BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Teknologi informasi memegang peran yang penting baik di masa kini,
maupun di masa yang akan datang.4 Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol pelopor, yang akan
mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi
dan keuangan.5 Era globalisasi yang kita lalui menjadi tanda perkembangan teknologi itu sendiri. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era
perkembangan teknologi informasi.6 Sehingga dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi saat ini dapat kita lihat sendiri yaitu maraknya anak-anak
kecil yang sudah memainkan alat-alat elektronik yang canggih. Dimana melalui
alat-alat elektronik tersebut kita dapat memasuki dunia yang seolah nyata melalui
jaringan internet yang lebih sering kita kenal dengan dunia maya.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi yang sedemikian rupa,
dunia telah memasuki era baru komunikasi, Dengan demikian, teknologi
informasi ini telah mengubah perilaku masyarakat global. Di samping itu
perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas
(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung
4
Agus Raharjo, Cybercrime - Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 1.
5
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 1-2.
6
demikian cepat. Sehingga dapat dikatakan teknologi informasi saat ini telah
menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi
peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi
sarana efektif bagi terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum.7 Dengan terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut, maka ruang lingkup hukum harus
diperluas untuk dapat menjangkau perbuatan-perbuatan tersebut.8
Kemudian lahirlah suatu era baru yang dikenal dengan hukum telematika.
Hukum telematika dapat juga disebut dengan hukum siber. Hal ini didasari pada
argumentasi bahwa hukum siber (cyber crime) merupakan kegiatan yang
memanfaatkan komputer sebagai media yang didukung oleh sistem
telekomunikasi baik itu dial up system, menggunakan jalur telepon, maupun
wireless system yang menggunakan antena khusus nirkabel.9
Pada akhirnya kecanggihan teknologi komputer disadari telah memberikan
kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia.10 Namun seiring dengan perkembangan tersebut, ternyata teknologi informasi yang berkembang
dalam jaringan internet juga menyebabkan terjadinya kejahatan pada dunia
internet itu sendiri. Permasalahan hukum yang yang sering kali kita hadapi adalah
ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi
Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 12-13.
10
secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan
perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.11
Tekologi dan Hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi
dan keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger nerpendapat bahwa di
satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu.
Akan tetapi, di sisi lain teknologi juga dapat dilihat sebagai aktivitas manusiawi.
Pada dasarnya, setiap teknologi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat dan layanan bagi
manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan keefektivitasan kerja.12
Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi masyarakat
dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya dikenakan sanksi yang
memaksa oleh otoritas tertinggi dalam satu negara. Hukum diperlukan untuk
menciptakan ketertiban dalam masyarakat dan memberikan keadilan. Ketertiban
dan keadilan tersebut dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu
maupun kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan didalam masyarakat
pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis karena terus
berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi menuntut respon
hukum, dan hukum berada di persimpangan: di satu sisi berusaha mengakomodir
perkembangan teknologi demi kepentingan masyarakat, tetapi di sisi lain hukum
memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga teknologi yang ada sekarang,
11
Budi Suhariyanto, Op. Cit., hlm. 3.
12
sehingga tetap menjaga berbagai kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas
yang telah terpenuhi dengan teknologi yang telah ada itu.13
Pesatnya perkembangan dalam teknologi komunikasi yang terjadi,
terkhususnya internet menyebabkan kejahatan baru di bidang itu juga muncul,
misalnya kejahatan manipulasi data, spionase, sabotase, provokasi, money
laudering, hacking, pencurian software maupun perusakan hardware dan berbagai
macam lainnya.14 Dalam dunia siber sendiri ada hal yang perlu segera mendapat perhatian dalam masalah penggunaan media internet ini, sebelum lebih jauh
terlanjur menjadi hutan belantara yang tidak bertuan.15 Sehingga untuk mengatasi hal tersebut pelu dibuat suatu perundangan yang mengatur agar tidak menjadi
suatu hutan belantara yang tidak bertuan. Dalam prosesnya telah dilihat
banyaknya perdebatan mengenai perlu tidaknya aturan yang khusus mengatur
tentang cybercrime ini.
Namun pada akhirnya pada bulan Maret tahun 2008 menjadi tonggak
lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Dalam UU ITE ini terdapat bagian tersendiri mengenai
perbuatan yang dilarang, yaitu dalam Bab VII dengan rincian sebagai berikut :
Pasal 27 : asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan
Pasal 28 : berita bohong dan menyesatkan, berita
kebencian permusuhan
13
Ibid, hlm. 32.
14
Budi Suharyanto, Op. Cit., hlm 3
15
Pasal 29 : ancaman kekerasan dan menakut-nakuti
Pasal 30 : akses komputer pihak lain tanpa Izin, cracking
Pasal 31 : penyadapan, perubahan, penghilangan informasi
Pasal 32 : pemindahan, perusakan dan membuka informasi rahasia
Pasal 33 : virus, membuat sistem tidak bekerja
Pasal 35 : menjadikan seolah dokumen otentik
Tidak hanya hal-hal tersebut yang dapat kita lihat dalam UU ITE ini.
Dalam pasal 5 ayat (1) UU ITE memuat suatu bentuk perluasan alat bukti diluar
pasal 184 KUHAP. Dimana dalam UU ITE diakui bahwa Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
hukum yang sah. Di mana dalam pasal 5 ayat (2) UU ITE diperjelas bahwa alat
bukti yang disebutkan dalam ayat (1) merupakan perluasan alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum acara yang berlaku. UU ITE menegaskan bahwa dalam
seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen
Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah.
Tentunya setelah melihat sekilas mengenai tindakan tindakan yang
dilarang dalam UU ITE tersebut maka terlihat bahwa media di internet yang
paling dekat dan paling sering menjadi ambang batas dalam terjadinya tindak
pidana dalam UU ITE adalah media sosial. Dalam hal ini Undang-Undang ITE ini
memimiliki sudut pandang yang baru dalam perumusan tindak pidana
dibandingkan dengan pandangan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) yang cenderung kita pandang telah konvensional. Seringnya masyarakat
sekedar iseng-iseng dalam menggunakan internet terkadang menjadi sesuatu yang
secara tidak sadar mendatangkan akibat-akibat tertentu. Yang mana akibat-akibat
yang dimaksud dapat berupa terjadinya suatu tindak pidana yang belum mampu
dijangkau oleh KUHP itu sendiri. Hal yang memicu tejadinya kejahatan melalui
tindak pidana siber ini pun mayoritas adalah berasal dari keterangan yang ada
pada media sosial.
Keterangan di media sosial termasuk dalam pengertian dari informasi
elektronik dalam UU ITE. Pasal 1 ayat 1 UU ITE menjelaskan bahwa “Informasi
Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tapi tidak
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.”
Sehingga banyak kasus siber yang kita ketahui berkutat pada
kasus-kasus yang berawal dari media-media sosial seperti e-mail, facebook, twitter, dan
lain sebagainya. Dan dalam jalannya proses persidangan terhadap perkara-perkara
cyber itu sendiri, keterangan-keterangan tersebutlah yang menjadi alat bukti
dalam persidangan. Seperti dalam kasus Prita Mulyasari dimana alat buktinya
Benny Handoko16 pun, alat bukti yang diajukan oleh jaksa pun berupa potongan gambar dari isi posting twitter dengan user @benhan.
Oleh karena itu, di sini penulis akan menguraikan mengenai penggunaan
keterangan di media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana
pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.
Dalam menguraikan hal tersebut maka penulis akan menguraikan mengenai
Ketentuan Tindak Pidana yang diatur dalam Undang-Undang ITE dan kemudian
dilajutkan dalam pembahasan mengenai bagaimana Pembuktian Tindak Pidana
Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Undang-undang No. 11 Tahun 2008
tentang ITE. Kemudian akan diulas juga tentang penerapan hukum yang telah ada
dalam penanganan tindak pidana teknologi informasi, dengan menganalisis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana berdasarkan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE?
2. Bagaimana keterangan pada media sosial dapat digunakan sebagai
alat bukti dalam pembuktian Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE?
3. Bagaimana penerapan hukum terhadap penggunaan keterangan pada
media sosial sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana
khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
1333/Pid.Sus/2013/Pn. Jkt. Sel?
16
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengkaji mengenai bagaimana informasi pada media
sosial dapat digunakan sebagai alat bukti dalam pembuktian
tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008.
2. Memberikan sumbangan pemikiran hukum dalam konteks
Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam prespektif pasal
27 ayat (3) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE.
3. Untuk digunakan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam skripsi akan dibahas mengenai “Keabsahan Informasi pada
Media Sosial sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Tindak Pidana
Pencemaran Nama Baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008”. Adapun tinjauan kepustakan dari skripsi ini adalah:
1. Keabsahan
Penggunaan suatu alat bukti dalam bentuk apapun
tentunya membutuhkan sifat yang sah agar dapat digunakan di
kata sifat yang menunjukkan sifat yang sah17. Sehinga dalam menggunakan berbagai alat bukti dalam proses peradilan yang
berlaku di Indonesia maka harus dapat dijamin adanya suatu
keabsahan dari alat bukti yang diajukan tersebut.
2. Informasi Elektronik
Berkembangnya era globalisasi membuat muncul
bentuk baru dari informasi-informasi yang ada. Informasi
elektronik merupakan bentuk baru dari informasi yang ada
akibat era globalisasi ini. Dalam Undang-Undang ITE
disebutkan pengertian secara rinci dari informasi elektronik,
yang merupakan objek kajian dari skripsi ini. Informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.18
17
http://kbbi.web.id/absah
18
3. Media Sosial
Akiabat masuknya era globalisasi saat ini, ada sebuah
tempat yang menjadi suatu dunia baru yang tidak nyata namun
memiliki dampak nyata dalam kehidupan yang nyata. Dunia
tersebut biasanya kita kenal sebagai media sosial. Media sosial
adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain dan
dilakukan secara online melalui jaringan internet yang
memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa
dibatasi ruang dan waktu.19
Andreas Kaplan dan Michael Haenlein
mendefinisikan media sosial sebagai "sebuah kelompok
aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar
ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan
penciptaan dan pertukaran user-generated content"20 Gamble, Teri, dan Michael dalam Communication Workssebagaimana
dikutip Wikipedia menyebutkan, media sosial mempunyai ciri -
ciri sebagai berikut :
a. Pesan yang di sampaikan tidak hanya untuk satu
orang saja namun bisa keberbagai banyak orang
contohnya pesan melalui SMS ataupun internet
19
http://www.unpas.ac.id/apa-itu-sosial-media/
20
b. Pesan yang di sampaikan bebas, tanpa harus melalui
suatu Gatekeeper
c. Pesan yang di sampaikan cenderung lebih cepat di
banding media lainnya
d. Penerima pesan yang menentukan waktu interaksi
4. Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut,
dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu
tindak pidana yang telah dilakukan. Adapun Definisi Alat-alat
bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan
suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan
keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak
pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.21
5. Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang
peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui
pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
Undang-
21
undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa maka terdakwa “dibebaskan”
dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal
184, terdakwa dinyatakan “bersalah” dan Kepadanya akan
dijatuhkan hukuman.
Pitlo mengemukakan bahwa pembuktian merupakan
suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak baik orang
perseorangan maupun badan hukum atas fakta dan hak yang
berhubungan dengan kepentingannya. Sedangkan menurut
Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil
yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.
Pembuktian dalam Acara Pidana agak berbeda dengan
pembuktian dalam Acara Perdata, dimana dalam acara pidana
pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk Acara Perdata
bersifat formil. Oleh karena itu jika dicurigai alat bukti itu
dipalsukan, maka persidangan Acara Perdata akan dihentikan
untuk menunggu diputus terlebih dahulu suatu kasus Pidana
itu.22
22
M. Yahya Harahap, Pemabahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Menurut Subekti, pembuktian adalah upaya
meyakinkan Hakim akan hubungan hukum yang sebenarnya
antara para pihak dalam berperkara, dalam hal ini antara
bukti-bukti dengan tindak pidana yang didakwakan, dalam
mengkonstruksikan hubungan hukum ini, masing-masing pihak
menggunakan alat bukti untuk membuktikan dalil-dalilnya dan
meyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang
dikemukakan. Dalam bukunya tentang Cybercrime Josua
Sitompul jugamemberikan pengertian dari pembuktian yaitu,
upaya untuk menemukan kebenaran materil (materiel
waarheid) tentang telah terjadi suatu tindak pidana dan jelas
siapa pelakunya.23
6. Tindak Pidana
Tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaar feit dan dalam
kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan
istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan
suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana
atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana
merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan
kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa
23
hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang
abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan
hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti
yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat24
Dalam bukunya Prof. Moeljatno juga memberikan
definisi terhadap tindak pidana. Tindak pidana atau perbuatan
pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.25 Definisi lain dari Tindak pidana ini juga dapat kita lihat dari definisi yang diberikan oleh Prof. Bambang
Poernomo, yaitu Bahwa perbuatan pidana adalah suatu
perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.26
7. Pencemaran Nama Baik
Sampai saat ini di Indonesia belum ada definisi hukum
yang tepat dan jelas tentang apa yang disebut pencemaran nama
24
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-tindak-pidana-dan-unsur.html diakses pada tanggal 25 Juni
25
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara,1987) hlm. 54
26
baik. Dalam bahasa inggris pencemaran nama baik diartikan
sebagai defamation, slander, dan libel. R Soesilo dalam
bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal (hal 225) dalam penjelasan Pasal 310 KUHP,
menerangkan bahwa, “menghina” adalah
“menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang
diserang ini biasanya merasa “malu” “Kehormatan” yang
diserang di sini hanya mengenai kehormatan tentang “nama
baik”, bukan “kehormatan” dalam lapangan seksual,
kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota
kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.27
E. Metode Penelitan dan Penulisan
1. Tipe Penelitian
Penulis dalam menulis skripsi ini menggunakan salah satu tipe
penelitian hukum yang ada, yaitu Doctrinal Research28. Tipe Doctrinal
Research adalah suatu penelitian hukum yang menganalisis
aturan-aturan hukum yang berkaitan atau mengatur suatu kategori
permasalahan hukum tertentu, menjelaskan permasalahan yang sulit
dipahami, menganalisis hubungan antar peraturan perundang-undangan
dan dapat dijadikan pertimbangan untuk perkembangan hukum di masa
27
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt517f3d9f2544a/perbuatan-perbuatan-yang-termasuk-pencemaran-nama-baik diakses pada tanggal 25 Juni 2014
28
selanjutnya. Tipe penelitian ini dapat dikatakan serupa dengan tipe
penelitian hukum normatif yuridis.
2. Pendekatan Masalah
Guna membahas permasalahan penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif, yang berarti
dalam melakukan pembahasannya penuslis mengacu pada statute
approach, conceptual approach, dan case approach, dengan cara
mempelajari, memahami, meneliti kasus, serta menganalisa
konsep-konsep dalam peraturan erundang-undangan yang berkaitan dengan
Keabsahan Informasi Pada Media Sosial sebagai alat bukti dalam
tindak pidana pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008.
3. Sumber Bahan Hukum
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini
meliputi 2 jenis, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer berupa ketentuan-ketentuan
hukum yang bersifat normatif seperti peraturan
perundang-undangan, keputusan-keputusan maupun
ketetapan-ketetapan dari lembaga yang berwenang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum seunder berupa sumber-sumber lain yang
digunakan untuk memperlengkapi bahan huum primer,
sehingga dapat membantu untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan terkait. Bahan hukum
sekunder dapat diperoleh dari surat kabar, majalah,
jurnal-jurnal hukum, buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan terkait.
4. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Adapun untuk mempermudah dan memperlancar penulisan
skripsi ini, maka dipergunakan beberapa langkah dalam
pmengumpulkan dan mengolah bahan hukum yang terkait dengan
skripsi ini. Pertama adalah dengan melakukan studi kepustakaan
dengan materi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini dengan cara
membaca peraturan-perundang-undangan, buku-buku, surat kabar,
majalah, jurnal-jurnal hukum, danliteratur-literatur lainnya yang terkait
dengan skripsi ini. Kemudian bahan-bahan yang telah terkumpul
tersebut diseleksi berdasarkan klasifikasi prioritas sehubungan dengan
rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, selanjutnya
diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan pokok-pokok
bahasan dalam penulisan skripsi ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini diuraikan menjadi 5 Bab yang
Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian dan penulisan, dan
sistematika penulisan
Bab II, merupakan pembahasan dari rumusan masalah yang pertama.
Dimana dalam bab ini akan ditinjau secara umum definisi dari tindak pidana
teknologi informasi. Kemudian pada bab ini juga akan dibahas perihal pengaturan
tindak pidana teknologi informasi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentan Informasi dan transaksi elektronik. Karena pembahasan skripsi ini
mengarah pada penggunaan keterangan media sosial sebagai alat bukti dalam
pembuktian tindak pidana mencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang
ITE, maka dalam bagian terakhir pada bab ini akan dibahas mengenai tindak
pidana pencemaran nama baik dalam Undang-Undang ITE.
Bab III, merupakan pembahasan dari permasalahan yang kedua yaitu
mengenai kedudukan alat bukti elektronik dalam penanganan tindak pidana
teknologi informasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
ITE. Pada awal bab akan terlebih dahulu dibahas terkait alat bukti secara umum,
yakni pengaturan alat bukti yang tentunya diatur dalam KUHAP. Kemudian akan
dilanjutkan kepada pembahasan pengaturan alat bukti elektronik dalam sistem
hukum pidana Indonesia. Sehingga pada akhir bab ini dapat diketahui penggunaan
alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik
Bab IV, hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan ditinjau
secara yuridis putusan pengadilan terhadap perkara pidana yang menggunakan
keterangan pada media sosial sebagai alat bukti dalam proses pembuktiannya.
dalam hal ini, akan ditinjau putusan Nomor : 1333/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.
Namun sebelum meninjau hal tersebut terlebih dahulu akan dibahas mengenai
penggunaan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian di Indonesia,
khususnya penggunaan keterangan pada media sosial sebaga alat bukti dalam
proses pembuktian perkara pidana.
Bab V, merupakan bagian akhir dalam penulisan skripsi ini. Sebagai
bagian akhir atau penutup penulis akan menguraikan beberapa kesimpulan sebagai
hasil dari penelitian dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, serta akan
memberikan beberapa saran bagi perbaikan dan perubahan di masa yang akan
datang mengenai tindak pidana cyber terutama terkait pada media sosial yang