• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia

C. Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia

Dari pembahasan sebelumnya telah terlihat seberapa besar kebutuhan akan pengeturan tentang alat bukti elektronik. Dan Undang-Undang ITE telah menjadi tonggak dalam penanggulangan akan kebutuhan tersebut. Undang-Undang telah mengatur bahwa upaya paksa yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk memperoleh alat bukti elektronik adalah melalui penggeledahan dan penyitaan sistem elektronik atau melalui intersepsi atau penyadapan. Aparat penegak hukum menggunakan cara penggeledahan dan penyitaan apabila penyidik sudah mengetahui secara jelas sumber alat bukti elektronik tersebut. Sedangkan berdasarkan batasan-batasan yang diatur dalam perundang-undangan, intersepsi atau penyadapan dapat digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai cara mengumpulkan informasi dan keterangan terkait dengan suatu tindak pidana, sehingga informasi tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pembuktian di Indonesia, kesalahan terdakwa ditentukan oleh minimal 2(dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Keabsahan alat bukti didasarkan pada pemenuhan syarat dan ketentuan baik dari segi formal maupun materil. Prinsip ini juga

berlaku terhadap pengumpulan dan penyajian alat bukti elektronik baik yang dalam bentuk original maupun hasil cetaknya, yang diperoleh baik melalui penyitaan maupun intersepsi. KUHAP telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai upaya paksa penggeledahan dan penyitaan secara umum, akan tetapi belum secara khusus terhadap sistem elektronik. Dan dalam hal intersepsi atau penyadapan KUHAP bakan belum mengatur mengenai hal tersebut. Hal ini diatur dalam undang-undang lain yang lebih spesifik. Oleh karena itu, ketentuan dan persyaratan formil dan materiil mengenai alat bukti elektronik haruslah mengacu kepada KUHAP, Undang-Undang ITE, dan juga undang-undang lain yang mengatur secara spesifik mengenai alat bukti elektronik tersebut.91

Seiring perkembangan teknologi yang mengubah dunia menjadi dunia digital, semakin sering pula bermunculan perkara-perkara yang melibatkan alat bukti elektronik untuk keperluan pembuktiannya. Alat bukti yang relatif baru di dunia peradilan Indonesia ini tentu dipertanyakan kekuatan pembuktiannya.

Beberapa waktu lalu, pendapat yang menyatakan bahwa sangat sulit menggunakan dokumen elektronik sebagai alat bukti, mungkin ada benarnya. Karena, memang Indonesia belum mempunyai aturan khusus yang mengatur dokumen elektronika sebagai alat bukti sah yang diterima di depan persidangan. "Namun demikian, bukan berarti kita tidak peduli dan tidak memberikan perhatian bagi perkembangan teknologi informasi," tegas Abdul Gani Abdullah, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU), Departemen Kehakiman dan HAM.

       91

Pernyataan tersebut diungkapkan Abdul Gani saat menyampaikan makalahnya pada seminar sehari tentang "Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik" di Jakarta. Abdul Gani mengatakan, Indonesia memang tidak seperti negara lain. Malaysia misalnya, telah memiliki bermacam electronic act. Namun, pemerintah tidak tinggal diam untuk menanggapi keadaan ini. Hal ini, menurutnya, dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi tersebut.92

Dalam uraian sebelumnya jika kita hendak melihat keabsahan dari pada alat bukti elektronik ini, sebelum adanya UU yang mengakui keabsahan alat bukti elektronik tersebut sebenarnya sudah ada pengakuan tentang keabsahan alat bukti elektronik, jauh sebelum UU tersebut dilahirkan. Pengakuan keabsahan tersebut dalam peradilan Indonesia muncul melalui surat MA pada 1988. MA melalui suratnya menyatakan bahwa mikrofilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1)c KUHAP. Surat tertanggal 14 Januari 1988 itu ditujukan kepada Menteri Kehakiman waktu itu. Keabsahan alat bukti elektronik itu, menurut surat MA tersebut, dengan catatan bahwa mikrofilm atau microfiche itu sebelumnya dapat dijamin otentikasinya dan dapat pula ditelusuri kembai dari registrasi maupun berita acaranya. Dalam surat tersebut, dikemukakan pula bahwa terhadap perkara perdata juga berlaku pendapat yang sama.93

       92

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6004/sudah-banyak-uu-akui-alat-bukti-elektronik diakses pada 14 April 2014

93

Seperti yang akan dibahas sebelumnya, pengaturan alat bukti elektronik dalam tulisan ini akan mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang ITE. Diamana memang persyaratan formil dan materilnya harus mengacu kepada KUHAP, Undang-Undang ITE, dan undang-undang lain yang mengatur alat bukti elektronik secara khusus.

Yang dimaksud dengan persyaratan materil ialah ketentuan dan persyaratan yang dimaksudkan untuk menjamin keutuhan (integrity), ketersediaan (availability), keamanan (security), keotentikan (authenticity), dan keteraksesan (accessibility) dari informasi atau dokumen elektronik dalam proses pengumpulan dan penyimpanan data sebagai alat bukti yang digunakan dalam proses penyidikan dan penuntutan serta penyampaiannya di siding pengadilan.dalam hal ini dibutuhkan suatu cabang disiplin ilmu di bidang forensik komputer, atau forensik digital yaitu “a branch of forensic science pertaining to legal evidence found in computers and digital storage media.” Cabang ilmu ini penting mengingat:

Electronic evidence is, by its very nature, fragile. It can be altered, damaged, or destroyed by impoper handling or improper examination. For this reason, special precautions should be taken to document, collect, preserve, and examine this type of evidence. Failure to do so may render it unusable or lead to an inaccurate conclusion. (Bukti elektronik adalah, pada dasarnya, rapuh. Hal ini dapat diubah, rusak, atau dihancurkan oleh penanganan yang tidak tepat atau

pemeriksaan yang tidak tepat. Untuk alasan ini, tindakan pencegahan khusus harus diambil untuk mendokumentasikan, mengumpulkan, melestarikan, dan memeriksa jenis bukti. Kegagalan untuk melakukan hal ini dapat membuat itu tidak dapat digunakan atau mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat.)

Persyaratan materil dari alat buti elektronik diatur dalam pasal 5 ayat (3) Undang-Undang ITE, yaitu informasi atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Lebih Lanjut, sistem elektronik diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang ITE dan dari kedua pasal ini, dapat diperoleh persyaratan yang lebih rinci, yaitu bahwa sistem elektronik:

a. Andal, aman, dan bertanggung jawab;

b. Dapat menampilkan kembali informasi atau dokumen elektronik secara utuh;

c. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik;

d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dan dapat beroperasi seusai prosedur atau petunjuk yang telah ditetapkan tersebut;

Selain itu, Pasal 6 Undang-Undang ITE juga memberikan persyaratan materil mengenai keabsahan alat bukti elektronik, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat

diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Undang-Undang ITE tidak mengatur perihal cara atau metode yang digunakan untuk mengumpulkan, mengamankan, menampilkan, atau menjamin keutuhan informasi alat bukti elektronik karena, pada dasarnya Undang-Undang ITE menganut asas netral teknologi. Maksudnya, cara atau metode pengumpulan dan pengamanan alat bukti elektronik dapat menggunakan teknologi yang tersedia sepanjang dapat memenuhi persyaratan keabsahan alat bukti elektronik.

Sedangkan dalam pemenuhan terhadap persyaratan formil dari alat bukti elektronik, diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 Undang-Undang ITE, yaitu:

1. Informasi atau Dokumen elektronik tersebut bukanlah:94

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

2. Penggeledahan atau penyitaan terhadap sistem elektronik harus dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri setempat95;

3. Penggeledahan atau penyitaan yang dimaksud harus tetap dilakukan dengan menjaga kepentingan pelayanan umum96.

       94

Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang ITE

95

Dalam hal sistem elektronik yang digunakan telah memenuhi persyaratan tersebut, maka kualitas alat bukti elektronik dalam bentuk aslinya (Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik) dan hasil cetaknya adalah sama. Dengan kata lain, polisi, jaksa, ataupun hakim dapat menggunakan keduanya atau salah satunya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam kasus-kasus tertentu ada kalanya penggunaan alat bukti elektronik dalam bentuk aslinya lebih tepat dibandingkan penggunaan alat bukti berupa hasil cetak dari alat bukti elektronik tersebut. Karena terkadang penggunaan alat bukti elektronik dalam bentuk aslinya terkadag dapat memberikan apa yang tidak dapat diberikan bila menggunakan hasil cetak dari alat bukti elektronik tersebut.

Dalam penggunaan alat bukti elektronik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, akan timbul pertanyaan yaitu alat bukti mana yang harus disajikan dalam pengadilan? Apakah bentuk aslinya atau hasil cetaknya? Hal ini tentu harus dilihat kasusnya terlebih dahulu. Apa bila kasus yang sedang diperiksa adalah kasus perampokan yang terekam oleh kamera cctv, maka sudah tentu alat bukti yang digunakan haruslah alat bukti dalam bentuk aslinya, yaitu potongan rekaman dari cctv tersebut. Penggunaan alat buti dalam bentuk aslinya di sini akan memudahkan aparat penegak hukum dalam memahami fakta hukum yang terjadi dalam video tersebut. Lain halnya jika dibuat dalam hasil cetaknya, maka akan memerlukan banyak kertas dalam mencetak setiap detail dari pergerakan dalam aksi perampokan tersebut, sehingga tidalah efektif penggunaan dari hasil cetaknya.

        96

Namun penggunaan hasil cetak pun juga ada yang memudahkan aparaat penegak hukum dalam mencari fakta hukum dari suatu kasus pidana. Seperti halnya dalam kasus pengancaman melalui pesan singkat atau surat elektronik (e-mail), tentunya akan lebih memudahkan apabila alat bukti yang diajukan adalah hasil cetak dari riwayat pesan singkat atau e-mail yang berisi pengancaman tersebut. Dalam kasus ini penggunaan hasil cetak dari pesan singkat atau e-mail tersebut yang diperoleh melalui telepon selular ataupun komputer akan lebih memudahkan aparat penegak hukum dalam menilai fakta hukum tersebut. Oleh karena itu, sepanjang dalam proses berjalannya perkara tersebut telah diperiksa telepon selular atau komputer yang berisikan pesan singkat atau e-mail dalam bentuk aslinya, untuk menjamin integritas, keotentikan, dan keoriginalannya, maka pengajuan hasil cetak dari alat bukti elektronik tersebut sudahlah cukup. Para penegak hukum tidak perlu lagi membawa atau memperagakan serta menunjukkan alat bukti elektronik dalam bentuk aslinya yang terdapat dalam telepon selular atau komputer tersebut.97

D. Berlakunya Alat Bukti Elektronik dalam Tindak Pidana Pencemaran

Dokumen terkait