• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1

Latar Belakang

Terumbu karang merupakan kumpulan masyarakat (binatang) karang (reef corals), yang hidup di dasar perairan, yang berupa batuan kapur (CaCO3), dan

mempunyai kemampuan yang cukup kuat untuk menahan gelombang laut (Supriharyono 2007). Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, oleh sebab itu terumbu karang umumnya terdapat di wilayah beriklim tropis. Ada dua jenis terumbu karang yaitu terumbu karang keras (hard coral) dan terumbu karang lunak (soft coral). Terumbu karang keras merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang. Terumbu karang lunak tidak membentuk karang.

Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu faktor biologis, faktor fisika dan faktor aktifitas manusia. Faktor biologis dapat disebabkan oleh adanya predasi dari jenis karang ataupun biota karang yang bersifat aktif dan agresif dalam mendapatkan makanan, adanya penyakit yang disebabkan oleh bakteri, serta adanya bio-erosi. Faktor fisik seperti stress akibat temperatur air laut yang meningkat, sinar ultraviolet, pasang surut air laut, penurunan salinitas, adanya aktifitas gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami serta badai dan topan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Faktor yang disebabkan oleh aktifitas manusia yang dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang seperti penambangan karang, pengeboman, penggunaan cyanida atau potas, serta penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Selain itu, adanya sedimentasi serta pencemaran baik yang berasal dari limbah kota ataupun yang berasal dari penambangan minyak bumi (oil mining) juga dapat menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang (Herianto 2007).

Saat ini, kerusakan ekosistem terumbu karang khususnya di perairan laut Indonesia semakin parah. Berdasarkan beberapa sumber, diperkirakan luas terumbu karang di perairan Indonesia sekitar 60.000-86.000 km2, dari luas keseluruhan hanya

tinggal 6,48 % kondisinya masih sangat baik, 22,53 % baik, 28,39 % rusak, dan 42,59 % rusak berat (Rachmawati 2001).

Kondisi terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras <

5%). Porsi terbesar penyebab kerusakan terumbu karang adalah ulah manusia, diantaranya adanya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang, serta penebangan mangrove. Persen penutupan terumbu karang menunjukkan penurunan, dari 23% pada tahun 1985 menjadi 17% 1995, kemudian meningkat menjadi 32,9% pada 2004 dan 33,2% pada tahun 2005 (Estradivari et al. 2007).

1.2. Rumusan Masalah

Mengingat kerusakan ekosistem terumbu karang yang banyak terjadi di Indonesia, khususnya di Kepulauan Seribu, maka upaya rehabilitasi diperlukan untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang di Indonesia yang saat ini kondisinya sudah sangat menurun. Bila dibiarkan secara alami proses pemulihannya akan memakan waktu yang relatif lama, sehingga diperlukan upaya percepatan dengan rekayasa teknologi seperti teknologi fragmentasi melalui teknik transplantasi yang dapat mempercepat proses pemulihan ekosistem. Secara skematis, proses pemulihan ekosistem terumbu karang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema pemulihan ekosistem terumbu karang Ekosistem terumbu karang

Pembuatan habitat baru Degradasi ekosistem terumbu karang

Buatan (cepat) Rehabilitasi habitat

Alami (lambat)

Pemilihan spesies karang yang akan dipulihkan

Transplantasi dengan fragmentasi buatan

Pemulihan ekosistem Faktor alam dan manusia

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi jenis karang Stylophora pistillatadan Pocillopora verrucosa yang ditransplantasikan di Pulau Karya, Kepulauan Seribu Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi khususnya tentang transplantasi terumbu karang sebagai upaya merehabilitasi ekosistem terumbu karang yang telah rusak.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Hewan Karang

Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3),

batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber 2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan & Wells 1943 inSupriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup

kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian coralsadalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 in Supriharyono 2007).

Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic coralsadalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Supriharyono 2007)

Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang. Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan (Supriharyono 2007).

Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium (Ronsen 1988 inEfendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat

tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang, zooxanthellae dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi putih pucat dan bisa menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005). Zooxanthellae mendapat perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil sampingan metabolisme karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat sebagai bahan makanan. Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan organik termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007) Karang pembentuk terumbu merupakan koloni dengan sejumlah besar polip- polip kecil dengan diameter 1-3 mm, namun seluruh koloni dapat menjadi besar. Beberapa jenis polip soliter dengan diameter sampai 25 cm, misalnya fungia (Suwignyo et al. 2005). Setiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Bengen 2002). Setiap polip berbentuk seperti cangkir dengan lingkaran tentakel yang mengelilingi bagian tengah yang berfungsi sebagai mulut sekaligus anus. Tentakel memberi informasi melalui sel-sel penyengat (nematocysts) yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan menangkap mangsa (Bermuda Coexploration 2000 inSoehartono & Mardiastuti 2003). Anatomi polip karang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Anatomi polip karang (Sumich 1999 inBengen 2002) 2.2. Klasifikasi Hewan Karang

Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut Wells (1954)inSuharsono (2008) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Cnidaria

Kelas : Anthozoa

Sub kelas : Zoantharia Ordo : Scleractinia Famili : Pocilliporidae Genus : 1. Stylophora

2.Pocillopora

Spesies : 1. Stylophora pistillata 2. Pocillopora verrucosa

Filum Cnidaria merupakan salah satu filum yang besar dari hewan air dan kebanyakan merupakan hewan air laut. Kebanyakan hidup berkoloni, dimana setiap individu saling terhubung. Filum ini dua bentuk karakteristik polimorfisme yang diperoleh dari daur hidupnya, yaitu polip dan medusa (Kolzof 1990 in Prawidya 2003).

Anggota kelas Anthozoa merupakan cnidaria yang berpolip dan tidak mempunyai tahap medusoid. Memiliki polip khusus dibanding kelas Hydrozoa. Kebanyakan hidup berkoloni dan dapat mencapai ukuran besar, walaupun sebenarya individu polipnya kecil (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).

Ordo Scleractinia sering disebut dengan karang batu, karena menghasilkan rangka. Rangkanya terdiri dari kalsium karbonat dan terpisah oleh epidermis pada

basal disc(lapisan basal). Proses pemisahan ini menghasilkan mangkuk kapur, yang merupakan tempat polip bernaung. Pada dasar mangkuk, terdapat sklerosepta. Setiap sklerosepta ini terbentuk ke atas sampai ke dasar polip, menahan lapisan basal. Selama polip hidup, akan terus dihasilkan kalsium karbonat di bawah jaringan yang hidup (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).

Famili Pocilloporidae terdiri dari genus Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, Palaustrea danMadracis. Semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Koloni bercabang atau submasif, ditutupi oleh bintil-bintil (verrucosae). Koralit hampir tenggelam, kecil, kolumella, diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil (Suharsono 2008).

Genus Stylophora memiliki percabangan yang tumpul, kolumella menonjol, dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil dan permukaan koloni terlihat kasar (Schweigger 1819 in Suharsono 2008).

Spesies Stylophora pistillata (Gambar 4) memiliki koloni bercabang dengan percabangan pendek dengan ujung tumpul. Koloni biasanya berbentuk submasif dengan cabang pendek berupa kolom atau lempengan tebal. Koralit menonjol pada satu sisi dan pada sisi lain tenggelam dan tidak tersusun teratur. Biasanya berwarna kuning cerah dengan ujung berwarna ungu atau putih. Jenis ini umum ditemui di perairan yang dangkal dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Esper 1979 in Suharsono 2008).

Gambar 4. Fragmen jenis Stylophora pistillata(Dok. PKSPL-IPB 2009)

Genus Pocillopora memiliki ciri-ciri koloni hampir bercabang, submasif, koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumella, percabangan relatif besar dengan

permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae (Lamarck 1816 in Suharsono 2008).

Spesies Pocillopora verrucosa (Gambar 5) memiliki karakteristik koloni dapat mencapai ukuran besar dengan percabangan yang agak tegak ke atas, gemuk pada pangkal dan agak melebar di bagian atas dengan percabangan menimbulkan kesan teratur dan memiliki verrucosae yang tersebar merata dengan ukuran yang tidak seragam. Biasanya berwarna kuning pucat dan coklat muda dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Ellis & Solander 1786 in Suharsono 2008).

Gambar 5. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa(Dok. PKSPL-IPB 2009) 2.3. Sistem Reproduksi

2.3.1. Reproduksi seksual

Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono 2007). Perkembangbiakkan secara seksual melalui pemijahan atau pertemuan antara ovarium dan testes. Reproduksi seksual karang dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing- masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur yang telah dibuahi dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula (broader) (Coremap fase II 2006). Proses reproduksi seksual pada hewan karang dapat dilihat dari Gambar 6.

Gambar 6. Reproduksi sek 2.3.2. Reproduksi aseksual

Reproduksi aseksual pada tunas yang akan menjadi individu terus-menerus merupakan mekanisme untuk menambah koloni baru

fragmentasi dan pertunasan pada jenisnya, polip baru

(Gambar 7). Pada pertunasan ekstratentakular, bagian tubuh ke bawah (Gam

tumbuh dari penyekatan membujur Proses pertunasan diikuti pembentukan sk masing polip baru (Suwignyo

Gambar 7. Reproduksi aseksual pada h B. Pertunasan intratentakular (S

Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 19 seksual

aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara m menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi

koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi aseksual karang

pertunasan (budding). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular

pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah (Gambar 7-A). Pada pertunasan intertentakular, polip penyekatan membujur mulai dari oral diskke arah aboral (Gambar Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masin masing polip baru (Suwignyo et al.2005).

. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular, B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo et al. 2005).

ksual pada hewan karang (Nybakken 1992)

dengan cara membentuk pembentukan tunas yang koloni, tetapi tidak aseksual karang melalui pertunasan, tergantung atau intratentakular tumbuh dari setengah intertentakular, polip baru (Gambar 7-B). iikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masing-

2.4. Faktor-faktor Pembatas Kehidupan Karang

Terumbu karang di dunia tersebar hanya pada daerah 32 oLU sampai 32 oLS,

dimana garis lintang yang mengelilingi bumi ini merupakan batas maksimum bagi karang untuk dapat tumbuh dengan baik. Organisme pembangun karang hanya dapat hidup di perairan yang dangkal dimana terdapat sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara hidup mereka seolah-olah seperti tumbuhan (Hutabarat & Evans 1985). Selain itu, karang pembentuk terumbu juga dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah tertentu dimana sedimentasi sedikit dan terhindar dari arus dingin (Suharsono 1996).

Karang membutuhkan karakteristik lingkungan perairan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan hidup dengan baik. Rachmawati (2001) menyatakan bahwa terdapat parameter utama yang berpengaruh terhadap keberadaan terumbu karang, yaitu suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan dan nutrisi. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu sedimentasi, sirkulasi arus dan gelombang, kedalaman perairan (Dahuri 2003 ; Nybakken 1992). Faktor-faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi kehidupan karang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Faktor-faktor fisik yang bekerja pada polip karang (Nybakken 1992). 2.4.1. Suhu

Suhu air merupakan faktor penting yang menetukan kehidupan karang. Menurut Wells (1995) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29oC. Berdasarkan Dirjen PHKA (2008) suhu optimal untuk

pertumbuhan karang sebesar 26-30OC, dan menurut baku mutu air laut untuk biota

30OC. Karena sifat hidup ini ekosistem terumbu karang umumnya tumbuh di daerah

tropis, walaupun ada diantaranya yang dapat hidup di daerah sub-tropis seperti di perairan Bemuda, perairan sebelah selatan Jepang, dan perairan sebelah selatan Afrika Selatan (Supriharyono 2007).

Nybakken (1992) menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di dunia hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20oC.

Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu agak dibawah 20oC, tetapi menurut Wells (1957) inNybakken (1992) tidak ada terumbu karang yang

mampu berkembang pada suhu tahunan dibawah 18oC. Terumbu karang dapat

mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40oC, studi yang dilakukan oleh Coles & Jokiel

(1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) mengenai pengaruh limbah suhu, menjelaskan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah

atau diatas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan dapat mematikannya (Supriharyono 2007).

2.4.2. Salinitas

Menurut Nybakken (1992), Karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas normal, yaitu 32-35 PSU. Adanya aliran sungai yang bermuara ke perairan pantai menyebabkan penurunan salinitas pada perairan pantai, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehidupan karang sehingga pertumbuhannya menjadi tidak normal. Nilai salinitas dapat menurun hingga 20 PSU ataupun dapat naik melebihi 50 PSU secara temporal (Rachmawati 2001). Namun demikian, ada juga terumbu karang yang dapat hidup pada perairan yang memiliki kadar salinitas yang tinggi, yaitu sebesar 42 PSU seperti di Teluk Persia, wilayah Timur Tengah (Nybakken 1992).

2.4.3. Intensitas cahaya matahari

Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu, kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula (Dahuri 2003).

Cahaya memiliki korelasi penting dengan kedalaman, karena seberapa kedalaman yang memungkinkan untuk pertumbuhan karang, tergantung dari seberapa jauh cahaya matahari mampu menembus kolom air (Rachmawati 2001).

Terumbu karang umumnya tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Pada perairan yang jernih, kedalaman tersebut dapat bertambah hingga lebih dari 40 m, namun jarang ditemukan tumbuh dengan baik pada kedalaman lebih dari 50 m (Rachmawati 2001). Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benua- benua atau pulau-pulau (Nybakken 1992).

2.4.4. Arus

Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi (Dahuri 2003). Arus berperan dalam pemindahan nutrien, larva, dan sedimen. Sampah juga dapat berpindah dengan bantuan arus yang membawanya ke tempat lain. Karenanya kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi dan komposisi taksonomi ekosistem terumbu karang (Rachmawati 2001).

Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur terumbu karang yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah yang terkena gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu akan membentuk karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat tebal dan ujung yang datar. Sebaliknya pada perairan yang lebih tenang, akan terbentuk koloni yang berbentuk memanjang dan bercabang dengan cabang yang lebih ramping.

2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi

Kekeruhan dan sedimen juga merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Kekeruhan air dapat megurangi penetrasi atau intensitas cahaya di dalam air (Supriharyono 2007). Pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip karang (Bak 1978 in Supriharyono 2007). Pengaruh tidak langsung adalah melalui turunnya peneterasi cahaya matahari untuk fotosintesis, dan banyaknya energi yang dikeluarkan untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok & Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Ketika laju sedimentasi di perairan karang tinggi, laju pertumbuhan karang biasanya rendah (Supriharyono 2007).

Sedimentasi dan eutrofikasi (pengkayaan nutrien) merupakan salah satu penyebab utama degradasi ekosistem terumbu karang di dunia (Ginsburg 1993 in McClanahan 1997). Menurut McClanahan (1997), beberapa jenis karang seperti jenis Pocillopora, Favia, dan Montipora menunjukkan penurunan ukuran koloni pada kondisi perairan yang mengandung sedimentasi yang tinggi. Sedimentasi pada perairan juga dapat mempengaruhi keberadaan unsur hara yang terdapat pada perairan tersebut. Menurut Supriharyono (2007), unsur-unsur hara yang terikat pada sedimen tersebut dapat merangsang pertumbuhan alga di perairan karang. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga.

Rachmawati (2001) menggolongkan laju sedimentasi kedalam tiga kategori, yaitu kecil, bila laju kurang dari 10 mg/cm2/hari, memberikan dampak dalam

penurunan regenerasi, kelimpahan, dan keragaman spesies. Termasuk kedalam kategori sedang bila laju sedimentasi 10-50 mg/cm2/hari, dapat dianggap berbahaya

karena terjadi proses destruktif secara besar-besaran. Bila laju telah melebihi 50 mg/cm2/hari dapat menimbulkan kematian komunitas karang dan kerusakan terumbu

karang.

2.4.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortofosfat)

Perairan karang biasanya mengandung nutrien anorganik yang rendah (Grover 2003). Nitrat dan amonia adalah sumber utama nitrogen untuk produktivitas primer perairan laut (Codicpoti 1989 in Grover 2003). Kisaran konsentrasi nitrogen pada perairan karang sebesar 0,3- , μmol/L nitrat, dan sebesar - ,4 μmol/L amonia (Bythell 1990 ; D’Ellia & Wiebe 1990 ; Furnas 1991 inGrover 2003). Menurut Grover (2003), karang keras memiliki kemampuan untuk mengawetkan unsur hara dengan mengakumulasikan sisa-sisa metabolisme dari binatang induk (karang). Unsur hara ini dimanfaatkan zooxanthellae terutama apabila perairan sekitarnya miskin unsur hara (Muscatine 1973 in Supriharyono 2007). Dengan adanya kemampuan dalam mengawetkan unsur hara ini, maka ekosistem terumbu karang tidak membutuhkan masukan nutrien yang lebih besar (Charpy 2001). Nitrat dapat dihasilkan oleh oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003).

Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi indikasi adanya pencemaran bahan organik. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat

di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia juga dapat dihasilkan dari proses denitrifikasi nitrat pada kondisi perairan yang kurang oksigen. Amonia dan garam- garamnya bersifat mudah larut dalam air. Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia dari pada ikan (Effendi 2003).

Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen di perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003). Nilai parameter lingkungan yang baik untuk pertumbuhan karang berdasarkan baku mutu yang ditetapkan oleh MENKLH 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku mutu air laut untuk biota laut

Parameter Satuan Baku Mutu*

a. Fisika Kecerahan Kekeruhan Suhu b. Kimia Salinitas Amonia total (NH3-N) Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) m NTU OC PSU Mg/l Mg/l Mg/l 5-10% < 5 28-30 33-34 0,3 0,015 0,008 *) Baku mutu berdasarkan Kep.51/MENKLH/I/2004

Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga meningkat, sehingga hal ini dapat menyebabkan terganggunya kehidupan dan pertumbuhan karang. Peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001).

Pengaruh dari alga terhadap organisme karang dimulai dari peningkatan nutrien pada perairan terumbu karang. Hal ini memberikan pengaruh terhadap struktur dan fungsi komunitas karang (Tomascik & Sander 1987; Wittenberg & Hunte 1992 inTanner1995). Salah satu hipotesis yang berkaitan dengan peningkatan nutrien

Dokumen terkait