• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan Ahli Dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keterangan Ahli Dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kode 596 / Ilmu Hukum

LAPORAN AKHIR PENELITIAN DOSEN MUDA

KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN

PERADILAN PIDANA

TIM PENGUSUL

1. A.A NGURAH WIRASILA, SH., MH / 0014055804

2. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106 3. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH.,MH / 0021035807 4. I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH / 0031125433

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

2

(3)

3 DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN …….….. 2

DAFTAR ISI …….….. 3

RINGKASAN …….….. 4

PRAKATA ... 5

BAB I PENDAHULUAN …….…… 7

1. Pendahuluan …….…… 7

2. Perumusan Masalah ….……... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………… 14

BAB III TUJUAN, MANFAAT dan URGENSI ...27

BAB IV METODELOGI PENELITIAN ………… 28

BAB V HASIL dan PEMBAHASAN ………... 31

BAB VI PENUTUP ... 66

(4)

4

RINGKASAN

Penelitian ini disusun dalam garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : Adapun permasalahan yang diangkat adalah mengenai Keterangan Ahli Dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana terutama mengenai peran dan fungsi dari keterangan ahli dalam melakukan proses pembuktian dan penggunaan keterangan ahli kedepannya. Tujuan dari penelitian ini melakukan analisis terhadap pengaturan mengenai keterangan ahli dalam proses persidangan guna membuktikan benar atau tidak seseorang tersebut melakukan tindak pidana seperti yang di tuduhkan kepadanya.

Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif karena ketentuan mengenai keterangan ahli secara jelas dan tegas masih terlihat kabur, serta, dalam menganalisis nantinya mempergunakan tehnis interpretative, karena adanya norma yang kabur dalam pengaturannya. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata dan

sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal

dalam undang-undang.

Penelitian ini nantinya menguraikan mengenai keterangan ahli dalam hubungannya dengan pembuktian. Uraian yang di paparkan dalam hal ini merupakan analisis terhadap peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian; syarat-syarat keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah; serta nilai pembuktian dan sifat dualisme keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah.

(5)

5 PRAKATA

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang berjudul ” KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERADILAN PIDANA” dapat kami selesaikan. Kami menyadari sepanjang pelaksanaan penelitian ini banyak pihak yang membantu pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff

2. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi terkait dengan materi penelitian ini

3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan. Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum terutama terkait dengan bidang hukum.

Denpasar, 12 Oktober 2015

(6)

6 BAB : I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan seperangkat perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum khususnya pidana yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan, ketertiban, kepastian hukum serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.

Berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.1

Perubahan sikap dan cara bertindak aparat penegak hukum secara keseluruhan. Diantaranya adalah perubahan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari sistem inkuisitor (inquisitoir) yang dianut oleh HIR ke sistem akusatur (accusatoir) yang dianut oleh KUHAP. Dari sistem akusatur tersangka ditempatkan sebagai subyek dalam pemeriksaan, yang menurut M. Yahya Harahap bahwa:

Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek.2

Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad mengatakan bahwa : sejak dikeluarkannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia tampaknya ada gejala pertumbuhan ide kearah keterpaduan tersebut. Hal ini tampak misalnya dari adanya kerjasama atau koordinasi masing-masing lembaga (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan) dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana.3

1 Romli Atmasasmita, 1966, Sistem Peradilan Pidana, (Criminal Justice System), Perspektif

Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta, h. 47

2

M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 134

3 Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara Pidana,

(7)

7

Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana beberapa institusi penegak hukum mengambil peran masing-masing dalam menegakkan hukum dan sub sistem tersebut telah mempunyai kewenangan fungsi dan peran masing-masing yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Sub sistem yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan dapat dikatakan saling menentukan dan bergantung untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penegakan hukum maupun bertujuan menanggulangi kejahatan baik dalam bentuk pencegahan maupun penanganan kejahatan Salah satu bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pemeriksaan pendahuluan, yang dalam prakteknya berkaitan dengan tersangka atau terdakwa yang dilakukan oleh penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti-bukti itu akan membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Serta pada gilirannya pengadilan benar-benar mampu menetapkan pidana atau menghukum orang yang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah.

Menurut La Patra, masyarakat mempunyai pengaruh terhadap sistem peradilan pidana. La Patra menyebutkan bahwa :

Applaying systems analysis faces the same problem in Criminal Justice System (CJS) as it does in other social systems. The systems approach frequently bites the hand that feeds it. Whenever a social process is being investigated, that resulting recommendations usually threaten the status quo, including the source of the financial support, which initiated the investigation. It is ridiculous for researcher to believe that results are acceptable if the will substantially change on going organizational procedure.4

Dalam terjemahan bebasnya:

Menerapkan analisis sistem menghadapi masalah yang sama dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) seperti dalam sistem sosial lainnya. Pendekatan sistem sering mengena kepada penggunanya. Setiap kali sebuah proses sosial sedang diselidiki, bahwa rekomendasi yang dihasilkan biasanya mengancam status quo, termasuk sumber dukungan keuangan, yang dimulai penyelidikan. Hal ini konyol bagi peneliti untuk percaya bahwa hasil yang dapat diterima jika secara substansial akan mengubah prosedur organisasi berjalan.

4 J.W. LaPatra, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath and

(8)

8

Kekurang telitian dalam pemeriksaan pendahuluan dapat memperoleh ganti rugi, serta rehabilitasi nama baiknya. Konsekuensinya adalah perlunya kesadaran para penegak hukum untuk memandang tersangka atau terdakwa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek penyidikan dengan berlandaskan asas atau pandangan “praduga tidak bersalah” pada tiap tingkat pemeriksaan termasuk pada pemeriksaan pendahuluan.

Kenyataan menunjukkan seringnya terjadi kekeliruan dalam proses penyidikan seperti salah tangkap ataupun sering terjadi yang melakukan tindak pidana dapat lolos sedangkan, yang tidak terlibat ditangkap dan kemudian menjadi terdakwa dan terpidana.

Peran dan fungsi pembuktian dalam suatu proses hukum menjadi sangat penting, baik bagi si tersangka maupun Jaksa dalam proses peradilan pidana dan untuk menentukan apakah si tersangka dapat di hukum atau tidak. Disamping itu hukum pembuktian akan terkait pula secara langsung dengan masalah keadilan yang memang merupakan tujuan utama dari setiap kaidah hukum di bidang apapun.

Mewujudkan tujuan seperti yang telah dikemukakan di atas maka segala hal yang berkaitan dengan pembuktian pun mengalami perubahan antara lain pengakuan tersangka pada masa ini tidak lagi menjadi hal yang terpenting sebagai alat bukti, tetapi masih diperlukan alat bukti lainnya seperti keterangan ahli, dimunculkan sebagai alat bukti seperti yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita :

Undang-undang No.8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai seorang manusia.5

Seperti telah diuraikan di atas bahwa telah berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam KUHAP yang baru antara lain tentang : SPP, Pembuktian terutama tentang jenis-jenis alat bukti dan lain sebagainya. Khusus mengenai alat-alat bukti Pasal 184 KUHAP telah menentukan bahwa yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu :

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli

5

(9)

9 c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Mempergunakan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP, menurut Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa : Keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat membuktikan pula adanya suatu peristiwa pidana.6

Pasal 184 KUHAP terdapat lima (5) alat bukti sah yang dipakai di persidangan, dimana salah satunya menyebutkan ”keterangan ahli”. Mengenai makna dari pasal tersebut, ada kekaburan dalam pasal ini, dimana tidak diaturnya mengenai ”siapa yang disebut ahli”, ”kriteria seorang ahli” ataupun ”persyaratan” untuk menjadi seorang ahli di dalam pasal tersebut.

Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa :

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang ini sangat membantu dalam memecahkan sebuah kasus. Keberadaan ataupun eksistensi keterangan ahli sangatlah diperlukan, karena dengan adanya keterangan ahli maka diharapkan sebuah kasus akan menjadi terang.

Begitu pentingnya manfaat dan peranan keterangan ahli yang dilandasi oleh keahlian khusus yang di milikinya, tetapi apabila dihubungkan dengan Pasal 120 ayat (1) KUHAP, bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, dapat meminta pendapat seorang ahli.

Hal ini menunujukkan bahwa keterangan ahli itu diperlukan atau tidak adalah tergantung dari keinginan hakim, dan sebelumnya harus mengangkat sumpah atau janji di hadapan hakim, sebelum memberikan keterangan.

6 Wiryono Prodjodikoro, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,

(10)

10

Merujuk pada Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa :

“Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.

Makna dari keterangan ahli sebagai keterangan ahli adalah apabila seorang ahli tersebut hadir dan memberikan pernyataan di depan sidang pengadilan. Namun apabila seorang ahli yang dimintai keterangan oleh Hakim tidak hadir dalam persidangan maka keterangan ahli tersebut disebut dengan keterangan surat.

Manfaat dan peranan keterangan ahli dalam mengungkap suatu peristiwa pidana, berikut ini dikemukakan beberapa kasus agar tidak terjadi salah tangkap, salah penahanan, menghindari kerugian matriil maupun immatrril serta penyimpangan dan juga agar bisa mendapatkan bayangan betapa hal-hal yang kadang-kadang mustahil bisa terjadi sehingga perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan penyidikan perkara pidana. Adapun kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut :

Pengadilan Negeri Jakarta pernah menyidangkan kasus pembunuhan yang dalam proses persidangan sebetulnya telah ditunjukkan keterangan ahli yang disebut dengan “visum et repertum” sebagai pengganti barang bukti serta keterangan terdakwa, tetapi Hakim masih ada keragu-raguan maka memerlukan lagi kehadiran saksi ahli di sidang pengadilan. Hakim belum mendapatkan keyakinannya sehingga belum menganggap cukup terang kasus tersebut.7

Kasus di atas dapat di lihat bahwa walaupun visum et repertum yang berfungsi sebagai pengganti barang bukti sudah di ajukan di persidangan karena mayat sebagai obyek pemeriksaan tidak mungkin sewaktu-waktu di hadirkan di sidang pengadilan, Hakim belum dapat menambah keyakinannya terhadap visum et repertum tersebut untuk membuat putusan sehingga memerlukan lagi kehadiran seorang ahli yang lain di sidang pengadilan untuk menjelaskan kembali secara lisan hasil pemeriksaan ahli tersebut.

Pada kasus berikutnya pun terbukti bahwa Hakim tidak terikat akan adanya

visum et repertum atau keterangan ahli sebagai dasar putusan untuk menentukan ada

tidaknya tindak pidana, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim apakah

7 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT.

(11)

11

akan menambah atau tidak keyakinannya, semua itu adalah tergantung dari penilaiaan Hakim itu sendiri. Hal itu terjadi antara lain karena disebabkan oleh wewenang Hakim yang bebas, Hakim adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang dilindungi oleh undang-undang baik menurut Pasal 24, 25 UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang–Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Bagian ketentuan Umum Pasal 1.

Untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang dikutip dari Soedjono D, yang diceritakan oleh seorang Guru Besar dalam ilmu kedokteran kehakiman yaitu Prof. DR. Hausmann, menangani kasus kebakaran besar yang terjadi di tahun 1959 di sebuah rumah dekat San Antonio. Diantara reruntuhan diketemukan 3 mayat yang hampir tidak dapat dikenali sebagai badan manusia, karena sapi-sapi yang ada di pekarangan rumah telah ditembak mati. Para penegak hukum setempat menyangka peristiwa itu adalah kejahatan.8

Pada kasus diatas awalnya diduga bahwa itu adalah hasil dari kejahatan. Namun setelah dilakukan autopsi ulang di rumah sakit ditemukan bahwa di dalam kepala 3 mayat tersebut, ditemukan masing-masing 1 butir peluru, maka diketahaui bahwa itu adalah penyebab kematian dari mayat tersebut. Oleh Prof. DR. Hausmann disimpulkan bahwa peristiwa itu terjadi karena pembunuhan yang dilakukan oleh ayah dengan cara menembak kepala masing-masing korban sebelum membakar rumah, kemudian menembak sapi-sapinya, lalu membakar rumahnya dan baru ayah tersebut menembak dirinya sendiri.

Keterangan ahli dapat memperlancar jalannya sidang dan dengan keterangan ahli diharapkan dapat menambah keyakinan Hakim tentang benar atau tidaknya tuduhan dari pihak kejaksaan. Dari keterangan ahli dapat diketahui sebab dari kematian seseorang dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah pembunuhan itu masuk kedalam lingkungan tindakan terdakwa atau tidak.

Walaupun pendapat dari seorang ahli tersebut disetujui atau tidak oleh Hakim, maka apabila disetujui Hakim menganggap terbukti pembunuhan antara lain dengan mempergunakan pendapat seorang ahli tentang sebab itu. Di lihat dari penjelasan ini dapatlah kiranya diketahui bahwa keterangan ahli di masukkan juga sebagai alat bukti

8

(12)

12

karena seorang ahli akan menerangkan sesuatu hal sesuai dengan keahliannya berdasarkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya.

Berdasarkan atas pemaparan dari latar belakang tersebut, bahwa keterangan ahli sangatlah diperlukan dalam sidang peradilan, namun pengaturan mengenai hal tersebut belumlah ada mengingat pentingnya keterangan ahli dalam membantu mengungkap suatu tindak pidana dari yang samar-samar sebagai tindak pidana menjadi terang, apakah itu tindak pidana atau bukan. Untuk mengetahui hal tersebutlah perlu diadakan penelitian.

2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu :

a. Bagaimanakah peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian peradilan pidana.

b. Syarat-syarat Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang sah.

(13)

13 BAB : II

TINJAUAN PUSTAKA

Proses peradilan pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang terdapat dalam KUHAP. Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit karena hanya mulai pada mencari kebenaran penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh Jaksa, sedangkan pembinaan narapidana tidak termasuk dalam hukum acara pidana, apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.

Penegakan hukum pidana dalam kerangka peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif mengingat kemungkinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada di luar kerangka proses peradilan.

Masalah pembuktian adalah masalah yang sangat sulit, bersifat prosedural dan tidak ada aturan hukum tertulis yang dengan tegas dan jelas mengaturnya. Apalagi pelaksanaan dalam proses peradilan pidana yang baru harus menghormati dan menjunjung tinggi HAM yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan pada asas Equal before the law maupun asas praduga tak bersalah, maka sistem hukum acara pidana yang diterapkan dalam proses peradilan pidana saat ini adalah sistem akusitor yaitu sistem yang memandang si tersangka/ terdakwa sejak pada pemeriksaan ditingkat penyidikan sudah dianggap subyek yang mempunyai hak penuh untuk membela diri.9

Disimak dari ruang lingkup hukum acara pidana, sangat erat kaitannya dengan proses peradilan pidana yang dibagi menjadi empat (4) tahapan yaitu, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) yang diuraikan selanjutnya adalah tahapan yang berkaitan dengan penyidikan. Penyidikan dalam perkara pidana adalah :

Merupakan tahapan pertama dalam pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan oleh penyidik, dalam hal ini adalah polisi, yang sejak adanya sangkaan bahwa seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Penyidikan yang dilakukan

9 I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, 1989, Sari Kuliah Hukum Acara Pidana,

(14)

14

oleh penyidik sudah tentu berdasarkan atas cara-cara yang diatur dalam KUHAP.10

Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP juga menentukan arti penyidikan adalah

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menentukan tersangkanya.

Menurut R. Soesilo yang dikutip dari I Wayan Tangun Susila dan I Dewa Made Suartha, bahwa untuk melakukan penyidikan tersebut agar tujuan penyidikan tercapai seperti menentukan tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka penyidik memerlukan bantuan dari ilmu kriminalistik (penyidikan kejahatan) yaitu berupa petunjuk atau sistem yang telah umum dipakai adalah sistem 7-kah yaitu berusaha mencari jawaban atas 7 (tujuh) macam pertanyaan seperti :

1. Apakah yang terjadi (persoalan, macam peristiwanya)? 2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan (tempatnya)? 3. Bilamanakah perbuatan itu dilakukan (waktunya)? 4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alatnya)? 5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (caranya)? 6. Mengapakah perbuatan itu dilakukan (alasannya)? 7. Siapakah yang melakukannya?11

(15)

15 1. Bukti dalam arti barang bukti.

a. Bukti dalam arti barang bukti yaitu benda-benda yang dapat disita, baik berupa benda atau tagihan tersangka (terdakwa) yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagaimana hasil dari tindak pidana.

b. Bukti dalam arti alat bukti yaitu berupa benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana.

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana (Pasal 35 KUHAP).

2. Bukti dalam arti alat bukti.

Sedangkan mengenai bukti dalam arti alat bukti, jenis-jenisnya dapat diketahui dari Pasal 184 KUHAP yaitu :

a. Keterangan saksi KUHAP yang baru dan selanjutnya alat-alat bukti itulah yang berlaku. Bagaimanapun dirubah-rubah mengenai alat-alat bukti dan kekuatan pembuktiannya seperti yang pada awalnya tercantum pada HIR dan kemudian diubah dan ditentukan seperti dalam KUHAP maka mengenai bagian-bagian dari pembuktian teori maupun sistem pembuktiannya masih tetap sama pada Hukum Acara Pidana yang baru yaitu mengenai : 1. Menyebutkan alat-alat bukti yang dipakai oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.

2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan. 3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu.13

Bagian yang lebih banyak mendapatkan perhatian adalah bagian ke 1 (satu) yaitu tentang alat-alat bukti dan bagian ke 3 (tiga) tentang kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut, sedangkan tentang cara mempergunakannya kurang mendapat perhatian sehingga sulit menemukan alasannya dan tidak pernah diketahui

12 Ibid, h. 37-38

13

(16)

16

cara menguraikannya. Dimasukannya keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP, menurut Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa :

Keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli sering kali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat pula membuktikan adanya suatu peristiwa pidana.14

Melalui keterangan ahli tersebut dapat diketahui sebab dari kematian seseorang dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah pembunuhan itu masuk kedalam lingkungan tindak terdakwa atau tidak. Andi Hamzah menyatakan bahwa tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan kepadanya adalah merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, karena mencari kebenaran matriil itu tidaklah mudah dan alat-alat bukti yang tersedia menurut undang-undang sangat relatif, sehingga untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu :

1. Pembuktian yang melulu didasarkan pada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, yang disebut dengan sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang maka keyakinan Hakim tidak diperlukan lagi. Positif artinya hanya didasarkan pada undang-undang saja atau disebut juga dengan teori pembuktian formal.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu. Sistem atau teori pembuktian ini adalah bertolak belakang atau berlawanan dengan sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena teori pembuktian ini hanya berdasarkan pada keyakinan Hakim saja sehingga teori ini disebut juga istilah confiction intime. Sistem ini memberi kebebasan terlalu besar kepada Hakim sehingga sulit diawasi, disamping itu baik terdakwa maupun penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini Hakim dapat memidana terdakwa hanya berdasarkan atas keyakinannya saja bahwa terdakwa telah melakukan apa yang telah didakwakan kepadanya.

3. Sistem/ teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis. Sistem ini disebut juga dengan sistem atau teori pembuktian yang berdasar atas

14

(17)

17

keyakinan Hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atau tidak berdasar keyakinannya dan keyakinan itu didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (Conclusione) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu inovasi sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena Hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem atau teori pembuktian ini adalah merupakan perpecahan dari teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim sampai batas tertentu atau teori pembuktian jalan tengah yaitu: a) Teori pembuktian berdasar keyakinan Hakim atas alasan yang logis

(Convection Raesonee).

b) Teori pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (Negatief

Wettelijk Bewijs Theory)15

Persamaan antara kedua sistem atau teori tersebut adalah sama-sama berdasar atas keyakinan Hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan Hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya bahwa yang disebut pertama adalah berpangkal tolak pada keyakinan Hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (Conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan Hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian mana yang dipergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim16

Teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinannya

15 Jur Andi Hamzah I, Op-cit, h. 254

16

(18)

18

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Walaupun sistem pembuktian atau ajaran pembuktian yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian yang bersifat ”Negatief Wettelijk”, yaitu walaupun telah diajukan dua atau lebih alat bukti dalam persidangan tetapi kalau Hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi jelaslah bahwa kedudukan hukum terdakwa atau tersangka sama dengan kedudukan hukum pejabat yang berwenang memeriksanya.17

Jadi dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa pembuktian selain harus didasarkan pada UU Pasal 184 KUHAP yang disebut sebagai alat bukti yang sah juga harus disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Menurut M.Yahya Harahap ada beberapa ajaran sistem pembuktian yang berguna sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam KUHAP yaitu :

a. Conviction in time

b. Conviction raisonee

c. Menurut Undang-undang secara positif d. Menurut Undang-undang secara negatif

Ad. a. Conviction in time

Adalah sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan Hakim. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya Hakim dapat leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan Hakim semata-mata sehingga Hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian

17 Martinus Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Gratia Indonesia,

(19)

19 Ad. b. Conviction raisonee

Adalah sitem pembuktian yang ”berdasarkan keyakinan Hakim yang dibatasi” yaitu keyakinan Hakim yang harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan yang logis dan dapat diterima akal.

Ad. c. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara positif

Adalah sitem pembuktian yang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Sistem pembuktian ini benar-benar menuntut Hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidak terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Ad. d. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif

Adalah sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara kedua sistem pembuktian yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.18

Berbeda halnya dengan pendapat dari Djoko Prakoso, bahwa sistem pembuktian yang dianut KUHAP adalah merupakan perpaduan antara sistem conviction in time dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk

stelsel). Dan prinsip pembuktian yang dianut oleh KUHAP ini dapat dikaji dari Pasal

183 KUHAP bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seseorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus :

1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

2. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.19

Seperti telah dikemukakan dalam Pasal 184 KUHP bahwa alat-alat bukti terdiri dari :

18 M.Yahya Harahap, Op-cit, h. 255.

19 Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Liberty,

(20)

20

Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka pertama-tama kewajiban yang harus dilakukan dalam pengusutan perkara pidana atau perkara kriminil adalah mengumpulkan dan mencatat sebanyak mungkin keterangan-keterangan, hal ikwal data-data atau fakta-fakta dan kemudian dicoba dibuat kembali gambaran apa yang telah terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang, dicari untuk melengkapinya, sehingga gambaran peristiwa yang terjadi itu menjadi lengkap dan ketentuan atas persoalan-persoalan inilah yang merupakan dasar yang amat penting bagi pengusutan selanjutnya.20

Dikaji dari Pasal 184 KUHAP yang telah menyebutkan secara terperinci jenis-jenis alat bukti yang telah dianggap cukup sebagai sarana untuk menangkap seseorang sebagai tersangka atau terdakwa. Termasuk masih dipertahankannya petunjuk sebagai alat pembuktian dan sekarang di introdusir pula keterangan ahli yang juga dipandang sebagai alat pembuktian yang sah.21 Tetapi apabila disimak lebih lanjut ternyata KUHAP tidak menentukan secara lebih jelas apa persyaratan ataupun kriteria dari seorang yang diajukan kepersidangan sebagai seorang ahli yang akan membuat terang suatu perkara pidana, ataupun juga demi kepentingan pemeriksaan.

Curt R. Bartol dan Anne M. Bartol mengatakan bahwa :

In order for an individual to qualify as an expert, courts require that he or she

possess specialized knowledge which is” beyond the ken” of the average lay

person amd which will assist the trier of fact (judge or jury) in understanding

technical evidence.22

Terjemahan bebasnya menyebutkan:

Agar seorang individu untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli, pengadilan mensyaratkan bahwa ia memiliki pengetahuan khusus yang "diatas rata-rata"

20

Ibid. h. 39

21 Oemar Seno Adji, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Surabaya, h. 69

22 Curt R. Bartol, Anne M. Bartol, 2004, Psycology and Law, Thomson Wodsworth Australia,

(21)

21

dari rata-rata orang awam yang akan membantu Trier fakta (hakim atau juri) dalam memahami bukti teknis.

Diangkatnya keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah/lengkap di KUHAP merupakan suatu realisasi dari dari keinginan yang sudah diajukan tahun 1978, yang menyebutkankan bahwa :

1. Perundang-undangan yang berlaku sekarang yaitu HIR mengandung kekurangan-kekurangan tentang kerangan ahli ini sehingga karenanya perlu disesuiakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat mengangkat keterangan ahli ini menjadi alat bukti yang sah (kecuali visum et repertum) yang oleh undang-undang memang sudah diterima sebagai alat bukti yang sah.

2. Didalam perundang-undangan yang baru nanti, supaya ketentuan-ketentuan tentang keterangan ahli itu dirumuskan secara lengkap meliputi pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan.23

Menurut Wirjono Prodjodikaro yang dikutip dari Joko Prakoso dan I Ketut Murtika, bahwa keterangan ahli dapat dinamakan alat bukti karena keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat menimbulkan bukti atau dapat membuktikan pula adanya peristiwa pidana.24

Pemeriksaan ahli tidak semutlak pemeriksaan saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik”menganggap perlu” untuk memeriksanya. Sedangkan Pasal 120 ayat (1) KUHAP) jika penyidik menganggap perlu, maka penyidik dapat meminta pendapat orang lain yang memiliki keahlian khusus. Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang.25

Lirieka Meintjes-Van Der Waalt menyebutkan bahwa :

”in essence the function of an expert is to assist the court to read a conclusion on matters on which the court itself does not have the necessary to decide. It is not the mere opinion of the witness which is decisive but his ability to satisfy the court that, because of his special skill, training or experience, the reasons for the opinion which he expresses are acceptable”26

23 Oemar Seno Adji, Op-cit, h. 69-70

24

Joko Prakoso dan I Ketut Mustika, 1987, Op-cit, h. 38

25 M.Yahya Harahap, Op-cit. h.146

26 Lirieka Meintjes-Van Der Waalt,2001, Expert Evidence in the Criminal Justice Process,

(22)

22 Terjemahan bebasnya, bahwa :

"Pada dasarnya fungsi seorang ahli untuk membantu pengadilan untuk membaca kesimpulan mengenai hal-hal di mana pengadilan itu sendiri tidak memiliki diperlukan untuk memutuskan. Ini bukan semata-mata pendapat saksi yang menentukan, tetapi kemampuannya untuk memenuhi pengadilan itu, karena pelatihan keterampilan, khusus atau pengalaman, alasan pendapat yang menyatakan diterima".

Walaupun keterangan ahli dimasa yang akan datang diperkirakan akan berperan semakin menonjol dan semakin diperlukan dalam pemeriksaan tindak pidana sesuai denga perkembangan ilmu dan teknologi sekaligus telah melibatkan hasil ilmu dan teknologi dalam kejahatan tetapi pada saat sekarang ini sudah mendapat tempat sebagai alat bukti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) butir b KUHAP, lebih lanjut dalam Pasal 186 KUHAP ditentukan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.27

Pada prinsipnya keterangan ahli yang dipakai sebagai alat bukti tidak mempunyai nilai kekuatan yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi. Oleh karena itu nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli harus lah :

a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (Vry bewyskracht).

b. Haruslah sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.28

Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan termasuk bidang “kebijakan criminal” (“criminal policy”). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial”

(“social policy”) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social”

(“social walfare policy”) dan kebijakan/upaya-upaya untuk melindungi masyarakat”

(“social-defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan

27

Alfred C. Satryo, 2002, Kumpulan Peraturan PerUndang-undangan dan Profesi Dokter, USU Press, Jakarta, h. 153

28 Henny Zaida Flora, Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Medan Sumatra Utara, 2008,

(23)

23

kejahatan (politik kriminal ) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum inconcreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social

defence”29

Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) adalah sejalan dengan konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut aliran defense sosial yang lebih moderat). Menurut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa :“Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturanperaturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersamatetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhanyang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.30

Menurut Soedarto, kebijakan kriminal mempunyai tiga arti

1. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggar hukum yang berupa pidana ;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 31

Semakin kompeksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, maka perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yang meliputi pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana. Jelaslah bahwa kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan hukum pidana modern.32

29 Ibid

30

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, h.149

31 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 113-114

32 Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The

(24)

24

Kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana

Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan33

Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan peraturan

perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam pengertian tersebut mengandung makna "baik" dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.34

Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana. Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.35

Kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum.

33 Soedarto, Loc-cit

34Al Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan

Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h. 11

35

(25)

25

(26)

26 BAB : III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami akan peran serta fungsi dari keterangan ahli dalam memutuskan suatu perkara di persidangan.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

a. Memahami mengenai peran serta fungsi dari keterangan ahli dalam proses pembuktian peradilan pidana.

b. Menganalisis prospek keterangan ahli dimasa yang akan datang.

3.2 MANFAAT PENELITIAN

Ada beberapa manfaat yang didapat dalam penelitian ini oleh kalangan dari : a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini nantinya akan dapat dijadikan suatu

rujukan akademik di bidang hukum, mengingat saat ini penelitian di bidang ini masih sedikit dilakukan di Indonesia.

b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis ilmiah mengenai konsep ideal bagi penerapan keterangan ahli dalam proses peradilan di Indonesia.

c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini akan bermanfaat bagi perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian peradilan pidana.

3.2 URGENSI PENELITIAN

(27)

27 BAB : IV

METODE PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini selalu mengacu pada tinjauan secara hukum, baik secara normatif maupun berdasarkan pandangan-pandangan dari pakar hukum dan juga termasuk dalam lingkup dogmatik hukum yang mengkaji atau meneliti aturan-aturan hukum tentang ketidak jelasan pengaturan mengenai alat-alat bukti dan pembuktian menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) khususnya tentang keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.

2. Metode pendekatan

Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengadakan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penahanan dan penangguhan penahanan serta perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana. Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy

oriented approach). Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling tali

menali antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.36 Sebagai pelengkap, digunakan juga pendekatan perbandingan hukum atau pendekatan komparatif (comparative approach) Berdasarkan cara tersebut diharapkan akan dapat saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini.

3. Sumber bahan hukum

Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu

36

Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

(28)

28

bahan-bahan hukum yang mengikat37 dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.38 Perundang-undangan yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)., Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, (Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman). Dan putusan-putusan Hakim tentang penggunaan keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.39 Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokmen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.40 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Tehnis pengumpulan bahan hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian. Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.

37 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hal. 118.

38

Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141.

39 Soekamto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal. 13.

40

(29)

29 5. Tehnis Analisis

Bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis dengan tehnis-tehnis sebagai berikut :

a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.

b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa mendatang. Tehnis interpretatif digunakan karena adanya norma yang kabur dalam pengaturan penangguhan penahanan baik yang menyangkut penggunaan jaminan, jumlah jaminan, dan tanggung jawab penjamin, serta adanya konflik norma secara horizontal dalam syarat jaminan. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang. c. Evaluatif, yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan, pernyataan

rumusan norma dalam bahan hukum primer maupun sekunder.

(30)

30 BAB : V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Pengertian Keterangan Ahli, Pembuktian dan Peradilan Pidana Pengertian keterangan ahli

Wiryono Prodjodikoro menyebutkan bahwa keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu.41

Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia tanggal 6 Mei 1950 yang mulai berlaku tanggal 9 Mei 1950 yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro, pernah memberikan pengertian tentang keterangan ahli dalam Pasal 82, bahwa : “keterangan orang ahli berarti pendapat orang itu diberitahukan dalam sidang tentang yang diketahui menurut ilmu pengetahuannya terhadap soal yang dimintakan pendapatnya”.42

Kamus Hukum menyatakan bahwa saksi ahli / keterangan ahli adalah :

”keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.”43

Disimak dari Pasal 1 ayat (28) KUHAP menyebutkan bahwa :

“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

41

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 107

42

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 110

43

(31)

31

Berbeda dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa :

”keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan yang diberikan oleh bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan”.

Sedangkan Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai kedokteran kehakiman atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan demi keadilan.

Pasal 186 KUHAP menentukan bahwa :

”keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP tersebut juga menjelaskan bahwa : keterangan ahli ini dapat pula sudah diberikan pada tahap pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam surat berbentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

Senada dengan pengertian surat keterangan ahli seperti tersebut diatas, Pasal 187 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa :

“surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya“.

Poerwadarminta dalam bukunya, Kamus Umum Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan keterangan antara lain :

“uraian dan sebagainya untuk menerangkan sesuatu, penjelasan atau sesuatu yang menjadi petunjuk seperti bukti-bukti, tanda-tanda atau segala sesuatu yang sudah diketahui atau yang menyebabkan tahu.44

(32)

32

Berdasarkan atas beberapa pendapat seperti tersebut diatas dapat dikatakan bahwa, dalam pengertian keterangan ahli itu meliputi keterangan dari seseorang yang mengandung unsur-unsur :

1. Seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

2. Keterangan yang dinyatakan oleh seorang ahli baik pada tahap penyidikan atau di sidang pengadilan.

3. Bentuknya bisa dalam bentuk laporan atau keterangan tertulis dalam bentuk surat. 4. Diminta secara resmi oleh pihak yang berwenang.

5. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara pidana demi keadilan.

6. Keterangan yang diberikan diatas sumpah baik sumpah pada waktu menerima jabatan atau pekerjaan.

Pengertian Pembuktian

Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.Oleh karena itu peran dan fungsi dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak cerita, banyak peristiwa ataupun sejarah hukum yang menunjukkan bahwa apabila salah dalam menilai pembuktian seperti saksi berbohong atau saksi memberikan kesaksian yang palsu akan mengakibatkan orang yang sebenarnya tidak bersalah dipenjara oleh hakim atau sebaliknya orang yang sebenarnya bersalah bebas berkeliaran diluar.

44

(33)

33

Pengertian membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.45 Pembuktian dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.46

Selain itu, pembuktian juga dapat diartikan sebagai suatu cara untuk meyakinkan Hakim akan kebenaran dari dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan, atau dalil-dalil yang dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan.47

Pembuktian sebagai mana dinyatakan oleh Teguh Samudera berarti menjelaskan (menyatakan) kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa.48

Berkaitan dengan ini, yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses untuk membuktikan suatu kasus yang disertai dengan fakta-fakta yang dapat dianalisis dari segi hukum untuk memberikan keyakinan Hakim dalam mengambil keputusan.49 Selain itu, pembuktian sebagaimana dikatakan oleh Pitlo juga dapat diartikan sebagai suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya.50

45

R Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.1

46

Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.109

47

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata Dalam Toeri dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, h.59

48

Teguh Samudera, 2004, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, h. 12

49

(34)

34

Pengertian pembuktian, secara etimologi, berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, dengan proses perbuatan dan cara membuktikan.51

Pembuktian adalah suatu cara untuk menentukan kebenaran dari suatu hal.52 R Subekti juga mengemukakan bahwa pembuktian ialah upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di pengadilan.53

Pembuktian adalah merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, yang akan membuktikan tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.54

Munir Fuady dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata) menjelaskan bahwa :

“pembuktian dalam ilmu hukum adalah cara atau suatu proses baik dalam acara pidana, acara perdata atau acara-acara lainnya untuk mencari kebenaran melalui pengadilan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan dengan prosedur khusus karena masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan”.55

Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum.56

50

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatirs Gultom, 2005, Cyber Law- Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, h. 97

51

Dep.Dik.Bud, 1995, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, h. 151

52

Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 89

(35)

35

Secara umum dapat diketahui, bahwa pembuktian yang berarti bukti yang cukup untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa, sehingga pembuktian bermakna suatu perbuatan untuk membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan serta meyakinkan.57

Sedangkan hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah dilakukan tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta di persidangan.58

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa pembuktian dilihat dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum, yang kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak dibenarkan menilai alat bukti secara leluasa berdasarkan kehendak sendiri.

Salah satu karakter dari hukum pembuktian, bahwa hukum pembuktian merupakan cabang ilmu hukum yang sangat “technology oriented”, artinya bahwa perkembangan teknologi memberikan dampak langsung pada perkembangan pembuktian di pengadilan. Seperti contoh, saat ini perkembangan teknologi yang hasilnya sangat meyakinkan yaitu kejahatan dengan mudah dapat diungkapkan hanya dengan memakai tes “DNA”, yang sebelumnya belum dikenal. Hanya saja yang perlu dicermati adalah penggunaannya di pengadilan, seberapa jauhkah ilmu dan teknologi modern tersebut dapat digunakan, sampai dimana reliabelitasnya dapat diakui, agar

56

H Syaiful Bakhri, 2009,Op-cit,h. 2

57

Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademika Pressindo, Jakarta, h. 47

58

(36)

36

tidak disalah gunakan penggunaannya sehingga tidak menimbulkan praduga yang tidak perlu terjadi.

Jadi pembuktian atau hukum pembuktian adalah suatu cara atau suatu proses untuk mencari kebenaran terutama kebenaran yang matriil dalam hukum acara pidana berdasarkan alat-alat bukti yang sah demi keadilan di pengadilan.

Pengertian peradilan pidana

Peradilan pidana adalah proses atau tata cara pemeriksaan perkara pidana pada peradilan pidana yang menuntut diterapkannya secara lengkap ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana di persidangan.59

Erat kaitannya dengan proses pemeriksaan perkara pidana, dalam KUHAP sekarang ini dibagi menjadi 4 (empat) tahapan yaitu : penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan (eksekusi).

Sehubungan dengan pemeriksaan perkara pidana di persidangan ini dikenal macam-macam pengajuan perkara pidana yaitu :

1. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu pemeriksaan perkara pidana tentang kejahatan berat dengan proses pembuktian maupun penerapan hukumnya yang sulit.

2. Perkarta pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan sumir yaitu perkara pidana tentang kejahatan yang tidak begitu berat yan proses pembuktiannya serta penerapan hukumnya tidak begitu sulit.

3. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan roll yaitu perkara ringan atau lebih mengkhusus lagi mengenai perkara pelanggaran yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 3(tiga) bulan kurungan atau denda Rp.500,- (lima ratus rupiah), termasuk juga penghinaan ringan seperti diatur dalam Pasal 315 KUHP.60

59

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op-cit, h. 48

60

(37)

37

R Soesilo maupun Moelyatno yang dikutip dari W Tangun Susila dan Dewa Suartha, menyatakan bahwa : ”proses peradilan pidana adalah prosedur penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP bagi penegak hukum yang memberi dasar-dasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur apa, ancaman pidana apa, yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.61

Sejarah Hukum Pembuktian dan Teori Pembuktian di Indonesia

Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari bidang hukum yang sudah cukup tua, boleh dikatakan seumur dengan adanya manusia dan masyarakat, baik masyarakat itu masyarakat sederhana, masyarakat modern ataupun yang sudah maju pada hakekatnya akan memiliki rasa keadilan. Rasa keadilan ini akan muncul apabila ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan orang yang nyata-nyata bersalah. Agar tidak terjadi hal seperti itu maka dalam suatu proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian setidak-tidaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku saat itu.

Dengan demikian dalam sejarah hukum pembuktian berkembanglah satu set hukum dan kaidah di bidang pembuktian dari sistem pembuktian yang irasional dan sederhana ke arah sistem pembuktian yang lebih rasional dan rumit. Oleh karena sepanjang sejarah umat manusia, para penegak hukum dan pencari keadilan sangat sadar akan adanya manipulasi alat bukti di pengadilan, baik itu kesaksian yang palsu, saksi yang berbohong atau tidak benar sehingga dari sejak dahulu pula penyumpahan saksi mempunyai peranan penting agar saksi tidak berbohong.

61

(38)

38

Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting. Banyak riwayat, cerita, ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita betapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim.

Begitu sentralnya peranan hukum pembuktian dalam mencari keadilan di dunia ini, maka dalam cerita–cerita kuno baik itu cerita sejarah, mitos maupun cerita agama terdapat cara-cara pembuktian unik yang hanya untuk membuktikan bahwa manusia tidak perlu pesimis karena masih ada jalan untuk mendapatkan suatu kebenaran. Seperti salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Raja Sulaiman yang terkenal arif dan bijaksana, telah menyelesaikan masalah perebutan seorang bayi antara dua orang ibu yang masing-masing mengaku bahwa itu adalah bayinya.

Dengan cara menghunus pedangnya, beliau berkata bahwa beliau akan membelah bayi tersebut menjadi dua sehingga masing-masing akan mendapat setengah dari badan bayi tersebut. Dengan cara itulah Raja Sulaiman dapat mengetahui dari sikap dan prilaku ibu-ibu tersebut yang manakah ibu asli dari bayi tersebut.62

Sebelum dunia ilmu hukum mengenal sistem atau teori pembuktian modern, dalam sejarah hukum dikenal sistem atau teori pembuktian sebagai berikut :

1. Sistem atau teori pembuktian bebas. Cara pembuktian seperti ini tidak diadakan pembatasan baik terhadap metoda pembuktian maupun jenis alat buktinya,tetapi dibebaskan kepada para pihak untuk membuktikannya dan selanjutnya diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Cara pembuktian seperti ini dahulu dikenal diberbagai suku bangsa di Eropa, Afrika dan India.

62

(39)

39

2. Sistem atau teori pembuktian dengan memakai Tangan Tuhan. Dan model pembuktian seperti ini muncul dalam bentuk siksaan, seperti memakai api, besi panas, air panas yang mendidih,air dingin, termasuk juga sumpah. Dengan model pembuktian seperti ini apabila mereka berbohong maka Tuhan atau Nenek Moyangnyalah yang akan menghukumnya.63

Perkembangan hukum pembuktian sebagaimana telah diuraikan diatas sangat bersifat evaluatif apalagi setelah adanya kesadaran bahwa sistem atau teori pembuktian tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan jamannya, tidak efektif dan efisien lagi untuk dipakai mencari kebenaran, baik karena terlalu banyak dimanipulasi atau karena adanya pembuktian modern seperti pembuktian dengan penggunaan alat elektronik, ilmu pengetahuan modern,teknologi canggih antara lain tes DNA, sidik jari, rontgen, fotokopi dan lain sebagainya. Berdasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inilah yang menyebabkan pula adanya perubahan sistem atau teori pembuktian yang sekarang dianut dalam KUHAP, sebagai pengganti dari HIR.

Sejarah perkembangan hukum pembuktian dan teori pembuktian di Indonesia adalah mengikuti sejarah perkembangan hukum acara pidana, karena ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.

Akibat keterbatasan manusia, seringlah terjadi proses pembuktian yang tidak benar seperti adanya manipulasi alat bukti di pengadilan yang berupa saksi memberikan keterangan yang tidak benar, palsu atau berbohong. Dan cara- cara yang dari dahulu sudah ditempuh agar saksi tidak berbohong, maka kesaksiannya dikuatkan dengan sumpah, karena jika saksi berbohong, disamping akan mendapat kutukan dari Tuhan atau Dewa, juga akan dihukum oleh negara sebagai akibat telah memberikan sumpah palsu. Demikian pula cara-cara pembuktian yang unik lainnya dapat ditemukan dalam

63

(40)

40

cerita-cerita kuno baik itu cerita sejarah, cerita agama maupun mitos-mitos lainnya seperti telah dijelaskan diatas.

Model pembuktian dengan menggunakan Tangan Tuhan ini juga muncul dalam wujud penggunaan alat bukti “sumpah” dengan dan atas nama Tuhan dan bercampur aduk dengan kepercayaan atau mistik. Model seperti ini sampai sekarang masih berlaku di banyak sistem hukum, termasuk di Indonesia yang disebut dengan “sumpah pocong”.64

Walaupun keterangan atau kesaksian nya itu tidak benar dan bahkan hal seperti itu digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional. Ini berarti merupakan suatu bukti bahwa teori dan praktek hukum tidak selamanya berjalan seiring dengan perkembangan rasio manusia.

Sehubungan dengan sistem atau teori pembuktian ini, Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya yang menganut sistem atau teori pembuktian yang negatif. Seperti telah diuraikan di depan dalam tinjauan teoritis, yang mengenal 3 (tiga) macam bentuk sistem atau teori pembuktian dan salah satunya adalah sistem atau teori pembuktian negatif, yaitu bahwa : “Hakimlah yang menilai alat bukti yang diajukan dengan keyakinannya sendiri” dan bukan “Juri” seperti di AmerikaSerikat dan negara-negara Anglo Saxon.

Mengenai sistem atau teori pembuktian negatif ini dianut baik oleh HIR (Herzienne Inlandsch Reglement ) maupun KUHAP yang merupakan pengganti dari HIR, yang merupakan dasar acara pidana sipil di Indonesia. HIR diganti dengan KUHAP karena HIR adalah hasil produk kolonial dan belum menjamin atau belum mewujudkan hak-hak asasi manusia. Tetapi mengenai sistem atau teori pembuktian

64

(41)

41

negatif yang dianut oleh HIR dan KUHAP adalah sama. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut :

“tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika Hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang–orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu”.

Sedangkan Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas terlihatlah ketentuannya yang sama, hanya ada sedikit perbedaan yaitu : dalam Pasal 294 HIR disebutkan dengan “kata alat bukti“ sedangkan dalam Pasal183 KUHAP disebutkan dengan dengan kata “dua alat bukti“.

Walaupun demikian dari pernyataan seperti tersebut di atas dapat dikatakan bahwa : “telah ada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh undang-undang), disamping keyakinan Hakim untuk memidana seseorang yang benar-benar bersalah sehingga ketentuan tersebut adalah untuik menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.

Seperti telah dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro, bahwa : sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan dengan alasan :

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis membuat visualisasi kimia dalam sebuah aplikasi E Learning dengan menggunakan Moodle yaitu dengan membuat semua aktifitas yang ada di

Dengan cara mengenkripsi data maka setidaknya data yang kita anggap penting tidak bisa dipelajari atau dibaca oleh orang yang tidak berhak, Sedangkan untuk mengembalikan data kita

Sebaiknya Perbankan Syariah terus meningkatkan kualitas pelayanan melalui variabel (tangible) bukti fisik hal-hal yang menyangkut penerangan ruangan di

mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan tersebut

Ke lima jenis fakultas yang dimiliki oleh IAIN Alauddin Makassar (kini UIN Alauddin Makassar), pada saat itu telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu upaya mengembangkan kemampuan berhitung permulaan anak melalui media kartu angka bergambar pada anak kelompok B TK Persada 2

Manajemen Kepala Sekolah dalam Peningkatan Kompetensi Profesionalisme Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Gemuh.. Semarang: Tesis tidak diterbitkan, dalam

Saya berdoa kepada Allah dengan bahasa hati, kalaulah Engkau ya Allah tidak memberi saya uang untuk biaya bersalin, dari rumah ini, biarlah sekedar uang kecil