis dalam RUBR dengan simulasi ketinggian 25000 kaki (7620 m) menyimpulkan tidak ada perbedaan bermakna WSE pada faktor risiko umur dan kebiasaan merokok.[6] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Rahadyan dkk tahun 2008 pada 128 calon penerbang TNI AU dan 25 calon penerbang PSDP menyimpulkan bahwa subyek terlatih mempunyai WSE lebih singkat dibandingkan yang tidak terlatih, dengan parameter terlatih adalah Left
Ventricular End Diastolic Diameter (LVEDD).[7] Penelitian yang dilakukan
Ekasari dkk tahun 2003 di RUBR Lakespra Saryanto terhadap 33 orang Paskhas TNI AU menunjukkan bahwa pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) belum jelas terjadi pergeseran kurva disosiasi HbO ke kiri, kemungkinan karena pada ketinggian tersebut rata-rata PaO2 58,4 mmHg, dan SaO2 90,4%.[8]
Penelitian ini menggunakan ketinggian 25000 kaki dengan pertimbangan ketinggian 25000 kaki merupakan ketinggian kritis untuk terjadinya masalah penyakit dekompresi, dan dianggap merupakan ketinggian tertinggi yang aman untuk dilakukan latihan hipoksia.[2,9] Selain itu WSE pada ketinggian ini sekitar 3-5 menit, yang merupakan waktu yang singkat bagi awak pesawat untuk mengenali keadaan hipoksia dan dapat melakukan tindakan penyelamatan yang diperlukan apabila terjadi keadaan penurunan tekanan udara pernapasan selama penerbangan.
Mengingat pentingnya WSE dalam keselamatan penerbangan, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan WSE.
1.2 Tujuan penelitian
1.2.1 Tujuan umum
Dibuktikannya faktor-faktor faali yang mempengaruhi WSE pada awak pesawat.
1.2.2 Tujuan khusus a. Tujuan khusus utama
Dibuktikannya pengaruh kadar hemoglobin terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
b. Tujuan khusus lain
1) Dibuktikannya pengaruh Indeks Masa Tubuh (IMT) terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
2) Dibuktikannya pengaruh tingkat kesamaptaan jasmani terhadap WSE calon dan awak pesawat militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki. 3) Dibuktikannya pengaruh umur terhadap WSE calon dan awak pesawat
militer pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
1.3 Hipotesis
a. Hipotesis utama
Subyek dengan kadar hemoglobin yang lebih tinggi mempunyai WSE yang lebih lama pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
b. Hipotesis lain
1) Subyek yang mempunyai IMT yang lebih besar mempunyai WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
2) Subyek yang tingkat kesamaptaan jasmaninya lebih rendah mempunyai kecenderungan WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
3) Subyek yang berumur lebih tua mempunyai WSE yang lebih singkat pada simulasi ketinggian 25000 kaki.
1.4 Manfaat penelitian
a. Untuk subyek penelitian
1) Dengan diketahuinya faktor-faktor risiko terhadap lamanya WSE, yaitu kadar hemoglobin, berat badan, kesamaptaan jasmani, dan umur, maka diharapkan para awak pesawat mempunyai kesadaran untuk meningkatkan pola hidup yang lebih baik dalam menjaga kesehatan tubuhnya dalam rangka meningkatkan keselamatan penerbangan.
2) Meningkatkan kesadaran para awak pesawat tentang pentingnya mengenali gejala-gejala hipoksia sedini mungkin, lama WSE pada ketinggian tertentu, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga
dapat melakukan antisipasi tindakan yang tepat apabila mengalami situasi darurat yang berhubungan dengan hipoksia.
b. Ilmiah
Mengidentifikasikan beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif pada awak pesawat.
c. Untuk tingkat pimpinan
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan dalam rangka penyusunan program peningkatan kualitas kesehatan awak pesawat dengan tujuan akhir tercapainya keamanan dan keselamatan terbang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Waktu sadar efektif
Beberapa efek akut penting hipoksia di ketinggian pada orang yang belum teraklimatisasi akan tampak mulai ketinggian lebih dari 10000 kaki (3048 m). Gejala umumnya adalah adalah mengantuk, malas, kelelahan mental dan otot, kadang sakit kepala, mual dan euforia. Semua efek ini berkembang progresif menjadi tahap twitching (kedutan) atau kejang apabila berada di atas 18000 kaki (5486 m), dan akhirnya di atas 23000 kaki (7010 m) dapat berakhir dengan koma yang diikuti kematian pada orang yang belum teraklimatisasi.[10]
Salah satu efek utama hipoksia adalah menurunnya kecakapan mental, yang akan menurunkan kemampuan dalam mengambil keputusan, mengingat, dan melakukan gerakan motorik. Misalnya seorang penerbang yang belum teraklimatisasi pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) selama 1 jam, kemampuan mental biasanya turun menjadi 50% dari normal. Dan setelah 18 jam turun menjadi 20%.[10] Rentang waktu antara berkurangnya tekanan oksigen pernapasan(PiO2) hingga saat terjadi derajat gangguan kinerja yang bermakna
disebut dengan waktu sadar efektif (WSE), lamanya interval waktu ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian laboratorium, terdapat banyak cara uji untuk mengetahui gangguan kinerja ini, mulai ketidakmampuan melakukan tugas psikomotor yang kompleks hingga kegagalan melaksanakan perintah lisan sederhana. Dalam praktek sehari-hari, konsep yang paling bermanfaat untuk WSE adalah seorang penerbang mempunyai kemampuan untuk mengenali gejala hipoksia yang dialami dan dapat bertindak untuk mengatasi kesulitan atau situasi berbahaya, misalnya dengan memasang masker oksigen, turun ke ketinggian yang lebih rendah, atau melakukan tindakan penyelamatan lainnya.[11,12]
Nilai WSE yang menggambarkan pentingnya hipoksia dalam penerbangan sesuai ketinggian Tabel 2.1.[11] Waktu sadar efektif pada masing-masing individu
berbeda, tergantung pada banyak faktor, yaitu respons ventilasi pulmoner terhadap hipoksia dan kebugaran fisik umum, umur, derajat latihan dan pengalaman mengalami hipoksia sebelumnya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa WSE pada suatu ketinggian tertentu akan lebih singkat bila hipoksia yang terjadi disebabkan karena dekompresi mendadak bila dibandingkan dengan
ascent yang lambat.[11–13]
Tabel 2. Waktu sadar efektif berdasarkan ketinggian dari permukaan laut
Ketinggian
Waktu sadar efektif
Meter Kaki 5486 6706 7620 8534 9144 10668 12192 13106 15240 18000 22000 25000 28000 30000 35000 40000 43000 50000 20-30 menit 10 menit 3-5 menit 2,5-3 menit 1-2 menit 0,5-1 menit 15-20 detik 9-12 detik 9-12 detik
Sumber: Reinhart RO. Basic Flight Physiology. New York: The McGraw Hill Companies; 2008.
2.2 Pengaruh hipoksia terhadap metabolisme otak
Kebutuhan O2 jaringan otak adalah sekitar 20% dari seluruh kebutuhan O2 tubuh.
Penggunaan O2 oleh jaringan ini relatif konstan, baik pada saat istirahat maupun
aktivitas. Jaringan otak sangat terpengaruh oleh kondisi hipobarik, dan merupakan jaringan tubuh pertama yang mengalami gangguan pada kondisi kekurangan oksigen.[14,15] Walaupun terjadi proses kompensasi seperti hiperventilasi, takikardi, dan peningkatan aliran darah otak yang bertujuan untuk mempertahankan jumlah O2 yang diterima jaringan otak, namun dapat juga terjadi
kerusakan jaringan apabila hipoksia yang terjadi melampaui kemampuan aklimatisasi. Hipoksia hipobarik mengakibatkan kerusakan jaringan otak melalui berbagai perubahan mekanisme aliran darah otak, metabolisme energi, dan fungsi kognitif seperti kemampuan belajar dan daya ingat.[14]
Mitokondria merupakan organel yang unik yang menyediakan energi bagi sel otak dalam bentuk ATP dan berperan penting dalam metabolisme energi. Pembentukan ATP dalam memerlukan jumlah O2 yang bagi kelangsungan hidup sel, dan
kondisi hipoksia dapat mengganggu jalur metabolisme energi ini sehingga mengakibatkan kerusakan sel dan kematian jaringan otak. Semakin naik ke ketinggian tekanan O2pernapasan akan semakin berkurang, di mana kondisi ini
akan mempengaruhi aktivitas pernapasan dan pembentukan energi dalam mitokondria otak, sehingga akan menimbulkan gangguan metabolisme energi. Gangguan fungsi mitokondria ini akan mengakibatkan kerusakan jaringan otak akibat hipoksia.[14]
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa gangguan fungsi mitokondria akibat hipoksia ini dihubungkan dengan terganggunya rantai transpor elektron dan penurunan pembentukan ATP.[14]
2.3 Efek neurologis hipoksia hipobarik
1) Gangguan mental
Gangguan psikologis yang diakibatkan oleh kurangnya tekanan oksigen pada ketinggian adalah masalah yang sangat penting dalam penerbangan, walaupun terdapat variasi yang besar di antara individu yang terpajan hipoksia hipobarik. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan respons pernapasan terhadap hipoksia, di mana terdapat perbedaan tekanan oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri saat terpajan oksigen udara pernapasan dengan tekanan tertentu. Hipokapni yang terjadi akibat hiperventilasi yang disebabkan oleh tekanan oksigen yang rendah dalam arteri berpengaruh pada kemampuan mental. Rendahnya tekanan CO2 ini akan mengakibatkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak sehingga semakin mengurangi tekanan O2 jaringan otak. Selain itu, tekanan CO2 yang rendah juga akan
mengakibatkan perubahan pH menjadi lebih alkalosis, terjadi peningkatan afinitas HbO2,sehingga pelepasan O2 ke jaringan otak berkurang.[8,10,12,16]
2) Psikomotor
Psikomotor yang baik dan adekuat dapat dilakukan pada ketinggian di bawah 10000 kaki. Bila tekanan PaO2 turun hingga di bawah 38-40 mmHg, misalnya
pada ketinggian 16000-18000 kaki (4877-5486 m), waktu reaksi sederhana akan mulai terpengaruh. Kemampuan pursuit-meter tasks tidak akan terpengaruh hingga ketinggian melebihi 12000-14000 kaki (3658-4267 m), dan berkurangnya kemampuan ini tidak akan mencapai derajat yang berat pada ketinggian di bawah 16000-17000 kaki (4877-5486 m). Kemampuan lain, yaitu choice-reaction time akan terpengaruh walaupun derajat hipoksia tidak berat, misalnya kemampuan ini akan terganggu secara bermakna pada ketinggian 12000 kaki (3658 m). Kemampuan psikomotor yang membutuhkan koordinasi kompleks dari mata dan tangan, seperti terbang instrumen seperti yang dipelajari dalam simulator biasanya tidak akan terpengaruh hingga tekanan PaO2turun hingga di bawah 50 mmHg, misalnya
pada ketinggian 12000 kaki (3658 m). Kemampuan psikomotor akan diperberat dengan gangguan koordinasi otot yang diakibatkan oleh hipoksia derajat sedang hingga berat. Pada ketinggian sekitar 12000-15000 kaki (3658-4572 m), akan timbul tremor tangan, penurunan kemampuan motorik halus, sehingga kemampuan untuk memegang suatu pena atau tuas kendali dan mempertahankan pada posisi tertentu akan terganggu secara progresif. Inkoordinasi otot semakin bertambah dengan bertambahnya ketinggian, dan tulisan tangan individu akan sulit dibaca.[12,13]
3) Kemampuan kognitif
Kemampuan kognitif tidak akan terganggu sampai ketinggian 10000 kaki (3048 m), atau selama tekanan oksigen alveolar lebih dari 55 mmHg. Bila tekanan oksigen alveolar kurang dari nilai ini, maka kemampuan kognitif akan menurun, mula-mula menurun secara lambat, namun kemudian akan menurun dengan cepat seiring dengan bertambahnya ketinggian. Seseorang yang berada pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) dapat mencapai kemampuan kognitifnya secara optimum dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan apabila berada pada ketinggian permukaan laut. Misalnya, hipoksia akan menambah waktu reaksi menjadi dua kali bila
dibandingkan pada ketinggian permukaan laut. Intensitas efek ini meningkat seiring dengan bertambahnya ketinggian dan kompleksitas tugas secara bermakna akan tampak pada ketinggian lebih dari 12000 kaki(3658 m) dan ambang batas terjadinya gangguan akibat hipoksia masih menjadi perdebatan. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas sederhana meningkat 10-15% pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) dan meningkat 40-50% pada 18000 kaki (5486 m).[12] Penelitian Cohen dkk menunjukkan bahwa pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) kemampuan kognitif seperti membuat keputusan yang kompleks lebih terpengaruh hipoksia dibandingkan dengan psikomotor. Gangguan kemampuan dalam membuat keputusan akan meningkatkan risiko kecelakaan dalam penerbangan.[17]
2.4 Respons pernapasan terhadap hipoksia hipobarik
Turunnya tekanan O2 udara pernapasan saat naik ke ketinggian akan
mengakibatkan berkurangnya tekanan O2 alveolar (PAO2). Berkurangnya tekanan
O2 yang mendadak ini akan merangsang kemoreseptor di badan arteri dan badan
aorta sehingga terjadi peningkatan ventilasi.[10,12] Peningkatan ventilasi ini akan menimbulkan hiperventilasi, akan mengakibatkan pembuangan CO2 melalui
pernapasan, sehingga tekanan CO2 berkurang. Turunnya tekanan CO2 akan
mengakibatkan terjadinya depresi pernapasan.[12,15] Dua kondisi yang berlawanan ini menunjukkan adanya kebutuhan akan O2 yang adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan asam basa. Besarnya peningkatan ventilasi, dan turunnya tekanan CO2 alveolar (PACO2) bervariasi pada masing-masing individu.
Ventilasi pulmoner pada ketinggian 18000 kaki (5486 m) 20-50% lebih besar daripada di atas permukaan laut, sementara pada ketinggian 22000 kaki meningkat 40-60%.[12]
Determinan utama untuk perbedaan PiO2 dan udara alveolar adalah
PACO2.Turunnya tekanan CO2 akan mengurangi perbedaan tekanan antara O2 dan
CO2 dalam udara pernapasan dan alveolar. Namun, PACO2 ditentukan oleh rasio
antara CO2 yang dihasilkan terhadap ventilasi alveolar, serta tidak dipengaruhi
ke ketinggian, sehingga rasio CO2 yang dihasilkan oleh ventilasi alveolar tidak
berubah. Dalam kenyataannya, PACO2 tetap konstan antara ketinggian di atas
permukaan laut hingga 8000-10000 kaki (2438-3048 m). Di atas ketinggian ini, PACO2 akan turun sampai pada tingkat yang dapat merangsang pernapasan
(kurang dari 60 mmHg). Berkurangnya PACO2 ini akan meningkatkan ventilasi
alveolar. Tekanan O2 alveolar turun secara linier sesuai dengan berkurangnya
tekanan barometer lingkungan hingga ketinggian sekitar 10000 kaki (3048 m). Di atas ketinggian ini, penurunan PAO2 tidak besar bila tidak terjadi peningkatan
ventilasi dan akibatnya PACO2 tidak turun.[12]
Aktivitas fisik ringan dan sedang di ketinggian menunjukkan respons ventilasi yang sama namun peningkatan ventilasi pulmoner secara proporsional sedikit lebih besar, dan dapat terlihat pada ketinggian 3000 kaki (914 m). Peningkatan ventilasi pulmoner yang diinduksi oleh aktivitas fisik dalam keadaan hipoksia sedang, prosesnya seperti berkurangnya PACO2 saat bernafas dengan udara
pernapasan saat istirahat pada ketinggian yang sama. Ada kesesuaian peningkatan dengan PAO2, sekitar 3-5 mmHg.[12]
2.5 Respons kardiovaskular terhadap hipoksia hipobarik
1) Aliran darah
Kecepatan aliran darah pada jaringan merupakan faktor penentu besarnya tekanan O2 yang dikirimkan ke sel. Hipoksia yang diakibatkan karena
menurunnya tekanan O2 udara pernapasan akan merangsang perubahan
sirkulasi umum maupun lokal.[12] 2) Perubahan kardiovaskular umum
Respons kardiovaskular akibat hipoksia hipobarik adalah meningkatnya curah jantung untuk memenuhi kekurangan O2 akibat tekanan O2 pernapasan yang
berkurang. Peningkatan curah jantung terjadi karena meningkatnya denyut jantung, sedangkan volume sekuncup jantung relatif tidak berubah dengan bertambahnya ketinggian dari permukaan laut. Peningkatan curah jantung akan proporsional dengan peningkatan denyut jantung.[12,15,18] Pada ketinggian lebih dari 6000-8000 kaki (1829-2438 m) dalam keadaan istirahat,
denyut jantung segera meningkat. Pada ketinggian 15000 kaki (4572 m) terjadi peningkatan denyut jantung sebesar 10-15%, pada 20000 kaki (6096 m) peningkatannya 20-25%, dan pada 25000 kaki (7620 m) menjadi dua kali dari denyut jantung di atas permukaan laut. Pada ketinggian, ambilan O2
maksimal dibatasi oleh curah jantung dan berkurangnya saturasi O2, sehingga
misalnya pada ketinggian 15000 kaki (4572 m), ambilan O2 maksimal selama
aktivitas fisik turun sekitar 70% bila dibandingkan berada di ketinggian permukaan laut. Selain peningkatan curah jantung, mean arterial pressure
(MAP) pada kondisi hipoksia sedang umumnya tidak berubah. Namun tekanan darah sistolik umumnya naik dan terjadi penurunan tahanan perifer, sehingga terjadi peningkatan denyut nadi. Hipoksia akan menyebabkan vasodilatasi pada sebagian besar pembuluh darah.[12,18]
3) Perubahan kardiovaskular lokal a. Jantung
Hipoksia akut akan segera meningkatkan aliran darah jantung dan otak, namun aliran darah ginjal akan berkurang secara bermakna. Aliran darah otot skeletal meningkat 30-100%. Selanjutnya terjadi redistribusi curah jantung, dengan aliran utamanya ke organ penting seperti jantung dan otak. Aliran darah koroner meningkat secara paralel dengan peningkatan curah jantung, sebagai respons terhadap kebutuhan metabolik miokardium. Individu yang bernafas dengan udara pernapasan pada ketinggian 25000 kaki (7620 m) bila dilakukan elektrokardiografi (EKG) akan menunjukkan hasil yang normal, bahkan saat kehilangan kesadaran. Dengan demikian, pada ketinggian ini terjadi peningkatan aliran darah koroner. Bila jantung tidak dapat melakukan kompensasi, turunnya PaCO2
akan menyebabkan depresi miokardium. Pada hipoksia berat, depresi miokardium ini nampak sebagai depresi segmen S-T dan memendeknya gelombang T pada gambaran EKG. Selanjutnya akan terjadi gangguan irama dan konduksi jantung.[12]
b. Otak
Pada PaO2 di atas 45-50 mmHg, aliran darah otak dipengaruhi oleh
tekanan PaCO2. Berkurangnya PaCO2 dari normal 40 mmHg menjadi 20
mmHg akan mengurangi aliran darah otak hingga setengahnya. Turunnya PaO2hingga kurang dari 45 mmHg akan mengakibatkan vasodilatasi
hipoksia, sehingga pada tekanan O2 arterial 35-40 mmHg akan
meningkatkan aliran darah otak sebesar 50-100%. Terjadi keseimbangan antara vasodilatasi akibat hipoksia dan vasokonstriksi akibat turunnya PaCO2 yang disebabkan oleh meningkatnya ventilasi akibat
hipoksia.[8,10,12] c. Paru
Hipoksia dengan derajat tertentu akan mengakibatkan vasokonstriksi cepat sirkulasi pulmoner yang reversibel, kemungkinan karena akibat langsung dari oksigen pada sel-sel kemoreseptor dalam dinding pembuluh darah pulmoner. Vasokonstriksi pembuluh darah pulmoner yang mungkin lokal sesuai dengan ventilasi lokal. Pada saat naik ke ketinggian dengan cepat, seluruh pembuluh darah pulmoner vasokonstriksi, sehingga terjadi peningkatan curah jantung dan tekanan darah arteri pulmoner.[12]
2.6. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian dapat digambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
2.7 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap waktu sadar efektif
2.7.1 Faktor-faktor dominan
Dalam penelitian ini, faktor-faktor dominan yang diteliti adalah kadar Hemoglobin (Hb), berat badan, kesamaptaan jasmani, dan umur.
2.7.1.1 Kadar hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan suatu protein darah yang berfungsi membawa O2
dalam darah. Hb mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin, di mana O2
menempel pada Fe2+ di heme. Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh pH, suhu,
dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) dalam sel darah merah. Kadar Hb normal dalam darah adalah 16 g/dL pada pria dan 14 g/dL pada wanita, dan semuanya berada dalam darah. Besi bersifat esensial untuk sintesis Hb; jika darah hilang dari tubuh dan dan defisiensi besi yang timbul tidak dikoreksi, akan terjadi anemia defisiensi besi. Pada keadaan normal, sekitar 97% O2 diangkut dari paru
ke jaringan oleh Hb dalam bentuk oksihemoglobin, sedangkan 3% sisanya dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel darah.[10,19] Hubungan antara PaO2
dan SaO2 digambarkan sebagai kurva disosiasi oksihemoglobin (Gambar 2.2)
Oksigen sebagian besar (97%) berikatan dengan Hb dalam darah sebagai oksihemoglobin. Afinitas O2 terhadap Hb dipengaruhi oleh pH darah, suhu tubuh,
konsentrasi CO2, dan 2.3 DPG. Kurva disosiasi bergeser ke kanan bila pH darah
turun (asam), terjadi peningkatan CO2, suhu, atau 2.3 DPG. Pergeseran kurva
disosiasi ke kiri bila terjadi keadaan yang berlawanan dengan pergeseran ke kanan.[10,19]
Gambar 2.2 Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen; pH 7,40, suhu 380C. Sumber: Ganong W. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.
Keseimbangan asam basa tubuh ditentukan oleh konsentrasi ion H+. Tubuh mengatur konsentrasi ion ini untuk mencegah asidosis atau alkalosis dengan 3 cara, yaitu [10,20]:
1) sistem dapar asam-basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah perubahan konsentrasi H+ yang berlebihan.
2) sistem pernapasan, berfungsi mengatur pembuangan CO2 dari cairan ekstrasel
3) ginjal, berfungsi mengeluarkan urin asam atau alkali, sehingga konsentrasi H+ ekstrasel dapat normal kembali.
Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan asam basa adalah dengan mengatur pola makan. Telah lama diketahui jika makanan berpengaruh besar terhadap keseimbangan asam basa tubuh.[21] Makanan yang mengakibatkan penurunan pH darah adalah yang mengandung protein hewani dan karbohidrat. Sedangkan makanan yang mengakibatkan peningkatan pH adalah yang mengandung mineral seperti buah dan sayur.[22]
CaO2 karena sebagian besar O2 terikat Hb. Terdapat tiga komponen utama yang
mempengaruhi CaO2, yaitu Hb, PaO2 dan SaO2.[23] Hubungan ketiga komponen
ini dapat digambarkan dengan rumus sebagai berikut [24]: CaO2 = (SaO2 x 1,34 x Hb x 0,01) + (0,023 x PaO2kPa)
Keterangan:
CaO2 = kandungan O2 arteri (bentuk HbO2 dan yang larut dalam plasma)
SaO2 = saturasi O2 arteri
1,34 = konstanta Huffner (volume O2 dalam ml yang dibawa oleh 1 gram Hb)
0,023 = koefisien kelarutan O2
Darah yang cenderung asam akan menggeser kurva disosiasi ke kanan, sehingga diperlukan PO2 yang lebih besar untuk mengikat Hb.[19] Ketika berada di
ketinggian, tekanan barometer berkurang, sehingga PO2 juga berkurang. Bila PO2
yang sudah berkurang ini diperberat dengan pH darah yang asam, maka Hb akan semakin sulit berikatan dengan O2. Akibatnya CaO2 akan berkurang, sehingga
oksigenasi jaringan berkurang . Keadaan ini akan menurunkan toleransi hipoksia dan WSE semakin singkat. Oleh karena itu, kepada awak pesawat dianjurkan untuk membatasi makanan yang meningkatkan keasaman tubuh, terutama sebelum terbang, sehingga keseimbangan asam basa selama terbang dapat terjaga. Penelitian yang dilakukan Mahyastuti terhadap 100 orang anggota Paskhasau tahun 1994 di Lakespra Saryanto pada simulasi ketinggian RUBR setara 20000 kaki, dan dilakukan analisis data dengan regresi linier, mendapatkan bahwa terdapat hubungan positif antara kadar Hb dan WSE dengan r = 0,18.[4]
2.7.1.2 Overweight dan obesitas
Overweight atau obesitas akan mengakibatkan penurunan fungsi paru.
Penumpukan lemak abdominal pada obesitas akan mengurangi volume dada, menghambat pergerakan diafragma ke bawah. Compliance dinding dada akan menurun, yaitu terjadi penurunan kemampuan elastisitas dada dan perut akibat saluran pernapasan yang tertutup. Kondisi-kondisi tersebut di atas akan mengakibatkan penurunan volume dan kapasitas vital paru, kekuatan otot
pernapasan, serta bertambahnya ruang rugi pernapasan. Tahanan sistem pernapasan meningkat karena diameter saluran nafas yang lebih kecil yang dihubungkan dengan penurunan volume paru. Beberapa penderita obesitas dapat mengalami hipoksia karena terjadi ketidaksesuaian antara ventilasi dan perfusi paru, terutama pada penderita dengan kemampuan pengembangan basal paru yang jelek. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa ada korelasi negatif antara kapasitas vital paksa (KVP) dan volume ekspirasi paksa detik 1 (VEP1) dengan
obesitas sentral atau overweight, yaitu VEP1 dan KVP yang rendah atau kelainan
paru restriktif [25–28]. Selain itu, obesitas akan meningkatkan beban kerja dan metabolisme sel tubuh, sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kebutuhan oksigen ini berakibat terbentuknya reactive oxygen species (ROS) atau radikal bebas dalam bentuk superoksida, radikal hidroksil, dan hidrogen peroksida. Substansi-substansi ini berasal dari meningkatnya respirasi mitokondria dan lepasnya elektron dalam rantai transpor elektron, sehingga terbentuk radikal superoksida.[29] Penumpukan lemak yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan sel, sehingga meningkatkan kadar sitokin seperti interleukin-6 dan TNF-alfa, penurunan kadar adiponektin dan akhirnya meningkatkan risiko inflamasi sistemik.[25,29]
Penelitian WSE yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of
Instruction of Aerospace Medicine (CIMA) terhadap 161 anggota pasukan tempur
angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki, dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA dan kai-kuadrat dengan P<0,05, mendapatkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara WSE dan IMT.[5]
2.7.1.3 Kesamaptaan jasmani
Perubahan sistem kardiorespirasi pada latihan yang bersifat aerobik umumnya berpengaruh pada sistem transportasi oksigen. Perubahan ini terutama terlihat pada:
- Perubahan ukuran jantung. Umumnya individu yang terlatih akan mempunyai volume rongga jantung yang lebih besar dan tebal dinding jantung tetap
- Penurunan denyut nadi per menit. Penyebabnya diperkirakan adanya peningkatan tonus parasimpatis atau penurunan tonus simpatis.
- Peningkatan volume darah dan hemoglobin. Pada beberapa penelitian didapatkan adanya peningkatan volume darah setelah melakukan latihan aerobik selama beberapa waktu. Sedangkan untuk hemoglobin terjadi peningkatan jumlah hemoglobin total per kgBB.
-Peningkatan besar otot dan densitas kapiler. Hal ini akan meningkatkan kemampuan pemakaian oksigen oleh otot.[30]
Penelitian yang dilakukan oleh Rahadyan dkk tahun 2007 di Lakespra Saryanto terhadap 122 subyek terlatih (perwira muda lulusan Akademi Angkatan Udara) dan 25 subyek tak terlatih (lulusan siswa SMU) dengan parameter terlatih Left
Ventricular End Diastolic Diameter (LVEDD) pada simulasi ketinggian RUBR
25000 kaki, serta analisis data dilakukan dengan uji-t independen untuk data kontinu dan uji kai-kuadrat (uji x2) untuk data nominal, mendapatkan bahwa LVEDD mempunyai hubungan bermakna dengan WSE (OR 0,156 (95% CI 0,046 – 0,527). Kelompok dengan LVEDD ≥ 4,85 cm mempunyai risiko 3,0 kali mengalami hipoksia (WSE < 4 menit) dibandingkan kelompok dengan LVEDD < 4,85 cm , (OR 3,0 (95% CI 95% 1,52 – 5,99).[7]
2.7.1.4 Umur
Dengan bertambahnya umur, akan terjadi penurunan kapasitas kemampuan aktivitas fisik. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kecepatan maksimal penggunaan oksigen atau VO2maks. Berkurangnya VO2maks ini disebabkan oleh
berkurangnya curah jantung atau maldistribusi curah jantung yang nampak hingga umur pertengahan [31]. Selain itu, fungsi paru juga akan mengalami penurunan. Penelitian Stanojevic dkk tahun 2007 mendapatkan terjadi penurunan rasio VEP1/KVP yang sesuai umur.[32] Penelitian yang dilakukan oleh Rochat M dkk
pada tahun 2013 mendapatkan bahwa VEP1 pada pria mencapai puncaknya pada
umur 20 tahun dan mengalami penurunan dengan bertambahnya umur.[33] Penelitian WSE yang dilakukan oleh Lopez dkk tahun 1993-1999 di Centre of
angkatan darat Spanyol pada simulasi ketinggian RUBR 25000 kaki (7620 m), dan analisis data menggunakan uji-t independen, ANOVA,dan kai-kuadrat dengan P<0,05, mendapatkan bahwa kelompok umur 30-39 tahun mempunyai toleransi yang lebih baik terhadap hipoksia dibandingkan kelompok umur yang lebih muda maupun lebih tua.[5]
2.7.2 Faktor-faktor Lain 2.7.2.1 Self-imposed factor
Kabin bertekanan dirancang pada ketinggian kurang dari 10000 kaki (3048 m), yang merupakan ketinggian di mana tubuh masih dapat beradaptasi dengan berkurangnya tekanan udara pernapasan. Namun, adanya self-imposed factors
akan dapat meningkatkan ketinggian fisiologis. Sebagai contoh, ketinggian sebenarnya 10000 kaki (3048 m), namun dengan adanya self imposed factors, tubuh akan bereaksi sesuai dengan ketinggian 13000 kaki (3962 m). Beberapa
self-imposed factors adalah:
a. Alkohol
Alkohol dalam tubuh dapat mengakibatkan hipoksia histotoksik karena alkohol merupakan toksin bagi sel. Telah dilakukan penelitian jika satu ons alkohol sebanding dengan ketinggian fisiologis 2000 kaki (610 m). Alkohol menghambat pengambilan oksigen dan metabolisme pada tingkat seluler, dan tergantung pada jumlah toksin yang beredar dalam sirkulasi tubuh. Selanjutnya efek depresan dari alkohol akan mengaburkan pengenalan penerbang terhadap hipoksia, sehingga mengurangi toleransi terhadap hipoksia. Seseorang yang mengalami kelelahan mental dan fisik mempunyai toleransi buruk terhadap alkohol karena mengalami penurunan kinerja.[2] Penelitian yang dilakukan Van de Borne dkk mendapatkan bahwa alkohol tidak mempengaruhi ventilasi dan respons simpatis terhadap hipoksia dan hiperkapnia, namun terjadi penurunan saturasi O2 sekitar 4% akibat
berkurangnya afinitas O2 terhadap Hb.[34]
b. Kelelahan merupakan salah satu gejala hipoksia, sulit untuk membedakannya dengan hipoksia. Penerbang akan sering salah mengartikan
bahwa kelelahan yang dialaminya bukan gejala hipoksia dan tidak mempertimbangkan tindakan pencegahannya.[11]
c. Merokok
- Karbon monoksida dari rokok, baik dari perokok aktif maupun pasif, merupakan ancaman besar pada penerbang perokok. Karbon monoksida mempunyai afinitas terhadap hemoglobin 210-250 kali lebih besar daripada oksigen, sehingga dapat menyebabkan hipoksia hipemik. Bersama dengan alkohol, merokok tiga batang secara cepat atau merokok 20-30 batang dalam 24 jam sebelum merokok dapat meningkatkan saturasi COHb 8-10 persen. Sekitar 20% perokok akan mengalami suatu
smoker’s night vision meskipun berada pada ketinggian permukaan laut.
Karena karbon monoksida dapat disetarakan dengan penambahan ketinggian 3000-5000 kaki (924-1524 m).[11]
- Tar merupakan residu dari pembakaran tembakau pada rokok, dan merupakan agen utama penyebab keganasan. Tar dapat mengakibatkan destruksi membran mukosa saluran pernapasan. Selain itu dapat mempengaruhi proses pembersihan paru dan mengganggu oksigenasi sehingga akan mengurangi toleransi terhadap hipoksia.[2]
Gambar 2.3 Perbandingan saturasi COHb pada penerbang perokok dan bukan perokok (ketinggian dikalikan 1000 kaki)
Sumber: Reinhart RO. Basic Flight Physiology. 3rd ed. New York: The McGraw Hill Companies; 2008
- Nikotin merupakan zat yang poten yang dapat mempengaruhi fungsi jaringan saraf dan otot. Beberapa jenis rokok mengandung 10-20 mg nikotin, di mana 2,3 mg di antaranya akan diabsorbsi saat inhalasi, 1,5 mg akan diabsorbsi melalui membran mukosa mulut bila tidak dihisap. Dosis 2,5 mg nikotin per oral dapat mengakibatkan mual, dan dosis 50-60 mg bersifat letal. Merokok 2 pak dalam satu hari akan mendapat dosis lebih besar daripada yang disebutkan di atas, namun jarang dilaporkan adanya efek nikotin tersebut, kemungkinan karena detoksifikasi nikotin yang cepat dan adanya peningkatan toleransi.[2]
Penelitian WSE yang dilakukan oleh Ribeiro dkk tahun 1999 terhadap 43 orang anggota angkatan udara Portugis (33 bukan perokok, 10 perokok), mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan WSE yang bermakna antara kelompok perokok dan bukan perokok.[6]
2.7.2.2 Ketinggian dari permukaan laut
Semakin tinggi dari permukaan laut (baik dengan kabin bertekanan maupun tidak), semakin besar risiko hipoksia. Oleh karena itu kabin bertekanan pesawat terbang umumnya diatur setara ketinggian 8000 kaki (2438 m). Ketinggian kabin bertekanan yang lebih dari 8000 kaki (2438 m) akan mengakibatkan awak pesawat mengalami hipoksia. Tekanan parsial oksigen menurun saat naik ke ketinggian, sedangkan penerbang harus mendapat oksigen yang cukup bagi metabolisme sel tubuh. Pengaturan tekanan kabin pada ketinggian maksimal 8000 kaki (2438 m) merupakan salah satu cara untuk mencegah hipoksia.[11]
2.7.2.3 Kecepatan ascent
Naik ke ketinggian dari permukaan laut membutuhkan penyesuaian tubuh yang dapat mengurangi efek hipoksia dan mempertahankan fungsi sel akibat berkurangnya PiO2. Proses ini disebut dengan aklimatisasi, yang merupakan
proses yang kompleks dan melibatkan hampir semua sistem organ. Prinsip-prinsip utama yang terjadi selama proses aklimatisasi adalah [10,19,35]:
a. Peningkatan ventilasi paru. Peningkatan ventilasi paru yang mendadak saat naik ke ketinggian akan menurunkan jumlah CO2, sehingga PCO2 turun.
Akibatnya akan terjadi penekanan kemoreseptor pusat pernapasan di batang otak, berlawanan dengan efek PO2 yang rendah akan merangsang
pernapasan melalui kemoreseptor perifer di badan karotis dan aorta. Efek penekanan terhadap pusat pernapasan akan menghilang dalam waktu 2-5 hari, dan ventilasi meningkat sekitar lima kali normal.
b. peningkatan jumlah sel darah merah. Proses ini dirangsang oleh eritropoetin sebagai respons terhadap berkurangnya O2 ke ginjal. Peningkatan jumlah sel
darah merah akan meningkatkan kemampuan darah mengangkut O2.
c. Peningkatan kapasitas difusi paru. Disebabkan karena peningkatan jumlah volume darah kapiler paru dan udara dalam paru sehingga kapiler tersebut melebar. Pelebaran ini menambah luas permukaan kapiler tempat berlangsungnya difusi.
e. Peningkatan produksi 2.3 DPG sehingga O2 lebih mudah dilepaskan dari Hb
di jaringan.
d. Peningkatan vaskularisasi jaringan perifer, sehingga mengurangi jarak yang harus ditempuh O2 ketika berdifusi dari darah ke dalam sel
f. Peningkatan jumlah mitokondria sel sehingga kemampuan sel dalam menggunakan O2 semakin efisien walaupun nilai PO2 rendah.
Proses penyesuaian ini berbeda-beda pada masing-masing individu maupun populasi. Apabila waktunya mencukupi, hampir setiap individu mampu melakukan aklimatisasi hingga ketinggian 5500 m (18.045 kaki). Di atas ketinggian ini, terjadi penurunan progresif fungsi organ tubuh yang melampaui kemampuan tubuh untuk melakukan kompensasi.[10,36] Menurut Calleja, faktor adaptasi terhadap ketinggian dari permukaan laut dapat dianggap konstan dan dapat diterapkan atau digunakan untuk ketinggian berapa pun. Lama proses adaptasi ini dapat dihitung dengan rumus :
Lama di ketinggian (hari) = 11,4 x ketinggian (Km)
Sebagai contoh, untuk beradaptasi pada ketinggian 2500 meter, maka diperlukan 11,4 x 2,5 = 28,5 hari.[37]
Semakin cepat naik ke ketinggian, toleransi individu terhadap hipoksia semakin kurang efektif. Akibat dari cepatnya naik ke ketinggian, sering seorang penerbang menjadi kurang waspada terhadap gejala hipoksia. Kurangnya pengalaman terhadap perubahan gejala-gejala tubuh sering membuat penerbang mengalami inkapasitansi mendadak.[11]
2.7.2.4 Lama pajanan
Berada pada ketinggian 8000 kaki (2438 m) selama beberapa jam tanpa suplemen oksigen dapat mengakibatkan gejala seperti berada pada ketinggian 16000 kaki 4867 m) selama setengah jam. Gejala yang terjadi berhubungan dengan waktu namun sangat tidak dapat diperkirakan. Semakin tinggi dari permukaan laut, semakin singkat waktu untuk terjadinya hipoksia.[11]
Kemajuan teknologi penerbangan, terutama teknologi kabin bertekanan, memungkinkan pesawat terbang mampu terbang hingga ketinggian lebih dari 30000 kaki( 914 m) dengan tekanan dalam kabin dapat tetap dipertahankan setara ketinggian 6000-8000 kaki (1829-2438 m). Tekanan udara dalam kabin dengan ketinggian tersebut 560-590 mmHg, tidak dapat dipaksakan tekanannya sesuai permukaan laut (760 mmHg) karena memerlukan kompresor oksigen yang besar dan kemungkinan terjadi ledakan. Besarnya tekanan udara yang tidak sebesar tekanan udara permukaan laut mengakibatkan lingkungan kabin pesawat terbang menjadi hipobarik, namun dengan tekanan udara ini manusia masih dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap kekurangan oksigen. Dengan kondisi ini maka penerbang atau awak pesawat lain sering terpajan oleh hipoksia hipobarik.[38] Semakin sering terbang, maka semakin sering seorang awak pesawat terpajan oleh hipoksia hipobarik.
Pajanan hipoksia hipobarik intermiten dapat merangsang proses aklimatisasi dan meningkatkan ketahanan aerobik manusia. Casas dkk melakukann penelitian hipoksia hipobarik intermiten disertai latihan fisik intensitas rendah dalam RUBR tahun 2000 terhadap 6 orang pendaki gunung selama 17 hari di Barcelona Spanyol, dengan simulasi ketinggian 4000-5500 kaki (1200- 1665 m). Pajanan
Penelitian ini mendapatkan hasil terjadi kenaikan bermakna pada ventilasi paru maksimal, VO2maks, packed cell volume (PCV), jumlah sel darah merah dan
kadar Hb. Subyek pada penelitian ini mengalami adaptasi terhadap ketinggian, dan yang dianggap terpenting adalah adaptasi sistem transpor O2.[39]
2.7.2.5 Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang meningkat akan meningkatkan kebutuhan oksigen bagi tubuh. Seorang penerbang dapat mempunyai risiko tinggi mengalami hipoksia selama penerbangan, misalnya karena tidak berfungsinya autopilot dan harus terbang manual dalam cuaca buruk yang tentu saja lebih banyak memerlukan aktivitas fisik. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bagi awak pesawat lain yang memerlukan lebih banyak tenaga selama penerbangan seperti pramugari dan load
master militer.[11]
2.7.2.6 Suhu lingkungan
Suhu lingkungan dalam kokpit yang ekstrem, terutama pada pesawat yang berbadan kecil dan mempunyai pengaturan kabin bertekanan yang jelek, akan menurunkan toleransi tubuh terhadap kurangnya oksigen. Suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan toleransi hipoksia.[11,40] Suhu lingkungan yang atau kelembaban udara yang tinggi, disertai berkurangnya kerapatan udara akan sedikit menurunkan tekanan parsial oksigen. Sedangkan kenaikan suhu tubuh akan meningkatkan metabolisme sehingga kebutuhan oksigen bertambah. Akibatnya toleransi terhadap hipoksia menurun, dan dapat terjadi hipoksia pada ketinggian yang rendah.[11,41]
2.8 Kerangka Konsep
Gambar 2.4. Kerangka konsep penelitian
BAB 3
METODE
3.1 Hasiljadi dan faktor risiko
3.1.1 Definisi (lengkap) hasiljadi dan metode diagnostiknya
Waktu sadar efektif adalah waktu yang dimiliki oleh seseorang saat mulai terjadi penurunan tekanan oksigen hingga saat dia kehilangan kemampuan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindakan yang diperlukan sesuai situasi dan kondisi, seperti memakai masker oksigen atau menurunkan ketinggian pesawat terbangnya.[11] Dalam penelitian ini kemampuan yang dinilai adalah melakukan penjumlahan sederhana dua digit susun ke bawah.
3.1.1.1 Persyaratan pengukuran WSE
Pengukuran WSE dilakukan saat subyek melakukan latihan hipoksia di RUBR. Persyaratan untuk mengikuti latihan hipoksia sesuai ketentuan Lakespra Saryanto adalah sebagai berikut [42]:
a. Sehat fisik dan mental
b. Telah melaksanakan pemeriksaan radiologi (foto thorax) dan hasilnya dinyatakan normal.
c. Telah melaksanakan pemeriksaan THT dan hasilnya dinyatakan normal. d. Telah melaksanakan pemeriksaan spirometri dan hasilnya dinyatakan normal, e. Telah melaksanakan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan hasilnya
dinyatakan normal
f. Melaksanakan sinus check di ketinggian 5000 kaki (1524 m). Bila tidak ada keluhan dilanjutkan sesuai kebutuhan.
g. Bila ada keluhan seperti: hipoksia, trapped gas (sinus block, ear block,
aerodontalgia) dan evolved gas dirujuk ke dokter ahli sesuai kelainan tersebut
disertai surat pengantar pasien.
h. Sebelum dan setelah melaksanakan latihan RUBR tidak melaksanakan aktivitas fisik yang berat (12 jam).
3.1.1.2 Prosedur Pengukuran WSE.
Pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh petugas terlatih, yang terdiri dari operator RUBR, pengawas dalam dan pengawas luar, perawat udara serta petugas administrasi, dan diawasi oleh dokter spesialis penerbangan atau flight surgeon. Prosedur pengukuran WSE dalam RUBR adalah sebagai berikut [42,43]:
a. Subyek telah melaksanakan persyaratan pemeriksaan fisik (foto thorax, EKG, spirometri, dan THT) dengan hasil normal.
b. Subyek mendapat penjelasan singkat tentang hipoksia dan tata cara pelaksanaan latihan di RUBR.
c. Setelah mendapat penjelasan, kemudian subyek masuk ke dalam RUBR, dan mengikuti prosedur rutin persiapan latihan, yaitu
- Mengisi data subyek sesuai nomor urut kursi dengan tujuan untuk mempermudah dalam melakukan evaluasi subyek.
- Sebelum dimulai latihan subyek mendapat arahan dari operator RUBR tentang pelaksanaan profil latihan yang akan dilaksanakan.
- memakai helm dan mengecek fungsi alat komunikasi pada masing-masing helm.
- Memasang masker oksigen dan dan melakukan PRICE CHECK
(Pressure, Regulator, Indicator, Connector, dan Emergency)
- Memasang pulse oxymetri (pada ibu jari tangan kiri).
d. Dilakukan prosedur sinus check, yaitu naik ke ketinggian 5000 kaki (1524 m), kemudian turun lagi, untuk mengetahui apakah ada subyek yang mengalami keluhan nyeri pada sinus paranasalis. Bila ada, tidak diizinkan mengikuti latihan selanjutnya.
e. Latihan dimulai dengan naik ke ketinggian 25000 kaki (7620 m). Pada ketinggian ini masker oksigen dilepas dan subyek diminta mengerjakan soal penjumlahan angka dua digit secara vertikal.
f. Waktu sadar efektif dihitung mulai dari saat masker oksigen dilepas. Titik akhir WSE ditentukan ketika subyek salah menjawab dua nomor berturut-turut atau diam tidak mengerjakan soal selama 15 detik atau tidak melaksanakan perintah pengawas dan pengawas segera memakaikan kembali
g. Pada titik akhir WSE dicatat saturasi oksigen dan denyut nadi. h. Satuan WSE dinyatakan dalam detik.
i. Setelah seluruh subyek selesai dicatat WSE-nya dan memakai masker oksigen, kembali ke ketinggian sesuai permukaan laut.
Gambar 3. Profil ruang udara bertekanan rendah Keterangan gambar:
ABC : Sinus check
CD : Naik ke ketinggian 25000 kaki dengan kecepatan 5000 kaki/menit DE : Demonstrasi hipoksia masal selama 5 menit
EF : kembali ke ketinggian permukaan laut dengan kecepatan 3000-5000 kaki/menit
Ruang Udara Bertekanan Rendah (RUBR) yang digunakan adalah buatan
Environmental Tectonics Corporation International. Alat ini merupakan alat
simulasi pengenalan reaksi tubuh saat terpajan ketinggian.
3.1.2 Definisi pajanan utama dan metode diagnostiknya
Hemoglobin (Hb) adalah zat protein yang terdapat dalam eritrosit yang memberikan warna merah pada darah, fungsi utamanya adalah sebagai
pengangkut oksigen. Pada laki-laki dewasa kadar normal adalah 13,5-18,0 g/dL dan perempuan 12-16 g/dL.[44,45]
Data kadar hemoglobin diambil dari data hasil pemeriksaan laboratorium subyek yang bersangkutan saat melaksanakan pemeriksaan kesehatan pendahuluan di aeroklinik Lakespra Saryanto. Sebelum pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium, subyek diwajibkan berpuasa minimal 10 jam.
3.2 Metode
3.2.1 Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang dengan analisis regresi linier bivariat dan multivariat untuk membuktikan kecenderungan secara signifikan antara WSE dengan faktor-faktor risiko. Bila variabel faktor risiko mempunyai nilai p<0,25, maka akan dipilih sebagai kandidat potensial untuk disertakan dalam analisis multivariat.[46]
Untuk membuat prediksi hasiljadi (WSE), digunakan rumus umum [46]:
Y = konstanta + β1X1+ β2X2+ β3X3+ β4X4 (3.1)
Keterangan: Y : hasiljadi
β : koefisien regresi X : faktor risiko
3.2.2 Perhitungan jumlah sampel
Data variabel hasiljadi (WSE) adalah waktu (detik) yang merupakan data kontinu. Data faktor risiko:
a. Kadar Hb : kontinu b. Indeks masa tubuh : kontinu
c. Umur : kontinu
d. Kesamaptaan jasmani : kontinu e. Jam terbang : kontinu
Jenis data hasiljadi maupun faktor risiko adalah kontinu, dengan demikian uji hipotesis dilakukan dengan analisis regresi linier.
Jumlah sampel minimal untuk analisis regresi linier ditentukan dengan: - kesalahan α 0,05 (dua arah)
- kesalahan β 0,20 (20%)
- koefisien korelasi (r) 0,25, karena nilai r 0,25 merupakan r terkecil yang masih dapat menghasilkan korelasi yang bermakna.[47]
Berdasarkan tabel perhitungan jumlah sampel untuk analisis korelasi diperoleh jumlah sampel minimal adalah 123 orang.[48] Dengan demikian dalam penelitian ini dibutuhkan sampel sebanyak 1,10 X 123 orang = 136 orang.
3.2.3 Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian : Lakespra Saryanto Jakarta. Waktu penelitian : 19 - 30 Mei 2014.
3.2.4 Populasi penelitian
Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. 1) Calon awak pesawat yaitu :
a. calon penerbang Prajurit Sukarela Dinas Pendek (PSDP) TNI. Pendidikan Pertama PSDP Penerbang TNI merupakan salah satu pendidikan pertama perwira TNI bagi warga negara terpilih lulusan SMA/sederajat untuk dididik menjadi perwira penerbang TNI.[49] Persyaratan calon penerbang PSDP di antaranya adalah [50,51]:
- Warga Negara Indonesia Pria, bukan Prajurit TNI, anggota Polri dan PNS
- Tinggi Badan minimal 165 cm dan panjang kaki minimal 100 cm. - Berusia antara 17-22 tahun.
- Sehat jasmani, rohani, dan tidak berkacamata. Seleksi calon meliputi seleksi daerah dan pusat.
(1) Seleksi daerah dilakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia dan dibagi menjadi beberapa Panitia Daerah (Panda), yaitu NAD, Sumbagut, Riau, Sumbagsel, Jabar, Jateng, DIY, Surabaya, Madiun, Kalimantan Tim-Sel, Sulawesi, Bali dan Nusra, Ambon,
Papua, DKI Jaya, Kalimantan Bar-Teng, mantan Catar. Materi yang diujikan antara lain adalah pemeriksaan kesehatan I dan II, serta kesamaptaan jasmani. Bagi yang dinyatakan lulus seleksi daerah akan mengikuti seleksi pusat.
(2) Tingkat pusat di laksanakan oleh Panitia pusat (Panpus) di Wingdikum Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta dan Lanud Adisutjipto Yogyakarta, dengan materi uji antara lain pemeriksaan kesehatan III, psikologi penerbangan, kesamaptaan jasmani, dan antropometrik.
Untuk pemeriksaan kesehatan III di Jakarta, dilaksanakan di Lakespra Saryanto. Materi seleksi kesehatan ini meliputi :
- Pemeriksaan kesehatan umum :anamnesis, pemeriksaan fisik, jantung (treadmill), pemeriksaan laboratorium, mata, THT, saraf, spirometri, radiologi.
- Indoktrinasi latihan aerofisiologis, yaitu pengenalan hipoksia dengan RUBR dan mabuk gerak dengan kursi barany. Syarat untuk dapat mengikuti latihan RUBR sama dengan persyaratan pada awak pesawat, yaitu tidak ada kelainan paru, jantung, dan THT.
b. Calon penerbang TNI AD (Penerbad)
Berasal dari bintara organik TNI AD dengan persyaratan antara lain : - minimal berpangkat sertu maksimal serka,
- berbadan sehat, tidak bertato dan lulus pemeriksaan kesehatan, - usia 26-30 tahun
- Tinggi badan minimal 165 cm, berat badan seimbang - Panjang kaki minimal 100 cm
- Tidak berkacamata
Seleksi kesehatan tahap I di laksanakan di beberapa daerah dengan materi seleksi meliputi : fisik diagnostik, mata, telinga (audiometri), paru (spirometri, THT, rontgen, laboratorium, dan rekam jantung atau EKG). Seleksi kesehatan yang dilaksanakan di Lakespra Saryanto merupakan
seleksi kesehatan tahap II, dengan materi seleksi sama dengan calon penerbang PSDP.
2) Awak pesawat militer
Adalah awak pesawat (penerbang, navigator, JMU, load master) militer yang melaksanakan ILA di Lakespra Saryanto. Untuk penerbang tempur dilaksanakan setiap 2 tahun sekali, penerbang pesawat angkut dan helikopter setiap 3 tahun sekali, dan awak pesawat lain setiap 4 tahun sekali. Pelaksanaan ILA berdasarkan surat perintah komandan lanud setempat.[52] Dalam kerangka konsep disebutkan terdapat beberapa faktor risiko yang tidak diteliti. Hal ini disebabkan karena data diambil dari data:
- calon siswa penerbang yang telah melakukan ILA sebelum penyusunan proposal penelitian. Seleksi kesehatan dilaksanakan tanggal 7-11 Januari 2014. - Jumlah awak pesawat yang melaksanakan ILA setiap bulan rata-rata 15-20
orang. Rencana jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah 136 orang. Bila harus memenuhi jumlah sampel minimal, maka diperlukan waktu sekitar 7 bulan. Sebagian data diambil dari pelaksanaan ILA mulai Januari – Mei 2014.
3.2.5 Cara identifikasi subyek
Subyek penelitian adalah calon awak pesawat dan awak pesawat militer yang melaksanakan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologis (ILA) Lakespra Saryanto.
3.2.5.1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi subyek penelitian adalah calon atau awak pesawat militer dengan ketentuan:
a. melaksanakan pemeriksaan kesehatan dan ILA
b. bersedia berperan serta dalam penelitian ini dengan menandatangani formulir persetujuan penelitian.
3.2.5.2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi subyek penelitian adalah calon atau awak pesawat yang:
a. tidak melaksanakan pemeriksaan kesehatan umum secara lengkap, termasuk laboratorium dan uji latih jantung.
b. tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia dalam RUBR
3.3 Penyajian Data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk penulisan ilmiah secara narasi dan tabular.
3.4. Faktor risiko lain dan definisi operasional
3.4.1 Umur
Umur adalah umur subyek saat dilakukan penelitian, dinyatakan dalam tahun. Data umur diperoleh dari rekam medis subyek yang bersangkutan atau dari kuesioner.
3.4.2 Indeks masa tubuh (IMT)
Merupakan hasil pengukuran antropometrik pada kombinasi berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m), dinyatakan dengan satuan kg/m2.
Metode yang digunakan adalah dengan mengukur : a. Tinggi badan, satuannya adalah meter
b. Berat badan, satuannya adalah kilogram Perhitungan IMT:
IMT = BB /TB2 (3.2)
Keterangan :
- BB = berat badan (kg) - TB = tinggi badan (meter)
Data berat badan dan tinggi badan subyek penelitian diambil dari data hasil pemeriksaan kesehatan berkala yang dilakukan sebelum melaksanakan ILA. Berat
dan tinggi badan diukur oleh petugas di ruang pemeriksaan umum dengan alat
SMIC health care.
3.4.3 Kesamaptaan jasmani
Kesamaptaan jasmani adalah kondisi fisik yang mampu mengatasi beban kerja dan menyelesaikan tugas dengan baik tanpa mengalami kelelahan yang berarti dan masih memiliki cadangan tenaga yang cukup untuk menghadapi beban tambahan apabila diperlukan.[53]
Tingkat kesamaptaan jasmani yang diukur adalah kesamaptaan aerobik dengan cara menghitung VO2maks dari hasil uji latih jantung yang dilakukan oleh subyek
penelitian. Uji latih jantung dilakukan satu hari sebelum kegiatan di RUBR, dilakukan dengan metode Bruce dan dalam pengawasan seorang spesialis jantung. Untuk menentukan VO2maks dari hasil uji latih jantung digunakan
persamaan[54]:
VO2maks = 14,8-(1,379 X t) + (0,451 X t2) – (0,012 X t3) (3.3)
Keterangan : t = waktu (menit), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk melakukan uji latih jantung.
3.4.4 Jam terbang
Jam terbang adalah total waktu pergerakan pesawat terbang sejak mesin dihidupkan untuk tujuan lepas landas sampai penerbangan selesai dan mesin dimatikan.[55] Data jam terbang awak pesawat diperoleh dari hasil anamnesis saat pemeriksaan kesehatan.
3.5. Etika penelitian
Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam pelaksanaan sebuah penelitian mengingat penelitian kesehatan akan berhubungan langsung dengan manusia, sehingga segi etika penelitian harus diperhatikan demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta hak asasi manusia.
Pertama-tama dilakukan penjelasan kepada calon subyek penelitian mengenai identitas peneliti, tujuan penelitian dan manfaatnya terutama bagi calon subyek penelitian sendiri. Kemudian diberikan penjelasan mengenai latar belakang dipilihnya topik WSE dan kepentingannya bagi dunia penerbangan, faktor-faktor yang mempengaruhi WSE sesuai dengan kepustakaan, serta hipotesis yang diajukan. Untuk memperlancar pelaksanaan penelitian dijelaskan mengenai : 1) Prosedur penelitian, mulai dari penjelasan sebelum penelitian, hingga
penelitian selesai, termasuk bila mungkin timbul dampak atau risiko akibat penelitian.
2) Risiko penelitian dan tindakan untuk mencegah atau menguranginya, yaitu seperti yang terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Risiko penelitian dan tindakan pencegahannya
RISIKO TINDAKAN
1. Fisik
- Hipoksia
- Ear block
- Sinus block
- Hipoksia diatasi dengan suplemen oksigen, dan dilatih cara-cara pemakaian masker oksigen.
- Untuk mencegah sinus atau ear block dilakukan
sinus check terlebih dahulu pada ketinggian 5000
kaki sebelum latihan dimulai. Bagi yang mengalami
sinus atau ear block, tidak dapat mengikuti
penelitian.
- Untuk mencegah sinus atau ear block selama penelitian diberi penjelasan dan latihan tentang manuver valsava.
- Apabila mengalami sinus atau ear block selama penelitian saat turun ke ketinggian permukaan laut, maka akan diterbangkan pada ketinggian tertentu yang lebih tinggi sampai tidak terasa sakit. Setelah itu baru turun kembali dengan kecepatan 1000-2000 kaki per detik.
- Apabila peserta tidak dapat melanjutkan penelitian, akan di bawa ke lock chamber (di samping chamber utama) untuk diturunkan pada ketinggian permukaan laut, dan diberi pertolongan medis sesuai keluhan dan gejala yang dialami.
2. Psikologis Memberikan penjelasan tentang prosedur penelitian, risiko, serta penanganan bila terjadi efek samping. 3. Sosial Tidak ada risiko sosial, karena tidak akan
mempengaruhi karier pekerjaan.
3) Penelitian memerlukan data dari hasil rekam medis dan hasil latihan aerofisiologi yang akan dilakukan oleh calon subyek, tanpa merubah prosedur pelaksanaan ILA.
Kerahasiaan harus tetap terjaga dengan cara merubah identitas calon subyek penelitian dengan kode-kode tertentu sehingga tidak semua orang dapat mengakses data penelitian. Diberikan juga kesempatan kepada calon subyek untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas baik secara langsung maupun melalui telepon kepada peneliti.
Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat sukarela tanpa paksaan siapa pun, dan apabila menolak berpartisipasi tidak akan mendapat sangsi apa pun. Apabila calon subyek memutuskan untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian, diminta untuk menandatangi formulir persetujuan setelah penjelasan.
BAB 4
HASIL
4.1 Silsilah subyek
Pengambilan data dilakukan di Lakespra Saryanto pada tanggal 19-30 Mei 2014. Data yang diambil adalah data hasil pelaksanaan ILA periode Januari – Mei 2014. Selama Periode ini terdapat 183 peserta ILA dengan perincian: 92 calon siswa PSDP, 16 calon Penerbad, 42 orang penerbang dan navigator, 16 siswa penerbang PSDP, serta 17 orang juru mesin udara (JMU). Setelah dilakukan pemeriksaan data-data hasil pelaksanaan ILA, 25 orang dikeluarkan dari penelitian karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung. Dengan demikian data yang dianalisis sebanyak 158.
Tabel 4.1 Silsilah subyek penelitian
Subyek penelitian Jumlah
Calon dan awak pesawat yang melaksanakan ILA 183 Tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR 10
Tidak melaksanakan uji latih jantung 15
Jumlah memenuhi syarat 158
4.2 Profil subyek penelitian
Subyek penelitian terbanyak adalah sipil atau calon siswa penerbang PSDP sebesar 57%, dan kualifikasi terbanyak adalah calon penerbang sebesar 65,8% (Tabel 4.2)
Tabel 4.2 Karakteristik subyek penelitian (n=158) Jumlah % Pangkat Kolonel 3 1,9 Letkol 3 1,9 Mayor 3 1,9 Kapten 10 6,3 Lettu 6 3,8 Letda 14 8,9 Bintara 15 9,5 Sipil 90 57,0 Siswa 14 8,9 Kualifikasi Calon penerbang 104 65,8 Penerbang 34 21,5 Navigator 4 2,5
Juru mesin udara 2 1,3
Siswa penerbang 14 8,9
Tabel 4.2 menunjukkan umur subyek termuda adalah 18 tahun, tertua 46 tahun, dengan rata-rata 23,09 tahun. Jam terbang paling sedikit 0 jam, terbanyak adalah 6000 jam, rata-rata 371,49 jam.
4.3. Analisis univariat
Terdapat 6 subyek yang mempunyai kadar Hb di bawah normal (13 g/dL) dan 1 subyek di atas normal (18g/dL). Namun, secara keseluruhan kadar Hb subyek rata-rata normal (14,99 g/dL%). Indeks masa tubuh (IMT) berkisar normal hingga overweight, dengan rata-rata 22,72 kg/m2 . Variabel yang paling bervariasi adalah jam terbang, sedangkan yang paling tidak bervariasi kadar Hb.
Tabel 4.3 Sebaran umur, jam terbang, Hb, IMT, VO2maks dan waktu sadar
efektif subyek (n=158)
Min Maks Rata-rata
Simpang baku
Koefisien variasi Umur subyek (tahun) 18 46 23,09 6,245 27,05 Jam terbang (jam) 0 6000 371,49 1004,900 270,51
Kadar Hb (g/dL) 13 18 14,99 0,894 5,97
Indeks masa tubuh (kg/m2) 19 29 22,72 2,277 10,02 VO2maks (ml/menit/kgBB) 30 67 47,78 5,875 12,30