• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial. 76

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial. 76

Pengertian dari alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral

testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan. Sedangkan pengertian dari

alat bukti yang berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua (2) macam, yaitu : 1. Alat bukti riil.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya pistol atau

73

Munir Fuady, Op-cit, h. 5

74

Munir Fuady, Op-cit, h. 5

75

Munir Fuady, Loc.Cit

76

48

pisau yang telah digunakan untuk membunuh, atau mesin yang tidak berfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan.

2. Alat bukti demonstratif.

Alat bukti demonstratif dalam hal ini yang dimaksud adalah alat bukti yang merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian, misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model anatomi tubuh, dan sebagainya.

Alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial memiliki pengertian yaitu, adalah bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini, sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial, misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam sidang sebelumnya di kasus yang lain.77

Sedangkan Pasal 296 HIR menentukan bahwa : ”alat-alat bukti tersebut baik masing-masing maupun bersama-sama dapat dipergunakan oleh Hakim menambah keyakinannya untuk mengambil putusan”. Menurut Pasal 298 HIR, menyebutkan pula bahwa : “tidak satupun dari alat–alat bukti itu bersifat mengikat Hakim dalam mengambil suatu putusan apabila Hakim tidak berkeyakinan betul pada alat-alat bukti tersebut untuk menyatakan tersangka atau terdakwa bersalah”.

Disamping itu dalam HIR alat bukti “keterangan ahli” digabungkan dengan bukti kesaksian, sedangkan dalam KUHAP “keterangan ahli” merupakan jenis alat bukti tersendiri.

77

49

Sangat diperlukan mengenal jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam hukum acara pidana untuk menemukan pelakunya, disamping itu perlu pula diketahui kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.

Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat-alat buktu yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Penilaian sebagai alat bukti, dan dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah.

Alat-alat bukti seperti yang tersebut diatas telah diatur di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP baik mengenai isi, maupun nilainya, dan juga kekuatan pembuktiannya, antara lain :

1. Mengenai keterangan saksi.

Pasal 185 KUHAP ayat (5) KUHAP sudah menentukan bahwa baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. Dan dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain.

Jadi keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti sah. Keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang

50

dialami, dilihat atau didengar langsung oleh saksi sendiri.Hal ini adalah sesuai dengan tujuan dari hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran matriil dan untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena keterangan saksi sebagai hasil dari mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya.

Tetapi sebenarnya kesaksian yang didengar dari orang lain perlu pula didengar oleh Hakim dengan tujuan untuk memperkuat keyakinannya, tetapi tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian sehingga kekuatan hukum dari pembuktian seperti itu juga tidak terjamin. Hal yang demikian juga berkaitan dengan tidak dicantumkannya “pengamatan Hakim“ sebagai alat bukti tetapi dapat dimasukkan melalui alat bukti petunjuk, yang kemudian penilaian dan pertimbangannya diserahkan kepada Hakim.

Kesaksian saksi haruslah di sampaikan di hadapan Hakim dan dibawah sumpah dengan maksud agar Hakim dapat menilai dan melihat langsung pribadi, sikap prilaku ataupun gerak-geriknya pada waktu memberikan kesaksian, sehingga Hakim dapat meyakininya apakah kesaksiannya itu palsu, bohong, ngarang atau yang lain-lain.

Howard Abadinsky mengatakan bahwa :

The basic role of trial judge is that of referee. He/she ensures that the rules of law and proper judicial process are adhered to by defense and prosecution. In cases where there is a jury is to determine “facts”. When a defendant waives the right to ajury trial and requests a “bench trial” instead, the judge will determine facts as well as guilt or innocence.78

78

Howard Abadinsky, 1984, Discretionary Justice, Charles C Thomas Publisher, Springfield Illinois, USA, h. 63

51 Dalam terjemahan bebasnya bahwa :

Peran dasar Hakim adalah bahwa dari wasit. Ia memastikan bahwa aturan hukum dan proses peradilan yang benar yang dianut oleh pertahanan dan penuntutan. Dalam kasus di mana ada juri adalah untuk menentukan “fakta”. Ketika terdakwa menghapuskan hak untuk jury pengadilan dan permintaan ”coba bangku” sebagai gantinya, Hakim akan menentukan fakta serta bersalah atau tidak bersalah.

Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai dari suatu kesaksian seperti yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa : “keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.

Jadi kesaksian yang hanya diberikan oleh seorang saksi tidaklah cukup untuk mendakwa seseorang bersalah, apabila tidak ada alat bukti lain sebagai pendukungnya (unus testis nullus testis/ satu saksi bukanlah saksi). D Simons yang dikutip dari Andi Hamzah menyatakan bahwa :

“satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk dasar pembuktian”.79

Apa yang dikemukakan oleh D Simons seperti tersebut diatas dianut juga oleh KUHAP, dalam Pasal 185 ayat (2), demikian pula dalam Pasal 185 ayat (4). Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa : Jika satu keterangan saksi berdiri sendiri dipakai sebagai bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik.

Pasal 185 ayat (4) KUHAP menentukan bahwa :

79

52

”keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang sesuatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu”.

2. Mengenai keterangan ahli.

Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan dalam urutan yang kedua bahwa “keterangan ahli” disebut sebagai alat bukti. Tetapi KUHAP tidak menyebutkan secara jelas tentang siapa yang disebut sebagai ahli dan apakah “keterangan ahli” itu alat bukti atau tidak ? Sedangkan Pasal 186 KUHAP hanya menyebutkan bahwa :

“keterangan seorang ahli” ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam sidang pengadilan“.

KUHAP dalam Pasal 160 ayat (3) menentukan bahwa saksi wajib mengucapkan sumpah. Pasal ini tidak menyebutkan ahli. Sedangkan Pasal 161 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : dalam hal saksi atau ahli, tanpa menyebutkan alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji.

Dari kedua Pasal tersebut dapat diketahui adanya ketidak jelasan kedudukan dari seorang ahli, karena pada Pasal 160 ayat (3) , sumpah hanya diwajibkan pada saksi tanpa menyebutkan “ahli” sedangkan dalam Pasal 161 ayat (1) disebutkan dengan jelas tentang “saksi” dan “ahli”, yang dapat menolak untuk bersumpah atau berjanji apabila ada alasan yang sah .

53

Artinya, baik saksi maupun ahli yang dimintai keterangannya harus mengucapkan sumpah atau janji. Dilihat dari keterangannya pun antara keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, walaupun kadang-kadang sulit memisahkan dengan tegas, karena seorang ahli dapat pula merangkap sebagai saksi.

Sedangkan dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa : “keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”.

Apabila dikaji dari Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa : “setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”.

Sedangkan Pasal 179 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa :

“semua keterangan tersebut diatas untuk saksi, berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya”.

Berdasarkan kedua pasal di atas dapat disebutkan bahwa baik keterangan saksi maupun keterangan ahli agar disebut sebagai alat bukti yang sah maka keterangan yang diberikannya tersebut haruslah diucapkan dengan sumpah atau janji, apalagi keterangan itu disampaikan dalam sidang pengadilan.

54

Jadi sesuai dengan Pasal 186 jo Pasal 1 butir 28, yaitu apa yang dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan tentang keahlian khusus yang dimilikinya untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Karena keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah maka konsekwensinya hakim tidak dapat mengenyampingkan begitu saja keterangan ahli, walaupun bertentangan dengan keyakinannya.

3. Mengenai Alat Bukti Surat.

Selain Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyebut alat-alat bukti, maka dalam Pasal 187 KUHAP bahwa: Surat yang dibuat dengan sumpah, dapat dianggap sebagi bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yakni, suatu berita acara yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya. Surat yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Surat keterangan ahli, dan atau surat lainnya yang bersifat resmi.

Surat yang dibuat secara formal mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai alat bukti. Dari aspek matriil surat mempunyai kekuatan yang mengikat dan Hakim bebas untuk menilai substansi surat tersebut berdasarkan atas asas keyakinan Hakim dan asas batas minimum pembuktian. Alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 187 KUHAP tersebut bukanlah alat bukti yang mengikat tetapi bernilai sebagai pembuktian yang bersifat bebas.80

55

Sebagai bagian dari alat bukti, maka surat berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena telah diterimanya beberapa alat bukti surat elektronik, email, short message system (sms) dan sebagainya. Hal yang penting dalam tindak pidana korupsi adalah surat resmi dari instansi atau lembaga tinggi Negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lain sebagainya.

4. Mengenai Alat Bukti Petunjuk.

Apabila diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Pada akhirnya disini tercermin persoalan diserahkan kepada Hakim untuk menilai alat bukti petunjuk tersebut. Atas dasar hal tersebut Hakim sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-wenangan yang didominasi oleh penilaian subyektif, kecuali dianggap sangat penting dan mendesak alat bukti petunjuk dipergunakan. Karena dalam praktek selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan disebabkan aparat penyidik

80

56

kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan dalam berita acara pemeriksaanpun sulit untuk dipahami.81

5. Mengenai Alat Bukti Keterangan terdakwa.

KUHAP dengan jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir e, berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang menyebut dengan istilah “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Tetapi sangat disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” dengan “pengakuan terdakwa“ sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan terdakwa karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :

a. Mengaku ia yang melakukan delik yang di dakwakan. b. Mengaku ia bersalah.

Sedangkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti baik itu berupa penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan haruslah didengar dan Hakim tidak perlu mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa ataupun saksi.82

Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui, dan dialami sendiri. Jadi keterangan terdakwa maupun keterangan saksi tidak boleh dalam bentuk pendapat, kesimpulan, rekaan atau yang diketahui dari orang lain.

81

H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 64-65

82

57

Keterangan terdakwa dipakai sebagai alat bukti di pengadilan juga memiliki asas-asas sebagai landasan berpijak, antara alain :

1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.

2. Tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui sendiri atau dialami sendiri.83

Dalam asas kedua, supaya keteranga terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu adalah merupakan pernyataan atau penjelasan dari :

a. Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”. b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.

d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri.84

Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa, sekalipun diberikan dengan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat.

Apabila pembuat undang-undang menetapkan pengakuan sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, maka ketentuan seperti itu akan memaksa Hakim tidak boleh beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut, karena Hakim akan secara mutlak harus memutuskan perkara berdasarkan pengakuan tersebut dan ketentuan seperti ini akan sangat berbahaya.

83

H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 68

84

58

Oleh karena didalam perkara pidana tersangkut baik kepentingan individu disatu pihak maupun kepentingan masyarakat dipihak lain dan kebenaran yang harus ditegakkan adalah kebenaran “sejati”, maka undang-undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan menentukan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan terdakwa adalah:

a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas.

Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat dalam alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendaknya penolakan akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan yang didukung argumentasi yang tidak proporsional dan akomodatif.

Demikian pula sebaliknya, seandainya hakim hendak menggantikan alat bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentative dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.

b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.

Salah satu asas penilaian yang harus diperhatikan oleh hakim yakni ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (4), yang menentukan :

”keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain”.

59

Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain, baru mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

Penegasan Pasal 189 ayat (4), sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183. Seperti yang sudah berulang-ulang dijelaskan, asas batas minimum pembuktian telah menegaskan, tidak seorang terdakwa pun dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua (2) alat bukti yang sah.

c. Harus memenuhi asas keyakinan Hakim.

Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan ”keyakinan hakim”, bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah ”pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Artinya, disamping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil,

60

hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Sifatnya yang terlalu formal apabila hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa bencana ketidak adilan.

Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia menganut asas bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa tersebut akan diselesaikan oleh pemerintah sebagai wakil dari publik.

SPP haru dilihat sebagai the work of courts and tribunals which deal with

criminal law and its enforcement.85 Pemahaman pengertian system dalam hal ini harus diliat dalam konteks baik sebagai Physical system dalam arti seperangkat elemen yang secara padu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu lain berada dalam ketergantungan.

SPP dalam hal ini tidak dapat dilihat pula sebagai Deterministic System yang bekerjanya dapat ditentukan secara pasti, namun harus dilihat sebagai probabilistic

system yang hasilnya secara pasti tidak dapat diduga. Hulsman sebagaiman dikutip oleh

Muladi mengatakan bahwa, tujuan system peradilan yang positif berupa rasinalisasi terpidana sering justru berakibat pada condition of powerfare berupa penderitaan.86

Berdasarkan sifat hukum acara pidana yang berbasis pada pembuktian dengan mengacu pada aspek kepentingan umum, maka hukum acara pidana dibuat antara lain :

1. Ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa karena melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan, ketentraman hidup masyarakat.

2. Mempunyai dimensi perlindungan HAM, dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yakni kewajiban untuk didampingi oleh penasehat hukum,hak untuk diadili secara terbuka untuk umum,mengajukan

85

Muladi, Op-cit, h. 15

86

61

saksi dan melakukan upaya hukum sehingga terdapat keadilan ,menghindari error in persona dan menerapkan asas praduga tidak bersalah.87

Jur. Andi Hamzah juga menyebutkan bahwa : Anjuran hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran matriil yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat dijadikan terdakwa dalam suatu pelanggaran hukum. Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan terbukti dan tidaknya dakwaan yang dapat dipersalahkan.88

Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan ketergantungan antara sub sistem Polisi selaku penyidik, sub sistem Jaksa, selaku penuntut umum, Hakim pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat (penasehat hukum).

Dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran matriil untuk membuktikan terjadinya tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka atau terdakwanya. Dengan demikian SPP di Indonesia dapat dilihat dari bekerjanya sub sistem-sub sistem diatas.

Sue Titus Reid menyebutkan bahwa a second importen characteristic of the

criminal justice sistem is that many authorities with the sistem have been given wide discretion.89

Terjemahan bebasnya bahwa :

“karakterisik penting berikutnya dari sistem peradilan pidana adalah banyaknya kewenangan dengan sistem yang memberikan diskresi yang luas”.

87

Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktis, Alumni, Bandung, h. 91-93

88

Jur Andi Hamzah, Op-cit, h. 7-8

89

62

Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama.jadi bagi pemegang kekuasaan peradilan seluas-luasnya.

Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value

transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya

mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.

Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values).

Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan.

Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang. Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu:

1. Keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi bagi terpidana.

63

2. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan. 3. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial.

Dokumen terkait