• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manfaat Penelitian

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 23-0)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.6 Manfaat Penelitian

 Manfaat untuk institusi

a. Memberikan kontribusi data baru perihal kesintasan pasien geriatri

b. Dapat menjadi acuan penentuan kebijakan tentang sistem pembiayaan untuk perawatan pasien geriatri di rumah sakit

 Manfaat untuk klinisi

a. Memberikan data sebagai dasar penelitian selanjutnya

b. Diharapkan dapat menjadi data tambahan untuk pertimbangan para tenaga medis bahwa keputusan klinis dokter sangat berperan dalam besar-tidaknya pembiayaan rumah sakit dan pemerintah.

 Manfaat untuk pasien

Terkait dengan penentuan kebijakan nasional, dapat memperoleh layanan kesehatan yang tepat dan berdaya guna.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Geriatri

Kedokteran geriatri (British Geriatric Society) merupakan cabang kedokteran umum yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia lanjut.3Perawatan pasien geriatri merupakan tantangan tersendiri dalam ranah medis, karena memiliki beberapa karakteristik yang unik. Populasi ini memiliki beberapa ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan populasi dewasa biasa. Seiring dengan proses penuaan, terjadi perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit. Pasien geriatri juga biasanya memiliki satu atau lebih penyakit komorbid dan kronik yang memperberat perubahan fisiologis tersebut.3 Akibatnya pasien geriatri memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi komplikasi selama penyakit akut. Hal-hal inilah yang membuat perlunya suatu pendekatan klinis yang tepat dalam menatalaksana pasien-pasien geriatri, terutama yang menjalani perawatan.

2.2 Epidemiologi

Populasi usia lanjut kian hari kian bertambah jumlahnya di seluruh dunia.

Perkembangan kelompok populasi ini merupakan yang tercepat bila dibandingkan dengan yang lain.9 Peningkatan ini diperkirakan akan menyebabkan transisi demografis, yaitu perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia, yang akan didominasi oleh kelompok usia lanjut. Hal tersebut disebabkan menurunnya angka fertilitas dan angka kematian. Pada tahun 2025, diperkirakan populasi usia lanjut (usia lanjut) akan mencapai angka lebih dari 1,2 milyar, 840 juta diantaranya berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia.1

Proses transisi demografis juga sedang terjadi di Indonesia. Proporsi usia lanjut terus meningkat karena menurunnya laju fertilitas total dan laju kematian bayi.

Jumlah populasi usia lanjut diperkirakan akan meningkat secara bermakna, mencapai

414% dalam 35 tahun. Pada tahun 2010, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia akan mencapai kurang lebih 19 juta.10 Transisi demografis ini akan berdampak terjadinya transisi epidemiologi penyakit. Insiden dari penyakit kronik degeneratif dan keganasan akan meningkat. Meningkatnya angka kesakitan akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan usia lanjut akan layanan kesehatan.

Sebanyak kurang lebih 10 persen dari populasi usia lanjut dirawat di rumah sakit tiap tahunnya.10Kelompok populasi ini ditandai dengan adanya multi morbiditas yang diartikan sebagai terdapatnya dua atau lebih penyakit kronik penyulit, disabilitas dan kondisi-kondisi debilitatif lain seperti polifarmasi, gangguan sensorik, inkontinensia, riwayat jatuh, gangguan kognitif dan berkurangnya partisipasi dalam aktifitas-aktifitas sosial.9Hampir semua populasi usia lanjut memiliki lebih dari satu penyakit kronik.4Kondisi akut yang menyebabkan butuhnya perawatan inap di rumah sakit akan diperberat dengan adanya berbagai penyakit kronik tersebut.11

2.3 Geriatric Conditions dan Geriatric Giants

Berbagai penyakit kronik yang biasanya menyertai dan memperberat kondisi akut dari usia lanjut, yang secara langsung maupun tak langsung diakibatkan oleh proses degeneratif disebut pula sebagai geriatric conditions. Geriatric conditions tidak boleh dianggap remeh karena kehadirannya mencerminkan berkurangnya kapasitas fungsional tubuh dan daya cadangan faali tubuh.12 Kombinasi dari berbagai kondisi akut dan geriatric’s conditions tersebut merupakan prediktor yang penting terhadap berkurangnya fungsi kognitif, fungsional dan mortalitas.13

Istilah sindrom geriatri semakin marak digunakan di panduan klinisi dan literatur geriatri untuk menekankan kondisi usia lanjut yang unik, yang berbeda dengan populasi lainnya.14 Istilah ‘‘Giants of Geriatrics’’ diciptakan oleh Bernard Isaacs untuk menekankan sindrom geriatri terpenting, yaitu empat “I” yaitu Instabilitas, Imobilitas, gangguan Intelektual dan Inkontinensia.15 Meskipun demikian, konsep sindrom geriatri sampai saat ini sulit untuk didefinisikan. Istilah tersebut lebih menekankan pada suatu kondisi multifaktorial yang terjadi akibat

akumulasi gangguan-gangguan fungsi tubuh pada berbagai sistem yang mengakibatkan seorang individu rentan terhadap tantangan medis tertentu.16 Sindrom geriatri mempengaruhi kualitas hidup dan disabilitas, dan sangat erat kaitannya dengan kesintasan. Berbagai intervensi klinis dan model pendekatan geriatri telah didesain untuk mengatasi permasalah ini.17

Karakteristik khas pasien geriatri ini didasari oleh konsep alami yang terjadi seiring bertambahnya usia, yaitu penuaan. Untuk menjelaskan hal ini dikenal suatu istilah homeostenosis. Homeostenosis didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan fisiologis untuk menghadapi suatu kondisi akut, disebabkan telah terpakainya cadangan tersebut untuk mempertahankan fungsi fisiologis tubuh sehari-hari.3 Dengan penuaan, kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi homeostasis setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan akan menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada

“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya.1 Fisiologi penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu penyakit atau kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih. Mereka juga memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang yang berbeda dengan usia yang lebih muda. Wang dkk16 dalam suatu telaah sistematis menunjukkan sindrom geriatri terutama frailty, disabilitas, dan komorbiditas multipel memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan hospitalisasi pada pasien lanjut usia.

Keadaan kesehatan usia lanjut yang rumit, kompleks dan menantang ini membutuhkan suatu pendekatan diagnostik khusus, yang bersifat paripurna dan mencakup banyak disiplin. Pendekatan tersebut dikenal pula dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G).

2.4 Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri

Dari tahun ke tahun, terdapat peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit.

Dari peningkatan ini, yang menunjukkan laju peningkatan terbesar adalah pada kelompok usia lanjut.18Sehubungan dengan makin besarnya tingkat rawat inap pasien usia lanjut, perhatian terhadap isu ini semakin berkembang. Peningkatan populasi usia lanjut yang cepat dan penggunaan sarana kesehatan yang tidak proporsional oleh populasi ini kian hari kian menimbulkan kecemasan terhadap resiko mortalitas, disabilitas dan efisiensi penggunaan sarana kesehatan.19 Warren dkk mengamati bahwa masih terdapat kekurangan dalam evaluasi pasien usia lanjut yang dirawat.

Kekurangan yang dimaksud adalah tidak dievaluasinya berbagai faktor non medis lain, seperti fungsi sosial dan psikologis yang sebenarnya berperan penting dalam aspek penyembuhan dan pencegahan penyakit. Inilah yang memicu adanya pendekatan modern dari evaluasi pasien geriatri, yaitu Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri yang disingkat dengan P3G (Comprehensive Geriatric Assessment/CGA).

Telaah geriatri (geriatric assessment) sebenarnya telah digunakan dalam ilmu geriatri sejak era 1980.20 Telaah geriatri pada dasarnya bukanlah suatu intervensi, melainkan suatu sarana untuk mengidentifikasi komponen-komponen apa yang perlu ditatalaksana. Tujuan telaah geriatri pada populasi geriatri tradisional adalah untuk mengidentifikasi masalah kesehatan terkini yang sedang diderita dan untuk mengarahkan tatalaksana untuk mengurangi efek samping, serta mengoptimalkan status fungsional dari usia lanjut.21

Pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G) merupakan suatu pendekatan multidimensional, interdisiplin, yang bertujuan untuk memahami kondisi medis, psikososial dan kapasitas fungsional usia lanjut, mengidentifikasi masalah yang ada dengan tujuan memformulasikan rencana diagnostik, terapi dan follow up selanjutnya.6 P3G terutama bermanfaat dalam menangani pasien dengan banyak geriatric conditions, sebab pendekatan medis biasa tidak lagi memadai untuk mengatasi begitu banyak masalah yang saling terjalin berkait dan mempersulit

pengobatan. Masalah-masalah yang saling berjalin tersebut akan lebih mudah dipahami dan diidentifikasi melalu P3G.6

P3G tidak hanya mengevaluasi kondisi medis umum, namun juga kondisi fisik, fungsional, medis, psikokognitif dan psikososial. Hal ini terkait dengan konsep sehat oleh WHO22 dimana kesehatan diartikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan fisik, mental dan sosial dan bukan hanya berarti tidak terdapatnya penyakit atau kelemahan (“Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”). Tujuan dari pengobatan bukan lagi hanya menyembuhkan, namun juga mencegah penyakit lain atau komplikasi terkait, dan mempertahankan kondisi kesehatan pasien. Untuk mencapai hal ini, pendekatan interdisiplin menjadi sangat penting untuk diimplementasikan, dan bukan pendekatan multidisiplin.23,5

Mengingat besar dan kompleksnya masalah kesehatan usia lanjut dan dampak yang ditimbulkan terhadap biaya kesehatan, diperlukan suatu strategi yang tepat guna untuk mencapai pelayanan kesehatan dengan kualitas yang baik, efektif dan efisien.6 Dalam menyusun suatu strategi intervensi terhadap suatu masalah kesehatan, metode yang sebaiknya digunakan adalah dengan mengumpulkan bukti-bukti dari uji-uji klinis yang ada, disebut juga dengan literatur berbasis bukti (Evidence-based literature). Namun masalahnya hanya sedikit sekali uji klinis yang memiliki populasi usia lanjut didalamnya, dan lebih sedikit lagi yang memperhitungkan faktor biaya, sehingga metode ini sulit untuk diimplementasikan. Sedikitnya partisipasi populasi usia lanjut dalam studi-studi dikarenakan populasi usia lanjut adalah populasi yang rentan, sehingga tidak etis untuk mengikutsertakan populasi usia tersebut dalam suatu uji klinis yang berpotensi meningkatkan disabilitas dan mortalitasnya. Selain itu populasi usia lanjut sulit untuk dimasukkan dalam protokol uji klinis yang biasanya ketat dan memiliki persyaratan banyak, sehingga kalaupun diikutsertakan, sulit untuk mencapai titik akhir uji klinis.24 Sehingga dalam memilih suatu strategi intervensi yang sesuai untuk populasi usia lanjut dalam kaitannya dengan pembiayaan sebaiknya menggunakan analisis ekonomi kesehatan.

2.5 Sistem Jaminan Kesehatan di dunia

Perkembangan sistem kesehatan di dunia melahirkan masalah-masalah baru.

Berkembangnya konsep tentang definisi sehat oleh WHO yang tidak hanya menyangkut penyembuhan penyakit saja serta meluasnya lingkup kesehatan menyebabkan peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi sehat tersebut. Sistem pembayaran kesehatan suatu negara akan berperan penting dalam menentukan kualitas pelayanan kesehatan dan tingkat kesehatan negara terkait. Saat ini hampir seluruh negara maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan asuransi kesehatan nasional yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai rumah sakit. Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas pelayanan kesehatan.26

Pada awal terbentuknya suatu sistem jaminan asuransi kesehatan nasional, digunakan konsep dasar sistem pembayaran fee for service atau cost based.26 Sistem ini membayarkan biaya kesehatan seorang individu dengan menghitung besarnya biaya tiap komponen yang terlibat dalam pelayanan kesehatan individu tersebut.

Dalam perkembangannya, ternyata hal ini membawa pengaruh negatif terhadap efektivitas biaya layanan kesehatan, karena memacu fasilitas layanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit) untuk tidak lagi memikirkan perlu atau tepat tidaknya suatu prosedur atau intervensi kesehatan terhadap pasiennya, melainkan hanya melihat aspek untung ruginya intervensi tersebut. Tentu saja hal ini menyebabkan pemberi layanan kesehatan untuk berlomba memberikan intervensi yang belum tentu tepat dan berdaya guna, sehingga akhirnya dapat merugikan penerima layanan maupun penyedia dana kesehatan. Selain itu sistem ini dinilai tidak memacu berkembangnya kualitas dan efektivitas layanan kesehatan, terutama dari segi non terapeutik, yaitu segi promotif atau preventif.26

Konsep Jaminan atau Asuransi Kesehatan Nasional (JKN/AKN) pertama kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1911 yang didasarkan pada mekanisme asuransi kesehatan sosial yang pertama kali diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah

itu banyak negara lain menyelenggarakan JKN seperti Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina (1997), dan Korea Selatan (2000). Saat ini penetapan pembiayaan yang dipakai oleh asuransi kesehatan sosial adalah berdasarkan klasifikasi Diagnosis Related Groups (DRG) atau Case Based Group (CBG).25

2.6 Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups

Diagnosis-Related Groups (DRG) merupakan suatu sistem yang mengklasifikasikan kasus-kasus kesehatan dalam berbagai grup, awalnya sejumlah 467 grup.27Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Robert B Fetter PhD dari Yale School of Management, dan John D. Thompson, MPH, dari Yale School of Public Health.27 Sistem pembayaran ini dimaksudkan untuk menggantikan sistem pembayaran "cost based" yang dinilai tidak efektif.

DRGs didesain berdasarkan ICD (International Classification of Diseases) diagnosis, prosedur, umur, jenis kelamin, lama rawat, dan ada tidaknya komorbid.

Sistem DRGs telah digunakan di Amerika sejak tahun 1982, dalam sistem kesehatan nasionalnya yaitu Medicare.28Setelah itu, DRG merupakan sistem pembayaran yang banyak di adopsi di berbagai negara industri termasuk Eropa. Eropa menggunakan sistem klasifikasi pembayaran DRGs agar pembiayaan kesehatan lebih transparan dan memperbaiki efisiensi. DRG dianggap transparan karena mengelompokkan pasien dalam angka-angka yang secara ekonomi dan klinis bermakna dan dapat diukur misalnya prosedur pemasangan dua stent untuk penyumbatan pembuluh darah koroner secara elektif atau stroke iskemik pasien di atas 60 tahun.

Selain dinilai transparan, sistem DRG diharapkan mampu mengubah sikap para penyedia layanan kesehatan. Pembatasan sistem “reimbursement” kepada penyedia layanan kesehatan diharapkan dapat mendorong mereka untuk lebih kreatif, inovatif dan efisien dalam menjalankan pelayanan kesehatannya. Fasilitas layanan kesehatan yang dapat tepat memilih pemeriksaan diagnostik dan terapinya dapat memperoleh laba dari selisih jumlah yang dibayarkan pemerintah dengan biaya yang

sesungguhnya dikeluarkan dalam menangani pasien dengan penyakit tertentu tersebut.26

Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRGs sudah menjadi sistem kapitasi utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara berpenghasilan tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Tetapi di negara dengan penghasilan kecil-menengah, sistem berbasis DRGs ini baru saja dikembangkan. Sistem pembayaran DRGs sering disamakan dengan case-based atau case-mixed based, tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih.29

2.7 Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia

Setelah melakukan berbagai kajian dan kunjungan para legislatif maupun eksekutif ke berbagai negara untuk belajar tentang sistem JKN, pada tanggal 28 September 2004, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang salah satunya berisi JKN disetujui Rapat Pleno DPR untuk diundangkan. Pada tanggal 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengundangkan UU SJSN dengan upacara khusus yang dihadiri menteri-menteri terkait dan anggota inti Tim SJSN. Dalam kelanjutannya, terdapat berbagai benturan dan halangan dalam perwujudannya, dari segi administrasi, keputusan politik, kesiapan sarana prasarana dan isu sosial politik medis lain, sehingga SJSN tidak dapat segera terlaksana.25

Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan skema community based insurance pada tahun 2004. Melalui Asuransi Kesehatan Masyarakat miskin (Askeskin) yang ditargetkan untuk masyarakat tidak mampu, penduduk Indonesia mampu mendapatkan akses pelayanan yang lebih besar. Pada tahun 2008, Askeskin berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang melindungi sekitar 76,4 juta penduduk Indonesia. Saat itu mulai diimplementasikan sistem DRG. Pada tahun 2010, terjadi perubahan nama dari sistem DRG menjadi INA-CBG. Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United Nation University Internasional Institute for Global Health(UNU - IIGH). Universal Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat

dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.

Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9 CM). Sistem ini dihitung menggunakan beberapa variabel : diagnosis utama dan diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan komplikasi dan prosedur kedokteran yang dilakukan, serta lama rawat. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan pola pengobatan dan pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi dianggap serupa. Sistem ini kemudian diimplementasikan oleh Kementerian Kesehatan Indoensia sampai dengan tahun 2013, dimana tercatat penggunaan sistem ini dalam klaim Jamkesmas telah terlaksana di 515 RS Swasta dan 747 RS Pemerintah.30

Pada evaluasinya, terjadi peningkatan budget menjadi tiga kali lipat dibandingkan awal program yang menyebabkan pengeluaran anggaran untuk kesehatan membengkak. Muncul pertanyaan yang mendasar terkait ekuitas, kemampuan bayar, dan kelanggengan program lewat sistem asuransi kesehatan ini.

Pada akhirnya sistem ini menyebabkan banyak inefisiensi karena luasnya geografi Indonesia, adanya ketimpangan urban-rural, dan ketidakseimbangan antara pasien yang benar-benar tidak mampu atau pasien yang sebenarnya mampu, sampai lemahnya pengawasan terhadap kualitas pelayanan melalui sistem ini.31

Sampai dengan akhir tahun 2013, masyarakat Indonesia yang telah memiliki Jaminan kesehatan sebanyak 176.844.161 juta jiwa (72%)7terdiri dari:31

a) JAMKESMAS : 86.400.000 (36,3 %) b) JAMKESDA : 45.595.520 (16,79 %)

c) Perusahaan menjaminkan karyawannya sendiri: 16.923.644 (7,12 %) d) ASKES PNS : 16.548.283 (6,69 %)

e) JPK JAMSOSTEK : 7.026.440 (2,96 %)

f) Commercial insurance : 2.937.627 (1,2 %)

g) TNI/POLRI/PNS KEMHAN : 1.412.647 (0,59 %)

Setelah rentang waktu kurang lebih 10 tahun sejak diputuskannya Undang-undang terkait perwujudan SJSN, baru akhirnya pada awal Januari 2014, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai diterapkan di Indonesia.31 SJSN merupakan amanat UUD 1945 yang mewajibkan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu, sesuai dengan martabat kemanusiaan. Sistem jaminan kesehatan ini menggantikan sistem sebelumnya, dimana tiap daerah dan atau BUMN menyelenggarakan sistem jaminan kesehatan masing-masing sesuai ruang lingkup dan anggotanya. Jaminan Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan badan hukum publik milik negara yang bersifat non profit dan bertanggungjawab kepada Presiden. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan penyatuan dari beberapa BUMN yang ditunjuk, yaitu PT. Jamsostek, PT. Askes, PT. Taspen, dan PT.

Asabri.7 Jaminan kesehatan yang tercakup dalam JKN ini diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan perseorangan yang komprehensif, mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan, termasuk obat dan bahan medis dengan teknik layanan terkendali mutu dan biaya (managed care).

Bagi tiap peserta SJSN ini atau lebih lazim disebut dengan JKN, diwajibkan membayar iuran jaminan kesehatan. Bagi yang mempunyai upah/gaji, besaran iuran berdasarkan persentase upah/gaji dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja. Bagi yang tidak mempunyai gaji/upah besaran iurannya ditentukan dengan nilai nominal tertentu, sedangkan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu membayar iuran, maka iurannya dibayari pemerintah. Pembiayaan BPJS diatur dalam APBN 2013.

Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk persiapan pelaksanaan SJSN berupa penyertaan modal negara, peningkatan kapasitas puskemas dan rumah sakit milik pemerintah. Selain itu, pemerintah juga menyediakan anggaran untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan manfaat pelayanan kesehatan, serta anggaran sosialisasi, edukasi dan advokasi kepada masyarakat tentang SJSN dan BPJS. Mulai 2014,

Pemerintah menanggung iuran bagi masyarakat miskin dan kurang mampu (yang disebut sebagai Penerima Bantuan Iuran atau PBI) untuk menjamin keikutsertaan mereka dalam program ini.7

Masa berlaku JKN ditentukan oleh masih tidaknya peserta terkait membayar iuran. Bila peserta tidak membayar iuran atau meninggal dunia maka status kepesertaannya akan hilang. Iuran Jaminan Kesehatan merupakan sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja dan/atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan, dan diatur berdasar Perpres No. 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI. Besarnya iuran jaminan kesehatan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI). Prinsip pembayaran iuran tidak berlaku bagi peserta PBI, dimana jaminan Kesehatan dibayar oleh Pemerintah.7

Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan baik fasilitas kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui kredensialing.31

2.8 Perbedaan sistem JKN dengan sistem sebelumnya

Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.7

Program JKN digelar berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas, yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan medis yang tak terkait

dengan besaran iuran yang dibayarkan. Hal inilah yang membedakan sistem JKN dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya. Sistem JKN merupakan suatu asuransi sosial yang universal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu asuransi sosial dan universal.

Sistem asuransi berarti adanya sistem iuran, yang besarnya ditetapkan sebagai prosentase tertentu dari upah, bagi mereka yang memiliki penghasilan. Pemerintah akan membayarkan iuran bagi mereka yang tidak mampu (fakir miskin). Iuran tersebut bersifat wajib dan bersifat sebagai dana amanat, dalam arti penggunaannya sepenuhnya untuk pengembangan sistem JKN, dan bukan diperhitungkan sebagai laba. Sistem JKN akan diselenggarakan oleh BPJS yang merupakan badan hukum khusus, bukan lagi seperti BUMN yang berasaskan laba, sehingga memiliki paradigma yang sepenuhnya berbeda. Universal dalam arti kedepannya hanya akan ada satu sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia, yang mencakup seluruh rakyat Indonesia dan berlaku di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan jaminan kesehatan sebelumnya dimana terdapat berbagai jenis jaminan kesehatan dengan pelbagai cakupan dan iuran yang berbeda. Penetapan sistem JKN ini bertujuan untuk tercapainya universal coverage untuk jaminan kesehatan, sehingga tiap penduduk terpenuhi hak asasinya untuk mencapai suatu kondisi sehat.31

Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan

Perbedaan lain dari sistem JKN ini dengan sistem jaminan kesehatan sebelumnya adalah perbedaan sistem pembiayaannya. BPJS Kesehatan akan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 23-0)