• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN

NASIONAL

TESIS

PASKALIS GUNAWAN NPM 1006766895

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM JAKARTA

JANUARI 2015

(2)

PERBANDINGAN KESINTASAN, DAN EFEKTIVITAS BIAYA PASIEN GERIATRI DI RUANG RAWAT INAP AKUT RSCM PADA ERA SEBELUM DAN SELAMA JAMINAN KESEHATAN

NASIONAL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis-1

Ilmu Penyakit Dalam

PASKALIS GUNAWAN NPM 1006766895

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM JAKARTA

JANUARI 2015

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penelitian ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Spesialis-1 dalam bidang Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Dr.dr. Ratna Sitompul, SpM (K) sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ini yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjalani proses pendidikan di fakultas yang beliau pimpin.

Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD sebagai Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM sebagai Kepala Departemen Ilmu Penyakit Dalam atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mendapatkan pendidikan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

dr. Aida Lydia, PhD. SpPD, K-GH sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak memberi kesempatan, petunjuk dan saran selama pendidikan.

Dr.dr. Aru W. Sudoyo. SpPD, K-HOM sebagai Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam terdahulu yang telah memberikan kesempatan kepada saya sebagai peserta didik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSCM.

dr. Arya Govinda R, SpPD,K-Ger sebagai ketua divisi Geriatri yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan penelitian di divisi Geriatri

Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-Ger sebagai pembimbing penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD, K-Ger, MSc sebagai pembimbing penelitian sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

Siti Rizny F. Saldi Apt MSc sebagai pembimbing Metodologi Penelitian dan Statistik atas segala bimbingannya, sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini.

Prof. dr. Wiguno Prodjosudjadi, Ph.D, SpPD, K-GH dan dr. Cosphiadi Irawan, SpPD, K-HOM sebagai pembimbing akademis atas segala bimbingannya.

(8)

Penyakit Dalam.

 Para sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 di Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI / RSCM, khusunya teman-teman seangkatan dr. Arshita, dr. M. Ikhsan, dr. Hari, dr. Ika F, dr. Deka, dr. Resultanti, dr. Yusuf Aulia R, dr. Farid K, dr. Imelda Loho, dr. Ferry Valerian, dr. Dwi Rahayu, dr.

Raden Fidiaji, dr.M. Adli, dr. Diah Martina, dr. Fandy Erlangga, dr.

Amanda Trixie, dr. Suzy Maria, semoga kebersamaan dan persaudaraan kita terus terjalin sehingga kita semua menjadi dokter yang bermanfaat untuk masyarakat.

Seluruh staf pendidikan PPDS-1 Ibu Yanti, Pak Heri dan Ibu Aminah yang telah banyak memberikan bantuan dan kerjasama selama menjalani pendidikan.

 Seluruh staf dan perawat di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam di RSCM, RS. Persahabatan, RSPAD Gatot Subroto, RS. Fatmawati, dan RSU.

Tangerang

Terima kasih orang tua saya tercinta Ayahanda Hardi Gunawan dan Ibunda Lenny Winata atas curahan kasih sayang, perhatian, dukungan, bantuan dan segala pengorbanan yang telah diberikan.

Kakak-kakak saya tercinta Paulina Novita dan Pricilla Yani serta adik saya tercinta Patricia Yulita atas segala kasih sayang, bantuan, dukungan, semangat dan doa yang tidak ternilai selama ini.

 Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan kepada saya selama ini. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan.

Jakarta, 23 Januari 2014

Paskalis Andrew Gunawan

(9)
(10)

Nama : Paskalis Gunawan

Program studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Judul : Perbandingan kesintasan, dan efektivitas biaya pasien geriatri di ruang rawat inap akut RSCM pada era sebelum dan selama Jaminan Kesehatan Nasional

Latar belakang :

Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G) telah menjadi standar pelayanan di RSCM karena terbukti menghasilkan luaran perawatan geriatri yang lebih baik.

Semenjak awal tahun 2014, di Indonesia diberlakukan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional. Belum diketahui apa pengaruh penerapan JKN terhadap kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri yang dirawat di RSCM.

Tujuan : Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektifitas biaya pasien geriatri pada era JKN dan non JKN yang dirawat di RSCM.

Metode : Penelitian menggunakan metode kohort retrospektif dengan kontrol historis. Sampel dikumpulkan dari pasien geriatri yang dirawat di RSCM selama periode Juli 2013-Juni 2014 yang kemudian dibagi menjadi kelompok JKN dan kelompok non JKN sebagai kontrol. Akan dinilai perbedaan kesintasan dengan kurva kesintasan dan efektifitas biaya perawatan dengan menghitung incremental cost effectiveness ratio (ICER).

Hasil : Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik demografis dan klinis yang relatif sama. Tidak ada perbedaan mortalitas selama perawatan dan kesintasan 30 hari antara kelompok JKN dan non JKN (31,2% vs 28%, p=0,602 dan 65,2% vs 66,4%, p = 0,086). Kurva kesintasan 30 hari antara kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan bermakna.

ICER memperlihatkan pada era JKN investasi biaya Rp. 1,4 juta,- terkait dengan penurunan kesintasan 1,2% dibandingkan kelompok non JKN, namun perbedaan tersebut tidak bermakna secara klinis dan statistik.

Simpulan : Tidak ada perbedaan bermakna angka mortalitas antara pasien geriatri yang dirawat di RSCM pada kelompok JKN dan non JKN. Perhitungan ICER menunjukkan dibutuhkan investasi biaya untuk memperoleh penurunan kesintasan pada penerapan JKN, namun perlu dipertimbangkan implentasi JKN yang masih dalam tahap awal. Diperlukan penelitian lanjutan saat implementasi JKN telah berlangsung dalam kurun waktu lebih panjang.

Kata kunci : efektifitas biaya, geriatri, JKN, kesintasan, mortalitas

(11)

Study Program : Internal medicine

Title : The comparison of survival, and cost effectiveness of geriatric patients admitted in Cipto Mangunkusumo Hospital before and during National Health Insurance Program (NHIP) implementation

Background : Comprehensive Geriatrics Assesment (CGA) has been proven to improve the overall outcome of inpatient geriatric patients, and has been implemented in RSCM as the standard geriatric medical care. Since January 2014, a new insurance system called National Health Insurance Program (NHIP) was implemented in Indonesia. It is unclear how NHI will affect survival and cost effectiveness of geriatric inpatients receiving CGA.

Objectives : To compare the survival and cost effectiveness betewwn NHIP and non NHIP era in geriatric patients admitted in RSCM.

Method : This is a retrospective cohort study with hystorical control. The subject were geriatric inpatients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli to Desember 2013 (non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). A survival analysis and determination of incremental cost effectivitveness ratio (ICER) was used to compare the survival and cost effectiveness between the two group.

Result : The clinical and demographics characteristics were relatively similar between the NHIP and non NHIP group. No difference in inhospital mortaliy rate and 30 day survival rate between NHIP and non NHIP group (31,2% vs 28%, p=0,602, 65,2% vs 66,4%, p = 0,086, respectively). No significant difference was found when comparing the survival curve between the two group. Calculation of ICER shows that NHIP is associated with an increased cost of 1,4 million rupiah and 1,2 % higher mortality rate.

Conclusion: NHIP had no impact on survival in geriatric inpatients. ICER calculation shows NHIP implementation is associated with higher investment cost to yield lower survival rate. Further research is needed to evaluate this result when NHIP had been implemented for a longer duration.

Key words : cost effectiveness, elderly, geriatric, mortality, survival

(12)

HALAMAN JUDUL ...i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ...iv

UCAPAN TERIMA KASIH...vi

HALAMAN PUBLIKASI ... viii

ABSTRAK...ix

ABSTRACT...x

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ...xiv

DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN...xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB 1. PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Penelitian ...1

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah...4

1.3 Pertanyaan Penelitian...4

1.4 Hipotesis ...4

1.5 Tujuan Penelitian ...4

1.5.1 Tujuan Umum ...4

1.5.2 Tujuan Khusus ...4

1.6 Manfaat Penelitian ...5

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1 Konsep Geriatri...6

2.2 Epidemiologi ...6

2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants...7

2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri...8

2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di Dunia...10

2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups...11

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia...13

2.8 Perbedaan Sistem JKN dengan Sistem Sebelumnya...16

2.9 Ekonomi Kesehatan ...19

2.10 Telaah Efektivitas Biaya ...23

2.11 Mortalitas Pasien Geriatri ...25

BAB 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP ...28

3.1 Kerangka Teori ...28

3.2 Kerangka Konsep...29

3.3 Definisi Operasional ...29

BAB 4. METODE PENELITIAN ...31

4.1 Desain Penelitian ...31

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian...31

(13)

4.4.2 Kriteria Eksklusi...32

4.5 Estimasi Besar Sampel...32

4.6 Identifikasi Variabel Penelitian...32

4.7 Instrumen dan Tatacara Pengumpulan Data ...33

4.8 Cara Pengambilan Sampel ...33

4.9 Alur Penelitian ...34

4.10 Analisis Data ...34

4.11 Masalah Etika...35

4.12 Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian...36

BAB 5. HASIL...37

5.1 Karakteristik Subjek...38

5.2 Karakteristik Klinis...39

5.3 Mortalitas dan Analisis Kesintasan...42

5.4 Biaya Rawat ...43

5.5 Analisis Efektivitas Biaya...45

BAB 6. PEMBAHASAN...47

6.1 Proses recriutment sub jek ...47

6.2 Karakteristik Demografis Subjek...47

6.3 Karakteristik Klinis...49

6.4 Mortalitas dan Analisis Kesintasan...51

6.5 Biaya Rawat ...55

6.6 Analisis Efektivitas Biaya...58

6.7 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ………59

6.8 Generalisasi Penelitian...60

BAB 7. SIMPULAN DAN SARAN...63

7.1 Simpulan ...63

7.2 Saran ...63

RINGKASAN ...64

SUMMARY ...66

DAFTAR PUSTAKA...68

LAMPIRAN ...73

(14)

Tabel 2.1 Bermacam Tipe Analisa Efektivitas Biaya 22

Tabel 3.1 Definisi Operasional 28

Tabel 5.1

Tabel 5.2

Gambaran Karakteristik Demografis pada Kelompok Non JKN dan Kelompok JKN

Gambaran Karakteristik Klinis selama Perawatan pada Kelompok Non JKN dan Kelompok JKN

38 41

Tabel 5.3 Biaya Perawatan Era Non JKN dan JKN 44

(15)

Gambar3.1 Kerangka Teori 27

Gambar 3.2 Kerangka Konsep 28

Gambar 4.1 Alur Penelitian 35

Gambar 5.1 Bagan Pengambilan Sampel 38

Gambar 5.2 Kurva Kesintasan JKN dan Non JKN 43

Gambar 5.3 Gambar 5.4

Penggunaan Jaminan Kesehatan pada Perawatan Plot Nilai ICER

44 45

(16)

< Lebih Kecil Dari

> Lebih Besar Dari

≤ Lebih Kecil Atau Sama Dengan Dari

≥ Lebih Besar Atau Sama Dengan Dari

↑ Peningkatan

↓ Penurunan

ADL Activity Daily Living

AKN Asuransi Kesehatan Nasional

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ASKES Asuransi Kesehatan

Askeskin Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin BPJS Badan Pelakasana Jaminan Sosial BUMN Badan Usaha Milik Negara

CGA Comprehensive Geriatric Assesment DALY Daily Adjusted Life Years

DRG Diagnosis Related Group

ICD International Classification of Disease ICER Incremental Cost Effectiveness Ratio

ICF International Classification of Functioning, disability and health INA CBGs Indonesia Case Based Groups

Jamkesda Jaminan Kesehatan Daerah Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat JKN Jaminan Kesehatan Nasional KEMHAN Kementerian pertahanan

Maks Maksimum

Min Minimum

MMSE Mini Mental State Examination NHIP National Health Insurance Program

(17)

PBI Penerima Bantuan Iuran PNS Pegawai Nasional swasta POLRI Polisi Republik Indonesia

PT Perseroan Terbatas

QALY Quality Adjusted Life Years RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar

RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

RSUPNCM Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional

TNI Tentara Nasional Indonesia

UNU IIGH United Nation University International Institiute for Global Health WHO World Health Organization

(18)

Lampiran 1 Formulir Borang Penelitian Lampiran 2 Formulir Etik Penelitian

(19)

1.1 Latar belakang

Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.

Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Diperkirakan pada tahun 2050 nanti, populasi usia lanjut di Asia akan mencapai 1,2 milyar orang.1 Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan populasi berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414% hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025).2Peningkatan populasi usia lanjut akan mengakibatkan dua hal, yaitu makin bertambahnya jumlah pasien geriatri dan terjadinya transisi epidemiologi penyakit.

Geriatri diartikan sebagai usia lanjut yang memiliki kondisi multipatologi, tanpa didukung lagi oleh cadangan faali tubuh yang adekuat.3 Populasi usia ini merupakan populasi yang rentan, karena adanya suatu stresor akut dapat menyebabkan usia lanjut langsung jatuh dalam penyakit berat. Hal ini diperberat dengan sudah terdapatnya disabilitas lain seperti gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi dan inkontinensia. Seorang geriatri biasanya memiliki satu atau lebih penyakit kronik, yang membutuhkan tatalaksana berkepanjangan dan bisa memperberat kondisi akut saat perawatan.

Perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia akibat peningkatan populasi geriatri menyebabkan transisi epidemiologi. Transisi epidemiologi adalah suatu fenomena bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi menjadi penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, penyakit jantung koroner.4 Faktor yang turut berperan pada transisi epidemiologi tersebut adalah keberhasilan secara global dalam penanggulangan dan pencegahan infeksi di

(20)

bawah arahan WHO. Penyakit-penyakit kronik tersebut membutuhkan tatalaksana yang berkepanjangan, karena tidak bisa sepenuhnya sembuh seperti penyakit infeksi.5 Dengan kata lain, transisi epidemiologi ini secara tak langsung akan menyebabkan peningkatan biaya kesehatan secara global.1

Mengingat kompleksnya masalah kesehatan terkait geriatri, diperlukan pendekatan holistik dan paripurna dalam tatalaksananya.6Pendekatan paripurna yang dimaksud tidaklah semata-mata dari sisi biopsikososial, namun juga harus senantiasa dari sisi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pendekatan paripurna tersebut dikenal dengan pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G). Pada penerapannya, P3G terbukti memberikan luaran yang lebih baik dalam tatalaksana pasien geriatri dibandingkan sistem konvensional non P3G, dalam hal efektivitas biaya dan efisiensi.6

Salah satu parameter keberhasilan perawatan pasien geriatri di ruang rawat inap akut adalah angka mortalitas.6 Mortalitas seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi faktor host, agent dan environment.3 Salah satu faktor environment yang menjadi konteks pembahasan disini adalah kualitas pelayanan kesehatan yang diperoleh, yang sangat erat kaitannya dengan biaya. Pelayanan kesehatan yang terselenggara dengan efisien dan efektif, diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas pasien geriatri yang menjalani rawat inap.

Indonesia merupakan negara berkembang dengan populasi 237 juta, 19 juta diantaranya termasuk populasi usia lanjut.7 Seperti halnya di negara-negara berkembang lain, usia lanjut di Indonesia memiliki tingkat prevalensi penyakit yang tinggi. Tingginya prevalensi populasi usia lanjut di Indonesia, disertai dengan tingginya tingkat kesakitan dan biaya kesehatan yang dihabiskan pada populasi ini, mendorong penentu kebijakan untuk mencari solusi untuk mengupayakan suatu sistem jaminan kesehatan nasional yang memiliki cakupan luas dan memastikan tiap penduduknya memperoleh jaminan kesehatan.8

(21)

Mulai awal tahun 2014, telah diberdayakan suatu sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Salah satu tujuan dibentuknya sistem JKN ini adalah agar kenaikan biaya kesehatan yang tak terelakkan dapat ditekan, namun disisi lain biaya dan mutu pelayanan kesehatan dapat tetap dikendalikan.8

Implikasi sistem JKN ini adalah pada pihak peserta, pelaksana dan fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksana JKN yang dimaksud adalah BPJS. BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s (Indonesia Case Based Groups) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN), dimana belum terdapat keseragaman sistem pembayaran, dan sebagian besar menggunakan sistem Fee For Service atau Cost Based. Dalam pembayaran menggunakan sistem INA-CBG’s, penggantian biaya kesehatan oleh BPJS kepada penyedia layanan kesehatan tidak lagi berdasar pada rincian komponen pelayanan yang diberikan, melainkan hanya pada kelompok diagnosis dan kode CBG (Case Base Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara penyedia layanan kesehatan dan BPJS, serta bersifat nasional.8

Implementasi JKN terhadap layanan kesehatan diharapkan tidak hanya sebagai kendali biaya, namun juga kendali mutu. Dengan adanya sistem pembayaran cost based, diharapkan penyedia layanan kesehatan terdorong untuk mengoptimalkan layanan kesehatan yang diselenggarakan dari segi pelaksanaan dan kendali biaya, untuk memperoleh profit. Selain terjadinya kendali mutu, perubahan-perubahan pada sistem layanan kesehatan di Indonesia yang diharapkan terjadi pada era JKN adalah terjadi sistem rujukan yang baik dan tercapainya universal coverage, sehingga mampu meningkatkan tingkat kesehatan Indonesia.8

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pembiayaan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi

(22)

mortalitas. Sampai dengan saat ini belum ada suatu penelitian yang melihat pengaruh penerapan sistem pembiayaan JKN di Indonesia terhadap outcome dari layanan kesehatan. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah bagaimana dampak sistem pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya penerapan P3G pada pasien geriatri yang menjalani perawatan di ruang rawat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) bila dibandingkan dengan sistem pembiayaan kesehatan nasional sebelumnya?

1.2 Identifikasi dan Rumusan masalah

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan tadi, dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

 Jumlah pasien geriatri yang akan terus meningkat akan membawa konsekuensi meningkatnya penyakit-penyakit kronik degeneratif dan meningkatnya biaya kesehatan terkait permasalahan geriatri.

 Pembiayaan layanan kesehatan erat kaitannya dengan kualitas layanan kesehatan.

Sampai saat ini belum diketahui dampak dari penerapan sistem pembiayaan JKN terhadap kesintasan dan efektivitas biaya dari penerapan P3G pada pasien geriatri yang menjalani rawat inap di ruang rawat geriatri RSCM.

1.3 Pertanyaan penelitian

 Apakah terdapat perbedaan kesintasan antara pasien geriatri yang memperoleh P3G di ruang rawat pada era JKN dan sebelum JKN?

 Bagaimana efektivitas biaya penerapan pembiayaan JKN pada pasien geriatri yang mendapat P3G di ruang rawat?

1.4 Hipotesis

 Terdapat perbedaan kesintasan pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.

(23)

 Terdapat perbedaan efektifitas biaya pada pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat akut geriatri RSCM antara era JKN dan era sebelum JKN.

1.5 Tujuan penelitian 1.5.1 Tujuan umum

Mengetahui perbandingan kesintasan dan efektivitas biaya di ruang rawat inap RSCM pada era JKN dan era sebelum JKN

1.5.2 Tujuan khusus

 Mengetahui perbandingan kesintasan di ruang rawat inap RSCM pada era JKN dan era sebelum JKN

 Mengetahui efektivitas biaya pelaksanaan P3G di ruang rawat RSCM pada era JKN

1.6 Manfaat penelitian

 Manfaat untuk institusi

a. Memberikan kontribusi data baru perihal kesintasan pasien geriatri

b. Dapat menjadi acuan penentuan kebijakan tentang sistem pembiayaan untuk perawatan pasien geriatri di rumah sakit

 Manfaat untuk klinisi

a. Memberikan data sebagai dasar penelitian selanjutnya

b. Diharapkan dapat menjadi data tambahan untuk pertimbangan para tenaga medis bahwa keputusan klinis dokter sangat berperan dalam besar-tidaknya pembiayaan rumah sakit dan pemerintah.

 Manfaat untuk pasien

Terkait dengan penentuan kebijakan nasional, dapat memperoleh layanan kesehatan yang tepat dan berdaya guna.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Geriatri

Kedokteran geriatri (British Geriatric Society) merupakan cabang kedokteran umum yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia lanjut.3Perawatan pasien geriatri merupakan tantangan tersendiri dalam ranah medis, karena memiliki beberapa karakteristik yang unik. Populasi ini memiliki beberapa ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan populasi dewasa biasa. Seiring dengan proses penuaan, terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Pasien geriatri juga biasanya memiliki satu atau lebih penyakit komorbid dan kronik yang memperberat perubahan fisiologis tersebut.3 Akibatnya pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi komplikasi selama penyakit akut. Hal-hal inilah yang membuat perlunya suatu pendekatan klinis yang tepat dalam menatalaksana pasien-pasien geriatri, terutama yang menjalani perawatan.

2.2 Epidemiologi

Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.

Perkembangan kelompok populasi ini merupakan yang tercepat bila dibandingkan dengan yang lain.9 Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan transisi demografis, yaitu perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Pada tahun 2025, diperkirakan populasi usia lanjut (usia lanjut) akan mencapai angka lebih dari 1,2 milyar, 840 juta diantaranya berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia.1

Proses transisi demografis juga sedang terjadi di Indonesia. Proporsi usia lanjut terus meningkat karena menurunnya laju fertilitas total dan laju kematian bayi.

Jumlah populasi usia lanjut diperkirakan akan meningkat secara bermakna, mencapai

(25)

414% dalam 35 tahun. Pada tahun 2010, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia akan mencapai kurang lebih 19 juta.10 Transisi demografis ini akan berdampak terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Insiden dari penyakit kronik degeneratif dan keganasan akan meningkat. Meningkatnya angka kesakitan akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan usia lanjut akan layanan kesehatan.

Sebanyak kurang lebih 10 persen dari populasi usia lanjut dirawat di rumah sakit tiap tahunnya.10Kelompok populasi ini ditandai dengan adanya multi morbiditas yang diartikan sebagai terdapatnya dua atau lebih penyakit kronik penyulit, disabilitas dan kondisi-kondisi debilitatif lain seperti polifarmasi, gangguan sensorik, inkontinensia, riwayat jatuh, gangguan kognitif dan berkurangnya partisipasi dalam aktifitas-aktifitas sosial.9Hampir semua populasi usia lanjut memiliki lebih dari satu penyakit kronik.4Kondisi akut yang menyebabkan butuhnya perawatan inap di rumah sakit akan diperberat dengan adanya berbagai penyakit kronik tersebut.11

2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants

Berbagai penyakit kronik yang biasanya menyertai dan memperberat kondisi akut dari usia lanjut, yang secara langsung maupun tak langsung diakibatkan oleh proses degeneratif disebut pula sebagai geriatric conditions. Geriatric conditions tidak boleh dianggap remeh karena kehadirannya mencerminkan berkurangnya kapasitas fungsional tubuh dan daya cadangan faali tubuh.12 Kombinasi dari berbagai kondisi akut dan geriatric’s conditions tersebut merupakan prediktor yang penting terhadap berkurangnya fungsi kognitif, fungsional dan mortalitas.13

Istilah sindrom geriatri semakin marak digunakan di panduan klinisi dan literatur geriatri untuk menekankan kondisi usia lanjut yang unik, yang berbeda dengan populasi lainnya.14 Istilah ‘‘Giants of Geriatrics’’ diciptakan oleh Bernard Isaacs untuk menekankan sindrom geriatri terpenting, yaitu empat “I” yaitu Instabilitas, Imobilitas, gangguan Intelektual dan Inkontinensia.15 Meskipun demikian, konsep sindrom geriatri sampai saat ini sulit untuk didefinisikan. Istilah tersebut lebih menekankan pada suatu kondisi multifaktorial yang terjadi akibat

(26)

akumulasi gangguan-gangguan fungsi tubuh pada berbagai sistem yang mengakibatkan seorang individu rentan terhadap tantangan medis tertentu.16 Sindrom geriatri mempengaruhi kualitas hidup dan disabilitas, dan sangat erat kaitannya dengan kesintasan. Berbagai intervensi klinis dan model pendekatan geriatri telah didesain untuk mengatasi permasalah ini.17

Karakteristik khas pasien geriatri ini didasari oleh konsep alami yang terjadi seiring bertambahnya usia, yaitu penuaan. Untuk menjelaskan hal ini dikenal suatu istilah homeostenosis. Homeostenosis didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan fisiologis untuk menghadapi suatu kondisi akut, disebabkan telah terpakainya cadangan tersebut untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh sehari-hari.3 Dengan penuaan, kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi homeostasis setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan akan menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada

“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya.1 Fisiologi penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit atau kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih. Mereka juga memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang yang berbeda dengan usia yang lebih muda. Wang dkk16 dalam suatu telaah sistematis menunjukkan sindrom geriatri terutama frailty, disabilitas, dan komorbiditas multipel memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan hospitalisasi pada pasien lanjut usia.

Keadaan kesehatan usia lanjut yang rumit, kompleks dan menantang ini membutuhkan suatu pendekatan diagnostik khusus, yang bersifat paripurna dan mencakup banyak disiplin. Pendekatan tersebut dikenal pula dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G).

(27)

2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri

Dari tahun ke tahun, terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dari peningkatan ini, yang menunjukkan laju peningkatan terbesar adalah pada kelompok usia lanjut.18Sehubungan dengan makin besarnya tingkat rawat inap pasien usia lanjut, perhatian terhadap isu ini semakin berkembang. Peningkatan populasi usia lanjut yang cepat dan penggunaan sarana kesehatan yang tidak proporsional oleh populasi ini kian hari kian menimbulkan kecemasan terhadap resiko mortalitas, disabilitas dan efisiensi penggunaan sarana kesehatan.19 Warren dkk mengamati bahwa masih terdapat kekurangan dalam evaluasi pasien usia lanjut yang dirawat.

Kekurangan yang dimaksud adalah tidak dievaluasinya berbagai faktor non medis lain, seperti fungsi sosial dan psikologis yang sebenarnya berperan penting dalam aspek penyembuhan dan pencegahan penyakit. Inilah yang memicu adanya pendekatan modern dari evaluasi pasien geriatri, yaitu Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri yang disingkat dengan P3G (Comprehensive Geriatric Assessment/CGA).

Telaah geriatri (geriatric assessment) sebenarnya telah digunakan dalam ilmu geriatri sejak era 1980.20 Telaah geriatri pada dasarnya bukanlah suatu intervensi, melainkan suatu sarana untuk mengidentifikasi komponen-komponen apa yang perlu ditatalaksana. Tujuan telaah geriatri pada populasi geriatri tradisional adalah untuk mengidentifikasi masalah kesehatan terkini yang sedang diderita dan untuk mengarahkan tatalaksana untuk mengurangi efek samping, serta mengoptimalkan status fungsional dari usia lanjut.21

Pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G) merupakan suatu pendekatan multidimensional, interdisiplin, yang bertujuan untuk memahami kondisi medis, psikososial dan kapasitas fungsional usia lanjut, mengidentifikasi masalah yang ada dengan tujuan memformulasikan rencana diagnostik, terapi dan follow up selanjutnya.6 P3G terutama bermanfaat dalam menangani pasien dengan banyak geriatric conditions, sebab pendekatan medis biasa tidak lagi memadai untuk mengatasi begitu banyak masalah yang saling terjalin berkait dan mempersulit

(28)

pengobatan. Masalah-masalah yang saling berjalin tersebut akan lebih mudah dipahami dan diidentifikasi melalu P3G.6

P3G tidak hanya mengevaluasi kondisi medis umum, namun juga kondisi fisik, fungsional, medis, psikokognitif dan psikososial. Hal ini terkait dengan konsep sehat oleh WHO22 dimana kesehatan diartikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial dan bukan hanya berarti tidak terdapatnya penyakit atau kelemahan (“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”). Tujuan dari pengobatan bukan lagi hanya menyembuhkan, namun juga mencegah penyakit lain atau komplikasi terkait, dan mempertahankan kondisi kesehatan pasien. Untuk mencapai hal ini, pendekatan interdisiplin menjadi sangat penting untuk diimplementasikan, dan bukan pendekatan multidisiplin.23,5

Mengingat besar dan kompleksnya masalah kesehatan usia lanjut dan dampak yang ditimbulkan terhadap biaya kesehatan, diperlukan suatu strategi yang tepat guna untuk mencapai pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik, efektif dan efisien.6 Dalam menyusun suatu strategi intervensi terhadap suatu masalah kesehatan, metode yang sebaiknya digunakan adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti dari uji-uji klinis yang ada, disebut juga dengan literatur berbasis bukti (Evidence-based literature). Namun masalahnya hanya sedikit sekali uji klinis yang memiliki populasi usia lanjut didalamnya, dan lebih sedikit lagi yang memperhitungkan faktor biaya, sehingga metode ini sulit untuk diimplementasikan. Sedikitnya partisipasi populasi usia lanjut dalam studi-studi dikarenakan populasi usia lanjut adalah populasi yang rentan, sehingga tidak etis untuk mengikutsertakan populasi usia tersebut dalam suatu uji klinis yang berpotensi meningkatkan disabilitas dan mortalitasnya. Selain itu populasi usia lanjut sulit untuk dimasukkan dalam protokol uji klinis yang biasanya ketat dan memiliki persyaratan banyak, sehingga kalaupun diikutsertakan, sulit untuk mencapai titik akhir uji klinis.24 Sehingga dalam memilih suatu strategi intervensi yang sesuai untuk populasi usia lanjut dalam kaitannya dengan pembiayaan sebaiknya menggunakan analisis ekonomi kesehatan.

(29)

2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di dunia

Perkembangan sistem kesehatan di dunia melahirkan masalah-masalah baru.

Berkembangnya konsep tentang definisi sehat oleh WHO yang tidak hanya menyangkut penyembuhan penyakit saja serta meluasnya lingkup kesehatan menyebabkan peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi sehat tersebut. Sistem pembayaran kesehatan suatu negara akan berperan penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan dan tingkat kesehatan negara terkait. Saat ini hampir seluruh negara maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan asuransi kesehatan nasional yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai rumah sakit. Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas pelayanan kesehatan.26

Pada awal terbentuknya suatu sistem jaminan asuransi kesehatan nasional, digunakan konsep dasar sistem pembayaran fee for service atau cost based.26 Sistem ini membayarkan biaya kesehatan seorang individu dengan menghitung besarnya biaya tiap komponen yang terlibat dalam pelayanan kesehatan individu tersebut.

Dalam perkembangannya, ternyata hal ini membawa pengaruh negatif terhadap efektivitas biaya layanan kesehatan, karena memacu fasilitas layanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit) untuk tidak lagi memikirkan perlu atau tepat tidaknya suatu prosedur atau intervensi kesehatan terhadap pasiennya, melainkan hanya melihat aspek untung ruginya intervensi tersebut. Tentu saja hal ini menyebabkan pemberi layanan kesehatan untuk berlomba memberikan intervensi yang belum tentu tepat dan berdaya guna, sehingga akhirnya dapat merugikan penerima layanan maupun penyedia dana kesehatan. Selain itu sistem ini dinilai tidak memacu berkembangnya kualitas dan efektivitas layanan kesehatan, terutama dari segi non terapeutik, yaitu segi promotif atau preventif.26

Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN/AKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah

(30)

itu banyak negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Saat ini penetapan pembiayaan yang dipakai oleh asuransi kesehatan sosial adalah berdasarkan klasifikasi Diagnosis Related Groups (DRG) atau Case Based Group (CBG).25

2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups

Diagnosis-Related Groups (DRG) merupakan suatu sistem yang mengklasifikasikan kasus-kasus kesehatan dalam berbagai grup, awalnya sejumlah 467 grup.27Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Robert B Fetter PhD dari Yale School of Management, dan John D. Thompson, MPH, dari Yale School of Public Health.27 Sistem pembayaran ini dimaksudkan untuk menggantikan sistem pembayaran "cost based" yang dinilai tidak efektif.

DRGs didesain berdasarkan ICD (International Classification of Diseases) diagnosis, prosedur, umur, jenis kelamin, lama rawat, dan ada tidaknya komorbid.

Sistem DRGs telah digunakan di Amerika sejak tahun 1982, dalam sistem kesehatan nasionalnya yaitu Medicare.28Setelah itu, DRG merupakan sistem pembayaran yang banyak di adopsi di berbagai negara industri termasuk Eropa. Eropa menggunakan sistem klasifikasi pembayaran DRGs agar pembiayaan kesehatan lebih transparan dan memperbaiki efisiensi. DRG dianggap transparan karena mengelompokkan pasien dalam angka-angka yang secara ekonomi dan klinis bermakna dan dapat diukur misalnya prosedur pemasangan dua stent untuk penyumbatan pembuluh darah koroner secara elektif atau stroke iskemik pasien di atas 60 tahun.

Selain dinilai transparan, sistem DRG diharapkan mampu mengubah sikap para penyedia layanan kesehatan. Pembatasan sistem “reimbursement” kepada penyedia layanan kesehatan diharapkan dapat mendorong mereka untuk lebih kreatif, inovatif dan efisien dalam menjalankan pelayanan kesehatannya. Fasilitas layanan kesehatan yang dapat tepat memilih pemeriksaan diagnostik dan terapinya dapat memperoleh laba dari selisih jumlah yang dibayarkan pemerintah dengan biaya yang

(31)

sesungguhnya dikeluarkan dalam menangani pasien dengan penyakit tertentu tersebut.26

Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRGs sudah menjadi sistem kapitasi utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara berpenghasilan tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Tetapi di negara dengan penghasilan kecil-menengah, sistem berbasis DRGs ini baru saja dikembangkan. Sistem pembayaran DRGs sering disamakan dengan case-based atau case-mixed based, tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih.29

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia

Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, pada tanggal 28 September 2004, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menteri- menteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Dalam kelanjutannya, terdapat berbagai benturan dan halangan dalam perwujudannya, dari segi administrasi, keputusan politik, kesiapan sarana prasarana dan isu sosial politik medis lain, sehingga SJSN tidak dapat segera terlaksana.25

Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan skema community based insurance pada tahun 2004. Melalui Asuransi Kesehatan Masyarakat miskin (Askeskin) yang ditargetkan untuk masyarakat tidak mampu, penduduk Indonesia mampu mendapatkan akses pelayanan yang lebih besar. Pada tahun 2008, Askeskin berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang melindungi sekitar 76,4 juta penduduk Indonesia. Saat itu mulai diimplementasikan sistem INA- DRG. Pada tahun 2010, terjadi perubahan nama dari sistem INA-DRG menjadi INA- CBG. Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United Nation University Internasional Institute for Global Health(UNU - IIGH). Universal Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat

(32)

dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.

Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9 CM). Sistem ini dihitung menggunakan beberapa variabel : diagnosis utama dan diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan komplikasi dan prosedur kedokteran yang dilakukan, serta lama rawat. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan pola pengobatan dan pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi dianggap serupa. Sistem ini kemudian diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan Indoensia sampai dengan tahun 2013, dimana tercatat penggunaan sistem ini dalam klaim Jamkesmas telah terlaksana di 515 RS Swasta dan 747 RS Pemerintah.30

Pada evaluasinya, terjadi peningkatan budget menjadi tiga kali lipat dibandingkan awal program yang menyebabkan pengeluaran anggaran untuk kesehatan membengkak. Muncul pertanyaan yang mendasar terkait ekuitas, kemampuan bayar, dan kelanggengan program lewat sistem asuransi kesehatan ini.

Pada akhirnya sistem ini menyebabkan banyak inefisiensi karena luasnya geografi Indonesia, adanya ketimpangan urban-rural, dan ketidakseimbangan antara pasien yang benar-benar tidak mampu atau pasien yang sebenarnya mampu, sampai lemahnya pengawasan terhadap kualitas pelayanan melalui sistem ini.31

Sampai dengan akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia yang telah memiliki Jaminan kesehatan sebanyak 176.844.161 juta jiwa (72%)7terdiri dari:31

a) JAMKESMAS : 86.400.000 (36,3 %) b) JAMKESDA : 45.595.520 (16,79 %)

c) Perusahaan menjaminkan karyawannya sendiri: 16.923.644 (7,12 %) d) ASKES PNS : 16.548.283 (6,69 %)

e) JPK JAMSOSTEK : 7.026.440 (2,96 %)

(33)

f) Commercial insurance : 2.937.627 (1,2 %)

g) TNI/POLRI/PNS KEMHAN : 1.412.647 (0,59 %)

Setelah rentang waktu kurang lebih 10 tahun sejak diputuskannya Undang- undang terkait perwujudan SJSN, baru akhirnya pada awal Januari 2014, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai diterapkan di Indonesia.31 SJSN merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sistem jaminan kesehatan ini menggantikan sistem sebelumnya, dimana tiap daerah dan atau BUMN menyelenggarakan sistem jaminan kesehatan masing-masing sesuai ruang lingkup dan anggotanya. Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan badan hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan bertanggungjawab kepada Presiden. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan penyatuan dari beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT.

Asabri.7 Jaminan kesehatan yang tercakup dalam JKN ini diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan, termasuk obat dan bahan medis dengan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care).

Bagi tiap peserta SJSN ini atau lebih lazim disebut dengan JKN, diwajibkan membayar iuran jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran berdasarkan persentase upah/gaji dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran, maka iurannya dibayari pemerintah. Pembiayaan BPJS diatur dalam APBN 2013.

Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN berupa penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas puskemas dan rumah sakit milik pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS. Mulai 2014,

(34)

Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan mereka dalam program ini.7

Masa berlaku JKN ditentukan oleh masih tidaknya peserta terkait membayar iuran. Bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka status kepesertaannya akan hilang. Iuran Jaminan Kesehatan merupakan sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan, dan diatur berdasar Perpres No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI. Besarnya iuran jaminan kesehatan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI). Prinsip pembayaran iuran tidak berlaku bagi peserta PBI, dimana jaminan Kesehatan dibayar oleh Pemerintah.7

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui kredensialing.31

2.8 Perbedaan sistem JKN dengan sistem sebelumnya

Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.7

Program JKN digelar berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tak terkait

(35)

dengan besaran iuran yang dibayarkan. Hal inilah yang membedakan sistem JKN dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya. Sistem JKN merupakan suatu asuransi sosial yang universal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu asuransi sosial dan universal.

Sistem asuransi berarti adanya sistem iuran, yang besarnya ditetapkan sebagai prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah akan membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin). Iuran tersebut bersifat wajib dan bersifat sebagai dana amanat, dalam arti penggunaannya sepenuhnya untuk pengembangan sistem JKN, dan bukan diperhitungkan sebagai laba. Sistem JKN akan diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum khusus, bukan lagi seperti BUMN yang berasaskan laba, sehingga memiliki paradigma yang sepenuhnya berbeda. Universal dalam arti kedepannya hanya akan ada satu sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia, yang mencakup seluruh rakyat Indonesia dan berlaku di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan jaminan kesehatan sebelumnya dimana terdapat berbagai jenis jaminan kesehatan dengan pelbagai cakupan dan iuran yang berbeda. Penetapan sistem JKN ini bertujuan untuk tercapainya universal coverage untuk jaminan kesehatan, sehingga tiap penduduk terpenuhi hak asasinya untuk mencapai suatu kondisi sehat.31

Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan dengan dua sistem pembiayaan, yaitu sistem kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama dan sistem paket INA CBG’s (Indonesia Case Based Group) untuk fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Hal ini berbeda dengan sistem pembiayaan jaminan kesehatan sebelumnya (era pre JKN), dimana digunakan sistem Fee For Service. Dalam pembayaran menggunakan sistem INA-CBG’s baik rumah sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group).

Jadi, pembayaran dilakukan berdasar kelompok diagnosis, dan bukan terhadap masing-masing komponen biayanya. Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis

(36)

tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berbeda dengan pembayaran sistem fee for service, dimana pembayaran masih dilakukan terhadap masing-masing komponen biaya.

Berikut beberapa manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan JKN dibandingkan dengan sistem jaminan kesehatan Indonesia sebelumnya:7

 Kenaikan biaya kesehatan dapat ditekan, karena diharapkan penyedia layanan dan fasilitas kesehatan tidak lagi berlomba-lomba menyediakan layanan kesehatan yang membutuhkan biaya besar namun tidak efektif.

 Biaya dan mutu yankes dapat dikendalikan, karena diharapkan fasilitas kesehatan akan terpacu untuk memilih pemeriksaan dan intervensi yang tepat dan berdaya guna dalam menangani kelompok penyakit.

 Kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk sehingga “memaksa” tiap penduduk mendapat perlindungan kesehatan

 Pembayaran dengan sistem prospektif, sehingga memastikan adanya suatu pemasukan tetap yang dapat digunakan sebagai dana amanat untuk meningkatkan kualitas sistem JKN itu sendiri dan bukan untuk laba.

 Adanya kepastian pembiayaan yankes berkelanjutan

 Manfaat yankes komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)

 Portabilitas nasional: peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diharapkan kedepannya registrasi dan penggunaan sistem JKN ini dapat bersifat elektronik dan berbasis internet, sehingga dengan membawa kartu kepesertaan JKN seseorang dapat memperoleh kepastian layanan kesehatan di manapun ia berada selama masih dalam wilayah NKRI.

Berbeda dengan sistem sebelumnya, penghitungan pembiayaan asuransi kesehatan JKN mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University International Institute for Global Health (UNU-IIGH). Sistem ini bersifat dinamis

(37)

artinya total jumlah CBG dapat berubah sesuai keadaan. Karena terdapat 14500 macam diagnosis ICD10 dengan 7500 prosedur tindakan (ICD 9 CM) dibuat suatu grouper yang disusun secara terkomputerisasi. Sistem ini juga telah dilakukan di beberapa negara Asia, TImur tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, terutama di negara-negara sedang berkembang.32

Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan sistem yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur:33

 Meliputi seluruh tipe perawatan: akut, subakut, kronik

 Bersifat dinamis: jumlah diagnosis dapat disesuaikan, menilai derajat berat penyakit, klasifikasinya sangat detail

 Dapat dikembangkan bila terjadi perubahan klasifikasi prosedur dan diagnosis (misalnya bila menggunakan ICD-11)

Sistem ini memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak diperhitungkannya faktor status fungsional dan disabilitas, yang sebenarnya merupakan aspek penting pada karakteristik pasien geriatri. Pada perkembangannya, WHO membuat sistem ICF (International Classification of functioning, disability, and health), yaitu suatu sistem klasifikasi diluar ICD 10 atau ICD 9, yang mengklasifikasikan kondisi kesehatan terkait fungsi dan disabilitas. ICD-10 dan ICF selayaknya bersifat komplementer dan penggunaan keduanya akan menciptakan gambaran kesehatan individu yang lebih bermakna, terutama pada populasi pasien geriatri.34

Dengan diterapkannya sistem baru ini melalui JKN, diharapkan penyedia layanan kesehatan makin berusaha mengembangkan metode diagnosis dan terapi yang tepat dan berdaya guna.32 Hal ini dikarenakan, pemilihan tatalaksana yang paling efisien menjadi kunci untuk memberi insentif pada sebuah rumah sakit. Untuk melihat efektivitas suatu layanan kesehatan diperlukan suatu pendekatan analisis khusus, yang berada dalam ranah ekonomi kesehatan.

(38)

2.9 Ekonomi Kesehatan

Ilmu ekonomi kesehatan dapat diartikan sebagai aplikasi ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan, atau penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Menurut WHO (1975), ilmu ekonomi kesehatan adalah ilmu ekonomi untuk perhitungan sumber daya yang digunakan bagi penyediaan pelayanan kesehatan.

Alokasi dan efisiensi penggunaan sumber daya tersebut bertujuan mencapai pembangunan kesehatan, serta kuantifikasi dampak upaya pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi meliputi health care industry; health care financing; health economics and development; utility, demand and supply; cost and cost behavior; cost analysis and pricing; cost containment; economics evaluation.35

Penerapan prinsip ekonomi dalam bidang kesehatan tak lepas dari perannya sebagai institusi penyedia layanan kesehatan. Rumah sakit merupakan lembaga tempat dokter bekerja yang hanya dapat beroperasi jika ada sumber ekonomi. Tidak mungkin sebuah rumah sakit berjalan tanpa ada sumber keuangan yang terkelola dengan baik. Di sisi lain, rumah sakit merupakan lembaga multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan kesehatan yang bermutu tetapi harus tetap memperhatikan aspek sosialnya. Sifat rumah sakit yang unik ini perlu menggunakan berbagai ilmu untuk meningkatkan mutu pelayanan. Ekonomi merupakan salah satu ilmu yang dapat dipergunakan. Penggunaan ilmu ekonomi dalam bidang kesehatan tidak hendak dipandang sebagai berubahnya paradigma rumah sakit menjadi sarana dagang, namun dipandang sebagai suatu metode untuk menerangkan berbagai perilaku rumah sakit dan kalangan kesehatan. Jika ilmu ekonomi di dunia kesehatan dikesampingkan, dikhawatirkan akan terjadi keadaan di kalangan dokter yang justru berlawanan dengan idealisme dalam masyarakat yang beradab.35

Dalam kaitan ekonomi dan pengelolaan rumah sakit, dikenal dua jenis model pendekatan yakni rumah sakit yang for profit dan non profit. Yang pertama berorientasi laba, sedangkan yang kedua tidak. Pada umumnya rumah sakit

(39)

pemerintah berbasis non profit, sedangkan rumah sakit swasta berbasis for profit.

Walaupun tidak berorientasi mencari keuntungan semata-mata, namun rumah sakit pemerintah tetap harus menjalankan fungsinya dan memerlukan dana untuk operasionalisasi misinya. Di sini letak pentingnya kajian-kajian cost effectiveness untuk berbagai jenis pelayanan bagi pasien rumah sakit yang mampu mendorong efisiensi dalam rangka tetap menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah tanpa harus kehilangan mutu pelayanan yang optimal.35

Teknik untuk mengevaluasi keefektifan suatu program pelayanan disebut teknik evaluasi ekonomi program kesehatan. Evaluasi ekonomi membandingkan biaya dan efek dari dua atau lebih intervensi, dalam hal ini program kesehatan.

Tujuan utama dari evaluasi ekonomi kesehatan adalah untuk mengevaluasi keluaran dan biaya intervensi-intervensi yang didesain untuk meningkatkan kesehatan. Hal ini ditujukan untuk memandu penentu kebijakan dengan menyajikan bukti-bukti objektif terkait efektivitas biaya. Tujuan hal ini adalah untuk meningkatkan efektivitas biaya, yaitu untuk mencapai efek sebesar besarnya dengan sumber daya serendah rendahnya.36

Evaluasi ekonomi kesehatan terdiri atas: Cost Minimization Analysis (analisis biaya minimal), cost utiliy analysis (analisis biaya guna), cost benefit analysis (analisis biaya manfaat), dan cost effectiveness analysis (analisis biaya efektivitas).37 Prinsip dari keempat teknik tersebut adalah melakukan analisis kuantitatif dari apa yang diharapkan/ diinginkan oleh provider (penyedia layanan kesehatan) dan pasien (pengguna jasa pelayanan kesehatan) dalam melakukan investasi pada beberapa alternatif program. Kegiatan pada keempat teknik tersebut intinya adalah membandingkan masukan (input) dengan keluaran (output) maupun hasil akhir (outcome) dengan memperhatikan masalah pilihan.37

Analisis biaya minimal adalah suatu analisis yang membandingkan dua atau lebih intervensi terhadap suatu kegiatan yang menghasilkan keluaran (output) yang sama, berdasarkan studi epidemiologi sebelumnya dalam kurun waktu tertentu. Biaya

(40)

yang dikeluarkan akan dibandingkan satu sama lain sehingga terlihatlah intervensi mana yang paling minimal biayanya dalam menghasilkan keluaran yang sama.37

Analisis biaya guna menilai hasil akhir dari sebuah program yang dilaksanakan dengan mengukur kegunaannya (utilitas); yang dikaitkan pula dengan perubahan kualitas akibat program tersebut. Analisis biaya guna dapat dititikberatkan pada minimalisasi biaya (minimizing cost) atau memperbesar hasil (maximizing effect), yang hasilnya dinyatakan dalam cost per quality adjusted life years (cost per QALY’s) atau QALY per unit moneter.37

Analisis biaya manfaat akan menilai baik manfaat maupun biaya dari suatu program, dan menetapkan apakah program tersebut bermanfaat atau tidak. Bila rasio antara biaya dan manfaat lebih besar berarti program tersebut tidak menguntungkan.

Analisis biaya manfaat ini digunakan untuk membandingkan program dengan tujuan keluaran yang berbeda, dengan masukan yang diukur dalam nilai moneter dan ukuran keluarannya, yaitu manfaat yang diharapkan, juga diukur dalam nilai moneter. Di samping itu, analisis biaya manfaat juga digunakan untuk mengetahui apakah suatu intervensi layak diteruskan atau tidak.37

Analisis biaya efektivitas adalah suatu analisis yang mencari bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dengan ukuran masukan yang diukur dalam nilai moneter sedangkan keluarannya diukur dalam jumlah output yang dihasilkan. Dengan kata lain, teknik ini menilai/ mencari cara intervensi yang paling murah dan paling menguntungkan dalam pencapaian target/suatu tujuan yang sama, dengan cara membandingkan hasil-hasil suatu kegiatan dengan biayanya.37 Berbagai tipe analisis efektivitas biaya dan perbedaannya disajikan dalam tabel 2.1.

(41)

Tabel 2.1. Berbagai tipe analisis efektivitas biaya

Metode Biaya Efek Pertanyaan evaluasi

Analisis biaya efektivitas Unit monetari Unit alami (life- years gained, luka bakar yang bisa dicegah)

Perbandingan

intervensi dengan tujuan yang sama Analisis biaya guna Unit monetari Utilitas dan QALY

atau DALY Perbandingan

intervensi dengan tujuan yang berbeda Analisis biaya manfaat Unit monetari Efek tidak diukur

karena dianggap sama

Biaya yang lebih sedikit diantara dua program dengan luaran yang sama Analisis keuntungan-

biaya Unit monetari Unit monetari Apakah

keuntungannnya sebanding dengan biaya

Analisis biaya manfaat dan analisis biaya efektivitas walau mempunyai beberapa persamaan, keduanya mempunyai beberapa prinsip yang berbeda. Analisis biaya manfaat biasanya digunakan untuk menilai beberapa alternatif yang tujuannya berbeda, atau menentukan apakah suatu rencana program sebaiknya dilaksanakan atau tidak, sedangkan analisis biaya efektivitas dipergunakan untuk menilai beberapa alternatif yang tujuannya sama. Pada pasien geriatri yang pada umumnya sudah tidak produktif lagi secara ekonomis, loss of production tidak lagi menjadi perhatian utama.37

Keluaran dari evaluasi ekonomi dinyatakan sebagai rasio dari cost (biaya) dengan efek (E). Rasio ini disebut dengan incremental cost–effectiveness ratio (ICER), yaitu perbedaan biaya antara intervensi baru dan lama dibagi dengan perbedaan efek antara kedua intervensi tersebut.

(42)

2.10 Telaah efektivitas biaya

Telaah efektivitas biaya (Cost-effectiveness analysis), dalam konsep termudah, merupakan suatu analisis yang menghitung unit biaya yang dibutuhkan untuk mencapai unit efek tertentu. Rasio ini, bila diterapkan dalam perhitungan berbagai alternatif intervensi, dapat menampilkan efek dan biaya relatif dari alternatif- alternatif tersebut dan memudahkan pemahamannya.37

Sangat sedikit studi tentang evaluasi program kesehatan yang menampilkan variabel biaya, dan bilapun ada, biasanya ditampilkan dalam format yang bervariasi sehingga sulit untuk dibandingkan. Terlebih lagi terdapat kesulitan dalam menentukan terminologi konsep biaya dan efek, karena kedua konsep ini sangat tergantung dari sudut pandang mana analisisnya dilakukan. Apakah biaya-biaya yang dimasukkan dalam perhitungan sama dan sebanding untuk tiap-tiap pemegang saham atau hanya untuk pihak yang terlibat saja? Bila terdapat berbagai luaran yang ditimbulkan oleh biaya tersebut, bagaimana cara merangkum berbagai variabel efek tersebut menjadi satu variabel? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, penting untuk memahami konsep analisis ini dengan lebih mendalam.38

Ada dua kelebihan dari analisis cost effectiveness. Kelebihan pertama adalah kemampuannya untuk merangkum suatu program yang kompleks dalam dimensi biaya dan efektivitasnya. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan ketepatan secara teknis dalam menentukan unit biaya dan unit efek dari suatu program. Kelebihan kedua adalah kemampuannya untuk menggunakan dua parameter yang sebenarnya sederhana ini untuk membandingkan dan mengevaluasi berbagai program dengan konteks dan waktu yang berbeda-beda. Untuk mencapai hal ini diperlukan suatu kepatuhan pada suatu metodologi tertentu yang ditentukan sebelumnya dalam mengestimasi biaya dan efek dari berbagai studi yang ada, supaya dapat diperbandingkan. Supaya suatu analisis efektivitas biaya dapat memberikan informasi yang optimal, diperlukan suatu metode pengukuran yang bukan hanya andal dalam membandingkan berbagai program, namun juga dapat secara tepat menilai biaya dan

(43)

efek dari masing-masing pogram itu sendiri. Bila dilaksanakan dengan benar, metode analisis ini dapat menjadi alat andal bagi penentu kebijakan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendanaan dan pengadaan kegiatan-kegiatan edukasi dan sosial, memungkinkan mereka untuk membandingkan berbagai program yang telah dijalankan untuk menentukan pengalokasian sumber daya dengan lebih tepat.

Organisasi yang dapat mengambil manfaat dari analisis ini dapat berupa organisasi- organisasi swasta maupun pemerintah.39

Meskipun analisis efektivitas biaya menawarkan banyak kelebihan dibanding analisis ekonomi lain dalam pengambilan kebijakan, terdapat beberapa isu penting yang perlu dipertimbangkan. Analisis efektivitas biaya bermanfaat dalam menentukan program atau intervensi mana yang memberikan keefektivitasan biaya yang terbaik, namun tidak dapat membandingkan keefektivitas antar intervensi dengan paradigma kesehatan atau lokasi yang berbeda. Hal ini dikarenakan untuk membandingkan suatu program dengan analisis ini, diperlukan parameter pengukuran efek/keluaran yang sama antar intervensi atau program yang diperbandingkan.

Kualitas dari analisis efektivitas biaya sangat bergantung dari kualitas data yang digunakan, sehingga setiap analisis efektivitas biaya sebaiknya mencantumkan analisis sensitifitas untuk melihat seberapa besar perubahan parameter yang digunakan dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Penting ditekankan disini, bahwa analisis efektivitas biaya hanya merupakan salah satu dari sekian banyak penilaian dalam menentukan apakah suatu program atau intervensi efektif atau tidak.

Hal-hal yang lain yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ketersediaan sarana prasarana, kebutuhan masyarakat setempat, prioritas kesehatan lokal dan lainnya.39

Menilai efektivitas dapat ditinjau dari berbagai faktor yakni lama rawat, rehospitalisasi, ada tidaknya perbaikan status fungsional, kepuasan pasien, kepuasan perawat dan mortalitas selama dan setelah perawatan. Setiap faktor tersebut harus ditentukan bobotnya agar diketahui yang terbesar perannya dalam menentukan efektivitas. Batasan setiap faktor yang digunakan untuk menentukan efektivitas tidak

(44)

seragam karena perbedaan sistem pelayanan, diagnosis pasien geriatri yang dirawat serta berat-ringannya kondisi pasien.40

2.11 Mortalitas pasien geriatri

Mortalitas merupakan salah satu komponen penilaian efektivitas suatu layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan baik dan efektif diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas. Tentu saja angka mortalitas pasien geriatri tidak semata-mata hanya ditentukan oleh kualitas dari suatu layanan kesehatan.6

Dalam membicarakan faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas suatu populasi, penting untuk mengingat konsep dasar epidemiologi tentang terjadinya penyakit, yaitu interaksi antara host, agent dan environment. Konsep ini dapat diterapkan untuk melihat hubungan antara ketiga komponen penting yang menentukan outcome dari suatu penyakit.3 Dalam konteks pasien geriatri yang menjalani perawatan di fasilitas kesehatan, segi environment merupakan kualitas dari layanan kesehatan tersebut. Segi agent mengacu kepada poten tidaknya suatu agen- organik maupun non organik-dalam menimbulkan suatu kondisi sakit, dalam konteks ini yang terbanyak bertindak sebagai agent adalah mikroba (organik). Sedangkan host mengacu kepada kumpulan karakteristik dasar dari suatu individu yang menentukan ketahanan tubuh menanggapi suatu tantangan dari luar. Komponen host inilah yang sangat berpengaruh dalam populasi pasien geriatri, mengingat pada populasi ini terjadi banyak sekali perubahan fisiologis penuaan yang berujung pada meningkatnya kerentanan tubuh terhadap tantangan eksternal tersebut(agent).3

Dari tiga komponen ini, dapat dilihat terhadap komponen agent dan host, sedikit yang bisa kita lakukan untuk memodifikasinya. Perubahan pada komponen host sebagian besar terjadi akibat suatu proses yang fisiologis, yaitu penuaan, sehingga tidak sepenuhnya dapat kita modifikasi. Sedangkan modifikasi komponen agent biasanya dilakukan dengan mengoptimalkan program preventif dan promotif, dan kedua faktor ini meskipun sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri secara

(45)

holistik, sedikit perannya pada tatalaksana pasien geriatri yang dirawat di fasilitas kesehatan. Sehingga sangat penting dalam tatalaksana pasien geriatri di ruang rawat inap untuk mengoptimalkan pula komponen kualitas layanan kesehatan, untuk meningkatkan prognosis.40

Dalam konteks masyarakat luas, suatu layanan kesehatan dikatakan baik bila terdapat keseimbangan antara kualitas dan biaya operasionalnya. Suatu intervensi atau program kesehatan yang sangat baik namun sangat mahal biaya operasionalnya mungkin ideal untuk kasus orang perorangan, namun bukan merupakan pilihan tepat untuk diadopsi sebagai program kesehatan masyarakat luas yang skalanya besar. Hal itu bisa menimbulkan pemborosan sumber daya kita yang terbatas. Sebaliknya suatu program kesehatan yang hasilnya hanya cukup baik namun memiliki biaya operasional yang lebih rendah dapat menjadi pilihan yang lebih baik sebagai program kesehatan masyarakat luas pada umumnya. Disinilah peran analisis efektivitas biaya, karena analisis ini dapat memperlihatkan keseimbangan dan hubungan antara efek dan biaya dari suatu program/intervensi yang diperbandingkan.

Gambar

Tabel 2.1 Bermacam Tipe Analisa Efektivitas Biaya 22
Gambar 3.2 Kerangka Konsep 28
Tabel 2.1. Berbagai tipe analisis efektivitas biaya
Gambar 3.1. Kerangka teori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperoleh dari hasil tes dan wawancara menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan tinggi pada aspek ini dapat mengenali dan menerapkan matematika dalam

Penelitian ini akan membahas beberapa gaya bahasa yang terdapat pada surat An Nisa dalam terjemahan Al Quran yaitu personifikasi, metafora, ironi, sarkasme, dan

[r]

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik,

Tahap keempat jika Kabag telah menyetujui jadwal yang dibuat Administrasi, Kabag Labkom akan meminta Administrasi membuat undangan Rapat Evaluasi Masalah untuk seluruh

Dalam kegiatan pemeliharaan suatu perusahaan merupakan persoalan yang menyangkut usaha-usaha untuk menghilangkan kemungkinan–kemungkinan yang menimbulkan kemacetan yang

2) Hidrostatik kuvvetler etkisi ile “a” noktası etrafında dönme meydana gelir mi, irdeleyiniz. Devrilmeye karşı güvenlik sayısını hesaplayınız. 3) Baraj gövdesi ile

Hasit perhitungan dengan menggunakan model regresi penuh ( Full Model Regression ) diperoleh dengan nilai koefisien regresi kualitas pelayanan ( variabel independen )