• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Besar Sampel

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 50-0)

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.5 Estimasi Besar Sampel

Untuk analisis kesintasan, digunakan perhitungan besar sampel menggunakan rumus uji hipotesis untuk survival:

( Z α + Z β )2[ Ǿ ( λc) + Ǿ ( λi)]

( λc - λi)2

Dengan menggunakan alpha : 0.05, power penelitian 80%, λi (kesintasan kelompok intervensi) sebesar 90% dan λc (kesintasan kelompok kontrol) sebesar 75%,41diperoleh besar sampel untuk masing-masing grup adalah 105. Sehingga total jumlah sampel yang diperlukan untuk kedua grup adalah 210.

Untuk analisis efektivitas biaya, dilakukan total sampling dalam periode waktu yang telah ditentukan.

4.6 Identifikasi Variable Penelitian 4.6.1 Variabel dependen

Kesintasan dan efektivitas biaya 4.6.2 Variabel independen Sistem pembiayaan JKN

4.7 Instrumen dan tatacara pengumpulan data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah:

 Data sosiodemografik pasien

 Data antropometri dan status gizi pasien

 Data komorbid dan pengobatan dari status pasien

 Data medis awal berupa keluhan utama dan diagnosis masuk dan keluar

 Data laboratorium

Instrumen yang digunakan adalah:

 Rekam medis

 Resume medis

 Catatan pembiayaan pasien

Electronic Health Record RSCM

4.8 Cara pengambilan sampel

Sampel diambil dari catatan rekam medis atau resume medis pasien di Unit Rekam Medis RSCM dan Unit Pusat Administrasi dan Keuangan RSCM. Status pasien yang memenuhi kriteria inklusi/eksklusi dipilih. Setelah itu dilakukan pencatatan data demografis dasar, komorbiditas, data laboratorium dan status gizi pasien. Penelusuran biaya rawat pasien dilakukan melalui Unit Keuangan RSCM dan catatan tagihan pasien selama perawatan. Khusus untuk pasien-pasien yang pulang dari perawatan

sebelum waktu pengamatan event (kematian) selesai, dilakukan penelusuran lewat telepon atau wawancara langsung untuk melihat apakah pasien meninggal atau tidak dan ditulis waktu dan sebab kematiannya. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode tersebut di atas sampai mencakupi semua pasien yang dirawat pada periode waktu yang telah ditentukan.

4.9 Alur penelitian

Gambar 4.1. Alur penelitian 4.10 Analisis data

Data medis pasien dan keuangan diambil dari unit rekam medis dan pusat administrasi dan keuangan RSCM. Tabulasi dilakukan menggunakan program pengumpulan data elektronik Microsoft Access 2010, sedangkan analisis data menggunakan program SPSS 21. Data karakteristisk sosio-demografik, antropometrik, diagnosis klinis dan pengobatan pasien dijabarkan dengan menggunakan metode statistik deskriptif. Data-data numerik dijabarkan dengan

Pasienusia ≥60 tahun yang dirawat di ruangrawatinapakutGeriatri

RSCM

Pengumpulan data (Total sampling) Kriteria Inklusi/eksklusi

Tabulasi data

Analisis data

Penyusunan laporan dan publikasi

SPSS 21 Data sosiodemografik

Data antropometridan status gizi Data komorbid

Data pengobatan Data laboratorium Data mortalitas Data pembiayaan

Microsoft Access 2010

mean/median dan menyertakan deviasi standar. Data nominal dijabarkan dalam bentuk proporsi dengan menyertakan interval kepercayaan 95% dan nilai p.

Analisis cost effectiveness menggunakan Incremental cost effectiveness ratio (ICER). Incremental cost effectiveness ratio (ICER) dihitung untuk menilai efektivitas intervensi yaitu sistem pembiayaan dengan efek yaitu kesintasan. ICER dihitung dengan membagi selisih antara mean biaya yang dikeluarkan selama masa rawat pada periode JKN dan mean biaya selama masa rawat pada periode sebelum JKN, dengan selisih proporsi kematian pasien sebelum dan saat era JKN.

Untuk analisis kesintasan, dibuat kurva kesintasan untuk masing-masing kelompok menggunakan analisis kaplan meier. Selanjutnya dilakukan uji log rank untuk membandingkan kedua kurva kesintasan dari kedua kelompok tersebut dan melihat distribusinya.

4.11 Masalah etika

Penelitian ini telah mendapatkan ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor 753/UN2.F1/ETIK/2014. Semua data rekam medik yang dipergunakan dijaga kerahasiaannya.

4.12 Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai sebutan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian kohort dengan kontrol historis, dilakukan pada bulan Agustus-September 2014 dengan mengumpulkan data rekam medis pasien geriatri yang dirawat di ruang rawat geriatri pada dua periode waktu, yaitu periode pra JKN sebagai kontrol dan periode JKN sebagai kelompok studi. Periode pra JKN diambil dari periode perawatan Juli-Desember 2013, dan periode JKN dari bulan Januari-Juni 2014. Bagan pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 5.1.

Gambar 5.1. Bagan pengambilan sampel

Terdapat 319 pasien yang menerima P3G pada periode perawatan Juli 2014-Juni 2014. Sebanyak total 94 subjek dieksklusi, dengan rincian : 8 subjek dieksklusi karena pindah ruangan, 13 subjek karena periode perawatan melewati saat pergantian ke sistem pembiayaan JKN yaitu 31 Desember 2013 dan 73 subjek yang tidak ditemukan catatan rekam medisnya. Jumlah sampel akhir yang dianalisis sebanyak 225 subjek, 100 di kelompok non JKN dan 125 di kelompok JKN.

Jumlah pasien geriatri yang menerima P3G pada periode penelitian : 319 subjek

Sampel aktual: 225 subjek

non JKN : 100 subjek JKN : 125 subjek Eksklusi : 94 subjek (Pindah ruangan : 8 subjek,

Melintasi dua periode pembiayaan : 13 subjek, rekam medis tidak ditemukan : 73 subjek)

Pada subjek yang dieksklusi dilakukan analisis sensitifitas, dan tidak ditemukan perbedaan pada karakteristik kedua kelompok. Hanya terdapat satu perbedaan yang bermakna, yaitu perbedaan proporsi subjek yang memiliki diagnosis rawat sindrom delirium akut.

5.1 Karakteristik Subjek

Jenis kelamin pada kelompok JKN sebagian besar adalah perempuan (53,6%), setara dengan kelompok kontrol (59%). Median usia 68 tahun (rentang 60-85 tahun) pada kelompok JKN dan 70 (rentang 60-86 tahun) pada kelompok non JKN. Sebagian besar subjek penelitian berstatus menikah (JKN vs non JKN = 56% vs. 55%) dengan pendidikan terbanyak hanya mencapai SD. Sebagian besar sudah pensiun dan tidak bekerja saat ini. Suku yang terbanyak adalah suku Jawa dan Betawi. Hampir semua subjek di kedua kelompok memiliki gizi yang baik atau lebih, dan hanya sebagian kecil (15,2% vs 14%) yang memiliki gizi kurang. Karakteristik demografis dapat dilihat di tabel 5.1.

Tabel 5.1. Gambaran karakteristik demografis pada kelompok Non JKN dan kelompok JKN

Diploma-Sarjana

Selama perawatan, beberapa pasien menjalani prosedur atau tindakan medis sebagai bagian dari tatalaksana penyakitnya. Prosedur atau tindakan medis tersebut akan mempengaruhi lama rawat dan biaya perawatan, dan terkait erat dengan diagnosis pasien. Tindakan dibagi menjadi bedah dan non bedah. Intervensi non bedah antara lain tindakan endoskopi, kolonoskopi, ligasi varises esofagus, pemasangan catheter double lumen dan akses vena sentral, kateterisasi jantung, dialisis, pemasangan mini drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, biopsi sumsusm tulang, bronkoskopi, dan biopsi. Sedangkan intervensi bedah mencakup debridemant, nefrostomi, pembuatan pintas arteriovena, STSG (split thickness skin graft), dan pemasangan double J stent. Sebagian besar pasien tidak menjalani tindakan selama perawatan (56% pada non JKN dan 60% pada JKN).

Dari keluhan utama, 15% dan 22,4% subjek pada era non JKN dan JKN datang dengan penurunan kesadaran. Hal ini berbeda dengan diagnosis awal di ruang

rawat, karena terdapat sebanyak 34% dan 39,2% (Non JKN dan JKN) subjek yang didiagnosis dengan sindrom delirium akut.

Untuk diagnosis selama perawatan, kedua kelompok memiliki distribusi penyakit dengan persentase yang kurang lebih sama. Tiga penyakit terbanyak pada kedua kelompok secara berurutan dari yang terbesar adalah pneumonia, sindrom delirium akut dan sepsis. Infeksi merupakan masalah utama pada kedua kelompok, dengan infeksi terbanyak adalah pneumonia, baik pada kelompok Non JKN dan JKN (67% dan 68,8%). Infeksi yang disertai sepsis terjadi pada 29% dan 30,4% subjek, secara berturutan pada kelompok non JKN dan JKN.

Skor APACHE II dihitung sebagai parameter berat ringannya kondisi morbiditas, sebagai prediktor mortalitas pasien yang dirawat. APACHE II menggabungkan parameter klinis, laboratorium dan komobiditas untuk mendapatkan suatu skor yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas. Didapatkan nilai tengah skor APACHE II antara kelompok JKN dan non JKN tidak berbeda (12 dan 13).

Kadar albumin serum merupakan salah satu parameter laboratorium penting yang dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas dan terkait berat ringannya kondisi morbiditas pasien. Dapat dilihat pada tabel tidak terdapat perbedaan antara rerata kadar albumin kelompok JKN dan non JKN (2,96 [SD=0,67]; 3,08 [SD=0,71]).

Karakteristik klinis lain dapat dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Gambaran karakteristik klinis selama perawatan pada kelompok Non JKN dan kelompok JKN

Karakterikstik Subjek Non JKN n= 100 JKN n= 125 Keluhan utama, n (%)

Penurunan kesadaran

Bukan penurunan kesadaran 15 (15,5)

84 (84,5) 28 (25,2) 90 (74,8) Diagnosis selama rawata, n (%)

Pneumonia Skor APACHE II, median (min-max) 13 (5-27) 12 (5-27) Kadar Albuminc, mean (SD) 3,08 (0,71) 2,96 (0,67) IMTd, n(%)

Tidak ada data 30 (30) 54 (43,2)

aTerdapat 10 sampel yang missing = 2 pada Non JKN, 8 pada JKN

bTerdapat 14 subjek yang missing = 2 pada non JKN, 12 pada JKN

cTerdapat 25 subjek yang missing = 11 pada non JKN, 14 pada JKN

dTerdapat 84 subjek yang missing = 30 pada non JKN, 54 pada JKN

5.3 Mortalitas dan Kesintasan

Salah satu parameter keberhasilan suatu layanan kesehatan dapat dilihat dari angka mortalitas dan kesintasan. Suatu program atau intervensi yang berhasil menurunkan angka mortalitas dinilai baik secara klinis. Pada penelitian ini dibandingkan mortalitas antara kelompok JKN dan non JKN. Luaran perawatan dari kedua grup memiliki distribusi yang kurang lebih sama, dimana pasien meninggal saat perawatan sebanyak 28% pada kelompok JKN dan 31,2% pada kelompok JKN (p=0,602). Besar kesintasan kumulatif pada kelompok JKN dan non JKN sebesar 65,2% dan 66,4% (p

= 0,086). Sebanyak 14% pasien pulang atas permintaan sendiri pada kelompok non JKN, dan 9,6% pada kelompok JKN.

Untuk melihat hubungan antara mortalitas dengan waktu, dilakukan analisis kesintasan menggunakan Kaplan Meier. Waktu pengamatan terjadinya event (kematian) adalah 30 hari. Sampel yang tidak dapat menyelesaikan waktu pengamatan tersebut akan disensor. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kurva kesintasan JKN dan non JKN (p=0.831). Kurva kesintasan kedua kelompok dapat dilihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2. Kurva Kesintasan JKN dan non JKN 5.4 Biaya rawat

Biaya perawatan merupakan komponen penting dalam analisis ekonomi kesehatan, untuk melihat suatu program bukan dari segi medis klinis namun dari segi efektivitas biayanya. Dalam penelitian ini, biaya yang diukur adalah biaya langsung, bukan biaya tidak langsung. Biaya langsung dibagi menjadi biaya ruang rawat, biaya material, biaya sarana, dan biaya penunjang.

Biaya total untuk pembiayaan satu kali rawat pada era non JKN memiliki median 19 juta (min 2 juta, maks 141 juta) dan pada era JKN yaitu 20,8 juta (min 3 juta, maks 104 juta). Biaya terbesar berasal dari biaya material dan biaya sarana.

Rincian biaya selama perawatan dapat dilihat di tabel 5.3. Tidak terdapat perbedaan antara kelompok JKN dan non JKN dari masing-masing kategori biaya tersebut dan

biaya total. Pada gambar 5.2 dapat dilihat penggunaan jaminan kesehatan pada kedua era sistem pembiayaan. Pada era JKN, semua subjek menggunakan JKN, tidak ada yang menggunaan pembiayaan sendiri. Pada era Non JKN ada 8,4% subjek yang menggunakan biaya sendiri.

Tabel 5.3. Biaya perawatan era non JKN dan JKN Biaya Perawatan

[median(min-maks)]

Non JKN (x106Rupiah) JKN (x106Rupiah)

Biaya ruang rawat

Gambar 5.3 Penggunaan Jaminan kesehatan pada perawatan 5.5 Analisis efektivitas biaya

Askes Jamkesmas Jamkesda KJS Umum JKN

Analisis efektivitas biaya adalah suatu analisis untuk membandingkan luaran suatu program atau intervensi dengan mempertimbangkan komponen biaya. Dengan menggunakan rumus ICER, dapat dilihat deskripsi biaya dan kesintasan pada era JKN dibandingkan dengan era non JKN.

ICER =

rerata biaya total era JKN – rerata biaya total era non JKN Kesintasan 30 hari era JKN – Kesintasan 30 hari era non JKN

Didapatkan hasil ICER=

(+)1.462.880 (-) 0,012 Selanjutnya bila kita plot ke dalam koordinat :

Gambar 5.4. Plot nilai ICER -10

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10

-20 -15 -10 -5 0 5 10 15 20

ICER Biaya-mortalitas

Kesintasan (%) Biaya (x105Rupiah)

Dari gambar 5.4 dapat dilihat letak titik ICER di kuadran kiri atas. Ini menunjukkan dengan menginvestasi biaya sebesar 1,46 juta rupiah terjadi kehilangan kesintasan 30 hari sebesar 1,2%.

6.1 Proses Recruitment Subjek

Pada penelitian ini terkumpul sebanyak 225 subjek, dengan distribusi 100 subjek pada era non JKN dan 125 subjek pada era JKN. Jumlah subjek yang terkumpul telah memenuhi perhitungan besar sampel, namun jumlah subjek pada kelompok yang diteliti (JKN) lebih besar dibanding kelompok kontrol. Dalam melakukan analisis membandingkan dua kelompok, secara statistik idealnya perbandingan jumlah kelompok kontrol dan yang diteliti adalah 1:1, lebih baik bila kelompok kontrol lebih banyak, mencapai perbandingan 2:1. Pada penelitian ini jumlah sampel kontrol lebih sedikit dari yang diteliti, dengan perbandingan 0,8:1. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasi hasil penelitian.

Pada pengumpulan sampel penelitian ini, dilakukan eksklusi pada subjek yang tidak memenuhi kriteria eksklusi. Terdapat 94 subjek yang dieksklusi, 45 pada era JKN dan 49 pada era non JKN. Eksklusi ini cukup banyak, dan menyebabkan missing data (data yang hilang) sebesar 29,4% dari total subjek. Hal ini dapat mempengaruhi validitas penelitian ini. Hal ini akan dibahas di subbab selanjutnya.

6.2 Karakteristik demografis

Karakteristik demografis subjek pada penelitian ini relatif sama antara kelompok JKN dan non JKN. Lebih dari 50 persen subjek pada kedua kelompok berjenis kelamin perempuan, dengan rasio jenis kelamin (RJK) antara laki-laki dan perempuan adalah 0,85. Hal ini sesuai dengan data demografis dari Bappenas Indonesia tahun 2013,6 dimana perempuan sedikit mendominasi populasi usia lanjut (RJK berkisar antara 0,68-0,96 pada kelompok umur 60-75+). Hal ini juga sesuai dengan karakteristik demografis di Cina, dimana Chan dkk42 mendapatkan populasi geriatri didominasi oleh perempuan (60 %) baik di dalam komunitas atau pada ruang rawat.

Kelompok usia terbanyak pada sampel yang didapat adalah pada kelompok usia 60-69 tahun (tabel 5.1). Median usia antara kedua kelompok JKN dan non JKN

relatif sama, yaitu 68 -70 tahun dengan rentang usia 60-86 tahun. Kelompok umur yang mendominasi adalah pada kelompok usia 60-79 tahun, sebesar 92% dari sampel.

Hasil pada penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Soejono5, yang mendapatkan kelompok usia terbanyak pada populasi geriatri yang menerima P3G di ruang rawat geriatri adalah pada kelompok 60-79 tahun, mencapai kurang lebih 88%. Buurman dkk43, lewat suatu penelitian yang dilakukan terhadap 639 subjek berusia diatas 65 tahun yang menjalani perawatan di Belanda, mendapatkan rerata usia pasien 78 tahun. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan selain dari perbedaan angka harapan hidup negara-negara Eropa dengan Asia, juga dikarenakan perbedaan kriteria usia subjek yang dikategorikan sebagai populasi geriatri (>65 tahun) sehingga lebih banyak terkumpul subjek dengan sebaran usia yang lebih lanjut. Studi yang dilakukan oleh Chan dkk42 di Cina mendapatkan rerata usia populasi geriatri yang diteliti berkisar antara 80-82 tahun. Perbedaan ini selain dikarenakan oleh kriteria usia geriatri yang digunakan berbeda (>65 tahun), juga bisa diakibatkan perbedaan lokasi pengambilan sampel, dimana Chan dkk42 mengumpulkan sampel dari komunitas dan panti jompo. Perbedaan lokasi ini menjadi penting mengingat populasi lansia yang menempati panti jompo biasanya adalah populasi dengan usia yang lebih lanjut yang memiliki tingkat kemandirian yang lebih rendah. Soejono5 dan Buurman43 mengumpulkan sampel dari ruang perawatan di rumah sakit, serupa dengan lokasi pengumpulan sampel penelitian ini.

Kedua kelompok, JKN dan non JKN, memiliki dominasi sebaran subjek dengan status gizi yang baik atau lebih. Hanya sebagian kecil pada kelompok JKN dan non JKN (15,2% dan 14%) yang memiliki gizi kurang. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Soejono5, dimana mayoritas subjek memiliki gizi yang baik dengan rerata IMT 18,24. Chan dkk42 juga memperoleh nilai rerata IMT yang dikategorikan sebagai gizi baik pada dua kelompok populasi geriatri yang diteliti, yaitu berkisar 21,9-22,5.

Data demografis lainnya pada penelitian ini adalah suku, agama dan pendidikan. Proporsi data demografis tersebut tidak berbeda diantara kedua kelompok

pada penelitian ini. Proporsi demografis ini sebanding dengan data demografis populasi usia lanjut di Indonesia terutama yang berdomisili di pulau Jawa yang didapat dari BAPPENAS 2013.6

Dari tabel 5.1 dapat dilihat sebaran karakterisitk demografis antara kelompok JKN dan non JKN relatif sama, sehingga secara demografis dapat disimpulkan kedua kelompok yang diteliti memiliki distribusi subjek yang serupa.

6.3 Karakteristik klinis

Karakteristik klinis yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah karakteristik medis pasien yang terkait dengan mortalitas, yaitu keluhan utama saat masuk, diagnosis, jumlah tindakan medis saat perawatan, skor APACHE dan kadar albumin serum.

Gambaran penyakit yang mendominasi pada subjek penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya oleh Soejono5, yaitu pneumonia dan sindrom delirium akut. Pada penelitian ini, pneumonia dan sindrom delirium akut merupakan diagnosis pada 68% dan 37% subjek, dengan distribusi yang sedikit lebih tinggi pada kelompok JKN. Penting diperhatikan di sini bahwa pada analisis data yang hilang, menunjukkan subjek dengan diagnosis sindrom delirium akut lebih banyak dieksklusi pada kelompok non JKN dibanding JKN sehingga dapat mempengaruhi hasil sebaran diagnosis pada subjek yang diteliti ini. Soejono dkk,5 pada tahun 2007, menemukan kondisi pneumonia dan sindrom delirium akut sebanyak 42,06% dan 38,79%, sebagai dua penyakit terbanyak. Perbedaan proporsi subjek yang memiliki pneumonia dengan studi ini menunjukkan betapa pentingnya pneumonia sebagai penyakit utama yang menyebabkan pasien membutuhkan perawatan, dengan prevalensi yang makin meningkat. Pada populasi geriatri di komunitas, laporan Riskesdas tahun 201343 menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, mencapai 7,8% pada populasi usia lanjut diatas 75 tahun. Penelitian oleh Buurman dkk43 di Belanda mendapatkan pula penyakit terbanyak adalah pneumonia, menunjukkan masalah pneumonia merupakan masalah global yang terdapat pula di negara berkembang, dan bukan hanya di negara berkembang seperti Indonesia, yang oleh PBB diklasifikasikan

sebagai less developed country.2 Adanya variasi lingkungan sosial dan ekonomi dari kedua profil negara tersebut, dimana pneumonia tetap menjadi penyebab utama perawatan pasien geriatri semakin menekankan peran penting faktor host dalam patogenesis terjadinya suatu penyakit. Pada geriatri terjadi perubahan-perubahan fisiologis pada seperti imunosenescence dan homeostenosis yang membuatnya rentan terkena infeksi.5 Ciri khas geriatri ini membuatnya rentan mengalami penurunan fungsi selama perawatan dan mempengaruhi morbiditaas dan mortalitas selama perawatan.45

Dari tabel 5.2 dapat dilihat beberapa geriatric giants yang teridentifikasi saat subjek masuk perawatan. Geriatric giants yang terbanyak ditemukan adalah imobilisasi, sindrom delirium akut dan instabilitas dengan riwayat jatuh, dengan proporsi yang relatif sama pada era non JKN dan JKN. Imobilisasi ditemukan pada 54% dan 49,6% subjek pada era non JKN dan JKN. Temuan ini serupa dengan yang studi oleh Burmann43, dimana imobilisasi merupakan geriatric giants yang terbanyak ditemukan, sebesar 58,5%. Hal ini dapat dimengerti karena geriatric giants sendiri merupakan morbiditas yang timbul terkait proses penuaan, sehingga tidak berbeda walaupun berada di lingkungan yang berbeda.

Kesetaraan beratnya penyakit saat masuk perawatan antara kedua kelompok pembiayaan ini ditentukan dengan membandingkan skor APACHE II. APACHE II merupakan sistem klasifikasi beratnya penyakit, awalnya banyak digunakan di setting perawatan intensif, namun seiring perkembangan waktu, penerapannya mulai diperluas. Sistem skoring APACHE pertama kali dikembangkan oleh Knaus et al di tahun 1981. Dalam perkembangannya, APACHE dikembangkan menjadi APACHE II dan APACHE III, namun skor APACHE II merupakan skoring yang paling sering digunakan. Skor APACHE II dinilai cukup akurat dalam menilai beratnya penyakit dan resiko kematian, terdiri dari komorbiditas, kondisi hemodinamik dan beberapa parameter laboratorium.

Skor APACHE II pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan antara kedua kelompok, dengan median pada era JKN adalah 12 dan pada era non JKN 13,

dengan nilai minimum dan maximum yang sama pada kedua kelompok. Nilai ini lebih tinggi dari nilai yang diperoleh Soejono5, yaitu 8,25. Perbedaan dari skor APACHE II sangat mungkin terkait lebih tingginya prevalensi pneumonia yang ditemukan pada penelitian ini, mengingat beberapa parameter klinis dan laboratorium di dalam skor APACHE II sangat terkait dengan ada tidaknya infeksi.

6.4 Mortalitas dan Analisis kesintasan

Salah satu parameter klinis keberhasilan suatu layanan kesehatan di rumah sakit adalah rendahnya angka mortalitas atau tingginya kesintasan pasien, selain rendahnya lama rawat, bertambahnya kualitas hidup, rendahnya angka rehospitalisasi dan status fungsional. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kematian saat perawatan ( 31,2% vs 28%, p = 0,602) dan kesintasan 30 hari ( 66,4%

vs 65,2 %, p = 0.086) pada kelompok JKN dan non JKN. Penelitian sebelumnya oleh Soejono5 dilakukan terhadap pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri pada tahun 2007, menunjukkan angka kesintasan pasien yang menerima P3G sebesar 80,4% atau angka mortalitas sebesar 19,6%. Perbedaan angka mortalitas penelitian ini dengan penelitian Soejono5 dapat disebabkan oleh dua hal. Yang pertama, subjek pada penelitian ini memiliki derajat keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan penelitian sebelumnya oleh Soejono5. Rerata skor APACHE pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan pada penelitian Soejono5, yang menandakan lebih beratnya beban penyakit yang diderita dan lebih buruknya prediktor mortalitas. Jumlah subjek yang dirawat dengan masalah utama pneumonia juga lebih banyak ditemukan pada studi ini (68%) dengan kurang lebih 14% subjek pada kedua kelompok memiliki gizi buruk. Karakteristik ini menunjukkan lebih beratnya kondisi penyakit subjek pada penelitian ini dengan faktor resiko mortalitas yang lebih tinggi. Penelitian oleh Calle dkk46 pada pasien geriatri dengan pneumonia komunitas mendapatkan angka mortalitas sebesar 24,2%, suatu nilai yang tidak terlalu berbeda dengan angka mortalitas pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan besarnya peran pneumonia sebagai prediktor mortalitas pasien geriatri yang dirawat inap.

Alasan kedua adalah adanya kemungkinan terdapat perubahan kualitas pelaksanaan P3G. Angka mortalitas era non JKN pada penelitian ini adalah 28%, sedangkan pada penelitian Seojono5 adalah 19,6%. Kedua angka tersebut diperoleh dari populasi geriatri yang sama-sama berada pada era non JKN, meskipun terdapat perbedaan waktu penelitian dan karakteristik klinis penyakit. Namun bila P3G

Alasan kedua adalah adanya kemungkinan terdapat perubahan kualitas pelaksanaan P3G. Angka mortalitas era non JKN pada penelitian ini adalah 28%, sedangkan pada penelitian Seojono5 adalah 19,6%. Kedua angka tersebut diperoleh dari populasi geriatri yang sama-sama berada pada era non JKN, meskipun terdapat perbedaan waktu penelitian dan karakteristik klinis penyakit. Namun bila P3G

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 50-0)