• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

(Studi Kasus No.1434/Pid.Sus/2018/PN Mks)

Skripsi Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar

ANANDA EKA SAPUTRA 4515060050

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR

2019

(2)
(3)

PERSETUJUAN PEMBIMBING Usulan Penelitian Mahasiswa :

Nama : ANANDA EKA SAPUTRA

NIM : 4515060050

Program Studi : ILMU HUKUM

Minat : HUKUM PIDANA

Nomor Pendaftaran Judul : 21/Pid/FH/II/2019 Tanggal Pendaftaran Judul : 15 Februari 2019

Judul Skripsi : ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

Telah mendapat persetujuan dan kesediaan dari dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi mahasiswa program studi strata 1 (S1) Fakultas Hukum, Universitas Bosowa Makassar

Makassar, 8 April 2019 Disetujui :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr.Ruslan Renggong, SH.,MH Hj.Suryana Hamid, SH.,MH

Mengetahui :

Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa

Dr.Ruslan Renggong, SH.,MH

(4)

PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

Pimpinan Fakultas Hukum Unversitas Bosowa Makassar menerangkan bahwa :

Nama : ANANDA EKA SAPUTRA

Nim : 4515060050

Program Studi : ILMU HUKUM

Minat : HUKUM PIDANA

No. Pendaftaran Ujian :

Tanggal Persetujuan Ujian :

Judul Skripsi : ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Telah disetujui skripsinya untuk dimajukan dalam ujian skripsi mahasiswa program strata satu (S1)

Makassar, Agustus 2019

Dekan Fakultas Hukum

Dr.Ruslan Renggong, S.H., M.H

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN... iv

DAFTAR ISI... v

KATA PENGANTAR... vi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kegunaan Penelitian... 5

1.5 Metode Penelitian... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 8

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana... 8

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana... 10

2.1.3 Pertanggungjawaban Pidana... 12

2.2 Pengertian dan Penggolongan Narkotika... 15

2.2.1 Pengertian Narkotika... 15

2.2.2 Penggolongan Narkotika... 17

2.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkotika... 19

(6)

2.4 Pengertian dan Teori Pembuktian... 24

2.4.1 Pengertian Pembuktian... 24

2.4.2 Teori-teori Pembuktian... ... 26

2.5 Alat Bukti Dalam Perkara Pidana... 29

2.6 Pengertian dan Hak-Hak Terdakwa... 36

2.6.1 Pengertian Terdakwa... 36

2.6.2 Hak-Hak Terdakwa... 37

2.7 Putusan Hakim... 38

2.7.1 Acara Pengambilan Keputusan... 38

2.7.2 Jenis dan Isi Keputusan Hakim... 40

BAB 3 HASIL PENELITIAN... 43

3.1 Posisi Kasus... 43

3.2 Pertimbangan Hukum Hakim Atas Putusan Bebas Yang Diberikan Kepada Terdakwa Tindak Pidana Narkotika... 45

3.3 Faktor Yang Menjadi Dasar Hukum Hakim Sehingga Memberikan Putusan Bebas Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika 51

BAB 4 PENUTUP... 58

4.1 Kesimpulan... 58

4.2 Saran... 59

DAFTAR PUSTAKA... 60

LAMPIRAN... 62

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, tak lupa sholawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para Sahabat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS PUTUSAN BEBAS TERHADAP TERDAKWA TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR (Studi Kasus No.1434/Pid.Sus/2018/PN.Mks)”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini telah menerima bantuan dari berbagai pihak. Untuk pertama-tama, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat Bapak Dr.

Ruslan Renggong, SH.,MH sebagai Dosen Pembimbing I dan Ibu Hj. Suryana Hamid, SH.,MH sebagai Dosen Pembimbing II yang telah meluangka waktu, tenaga, serta pikiran guna memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof.Dr.H.Muhammad Saleh Pallu,M.Eng selaku Rektor Universitas Bosowa Makassar beserta seluruh jajarannya.

2. Dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar yang telah memberikan ilmunya.

3. Ketua Pengadilan Negeri Makassar beserta staf yang telah membantu dalam proses penelitian penulis.

(8)

4. Terima kasih yang sedalam-dalamnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada Bapak H.Asri Razak, SE.,Ak.CA.,CPA., Ibu Hj.Sunarti, dan Kakak Suci Putri Astiti, S.Pd,.M.Ak. Atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, dan pengorbanannya untuk penulis serta bantuan moril dan materil yang tak akan pernah mampu terbalaskan oleh apapun. Semoga apa yang telah beliau berikan selama ini menjadikan Allah semakin sayang dan cinta.

5. Sahabat-sahabat penulis Afdal Abdillah Supra, Ade Gazali Putra, M.Nur Abdal, Ewaldo Aziz, Andi Muhammad Sahib, dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Yang selama ini menemani penulis mulai dari mahasiswa baru hingga saat ini.

Kepada semua pihak yang berkenan memberikan bantuan baik materil maupun moril, penulis ucapkan terima kasih yang sangat mendalam dan akhir kata penulis berhaap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Makassar, April 2019 Penulis

ANANDA EKA SAPUTRA

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan, pelayanan kesehatan,dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun disisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan. Masalah narkotika yang saat ini terjadi di Indonesia merupakan salah satu masalah yang sangat besar sehingga penegak hukum harus menindaklanjuti dengan tegas para pelaku kejahatan tindak pidana narkotika ini.

Meskipun dalam penyalahgunaan narkotika sangat berbahaya masih banyak anak-anak bangsa yang berani menggunakannya tanpa mempertimbangkan bahaya dari penyalahgunaan narkotika sehingga sangat dibutuhkan aturan berupa hukum yang mengatur dengan tegas sanksi yang akan didapatkan apabila menyalahgunakan narkotika baik Golongan I, II, ataupun III.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku seseorang, dan tujuan hukum itu adalah sebagai alat pengatur tata tertib masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin, sebagai penggerak pembangunan,dan sebagai fungsi kritis hukum.

Untuk menciptakan kembali keseimbangan didalam masyarakat di adakan sanksi, yaitu sanksi administrasi dalam bidang Hukum Tata Negara, sanksi perdata dalam bidang Hukum Perdata, dan sanksi pidana dalam Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika merupakan upaya pemerintah untuk memusnahkan tindak pidana narkotika yang

(10)

semakin hari semakin meningkat dalam penyalahgunaannya. Akan tetapi, usaha pemerintah memberantas tindak pidana narkotika di Indonesia tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan.

Ada berbagai hambatan yang menghadang suksesnya proses pemberantasan Tindak Pidana Narkotika. Salah satunya hambatan tersebut justru berasal dari aparat penegak hukum itu sendiri yang dalam hal ini seharusnya aparat penegak hukum berada pada barisan terdepan dalam memberantas tindak pidana narkotika.

Namun terkadang instansi penegak hukum seperti pengadilan negeri yang seharusnya menjadi cerminan kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat memberikan efek jera. Dalam sistem pemasyarakatan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar memberi efek jera, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan kebebasan hakim dalam melaksanakan wewenang judicialnya tidaklah mutlak sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan.

(11)

Hakim dalam menjalankan tugasnya harus bertanggung jawab kepada Tuhan yang maha esa, bangsa, dan negara. Sehingga hakim dalam memutus suatu perkara tidak lain hanya berpedoman pada norma-norma hukum yang berlaku berdasarkan keadilan serta hati nurani hakim, dan yang mana putusannya dapat dipertanggung jawabkan. Akan tetapi kenyataannya, putusan-putusan yang dibuat oleh hakim sering mengundang perhatian masyarakat, karena tidak jarang terjadi terhadap pelaku tindak pidana yang satu dijatuhkan pidana berat sedangkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya dijatuhi hukuman ringan atau bahkan dibebaskan padahal pasal yang dilanggar adalah sama.

Hakim yang seharusnya menggali dan mengamati nilai-nilai hukum dan rasa keadilan, ternyata dalam hal mengambil putusan untuk menghukum terdakwa, kadang kurang memberi pertimbangan hukum yang tepat, sehingga dapat berakibat tidak berfungsinya hukum dimasyarakat. Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut sehingga para pelaku kejahatan tidak merasa jera untuk melakukan kejahatan.

Contoh putusan yang kurang tepat dalam mempertimbangkan pertanggungjawaban hukum bagi terdakwa adalah putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar terhadap terdakwa Syamsul Rijal alias Rijal alias Kijang. Yang dimana Syamsul Rijal adalah pengedar narkotika jenis sabu, dan disaat polisi melakukan penggerebekan ditemukan narkotika jenis sabu seberat 20.4029 gram. Syamsul Rijal diberikan Putusan Bebas oleh Majelis Hakim,

(12)

sementara tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu penjara 6 tahun dan denda Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Menarik dalam putusan di atas adalah ketidaksinkronan antara putusan yang diberikan oleh Majelis Hakim dengan apa yang diatur didalam Undang-Undang 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika Pasal 112 ayat (2) yang menentukan bahwa “Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara seumur hidup, paling singkat 5 tahun,dan paling lama 20 tahun”.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian mendalam tentang Putusan Bebas Terhadap Terdakwa Tindak Pidana Narkotika Di Pengadilan Negeri Makassar.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim atas putusan bebas yang diberikan kepada terdakwa tindak pidana narkotika?

2. Faktor apakah yang menjadi dasar hukum hakim sehingga memberikan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana narkotika?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:.

1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim atas pemberian putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana narkotika.

(13)

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi dasar hakim sehingga berikan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana narkotika

1.4 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk pengembangan disiplin ilmu Hukum Pidana, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan penerapan hukum pidana materil pada tindak pidana narkotika.

2. Kegunaan praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai Sumbangan pemikiran dan masukan bagi aparat penegak hukum khususnya hakim mengenai penerapan hukum pidana materil pada tindak pidana narkotika dan dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan pidana pada pelaku tindak pidana tersebut.

1.5 Metode Penelitian a. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis-empiris, oleh karena dalam pendekatan ini menggunakan data sekunder sebagai data awalnya yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.

b. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar, tempat ini dipilih untuk melakukan penelitian untuk mendapatkan sampel atau mengambil dokumen-dokumen penting untuk penelitian ini.

(14)

c. Jenis dan Sumber Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden di lokasi penelitian, dalam hal ini didapatkan dari hasil wawancara langsung dengan Hakim yang menangani kasus Tindak Pidana Narkotika.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan melalui berbagai literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul penelitian.

d. Tehnik Pengumpulan Data 1. Wawancara (interview)

Yaitu penulis melakukan tanya jawab (interview) kepada narasumber yang berkompeten seperti hakim, jaksa, atau penyidik yang bersangkutan dalam kasus tindak pidana narkotika ini.

2. Penelitian Hukum

Berdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, maka penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.

e. Analisis Data

Data penelitian diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu menganalisa data berdasarkan kualitasnya lalu dideskripsikan dengan menggunakan kata-kata

(15)

sehingga diperoleh bahasan atau paparan dalam bentuk kalimat yang sistematis dan dapat dimengerti, kemudian ditarik kesimpulan.

(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 2.1.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana/Delik merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan

“strafbaarfeit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak

pidana” didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaarfeit”. Menurut Vos yang dikutip dalam bukunya Bambang Poernomo ( 1993 : 91 ) adalah suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana.

Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana.

Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secra konkret dan pelaku tindak pidana dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.

Untuk memberikan gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut penulis kemukakan beberapa pandangan ahli hukum berikut ini:

Clark, Marshall, dan Lazell ( St.Paul: Keefe-Davidson, 1996 : 1 ) memiliki pandangan bahwa “Delik meliputi seluruh perbuatan aktif ataupun

(17)

pasif yang dilarang untuk melindungi masyarakat dan diancam dengan pidana oleh negara melalui proses hukum”.

Tidak pidana pada dasarnya menyangkut seluruh perbuatan aktif ataupun pasif yang dilarang. Dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi tindak pidana baik yang aktif maupun pasif yang dilarang dengan tujuan untuk melindungi masyarakat maka pelaku tindak pidana akan diancam dengan pidana oleh negara melaui proses hukum.

Moeljanto ( Ruslan Renggong, 2018 : 154 ) menggunakan istilah perbuatan pidana, yang artinya “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut”.

Atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana dalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat. Oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan erat pula, yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya.

(18)

Poernomo ( 1982 : 86 ) mengatakan bahwa “Delik adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan umum”. Tindak pidana perbuatan yang telah dilakukan pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dalam artian kejatahan itu telah dilarang didalam undang-undang yang apabila aturan itu dilanggar maka akan merugikan kepentingan umum.

Bambang Poernomo ( 1992 : 130 ) berpendapat bahwa “perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Atau dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang telah dilarang oleh suatu aturan hukum yaitu undang-undang dan apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi sesuai yang telah diatur dalam aturan undang-undang.

2.1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana/delik yang terdapat didalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana ( KUHP ) pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana/delik itu adalah : a. Kesengajaan atau ketidak sengajaan

b. Maksud pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP );

(19)

c. Macam-macam maksud seperti yang terdapat didalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu seperti yang terdapat didalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP );

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana/delik adalah : a. Sifat melanggar hukum ( wederrechtelicjkheid );

b. Kwalitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP );

c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Emrzger dalam Soedarto ( 1990 : 41-42 ) mengemukakan bahwa unsur- unsur delik adalah :

a. Perbuatan dalam arti yang luas manusi ( aktif atau membiarkan );

b. Sifat melawan hukum ( baik bersifat obyektif maupun yang subyektif );

c. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

d. Diancam dengan pidana.

Van Hamel dalam Soedarto ( 1990 : 41 ) mengemukakan bahwa unsur- unsur delik adalah :

a. Perbuatan manusia yang dirumuskan didalam Undang-Undang;

b. Melawan hukum;

(20)

c. Dilakukan dengan kesalahan;

d. Patut dipidana.

Menurut Simons (Kansil, 2004 : 37 ) mengemukakan unsur-unsur delik yaitu :

a. Perbuatan manusia ( positif atau negatif ; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan );

b. Diancam dengan pidana;

c. Melawan hukum;

d. Dilakukan dengan kesalahan;

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Moeljatno ( 1993 : 12 ) mengemukakan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur delik yaitu :

a. Perbuatan;

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang;

c. Bersifat melawan hukum;

d. Kelakuan manusia, dan;

e. Akibat

2.1.3 Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi. Dengan kata lain apakah tersangka atau terdakwa tersebut dibebaskan atau dipidana.

(21)

Muhammad Ainul Syamsu (2016 : 73) salah satu aspek retrospektif pertanggungjawaban pidana adalah penilaian normatif atas ketercelaan pembuat tindak pidan. Aspek ini bersandar kepada prinsip “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” yang menempatkan kesalahan pembuat tindak pidana sebagai pusat dari pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks ini, penilaian hakim ditujukan terhadap ketercelaan pembuat tindak pidana. Dalam bagian ini, pembahasan dititikberatkan pada syarat pertanggungjawaban pidana yang mencakup kemampuan bertanggung jawab, kesalahan normatif dan tidak adanya alasan pemaaf.

1. Kemampuan Bertanggung Jawab: Alat Berpikir yang Normal

Kemampuan bertanggung jawab merupakan syarat internal kesalahan.

Dikatakan demikian karena kesalahan mensyaratkan pembuat tindak pidana mempunyai alat berpikir yang normal sehingga dapat menentukan kehendaknya untuk menghindari atau tidak menghindari tindak pidana. Sebab alat berpikir yang tidak normal menyebabkan pembuat tindak pidana tidak dapat melaksanakan kewajiban hukum yang berakibat pada tidak dapat dipertanggungjawabkannya pembuat tindak pidana.

Dalam KUHP, kemampuan bertanggung jawab dirumuskan secara negatif dalam Pasal 44 ayat (1) yang menentukan bahwa “tidak dapat dipidana barangsiap melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena cacat tumbuh atau terganggu secara sakit daya akalnya”.

2. Kesalahan: Penilaian Normatif atas Ketercelaan Pembuat Tindak Pidana

(22)

Berbeda dengan kemampuan bertanggung jawab yang menekankan kapasitas internal pembuat tindak pidana, kesalahan justru menitikberatkan kepada keadaan eksternal yang diwujudkan dalam penilaian masyarakat terhadap pembuat, apakah dalam keadaan yang demikian itu pembuat dapat dicela atas tindak pidana yang dilakukannya. Penilaian masyarakat menegaskan bahwa kesalahan bukanlah aspek psikologis (internal) pembuat, tetapi justru tolak ukurnya bersifat eksternal.

Esensi kesalahan terletak dalam penilaian masyarakat terhadap keadaan-keadaan yang menjadi dasar dicelanya pembuat. Dalam konteks ini, kesalahan menekankan dua proses sekaligus, yaitu proses sosial dan proses hukum. Disatu sisi, proses sosial terkandung dalam penilaian masyarakat terhadap ketercelaan pembuat. Penilaian ini didasarkan atas harapan masyarakat agar pembuat menjalankan kewajiban hukumnya untuk menyelaraskan perbuatannya dengan norma hukum, di sisi lain proses hukum mensyaratkan bahwa penilaian terhadap ketercelaan pembuat hanya dapat dilakukan berdasarkan mekanisme dan cara yang ditentukan dalam undang- undang.

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf dan Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan

Alasan pemaaf secara konseptual dapat berdiri sendiri dari pengertian kesalahan, namun pengertian normatif tentang kesalahan menempatkan alasan pemaaf sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengertian kesalahan.

Secara konseptual, alasan pemaaf tidak dapat dipisahkan dari kesalahan,

(23)

khususnya berkaitan dengan diharapkannya pembuat untuk berbuat selain tindak pidana yang menjadi esensi alasan pemaaf. Berdasarkan hal ini, alasan pemaaf tidak hanya merujuk kepada alasan pemaaf yang diatur secara tertulis dalam undang-undang.

Alasan pemaaf merupakan penghubung antara kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks ini, kesalahan tidak dapat dinyatakan sebagai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan alasan pemaaf. Alasan pemaaf inilah yang akan menentukan apakah berlanjut ataukah tidak berlanjut kepada pertanggungjawaban pidana yang diwujudkan dalam putusan hukum atas ketercelaan pembuat tindak pidana.

Chairul Huda ( 2006 : 68 ) berpendapat “bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah atas dasar kesalahan, hal ini berarti bahwa seorang akan mempunyai pertanggungjawaban pidana bila ia telah melakukan perbuatan yang salah danbertentangan dengan hukum”.

2.2 Pengertian dan Penggolongan Narkotika 2.2.1 Pengertian Narkotika

Narkotika adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan cara memasukkan obat tersebut kedalam tubuhnya, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit rasangan, semangat dan halusinasi. Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang menyebabkan kelompok masyarakat terutama dikalangan remaja ingin

(24)

menggunakan narkotika meskipun tidak menderita apa-apa. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan narkotika. Narkotika sangat berbahaya abila menggunakannya dengan secara berlebihan tidak sesuai dengan aturan bahwa adanya adiksi/ketergantungan.

Adiksi adalah suatu kelainan obat yang bersifat kronik/periodik sehingga penderita kehilangan kontrol terhadap dirinya dan menimbulkan kerugian terhadap dirinya dan masyarakat. Orang-orang yang sudah terlibat pada penyalahgunaan narkotika pada mulanya masih dalam ukuran (dosis) yang normal. Lama-lama pengguna obat menjadi kebiasaan, setelah biasa menggunakan kemudian untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang lebih tinggi. Setelah dosis yang lebih tinggi digunakan akan menjadi ketergantungan, yang bagi penggunanya akan merasa tidak dapat hidup tanpa narkotika.

Istilah narkotika pertama kali diperkenalkan pada pertemuan internasional di Janewa pada tahun 1931 tentang candu. Narkotika berasal dari kata “nacro” yang berarti tidur yang tidak sadar. Sesuai dengan pengertian yang terdapat pada Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang mengartikan bahwa:

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan.

Pengertian narkotika disampaikan oleh Jacobus ( 2005 : 165 )

(25)

Narkotika ialah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis ataupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi bahkan sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pengertian narkotika dikemukakan oleh Wresniwiro (1999 : 85 )

“Narkotika adalah zat atau obat yang bisa menyebabkan ketidaksadaran atau pembiusan, karena zat-zat tersebut bekerja dengan mempengaruhi saraf pusat manusia”.

Sedangkan menurut Kurniawan ( 2008 : 37 ), “Narkotika adalah termasuk Zat kimia yang bisa merubah keadaan psikologi seseorang di antaranya seperti perasaan, pikiran, suasana hati dan perilaku, baik itu di konsumsi dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan semacamnya”.

2.2.2 Penggolongan Narkotika

Jenis narkotika terbagi kedalam 3 golongan sesuai yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Pasal 6 ayat (1) yang menentukan bahwa narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam:

a. Narkotika Golongan I;

b. Narkotika Golongan II, dan;

c. Narkotika Golongan III.

Narkotika Golongan I merupakan narkotika yang memiliki dampak paling berbahaya bagi penggunanya. Daya adiktif yang terkandung pada narkotiba golongan ini sangatlah tinggi. Biasanya narkotika golongan ini

(26)

digunakan untuk kebutuhan sebuah penelitian dan ilmu pengetahuan. Seperti:

ganja, heroin, kokain, morfin, dan opium.

Narkotika Golongan II merupakan narkotika yang umumnya memiliki daya adiktif yang kuat, tapi juga memiliki manfaat untuk suatu pengobatan dan juga sebuah penelitian. Seperti : petidin, benzetidin, dan betametadol.

Narkotika Golongan III merupakan narkotika yang mempunyai daya adiktif cenderung lebih ringan dibanding dengan lainnya akan tetapi, dapat bermanfaat jika digunakan untuk pengobatan dan juga penelitian. Seperti : kodein dan turunannya. Adapun golongan berdasarkan bahan pembuatannya ( Wresniworo, 1999 : 28 ) yaitu:

1. Narkotika Alami

Zat dan obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotika tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung digunakan dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Sebagai contoh narkotika alami yaitu ganja dan daun koka

2. Narkotika Sintetis

Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan peelitian sebagai penghilang rasa sakit. Sebagai contoh dari narkotika sintetis adalah amfetamin, metadon, dekstroptopakasifen, dan sebagainya.

Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut:

(27)

a. Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri;

b. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar;

c. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi mengubah perasaan serta pikiran.

3. Narkotika Semi Sintesis

Yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti contoh heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2.3 Unsur-Unsur Tindak Pidana Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur Tentang Tindak Pidana Narkotika dan setiap pasal yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memiliki unsur-unsur, sehingga apabila unsur- unsur itu terpenuhi maka dapat dipastikan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

1. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 111 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman.

2. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 111 ayat (2) yaitu:

- “Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk

(28)

tanaman, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi lima batang pohon”

3. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 112 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman.

4. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 113 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan satu.

5. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 113 ayat (2) yaitu:

- Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

- Dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi lima kilogram.

6. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 114 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

(29)

- Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi prantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I.

7. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 114 ayat (2) yaitu:

- Dalam hal menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima narkotika golongan I yang dimaksud pada ayat (1);

- Dalam bentuk tanaman beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lima kilogram.

8. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 115 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Membawa, megirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I.

9. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 115 ayat (2) yaitu:

- Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I yang dimaksud pada ayat (1);

- Dalam bentuk tanaman;

- Beratnya melebihi satu kilogram atau melebihi lima batang pohon beratnya melebihi lima gram.

10. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 116 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

(30)

- Menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain;

11. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 116 ayat (2) yaitu:

- Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

- Mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen.

12. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 117 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II.

13. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 118 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II.

14. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 119 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi prantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golonganII.

(31)

15. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 120 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum;

- Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan II.

16. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 121 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Menggunakan narkotika golongan II;

- Terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain.

17. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 122 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III.

18. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 123 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang

- Tanpa hak atau melawan hukum

- Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III.

19. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 124 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

(32)

- Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi prantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan III.

20. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 125 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentrasito narkotika golongan III.

21. Unsur-unsur tindak pidana narkotika didalam Pasal 126 ayat (1) yaitu:

- Setiap orang;

- Tanpa hak atau melawan hukum;

- Menggunakan narkotika golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III untuk digunakan orang lain.

2.4 Pengertian dan Teori Pembuktian 2.4.1 Pengertian Pembuktiaan

Pembuktian adalah suatu rangkaian dari proses pemeriksaan didepan persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan betul-betul cermat, teliti dan matang menilai serta mempertimbangkan seluruh bukti-bukti yang diajukan didepan persidangan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan apakah terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan selanjutnya dibebaskan dari hukuman.

Menurut Bambang Waluyo ( 1996 : 3 ) bahwa pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti tersebut dipergunakan, diajukan ataupun

(33)

dipertahankan, sesuai hukum acara yang berlaku. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (W.J.S Poerwadarminta, 1984 : 160-161), memberikan pengertian pembuktian, yaitu Perbuatan memberi (memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan cita-cita dan sebagainya, menyatakan bahwa sesuatu benar serta meyakinkan, menyaksikan).

M. Yahya Harahap ( 1985 : 793 ) mengemukakan bahwa “pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

R. Subekti dan Tjirosoedibyo ( 2002 : 17 ) mengemukakan bahwa bukti berarti sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian.

Pembuktian adalah perbuatan yang dilakukan untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil dimuka pengadilan. Sedangkan R. Subekti ( 2001 : 1 ) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.

R. Supomo ( Taufiqul Hulan, 2002 : 62-63 ) berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yaitu arti yang luas dan arti yang terbatas.

Arti yang luas ialah membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan penggugat. Pengabulan ini mengandung arti, hakim menarik kesimpulan bahwa apa yang dikemukakan oleh penggugat sebagai

(34)

hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar. Dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apa yang tidak dibantah, tidak perlu dibuktikan.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara dipengadilan untuk dapat memberi kepastian dan keyakinan kepada hakim atas dalil yang disertai alat bukti yang sah diajukan di pengadilan, Pada tahap ini hakim dapat mempertimbangkan putusan perkara yang dapat memberikan suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian hukum dan keadilan.

2.4.2 Teori-Teori Pembuktian

Secara teoritis terdapat empat teori mengenai sistem pembuktian ( Andi Hamzah, 2016 : 249 ) yaitu:

1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (positief wettelijke bewijs theorie)

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut secara limitatif dalam undang-undang. Undang- undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, bagaimana cara hakim menggunakannya, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu ( conviction intime)

(35)

Pada sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Melalui sitem “conviction intime”, kesalahan terdakwa bergantung kepada keyakinan hakim belaka sehingga hakim tidak terikat pada suatu peraturan.

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran, pengekuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Sistem ini memberi kebebasan hakim yang terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (laconviction raisonnee)

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan dengan slektif dalam arti keyakinan hakim dibatasi dengan harus didukung oleh alasan-alasan jelas dan rasional dalam mengambil keputusan. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga

(36)

pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheo).

Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, yang berarti terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim hakim bahwa ia bersalah.

4. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negatief wettelijk)

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila alat bukti tersebut secara limitatis ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Didalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif terdapat unsur dominan berupa sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sedangkan unsur keyakinan hakim hanya merupakan unsur pelengkap.

Dalam menentukan apakah orang yang didakwakan tersebut bersalah atau tidak, maka haruslah dapat dibuktikan paling sedikti dengan dua jenis alat bukti seperti yang tertuang didalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kayakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dengan demikian, maksud dilakukannya kegiatan pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah untuk menjatuhkan atau mengambil

(37)

putusan oleh majelis hakim. Pembuktian terlebih dahulu dalam usaha mencapai derajat keadilan dan kepastian hukum yang setinggi-tingginya dalam putusan hakim.

2.5 Alat Bukti Dalam Perkara Pidana

Alat bukti yang sah, adalah alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.

Adapun alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana(KUHAP) Pasal 184 ayat (1), adalah sebagai berikut:

1. Keterangan saksi

Menurut Ketentuan Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, “keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

a. Syarat Sahnya Keterangan Saksi

Pada umunya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.

Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

(38)

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Ketentuang yang harus dipenuhi seorang saksi sebagai berikut.

1) Harus mengucapkan sumpah atau janji.

Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), dan hal ini sudah panjang lebar diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi.

Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberi keterangan:

“wajib mengucapkan sumpah” sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji:

i. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing

ii. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangannya yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27 KUHAP

i. Yang saksi lihat sendiri;

ii. Saksi dengar sendiri;

iii. Dan saksi alami sendiri;

iv. Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

3) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai degan

(39)

penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan”.

Keterangan yang dinyatakan diluar sidang pengadilan bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum ada mendengar keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan itu mereka dengan dihalaman rumah tempat tinggalnya.

4) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Agar supaya keterangan saksi dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi atau sekurang-kurangya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Lain halnya jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam hal seperti ini seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. Dengan demikian telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian.

5) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi hanya dihadirkan dan didengar keterangannya

(40)

di sidang pengadilan secara “kuantitatif” telah melapaui batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.

2. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Memperhatikan bunyi Pasal 1 butir 28, dapat ditarik pengertian sebagai berikut:

1) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa,

2) Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah ditinjau makna keterangan ahli sebagai alat bukti. Manfaat yang dituju oleh pemeriksaan keterangan ahli guna kepentingan pembuktian.

3. Surat

Menurut Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

(41)

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialiminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menj adi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4. Petunjuk

Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Pasal 188 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:

a. Keterangan saksi;

b. Surat;

c. Keterangan terdakwa.

Pasal 188 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa:

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

(42)

Peringatan yang digariskan dalam Pasal 188 ayat (3) merupakan “ajakan”

kepada hakim agar sedapat mungkin “lebih baik menghindari” penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa.

5. Keterangan Terdakwa

Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan bahwa “keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri”.

Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penempatannya pada urutan terakhir inilah salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan saksi.

Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain:

a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan

Supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah, keterangan itu harus dinyatakan di sidang pengadilan, baik pernyataan berupa penjelasan “yang diutarakan sendiri” oleh terdakwa atas pertanyaan yag diajukan kepadanya oleh ketua sidang, hakim anggota, penuntut umum, atau penasihat umum. Adapun yang harus dinilai,

(43)

bukan hanya keterangan yang berisi “pernyataan pengakuan” belaka, tapi termasuk penjelasan yang “dilakukan terdakwa”.

b. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri, sebagai asas kedua, supaya keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu merupakan pernyataan atau penjelasan:

1) Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”

Dari ketentuan ini hakim jangan sampai keliru memasukkan keterangan terdakwa yang berupa pernyataan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Pernyataan yang dapat dinilai sebagai alat bukti ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa sendiri. Oleh karena itu, setiap pertanyaan yang bermaksud hendak mengetahui apa saja yang dilakukan terdakwa sehubungan dengan tindak yang sedang diperiksa, mesti terarah disekitar perbuatan yang dilakukannya.

2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa

Yang dimaksud dalam ketentuan ini mengenai yang diketahui sendiri oleh terdakwa, bukan pengetahuan yang bersifat “pendapat maupun rekaan” yang terdakwa peroleh dari hasil pemikiran. Arti yang terdakwa ketahui sendiri tiada lain dari pada pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

3) Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa

(44)

Apa yang terdakwa alami sendiri harus berupa pengalaman yang

“langsung berhubungan” dengan peristiwa pidana yang bersangkutan. Bukan pengalaman hidup atau yang terdakwa alami sendiri waktu ia sedang berpesiar kejakarta, tetapi mengenai hal- hal yang dialami sendiri oleh terdakwa pada saat terjadi peristiwa pidana.

4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.

2.6 Pengertian dan Hak-Hak Terdakwa 2.6.1 Pengertian Terdakwa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 1 butir 15 menentukan bahwa

“terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan”.

Adnan Paslyadja ( 1997 : 69 ) terdakwa adalah orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.

J.C.T Simorangkir ( 1980 : 167 ) definisi terdakwa adalah “seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan dimuka sidang pengadilan”.

(45)

2.6.2 Hak-hak Terdakwa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana telah mengatur hak-hak terdakwa sebagai berikut : 1. Pasal 50 ayat (3) menentukan bahwa “terdakwa berhak segera diadili oleh

pengadilan”

2. Pasal 51 ayat (2) menentukan bahwa “terdakwa berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya”.

3. Pasal 52 menentukan bahwa “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.

4. Pasal 53 ayat (1) menentukan bahwa “dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177”.

5. Pasal 54 menentukan bahwa “guna kepentingan pembelaan, tersangka atu terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seseorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.

6. Pasal 55 menentukan bahwa “untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut dalam Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya”.

(46)

7. Pasal 59 menentukan bahwa “tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak atas dirinya oleh pejabat yang berwenang”.

8. Pasal 60 menentukan bahwa ”tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan”.

9. Pasal 63 menentukan bahwa “tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan”.

10. Pasal 64 menentukan bahwa “terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.

11. Pasal 65 menentukan bahwa “tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi”.

12. Pasal 67 menentukan bahwa “terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas”.

13. Pasal 68 menentukan bahwa “tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan selanjutnya”.

2.7 Putusan Hakim

2.7.1 Acara Pengambilan Keputusan

Menurut Pasal 182 ayat (8) KUHAP menentukan bahwa “Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penutut umum, terdakwa, atau penasihat hukum”. Satu hal yang sangat penting tetapi tidak

(47)

disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Sesudah pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang.

Pasal 182 ayat (5) KUHAP menentukan bahwa:

dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya.

Sedangkan Pasal 182 ayat (6) KUHAP menentukan bahwa:

pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka ditempuh dua cara, yaitu:

a. Putusan diambil dengan suara terbanyak

b. Jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Menurut Andi Hamzah ( 2016 : 283 ), ketentuan tersebut sangat menguntungkan terdakwa, karena jika seorang hakim memandang apa yang didakwaakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak terbukti dan hakim yang ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan ( vrijspraak ) terdakwa. Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu:

a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan;

(48)

b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir. Hal ini diatur dalam Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP.

c. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana diatur dalam Pasal 196 ayat (2) KUHAP, Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) KUHAP.

d. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti yang ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa “selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi” .

2.7.2 Jenis dan Isi Keputusan Hakim

Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan kepada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu.

Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonnis). Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah

(49)

dipertimbangkan dan putusannya. Didalam KUHAP mendifinisikan tentang putusan sebagai berikut.

Pasal 1 butir 11 KUHAP menentukan bahwa “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan yaitu:

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;

2. Putusan bebas;

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

Pasal 191 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Pasal 191 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

(50)

Rd. Achmad S. Soemadipradja ( 1981 : 89 ) menyatakan bahwa bentuk- bentuk putusan bebas terbagi atas dua yaitu :

a. Putusan Bebas Murni (de“zuivere vrijspraak”)

Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti.

b. Putusan Bebas Tidak Murni (de”onzuivere vrijspraak”)

Putusan bebas tidak murni adalah putusan dalam hal batalnya dakwaan secara berselubung atau pembebasan yang menurut kenyataannya tidak didasarkan kepada ketidak keterbuktiannya apa yang dimuat dalam surat tuntutan.

Oemar Seno Adjie ( 1989 : 167 ) mengemukakan bahwa Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang-undangan.

Sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti.

(51)

BAB 3

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Posisi Kasus

Terdakwa Syamsul Rijal Alias Rijal Alias Kijang Bin Abd.Hamid pada hari Sabtu Tanggal 2 April 2016 sekitar pukul 14:00 wib, atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain dalam tahun 2016, bertempat di Pinrang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Pinrang, oleh karena terdakwa di Tahan di Rutan Kelas I Makassar dan sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Makassar dari pada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan ( Pasal 84 ayat (2) KUHAP) tanpa hak dan melawan hukum melakukan percobaan atau pemufakatan jahat dengan Edi Candra, Bin Mustafa Awing (yang sudah berkekuatan hukum yang tetap), menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika Golongan l dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5(lima) gram.

a. Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa Syamsul Rijal Alias Rijal Alias Kijang oleh Penuntut Umum telah didakwa dengan dakwaan alternatif yaitu melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam :

Pertama : Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

Atau :

(52)

Kedua : Pasal 112 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

Atau :

Ketiga : Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Tuntutan Penuntut Umum

Atas keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang dihadirkan dipersidangan yang merupakan fakta hukum tersebut, Penuntut Umum menuntut terdakwa yang pada intinya mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan putusan yaitu:

1. Menyatakan Terdakwa Syamsul Rijal Alias Rijal Alias Kijang Bin Abd.Hamid, terbukti bersalah melakukan tindak pidana “melakukan pemufakatan jahat menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan l dalam bentuk bukan tanaman” sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) Jo Pasal 132 ayat (1) UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dalam dakwaan pertama;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Syamsul Rijal Alias Rijal Alias Kijang Bin Abd. Hamid oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun penjara dikurangi selama Terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000; (satu miliar rupiah) subsidair 2 (dua) bulan penjara;

3. Menyatakan barang bukti berupa : barang bukti yang disisihkan dengan berat 20,4097 gram telah dimusnahkan di Kejaksaan Negeri

(53)

Pinrang berdasarkan Berita Acara pemusnahan tanggal 22 Februari 2018 dalam perkara atas nama Terdakwa Edi Candra berteman;

4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000; (lima ribu rupiah).

c. Amar putusan

Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, adapun amar Putusan Pengadilan Negeri Makassar dalam tindak pidana penipuan pada perkara Nomor 1434/Pid.sus/2018/PN.Mks terhadap terdakwa Syamsul Rijal Alias Rijal Alias Kijang sebagai berikut:

1. Meyatakan terdakwa Syamsul Rjal Alias Rijal Alias Kijang bin Abd.Hamid tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama, kedua, dan dakwaan ketiga;

2. Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan-dakwaan tersebut;

3. Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan;

4. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kdudukan dan harkat serta martabatnya;

5. Membebankan beban biaya kepada negara.

3.2 Pertimbangan Hukum Hakim Atas Putusan Bebas Yang Diberikan Kepada Terdakwa Tindak Pidana Narkotika

Referensi

Dokumen terkait

Karakter kualitatif diuji pada 19 genotipe cabai rawit yang meliputi empat bagian tanaman, yaitu batang, daun, bunga, dan buah.. Penentuan karakter kualitatif pada

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

BULU ATAU RAMBUT ??.. VARIATION

Five of them ( single letters can replace words, single digits can replace words, a single letter or digit can replace a syllable, combinations, and abbreviations ) were the

Judul Tesis Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Lampung Propinsi Lampung.. Aminudin 98426

Dinas Pendapat Daerah Kabuapaten Malang dapat memberikan Kepastian Hukum Pengenaan NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) atas BPHTB (Bea Perolehan

5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan

Salah satu aplikasi bentuk multimedia yang dapat dioperasikan pada perangkat selular adalah mobile media player yang menggunakan software JMF yang merupakan Application