• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat Bukti Dalam Perkara Pidana

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Alat Bukti Dalam Perkara Pidana

putusan oleh majelis hakim. Pembuktian terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim.

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Ketentuang yang harus dipenuhi seorang saksi sebagai berikut.

1) Harus mengucapkan sumpah atau janji.

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi.

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan:

“wajib mengucapkan sumpah” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji:

i. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing

ii. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangannya yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP

i. Yang saksi lihat sendiri;

ii. Saksi dengar sendiri;

iii. Dan saksi alami sendiri;

iv. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai degan

penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan”.

Keterangan yang dinyatakan diluar sidang pengadilan bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum ada mendengar keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan itu mereka dengan dihalaman rumah tempat tinggalnya.

4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Agar supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi atau sekurang-kurangya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Lain halnya jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam hal seperti ini seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian.

5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi hanya dihadirkan dan didengar keterangannya

di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah melapaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.

2. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Memperhatikan bunyi Pasal 1 butir 28, dapat ditarik pengertian sebagai berikut:

1) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa,

2) Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah ditinjau makna keterangan ahli sebagai alat bukti. Manfaat yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna kepentingan pembuktian.

3. Surat

Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialiminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menj adi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Pasal 188 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Peringatan yang digariskan dalam Pasal 188 ayat (3) merupakan “ajakan”

kepada hakim agar sedapat mungkin “lebih baik menghindari” penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa.

5. Keterangan Terdakwa

Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa “keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri”.

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain:

a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan

Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa atas pertanyaan yag diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum, atau penasihat umum. Adapun yang harus dinilai,

bukan hanya keterangan yang berisi “pernyataan pengakuan” belaka, tapi termasuk penjelasan yang “dilakukan terdakwa”.

b. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan:

1) Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”

Dari ketentuan ini hakim jangan sampai keliru memasukkan keterangan terdakwa yang berupa pernyataan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Pernyataan yang dapat dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa sendiri. Oleh karena itu, setiap pertanyaan yang bermaksud hendak mengetahui apa saja yang dilakukan terdakwa sehubungan dengan tindak yang sedang diperiksa, mesti terarah disekitar perbuatan yang dilakukannya.

2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa

Yang dimaksud dalam ketentuan ini mengenai yang diketahui sendiri oleh terdakwa, bukan pengetahuan yang bersifat “pendapat maupun rekaan” yang terdakwa peroleh dari hasil pemikiran. Arti yang terdakwa ketahui sendiri tiada lain dari pada pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

3) Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa

Apa yang terdakwa alami sendiri harus berupa pengalaman yang

“langsung berhubungan” dengan peristiwa pidana yang bersangkutan. Bukan pengalaman hidup atau yang terdakwa alami sendiri waktu ia sedang berpesiar kejakarta, tetapi mengenai hal-hal yang dialami sendiri oleh terdakwa pada saat terjadi peristiwa pidana.

4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.

2.6 Pengertian dan Hak-Hak Terdakwa

Dokumen terkait