• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

KEABSAHAN INFORMASI PADA MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TOGI ROBSON SIRAIT

100200060

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KEABSAHAN INFORMASI PADA MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN

2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TOGI ROBSON SIRAIT

100200060

Departemen Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H.M. Hamdan, S.H., M.H NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I

Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.Hum. NIP. 195605051989031001

Dosen Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablizar, S.H., M.S NIP. 196104081986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa atas segala

berkat dan rahmat serta anugerah-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul

“Keabsahan Informasi pada Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam

Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008”.

Di dalam menyelesaikan skripsi ini, telah mendapatkan banyak dukungan,

semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini

penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Saidin, H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum

(5)

6. Bapak Prof. Dr. Suwarto , S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I penulis,

yang telah memberikan pengarahan dalam proses pengerjaaan skripsi ini.

Terima kasih atas bimbingan dan dukungan Bapak kepada penulis selama

penulisan skripsi.

7. Bapak Madiasa Ablisar, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing II penulis,

yang juga telah memberikan bimbingan dan dukungan selama proses

pengerjaan skripsi ini.

8. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Dosen Penasihat Akademik

yang telah memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

9. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.

10.Kedua orang tua penulis Ayahanda Drs. W. Sirait, dan Ibunda Dra. B.

Nababan yang selalu memberikan dukungan baik secara moril maupun

material sehingga terselesaikanya skripsi ini.

11.Kepada Adik-adik tercinta Simson G. Sirait dan Christison Bonar Sirait yang

telah menyemangati dalam pengerjaan Skripsi ini.

12.Kepada rekan-rekan penulis yang tidak dapat penulis sebutkan secara satu per

satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.

Oleh karena itu penulis meminta maaf kepada pembaca skripsi ini karena

keterbatasan pengetahuan dari penulis. Besar harapan semoga skripsi ini dapat

(6)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada

kita semua dan semoga doa yang telah diberikan mendapatkan berkah dari Tuhan

dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan perkembangan hukum

di negara Republik Indonesia.

Medan, Juli 2014

Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... v

BAB I : Pendahuluan ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D.Tinjauan Pustaka ... 8

E. Metode Penelitian dan Penulisan ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Teknologi Informasi ... 20

A. Definisi dan Bentuk Tindak Pidana Teknologi Informasi .. 20

1. Definisi TIndak Pidana Teknologi informasi ... 20

2. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Teknologi Informasi ... 24

(8)

C.Penghinaan / Pencemaran Nama Baik dalam Tindak

Pidana Teknologi Informasi ... 35

BAB III : Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia ... . 51

A.Pengaturan Alat Bukti dalam KUHAP ... 54

B.Pengaturan Alat Bukti Elektronik ... 61

C. Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Hukum Indonesia. ... 76

D.Berlakunya Alat Bukti Elektronik dalam Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik ... 83

BAB IV : Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik ... 88

A. Penerapan Penggunaan Alat Bukti Elektronik dalam Pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik ... 88

B. Proses Penanganan dalam Menjamin Keabsahan Alat Bukti Elektronik ... 96

C.Putusan Pengadilan Dalam Penggunaan Keterangan Pada Media Sosial Sebagai Alat Bukti (pada Perkara Nomor 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel) ... 105

BAB V : Penutup ... 118

A.Kesimpulan ... 118

B.Saran ... 125

(9)

ABSTRAKSI

Togi Robson Sirait1 Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.H.2 Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.H.3

Perkembangan Teknologi merukan salah satu dampak dari globalisasi yang tidak bias dihindarkan. Era globalisasi ini telah menjadi pendorong lahirnya era teknologi informasi. Perkembangan teknologi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum. Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi, terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai macam lainnya. Terkhusus dalam kasus pencemaran nama baik telah memiliki dimensi baru karena sering terjadi karena ketersinggungan melalui status yang dibuat pada media sosial. Dari banyaknya kebutuhan akibat berkembangnya kejahatan yang terjadi, Indonesia menjawabya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Perkambangan yang sedemikian rupa membuat hukum harus cepat beradaptasi juga terhadap perubahan sosial. Sehingga kita juga harus megetahui bagaimana pengaturan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE. Dengan mengetahui karakteristik tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tersebut, maka yang perlu diketahui setelah itu adalah penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang ITE. Dari kedua hal tersebut, maka akan dibahas mengenai penerapan hukum terhadap penggunaan informasi pada media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik khususnya dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel.

Penggunaan informasi pada media sosial merupakan bagian dari alat bukti elektronik. Oleh karena itu, informasi pada media sosial merupakan alat bukti yang sah yang dapat digunakan dalam proses persidangan di pengadilan. Penggunaan alat bukti elektronik di kemudian hari akan menjadi kebutuhan dalam sistem pembuktian dalam hukum Indonesia. Para aparat Negara sebaiknya juga akan membuat pengaturan khusus mengenai alat bukti elektronik serta pelaksanaan dalam menjamin keabsahaan penggunaan alat bukti elektronik.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini,

maupun di masa yang akan datang.4 Menurut Didik J. Rachbini, teknologi

informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan

mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi

dan keuangan.5 Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan

teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era

perkembangan teknologi informasi.6 Sehingga dampak dari globalisasi dan

perkembangan teknologi saat ini dapat kita lihat sendiri yaitu maraknya anak-anak

kecil yang sudah memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui

alat-alat elektronik tersebut kita dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui

jaringan internet yang lebih sering kita kenal dengan dunia maya.

Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa,

dunia telah memasuki era baru komunikasi, Dengan demikian, teknologi

informasi ini telah mengubah perilaku masyarakat global. Di samping itu

perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas

(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung

       4

Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.

5

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi

Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 1-2.

6

Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi

(11)

demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah

menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi

peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi

sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum.7 Dengan

terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus

diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.8

Kemudian lahirlah suatu era baru yang dikenal dengan hukum telematika.

Hukum telematika dapat juga disebut dengan hukum siber. Hal ini didasari pada

argumentasi bahwa hukum siber (cyber crime) merupakan kegiatan yang

memanfaatkan komputer sebagai media yang didukung oleh sistem

telekomunikasi baik itu dial up system, menggunakan jalur telepon, maupun

wireless system yang menggunakan antena khusus nirkabel.9

Pada akhirnya kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan

kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia.10 Namun seiring

dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang

dalam jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan pada dunia

internet itu sendiri. Permasalahan hukum yang yang sering kali kita hadapi adalah

ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi

      

Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 12-13.

10

(12)

secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan

perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.11

Tekologi dan Hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi

dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger nerpendapat bahwa di

satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.

Akan tetapi, di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi.

Pada dasarnya, setiap teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan

tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat dan layanan bagi

manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja.12

Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat

dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang

memaksa oleh otoritas tertinggi dalam satu negara. Hukum diperlukan untuk

menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Ketertiban

dan keadilan tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu

maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan didalam masyarakat

pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus

berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon

hukum, dan hukum berada di persimpangan: di satu sisi berusaha mengakomodir

perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, tetapi di sisi lain hukum

memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang,

       11

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 3.

12

(13)

sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas

yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.13

Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi,

terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul,

misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money

laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai

macam lainnya.14 Dalam dunia siber sendiri ada hal yang perlu segera mendapat

perhatian dalam masalah penggunaan media internet ini, sebelum lebih jauh

terlanjur menjadi hutan belantara yang tidak bertuan.15 Sehingga untuk mengatasi

hal tersebut pelu dibuat suatu perundangan yang mengatur agar tidak menjadi

suatu hutan belantara yang tidak bertuan. Dalam prosesnya telah dilihat

banyaknya perdebatan mengenai perlu tidaknya aturan yang khusus mengatur

tentang cybercrime ini.

Namun pada akhirnya pada bulan Maret tahun 2008 menjadi tonggak

lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini terdapat bagian tersendiri mengenai

perbuatan yang dilarang, yaitu dalam Bab VII dengan rincian sebagai berikut :

 Pasal 27 : asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan

 Pasal 28 : berita bohong dan menyesatkan, berita

kebencian permusuhan

       13

Ibid, hlm. 32.

14

Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 3

15

(14)

 Pasal 29 : ancaman kekerasan dan menakut-nakuti

 Pasal 30 : akses komputer pihak lain tanpa Izin, cracking

 Pasal 31 : penyadapan, perubahan, penghilangan informasi

 Pasal 32 : pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia

 Pasal 33 : virus, membuat sistem tidak bekerja

 Pasal 35 : menjadikan seolah dokumen otentik

Tidak hanya hal-hal tersebut yang dapat kita lihat dalam UU ITE ini.

Dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE memuat suatu bentuk perluasan alat bukti diluar

pasal 184 KUHAP. Dimana dalam UU ITE diakui bahwa Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti

hukum yang sah. Di mana dalam pasal 5 ayat (2) UU ITE diperjelas bahwa alat

bukti yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah

sesuai dengan Hukum acara yang berlaku. UU ITE menegaskan bahwa dalam

seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen

Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.

Tentunya setelah melihat sekilas mengenai tindakan tindakan yang

dilarang dalam UU ITE tersebut maka terlihat bahwa media di internet yang

paling dekat dan paling sering menjadi ambang batas dalam terjadinya tindak

pidana dalam UU ITE adalah media sosial. Dalam hal ini Undang-Undang ITE ini

memimiliki sudut pandang yang baru dalam perumusan tindak pidana

dibandingkan dengan pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) yang cenderung kita pandang telah konvensional. Seringnya masyarakat

(15)

sekedar iseng-iseng dalam menggunakan internet terkadang menjadi sesuatu yang

secara tidak sadar mendatangkan akibat-akibat tertentu. Yang mana akibat-akibat

yang dimaksud dapat berupa terjadinya suatu tindak pidana yang belum mampu

dijangkau oleh KUHP itu sendiri. Hal yang memicu tejadinya kejahatan melalui

tindak pidana siber ini pun mayoritas adalah berasal dari keterangan yang ada

pada media sosial.

Keterangan di media sosial termasuk dalam pengertian dari informasi

elektronik dalam UU ITE. Pasal 1 ayat 1 UU ITE menjelaskan bahwa “Informasi

Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy

atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.”

Sehingga banyak kasus siber yang kita ketahui berkutat pada

kasus-kasus yang berawal dari media-media sosial seperti e-mail, facebook, twitter, dan

lain sebagainya. Dan dalam jalannya proses persidangan terhadap perkara-perkara

cyber itu sendiri, keterangan-keterangan tersebutlah yang menjadi alat bukti

dalam persidangan. Seperti dalam kasus Prita Mulyasari dimana alat buktinya

(16)

Benny Handoko16 pun, alat bukti yang diajukan oleh jaksa pun berupa potongan

gambar dari isi posting twitter dengan user @benhan.

Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan mengenai penggunaan

keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana

pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Dalam menguraikan hal tersebut maka penulis akan menguraikan mengenai

Ketentuan Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE dan kemudian

dilajutkan dalam pembahasan mengenai bagaimana Pembuktian Tindak Pidana

Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-undang No. 11 Tahun 2008

tentang ITE. Kemudian akan diulas juga tentang penerapan hukum yang telah ada

dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi, dengan menganalisis

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana berdasarkan Undang-Undang

No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE?

2. Bagaimana keterangan pada media sosial dapat digunakan sebagai

alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE?

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap penggunaan keterangan pada

media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana

khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.

1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel?       

16

(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengkaji mengenai bagaimana informasi pada media

sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian

tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.

2. Memberikan sumbangan pemikiran hukum dalam konteks

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam prespektif pasal

27 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.

3. Untuk digunakan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam skripsi akan dibahas mengenai “Keabsahan Informasi pada

Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana

Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008”. Adapun tinjauan kepustakan dari skripsi ini adalah:

1. Keabsahan

Penggunaan suatu alat bukti dalam bentuk apapun

tentunya membutuhkan sifat yang sah agar dapat digunakan di

(18)

kata sifat yang menunjukkan sifat yang sah17. Sehinga dalam

menggunakan berbagai alat bukti dalam proses peradilan yang

berlaku di Indonesia maka harus dapat dijamin adanya suatu

keabsahan dari alat bukti yang diajukan tersebut.

2. Informasi Elektronik

Berkembangnya era globalisasi membuat muncul

bentuk baru dari informasi-informasi yang ada. Informasi

elektronik merupakan bentuk baru dari informasi yang ada

akibat era globalisasi ini. Dalam Undang-Undang ITE

disebutkan pengertian secara rinci dari informasi elektronik,

yang merupakan objek kajian dari skripsi ini. Informasi

elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,

termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,

rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat

elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau

sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol, atau

perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat

dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.18

       17

http://kbbi.web.id/absah

18

(19)

3. Media Sosial

Akiabat masuknya era globalisasi saat ini, ada sebuah

tempat yang menjadi suatu dunia baru yang tidak nyata namun

memiliki dampak nyata dalam kehidupan yang nyata. Dunia

tersebut biasanya kita kenal sebagai media sosial. Media sosial

adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan

dilakukan secara online melalui jaringan internet yang

memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa

dibatasi ruang dan waktu.19

Andreas Kaplan dan Michael Haenlein

mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok

aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar

ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan

penciptaan dan pertukaran user-generated content"20 Gamble,

Teri, dan Michael dalam Communication Workssebagaimana

dikutip Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri -

ciri sebagai berikut :

a. Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu

orang saja namun bisa keberbagai banyak orang

contohnya pesan melalui SMS ataupun internet

       19

http://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media/

20

(20)

b. Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui

suatu Gatekeeper

c. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di

banding media lainnya

d. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi

4. Alat Bukti

Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya

dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,

dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna

menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu

tindak pidana yang telah dilakukan. Adapun Definisi Alat-alat

bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan

suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan

keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak

pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.21

5. Pembuktian

Pembuktian merupakan masalah yang memegang

peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui

pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil

pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

Undang-       21

(21)

undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang

didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan”

dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat

dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal

184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan

dijatuhkan hukuman.

Pitlo mengemukakan bahwa pembuktian merupakan

suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak baik orang

perseorangan maupun badan hukum atas fakta dan hak yang

berhubungan dengan kepentingannya. Sedangkan menurut

Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah

meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil

yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.

Pembuktian dalam Acara Pidana agak berbeda dengan

pembuktian dalam Acara Perdata, dimana dalam acara pidana

pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata

bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu

dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan

untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana

itu.22

       22

M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar

(22)

Menurut Subekti, pembuktian adalah upaya

meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya

antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara

bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam

mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak

menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan

meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang

dikemukakan. Dalam bukunya tentang Cybercrime Josua

Sitompul jugamemberikan pengertian dari pembuktian yaitu,

upaya untuk menemukan kebenaran materil (materiel

waarheid) tentang telah terjadi suatu tindak pidana dan jelas

siapa pelakunya.23

6. Tindak Pidana

Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam

kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan

istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan

suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana

atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana

merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian

dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan

kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa       

23

(23)

hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang

abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan

hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti

yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam

kehidupan masyarakat24

Dalam bukunya Prof. Moeljatno juga memberikan

definisi terhadap tindak pidana. Tindak pidana atau perbuatan

pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut.25 Definisi lain dari Tindak pidana ini juga dapat kita

lihat dari definisi yang diberikan oleh Prof. Bambang

Poernomo, yaitu Bahwa perbuatan pidana adalah suatu

perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.26

7. Pencemaran Nama Baik

Sampai saat ini di Indonesia belum ada definisi hukum

yang tepat dan jelas tentang apa yang disebut pencemaran nama

       24

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada tanggal 25 Juni

25

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1987) hlm. 54

26

(24)

baik. Dalam bahasa inggris pencemaran nama baik diartikan

sebagai defamation, slander, dan libel. R Soesilo dalam

bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi

Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP,

menerangkan bahwa, “menghina” adalah

“menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang

diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang

diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama

baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual,

kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota

kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.27

E. Metode Penelitan dan Penulisan

1. Tipe Penelitian

Penulis dalam menulis skripsi ini menggunakan salah satu tipe

penelitian hukum yang ada, yaitu Doctrinal Research28. Tipe Doctrinal

Research adalah suatu penelitian hukum yang menganalisis

aturan-aturan hukum yang berkaitan atau mengatur suatu kategori

permasalahan hukum tertentu, menjelaskan permasalahan yang sulit

dipahami, menganalisis hubungan antar peraturan perundang-undangan

dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa

       27

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-pencemaran-nama-baik diakses pada tanggal 25 Juni 2014

28

(25)

selanjutnya. Tipe penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan tipe

penelitian hukum normatif yuridis.

2. Pendekatan Masalah

Guna membahas permasalahan penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yang berarti

dalam melakukan pembahasannya penuslis mengacu pada statute

approach, conceptual approach, dan case approach, dengan cara

mempelajari, memahami, meneliti kasus, serta menganalisa

konsep-konsep dalam peraturan erundang-undangan yang berkaitan dengan

Keabsahan Informasi Pada Media Sosial sebagai alat bukti dalam

tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008.

3. Sumber Bahan Hukum

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini

meliputi 2 jenis, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan

hukum yang bersifat normatif seperti peraturan

perundang-undangan, keputusan-keputusan maupun

ketetapan-ketetapan dari lembaga yang berwenang.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum seunder berupa sumber-sumber lain yang

(26)

digunakan untuk memperlengkapi bahan huum primer,

sehingga dapat membantu untuk menganalisis

permasalahan-permasalahan terkait. Bahan hukum

sekunder dapat diperoleh dari surat kabar, majalah,

jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berkaitan dengan

permasalahan terkait.

4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Adapun untuk mempermudah dan memperlancar penulisan

skripsi ini, maka dipergunakan beberapa langkah dalam

pmengumpulkan dan mengolah bahan hukum yang terkait dengan

skripsi ini. Pertama adalah dengan melakukan studi kepustakaan

dengan materi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan cara

membaca peraturan-perundang-undangan, buku-buku, surat kabar,

majalah, jurnal-jurnal hukum, danliteratur-literatur lainnya yang terkait

dengan skripsi ini. Kemudian bahan-bahan yang telah terkumpul

tersebut diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas sehubungan dengan

rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya

diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok

bahasan dalam penulisan skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini diuraikan menjadi 5 Bab yang

(27)

Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, dan

sistematika penulisan

Bab II, merupakan pembahasan dari rumusan masalah yang pertama.

Dimana dalam bab ini akan ditinjau secara umum definisi dari tindak pidana

teknologi informasi. Kemudian pada bab ini juga akan dibahas perihal pengaturan

tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentan Informasi dan transaksi elektronik. Karena pembahasan skripsi ini

mengarah pada penggunaan keterangan media sosial sebagai alat bukti dalam

pembuktian tindak pidana mencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang

ITE, maka dalam bagian terakhir pada bab ini akan dibahas mengenai tindak

pidana pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE.

Bab III, merupakan pembahasan dari permasalahan yang kedua yaitu

mengenai kedudukan alat bukti elektronik dalam penanganan tindak pidana

teknologi informasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

ITE. Pada awal bab akan terlebih dahulu dibahas terkait alat bukti secara umum,

yakni pengaturan alat bukti yang tentunya diatur dalam KUHAP. Kemudian akan

dilanjutkan kepada pembahasan pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem

hukum pidana Indonesia. Sehingga pada akhir bab ini dapat diketahui penggunaan

alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik

(28)

Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan ditinjau

secara yuridis putusan pengadilan terhadap perkara pidana yang menggunakan

keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam proses pembuktiannya.

dalam hal ini, akan ditinjau putusan Nomor : 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.

Namun sebelum meninjau hal tersebut terlebih dahulu akan dibahas mengenai

penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia,

khususnya penggunaan keterangan pada media sosial sebaga alat bukti dalam

proses pembuktian perkara pidana.

Bab V, merupakan bagian akhir dalam penulisan skripsi ini. Sebagai

bagian akhir atau penutup penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan sebagai

hasil dari penelitian dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, serta akan

memberikan beberapa saran bagi perbaikan dan perubahan di masa yang akan

datang mengenai tindak pidana cyber terutama terkait pada media sosial yang

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA TEKNOLOGI

INFORMASI

A. Definisi dan Bentuk Tindak Pidana Teknologi Informasi

1. Definisi Tindak Pidana Teknologi Informasi

Perkembangan teknologi yang telah kita ulas pada bab sebelumnya

memberitahukan kita tentang adanya suatu jenis tindak pidana baru yang

menggunakan Internet sebagai media untuk melakukan kejahatan dimana kita

biasa menyebutnya sebagai Cyber Crime. Namun dalam Skripsi ini, penulis lebih

memilih untuk menggunakan nama Tindak Pidana Teknologi Informasi dalam

mengulas lebih lanjut tindak pidana ini.

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia

tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh tentang

berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh ativitas yang bersifat

fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigm komunikasi manusia dalam

bergaul, berbisnis, dan juga berasmara. Internet mengubah konsep jarak dan

waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas.

Setiap orang bisa berhubungan, berbicara, dan berbisni dengan orang lain yang

berada ribuan kilometer dari tempat dimana ia berada hanya dengan menekan

tuts-tuts keyboard dan mouse komputer yang berada di hadapannya.29

       29

(30)

Pada Masa Awalnya, tindak pidana siber didefinisikan sebagai kejahatan

komputer. Mengenai definisi dari kejahatan computer sendiri, sampai sekarang

para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan

komputer.30 Bahkan penggunaan istilah untuk kejahatan komputer dalam bahasa

Inggris pun masih belum seragam. Namun para sarjana pada waktu itu, pada

umumnya menggunakan istilah “computer crime” oleh karena dianggap lebih

luas dan biasa digunakan dalam hubungan internasional.31

Secara umum yang dimaksud dengan kejahatan komputer adalah “Upaya

memasuki atau menggunakan fasilitas komputer atau jaringan komputer tanpa ijin

dan dengan melawan hukum dengan atau tanpa menyebabkan perubahan dan atau

kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan tersebut.32

The British Law Comission misalnya, mengartikan “computer fraud

sebagai manipulasi komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad

buruk untuk memperoleh uang, barang, atau keuntungan lainnya atau

dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi

computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :

a. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan,

pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh

keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan, atau pelayanan;

       30

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 9

31

Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, naskah akademik Kejahatan Internet (Cybercrimes), 2004, hlm. 4

32

(31)

b. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat

keras atau lunak, sabotase dan pemerasan.33

The US Computer Crime Manual menggunakan “computer-related crime

disamping “computer crime”. Komisi Franken lebih condong menggunakan

computer misuse” oleh karena “computer crime” lebih membatasi pada

perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang Hukum Pidana, padahal perbuatan

penyalahgunaan komputer dapat dilarang pula oleh ketentuan lainnya. Dalam

bahasa belanda sering digunakan istilah “computer misbruik” disamping

:computer criminaliteit”. Dengan berkembangnya jaringan internet dan

telekomunikasi kini dikenal istilah “digital crimes” dan “cybercrime”.

Sistem teknologi informasi berupa internet telah dapat menggeser

paradigm para ahli hukum terhadap definisi kejahatan komputer sebagaimana

ditegaskan sebelumnya, bahwa pada awalnya para ahli hukum terfokus pada

alat/perangkat keras yaitu komputer. Namun dengan adanya perkembangan

teknologi informasi berupa jaringan internet, maka focus dari identifikasi terhadap

definisi cybercrime lebih diperluas lagi yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan

di dunia maya tersebut. Jadi tidak sekedar pada komponen perangkat komputernya

saja kejahatan tersebut dimaknai sebagai cybercrime, tetapi sudah dapat diperluas

lagi dalam lingkup dunia maya yang tengah dijelajah oleh sistem teknologi

informasi yang bersangkutan. Sehingga akan lebih tepat jika pemaknaan dari

cybercrimeadalah kejahatan teknologi informasi, juga sebagaimana dikatakan

       33

(32)

Barda Nawawi Arief yang menyebutkan kejahatan tersebut sebagai kejahatan

mayantara.34

Oleh karena itu pada dasarnya cybercrime meliputi semua tindak pidana

yang berkenaan dengan sistem informasi, sistem informasi (information system)

itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian

atau pertukaran informasi kepada pihak lainnya (transmitter / originator to

reciptient).35 Sehingga di sini penulis menggunakan frase Kejahatan Teknologi

Informasi bukan menggunakan istilah cybercrime.

Dalam hal mengetaui seluk beluk dari kejahatan ini, kita juga tentu harus

tau krakteristik serta ruang lingkup dari kejahatan teknologi informasi ini. Agar

nantinya kita tidak salah kaprah dalam menggunakan teknologi internet dan

mejadi lebih baik lagi dalam menggunakan teknologi.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa arus globalisasi yang melanda

dunia dewasa ini menyebabkan perubahan dalam seluruh aspek kehidupan

manusia, terutama pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Perubahan yang terjadi itu dengan sendirinya terjadi pula pada perubahan hukum

karena kebutuhan masyarakat akan berubah secara kuantitatif dan kualitatif.

Permasalahan yang timbul dalam perubahan hukum itu adalah sejah mana hukum

bisa sesuai dengan dengan perubahan tersebut dan bagaimana tatanan hukum itu

agar tidak tertinggal dengan perubahan masyarakat. Di samping itu, sejauh mana

masyarakat dapat mengikat diri dalam perkembangan hukum agar ada keserasian

       34

Budi Suharyano, Op. Cit., hlm 10-11

35

(33)

antara masyarakat dan hukum supaya melahirkan ketertiban dan ketentraman yang

diharapkan.36

Era globalisasi juga menyebabkan makin canggihnya teknologi informasi

sehingga telah membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai bentuk

kejahatan yang sifatnya modern yang berdampak lebih besar dari pada kejahatan

konvensional, yang bercirikan setidaknya terdiri dari bebeapa hal, diantaranya

penjahatnya bisa siapa saja (orang umum berpendidikan maupun orang awam

berpendidikan) dan alat yang digunakan sederhana saja serta kejahatannya tidak

perlu menggunakan suatu keahlian. Kejahatan di bidang teknologi informasi dapat

digolongkan sebagai white collar crime karena pelaku kejahat tersebut adalah

orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya atau ahli di

bidangnya. Selain itu, perbuatan tersebut sering kali dilakukan secara

transnasionalatau melintasi batas negara sehingga dua kriteria kejahatan melekat

sekaligus dalam kejatahan teknologi informasi ini, yaitu white collar crime dan

transnasional crime. Modern di sini diartikan sebagai kecanggihan dari kejahatan

tersebut sehingga pengungkapannya pun melalui sarana yang canggih pula.

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga

memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukm di Indonesia. Hukum

di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang

terjadi.perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak

selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan

       36

(34)

hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari

masyarakat serta kebudayaan atau mungkin hal yang sebaliknya.

Berdasarkan beberapa literatur serta praktiknya, kejahatan teknologi

informasi memiliki beberapa karakteristik, yaitu37:

1) Perbuatan yang dilakukan secara illegal, tanpa hak, atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber/cyber (cyberspace), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.

2) Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan apa pun yang terhubung dengan internet.

3) Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian materiil maupun imateriil (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.

4) Pelakunya adalah orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.

5) Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara.

2. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Teknologi Informasi

Sesungguhnya banyak perbedaan diantara para ahli dalam

mengklasifikasiakan kejahatan komputer (computer crime). Ternyata dari

klasifikasi tersebut terdapat kesamaan dalam beberapa hal. Untuk memudahkan

klasifikasi kejahatan komputer (computer crime) terseubt, maka dari beberapa

klasifikasi dapat disilmpulkan :38

       37

Abdul wahid dan M. Labib, Kejahatan Mayantara (cybercrime), (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 76.

38

(35)

a. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut data atau informasi komputer.

b. Kejahatan-kejahatan yang menyangkut program atau perangkat lunak komputer.

c. Pemakaian fasilitas-fasilitas komputer tanpa wewenang untuk kepentingan-kepentingan yang tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan atau operasinya.

d. Tindakan-tindakan yang mengganggu operasi komputer.

e. Tindakan merusak peralatan komputer atau peralatan yang berhubungan dengan komputer atau sarana penunjangnya.

Sehingga bila kita dapati dari klasifikasi tersebut memang kejahatan komputer

tidak hanya berbatas pada penggunaan komputer yang menyimpang daru tujuan

penggunaannya, tetapi juga menyangkut pada informasi yang terkait pada alat-alat

lain yang berhubungan dengan komputer seperti jaringan internet, informasi yang

didapat pada jaringan internet dan lain sebagainya.

Bila kita melihat bentuk-bentuk kejahatan yang berhubungan erat dengan

penggunaan teknologi informasi yang berbasis utama komputer dan jaringan

telekomunikasi, dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan dalam

beberapa bentuk. Dari beberapa pengelompokan yang ada dapat kita lihat secara

umum bentuk dari kejahatan teknologi informasi ini antara lain:39

1. Unauthorized acces to computer system and service

Kejahatan yang dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu system jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.

2. Illegal content

Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.

       39

(36)

3. Data forgery

Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scriptless document melalui internet.

4. Cyber spionage

Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain dengan meamasuki sistem jaringan komputer (network system) pihak sasaran.

5. Cyber sabotage and exortion

Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan, atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet.

6. Offense against intellectual property

Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Sebagai contoh adalah peniruan terhadap tampilan pada suatu laman (web page) pada situs milik orang lain secara illegal, penyiaran suatu informasi di internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.

7. Infregments of privacy

Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan seseorang pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi (computerized), yang apabila diketahui oleh orang lain akan dapat merugikan korbannya secara materiil maupun immaterial seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi, dan sebagainya.

Berdasarkan criteria bentuk-bentuk kejahatan teknologi informasi di atas,

maka dapat diklasifikasikan lebih sederhana, bentuk-bentuk kejahatan teknologi

informasi ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan (besar): penipuan data

dan penipuan program. Dalam bentu pertama, data yang tidak sah dimasukkan ke

dalam sistem atau jaringan komputer atau data yang tidak sah dan seharusnya

dimasukkan diubah sehingga menjadi tadak valid atau tidak sah lagi. Focus

(37)

data input dengan maksud untuk mengubah output. Bentuk kejahatan yang kedua,

yang relatif lebih canggih dan lebih berbahaya adalah apabila seseorang

mengubah program komputer baik secara langsung ditempat komputer tersebut

berada maupun secara tidak langsung yang dilakukan secara remot melalui

jaringan komunikasi data. Pada kasus ini penjahat melakukan penetrasi ke dalam

sistem komputer dan selanjutnya mengubah susunan program dengan tujuan

menghasilkan keluaran (output) yang berbeda dari yang seharusnya, meski

program tersebut memperoleh masukan (input) yang benar.40

B. Pengaturan Tindak Pidana Teknologi Informasi Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Teknologi selain membawa keuntungan berupa dipermudahnya hidup

manusia, juga membawa kerugian-kerugian berupa semakin dipermudahkannya

penjahat dalam melakukan kejahatannya. Teknologi juga memberikan pengaruh

yang signifikan dalam pemahaman mengenai kejahatan terutama terhadap

aliran-aliran kriminologi yang memberatkan pada faktor manusia,baik secara lahir

maupun psikologis.

Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat

menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul

sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang.

Bentuk-bentuk kejahatan yang ada pun semakin hari semakin bervariasi. Suatu hal yang

patut untuk diperhatikan bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai sekarang

       40

(38)

belum diperhitungkan dan diakui untk menjadi suatu tradisi atau budaya, padahal

jika dibandingkan dengan berbagai budaya yang ada, usia kejahatan tentulah lebih

tua.

Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,

tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa

masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita

mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun

yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan

perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan

masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu

fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana (primitif) maupun pada

masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat.41

Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan

terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan

tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan

teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan

sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah

diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi hutan

belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur secara

khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu

kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di

dalamnya.

       41

(39)

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif

yang cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai

perundang-undangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga membuat

peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan membawa

dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial

ekonomi.42

Pada mulanya, terdapat dua pendapat mengenai perlu tidaknya

undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan teknologi informasi, diantaranya:43

Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sampai hari ini belum ada

perundangan yang mengatur masalah cybercrime. Karena itu jika terjadi tindakan

kriminal di dunia cyber, sangat sulit bagi aparat hukum untuk menjerat pelakunya.

Pendapat ini diperkuat dengan banyaknya kasus cybercrime yang tidak dapat

dituntaskan oleh sistem peradilan kita. Persoalannya berdasar pada sulitnya aparat

mencari pasal-pasal yang dapat dipakai sebagai landasan tuntutan di pengadilan.

Kelompok kedua adalah mereka yang beranggapan bahwa tidak ada

kekosongan hukum. Mereka yakin, walau belum ada perundangan yang mengatur

masalah tersebut, para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum

yang sudah ada. Untuk melaksanakannya diperlukan keberanian hakim menggali

UU yang ada dan membuat ketetapan hukum (yurisprudensi) sebagai landasan

keputusan pengadilan.

       42

Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 5

43

(40)

Dari timbulnya banyak perdebatan tersebut sesuai dengan yang juga telah

diuraikan pada bab I dimana pada bulan maret tahun 2008 disahkannya

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara

khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki

sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya. Rancangan

undang-undang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi

dan Informatika dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi

dan Transaksi Elektronik. Pada awalnya, RUU ini merupakan penyatuan dua

rancangan undang-undang yang disusun oleh dua kementrian, yaitu Departemen

Perhubungan dan Departemen Perindustrian dan Perdangan, bekerja sama dengan

Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universita Indonesia, Tim dari Fakultas

Hukum Universitas Padjadjaran, serta Tim Asistensi dari ITB. Kemudian pada

tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR

RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang-undang ini disahkan; dengan demikian

proses pengundangan undang-undang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh

karena itu undang-undang ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini

merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu

pengundangannya maupun segi materi yang diatur44.

Dalam undang-undang ITE ada dua muatan besar yang diatur di dalamnya.

Yang pertama ialah pengaturan tentang transaksi elektronik dan yang kedua ialah       

44

(41)

pengaturan tentang tindak pidana teknologi informasi. Materi tersebut merupakan

implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional, yaitu UNCITRAL

Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model Law on Electronic

Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on Electronic Commerce,

dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah

instrument internasional dan regional yang banyak diterapkan oleh negara-negara

Eropa, Amerika, dan Asia.45

Substansi pengaturan dalam tindak pidana teknologi informasi dalam

undang-undang ITE mencakup hukum pidana materiil, yaitu kriminalisasi

perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana teknologi informasi.

Pedoman yang digunakan adalah Convention on Cybercrime. Undang-undang ini

juga memuat hukum pidana formil yang khusus untuk menegakkan hukum pidana

di bidang teknologi informasi ini.46

Berkaitan dengan perumusan delik yang mempunyai beberapa elemen,

diantara para ahli mempunyai jalan pikiran yang berlainan. Sebagian besar

berpendapat membagi elemen perumusan delik secara mendasar asja, dan ada juga

yang berpendapat yang membagi elemen perumusan delik secara terperinci.

Diantaranya unsur subjektif dan objektif.

Unsur objektif dalam perumusan delik tindak pidana teknologi informasi

ini mengalami beberapa terobosan dari sifat-sifat umum KUHP. Hal ini

disebabkan kegiatan pada dunia maya meskipun bersifat virtual tetapi

      

` 45 Ibid, hlm. 136.

46

(42)

dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata.secara yuridis

untuk ruang cyber sudah tidak ada tempatnya lagi untuk mengategorikan sesuatu

dengan ukuran dan kualifikasi konvensional untuk dapat dijadikan objek dan

perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan

hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual, tetapi

berdampak sangat nyata meskipun alat bukti elektronik, dengan subjek perlakunya

harus dikualifikasikan pula sebagai telah melakukan perbuatan hukum secara

nyata.

Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas

dan normanya ketika menghadapi persoalan benda tidak berwujud, missalnya

dalam kasus pencurian listrik sebagai perbuatan pidana. Dalam keyataan kegiatan

cyber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh wilayah

suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun. Kerugian dapat

terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada orang lain yang tidak pernah

melakukan transaksi, misalnya pencurian kartu kredit melalui pembelanjaan

internet.47

dalam undang-undang ITE, tindak-tindak pidana diatur dalam BAB VII

tentang perbuatan yang dilarang. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat

dikategorikan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut:48

1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu: a. Distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya

konten illegal, yang terdiri dari:

       47

Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm 103-104

48

(43)

1) Kesusilaan; 2) Perjudian;

3) Penghinaan atau pencemaran nama baik; 4) Pemerasan atau pengancaman;

5) Berita bohong yang menyesatkan atau merugikan konsumen;

6) Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA; 7) Mengirimkan informasi yang berisi ancaman

kekeasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi;

b. Dengan cara apapun melakukan akses ilegal;

c. Intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan sistem elektronik;

2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interfensi), yaitu:

a. Gangguan terhadap informasi atau dokumen elektronik (data interference);

b. Gangguan terhadap sistem elektronik (system interference);

3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang;

4. Tindak pidana pemalsuan informasi atau dokumen elektronik; 5. Tindak pidana tambahan (accesoir); dan

6. Perberatan-perberatan terhadap ancaman pidana.

Sebagian besar pengaturan tindak pidana dalam undang-undang ITE

mengadopsi ketentuan pidana dalam Convention on Cybercrime. Dalam bagian ini

dijeleskan mengenai perbuatan yang dilarang dan unsur-unsur pidana dalam setiap

pasal yang dimasud. Sepanjang ketentuan dalam undang-undang ITE terkait

dengan Convention on Cybercrime, akan dibahas juga dalam bagian yang

dimaksud hubungan antara pasal dalam undang-undang ITE dengan ketentuan

dalam Convention on Cybercrime.

Pada dasarnya pengaturan dari tindak pidana tersebut merupakan desakan

(44)

berbagai bidang kejahatan tersebut sebagaimana dijelaskan di awal merupakan

imbas dari pesatnya perkembangan teknologi tanpa disertai pengembangan pola

piker masyarakat. Sehingga pada pengaturan tindak pidana dalam undang-undang

ini merupakan pengaturan khusus dari tindak pidana umum yang ada karena

memang pengaturan tindak pidana secara umum tersebut belum dapat menjangkau

modus operandi kejahatan yang dilakukan melalui jaringan internet.

Secara konsep tindak pidana teknologi informasi dapat dilihat secara

sempit maupun luas. Secara sempit tindak pidana teknologi informasi ini ialah

perbuatan yang dikategorikan tindak pidana yang ditujukan terhadap integritas,

ketersediaan, dan kerahasiaan data, termasuk terhadap sistem. Sedangkan dalam

arti luas tindak pidana ini merupakan perbuatan pidana yang dilakukan dengan

menggunakan atau melalui sarana komputer sistem atau jaringan, termasuk tindak

pidana konvensional dengan menggunakan komputer atau sistem elektronik. Akan

tetapi secara perundang-undangan di Indonesia, tindak pidana teknologi informasi

diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diatur dalam BAB VII dan BAB XI.

Hampir semua ketentuan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ITE telah

mengakomodir substantive law dari Convention on Cybercrime.

C. Penghinaan / Pencemaran Nama Baik dalam Tindak Pidana Teknologi

Informasi

Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam

(45)

Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pencemaran Nama Baik

berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.” Sehingga pembahasan

lebih lanjut pengenai tindak pidana dalam pasal ini akan membahas secara rinci

bagaimana undang-undang ini mengatur tindak pidana pencemaran nama baik.

Tindak pidana pencemaran nama baik dalam undang-undang ini diatur dalam

pasal 27 ayat (3).

Pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE menyebutkan “setiap orang dengan

sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau yang memiliki muatan

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka kejahatan pun terus

berkembang mengikuti perkembangan teknologi tersebut. Jika dahulu orang hanya

bisa melakukan penghinaan dan lewat tulisan surat atau perkataan lisan, sekarang

dengan adanya internet seseorang juga bisa melakukan perbuatan tersebut melalui

internet. Dalam KUHP sendiri juga telak diatur rumusan terhadap delik

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ini. Dalam KUHP terdapat adanya

enam macam penghinaan yaitu, menista (pasal 310 ayat 1), menista dengan surat

(pasal 310 ayat 2), memfitnah (pasal 311), penghinaan ringan (pasal 315),

mengadu secara memfitnah (pasal 317), dan menuduh secara memfitnah (pasal

318).49

       49

(46)

Dalam uraian pasal tersebut maka dapat dilihat ada beberapa unsur yang

akan diuraikan dalam bagian ini. Adapun unsur-unsurnya ialah “orang”, “dengan

sengaja dan tanpa hak”, “mendistribusikan”, “mentransmisikan”, “membuat dapat

diaksesnya”, “informasi elektronik”, dan “dokumen elektronik”, serta “Muatan

penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Dalam penjelasan sebelumnya telah diketahui bahwa tindak pidana

pencemaran nama baik dalam undang-undang ini merupakan bagian dari tindak

pidnaa yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, khususnya tindak pidana yang

memuat konten ilegal (illegal contetnt). Secara umum dapat kita artikan bahwa

konten ilegal merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke

Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap

melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.50

Pada dasarnya konten merupakan informasi yang dapat mempengaruhi

perilaku seseorang. Pornografi dan judi dapat menimbulkan kecanduan.

Pembuatan informasi elektronik khusususnya pornografi dapat atau bahkan sering

melanggar hak asasi manusia. Selain itu, penyebaran konten dapat membentuk

opini publik. Rusaknya kehormatan atau nama baik seseorang akibat opini publik

yang terbentuk melalui penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik orang

tersebut merupakan alasan diaturnya ketentuan penghinaan dalam dunia siber.

Kerusuhan antar suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) juga dapat terjadi

akibat penyebarluasan informasisensitif tentang SARA.

       50

(47)

Kedua, dengan adanya internet, informasi dapat disebar dan diteruskan ke

berbagai penjuru dunia dengan seketika serta dapat diakses dari berbagai negara.

Terlebih lagi setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang

sebenarnya di dunia siber baik secara anonym maupun dengan nama alias.

Informasi-informasi yang dikirimkan atau digandakan tersebut dapat tersimpan

untuk jangka waktu yang sangat lama.51

Dri dua hal tersebut telah dapat kita lihat bahwa memang perlu untuk

diaturnya dalam undang-undang ITE tentang konten ilegal ini. Sehingga dalam

undang-undang ITE ini dapat kita lihat dalam pasal 27 -29 undang-udnang ITE.

Perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasi dalam pasal 27 undang-undang ITE

adalah perbuatan yang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP). Demikian juga dengan perbuatan penyebaran muatan

yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA. Akan tetapi,

karakteristik dalam dunia siber seperti yang telah digambarkan sebelumnya

menyebabkan pembentuk undang-undang merasa perlu penyesuaian agar

nilai-nilai perlindungan yang diberikan dalam dunia siber sama seperti yang telah

diberikan dalam dunia nyata.52

Kembali kepada unsur-unsur pasal 27 ayat (3) sebelumnya Dalam bahasan

ini penulis menguraikan isi pasal 27 ayat (3) ini. Dalam rumusan pasal yang

menjadi subjek adalah “setiap orang”. Dalam undang-undang ITE deisebutkan

bahwa yang dimaksud dengan orang di sini adalah perseorangan baik warga

       51

Josua Sitompul, Op. Cit., hlm.. 148-149

52

(48)

negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum asing. Dalam

penerapan pasal ini dan pasal-pasal lain yang akan dibahas, harus juga

diperhatikan pasal 2 undang ITE ini yang menegaskan bahwa

undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum

yangdiatur dalam undang-undang tersebut baik yang berada di wilayah hukum

Indonesia maupun diluar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan

Indonesia.

1. Dengan sengaja dan tanpa hak

Unsur ini merupakan unsur subjektif tindak pidana. Sengaja

mengandung makna mengetahui (knowingly) dan menghendaki

(intentionally) dilakukannya suatu akibat yang dilarang oleh

undang-undang ITE. Terkait dengan pasal 27 ayat (1) sengaja yang dimaksud

ditujukan terhadap perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, atau

membuat dapat diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang

memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. 53

Sedangkan tanpa hak adalah tidak memiliki hak baik yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas

hak lain yang sah. Termasuk dalam pengertian ini adalah melampaui

hak atau kewenangan yang diberikan kepada orang yang bersangkutan

berdasarkan alas hak yang diberikan. Oleh karena itu, peraturan

perundang-undangan, perjanjian, atau alas hak lain yang sah tersebut

adalah patokan atau dasar untuk menilai dan menentukan ada atau

       53

(49)

tidaknya hak seseorang, atau dilampaui tidaknya hak yang diberikan

kepadanya. Alas hak yang dimaksud harus memberikan hak kepada

seseorang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat

dapat diaksesnya muatan yang melanggar kesusilaan.

2. Mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya.54

Undang-undang ITE tidak memberikan definisi mengenai

mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya.

Yang dimaksud dengan “mendistribusikan” di sini ialah mengirimkan

informasi atau dokumen elektronik kepada beberapa pihak atau tempat

melalui atau dengan sistem elektronik. Tindakan ini dapat dilakukan

dengan mengirimkan email, sms atau mms, atau sarana pengiriman

melalui jaringan internet lainnya. Perbuatan membuat informasi dapat

dilihat oleh siapa saja seperti publikasi di blogspot, facebook, twitter

atau media lain, ataupun menggunggah video melalu sarana website

juga termasuk dalam kategori mendistribusikan ini.

Sedangkan yang dimaksud dengan “mentransmisikan”adalah

mengirimkan atau meneruskan informasi atau dokumen elektronik dari

satu pihak atau tempat ke satu orang atau tempat lain. Dalam

pengertian dari mendistribusikan memang sudang terkandung makna

mentransmisikan ini, tetapi perbedaannya adalah esensi dari

mendistribusikan ialah menyebarluaskan informasi atau dokumen

elektronik, sedangkan mentransmisikan hanya terbatas pada satu       

54

(50)

pengirim kepada satu penerima. Tindakan ini dapat dilakukan dengan

mengirimkan pesan atau meneruskan pesan kepada penerima lain.l

tindakan mentransmisikan ini dapat dilakukan melalui mekanisme jual

beli secara elektronik. Misalnya penyedia konten dapat mengirimkan

konten yang diminta oleh penerima setelah penerima mengirimkan

alamat email dan membayar harga untuk konten tersebut.

“Membuat dapat diaksesnya” memiliki makna membuat

informasi atau dokumen elektronik dapat diakses oleh orang lain, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat dilakukan

dengan memberikan link/hyperlink yaitu tautan atau referensi yang

dapat digunakan oleh pengguna internet untuk mengakses lokasi atau

dokumen. Membuat dapat diaksesnya juga dapat dilakukan dengan

memberikan kode akses (password).

3. Informasi atau Dokumen Elektronik55

Undang-undang ITE memberikan definisi informasi elektronik

sebagai:

satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi

tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,

electronic data interchange (EDI, surat elektronik (electronic

mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,

angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang

       55

Referensi

Dokumen terkait

karena atas berkah, rahmat, dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini dangan baik untuk memenuhi syarat menyelesaikan pendidikan Diploma III pada

Dalam mendasain atau membangun jaringan komputer dengan GNS3 sebagai sebagai model virtual di sekolah diperlukan komponen-komponen yang harus terintegrasi terhadap

Pada Bab ini penulis akan memaparkan mengenai metode penelitian yang digunakan dalam mengkaji permasalahan penelitian skripsi berjudul Peranan Mahathir Mohamad

Perlakuan dosis pupuk NPK terendah (25%) tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman, diduga bahwa dosis pupuk NPK dari persentasi rekomendasi yang digunakan sudah

Quilliam et al (2012) reported the activity of soil microorganisms by soil respiration, saying that reapplication of biochar significantly increased the level of basal

akan membahas rumusan masalah yang sesuai dengan fokus penelitian yaitu, bagaimana diferensiasi nilai kepatuhan terhadap leluhur dalam perayaan Ceng Beng di Kota

Simpulan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe paired storytelling lebih efektif digunakan untuk meningkatkan keterampilan menyimak cerita

Analisa Faktor Riwayat Kontrasepsi pada Wanita Peserta Program Penapisan Kanker Leher Rahim Dengan Pendekatan "See & Treat" : Untuk Deteksi Lesi Prakanker dan