• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data mana yang akan dipergunakan dalam suatu penelitian hukum, senantiasa tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian hukum yang akan dilakukan.41Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui:

41Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2008 hal. 66

a. Studi dokumen atau bahan pustaka, yaitu penggunaan data sekunder.

Untuk memperoleh data sekunder, diperlukan studi dokumen dengan cara mempelajari peraturan – peraturan, teori, buku – buku, hasil penelitian, dan dokumen – dokumen lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu mengenai pemberian jaminan melalui Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan terhadap jaminan yang masih dalam pemecahan sertipikat.

b. Wawancara (interview) adalah sekumpulan pertanyaan (tersusun atau bebas) yang diajukan dalam situasi atau keadaan tatap muka atau langsung berhadapan dan catatan lapangan diperlukan untuk menginventarisir hal-hal baru yang terdapat di lapangan yang ada kaitannya dengan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan.42 5. Analisa Data

Setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, maka dilakukan inventarisir dan penyusunan secara sistematik, kemudian diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yakni berpikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normatif sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

42J. Supranto, Metode Riset, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 83

26

A. Pelaksanaan Kredit pada Jaminan umumnya 1. Perjanjian Kredit dan Pemberian Jaminan

Pengertian perjanjian menurut Profesor Subekti yaitu: suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut.43 Sesuai ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perjanjian timbul karena: persetujuan (overeenkomst) dan Undang-Undang.44

Persetujuan atau overeenkomst berarti suatu tindakan atau perbuatan seseorang atau lebih yang mengikatkan diri kepada seseorang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Tindakan atau perbuatan yang menciptakan persetujuan itu berisi “pernyataan kehendak” (Wils Verklaring) antara para pihak. Dengan demikian persetujuan tidak lain dari pada “persesuaian kehendak” antar para pihak. Perbuatan yang disebut didalam Pasal 1313

43 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan ke-21, Jakarta, PT.Intermasa, 2005, hal.1.

44M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cetakan ke-2, Bandung, Alumni, 1986, hal 20.

KUHPerdata adalah perbuatan hukum, hal ini disebabkan tidak semua perbuatan mempunyai akibat hukum.

Perjanjian yang lahir dari undang-undang diatur dalam Pasal 1352 KUHPerdata, yang berbunyi:

a. Semata-mata dari undang-undang saja (yang timbul oleh hubungan kekeluargaan), misalnya kewajiban alimentasi yaitu suatu kewajiban untuk menyantuni orang tuanya (memberi nafkah) sesuai Pasal 298 KUHPerdata;

b. Dari undang-undang sebagai perbuatan manusia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1353 KUHPerdata dapat dibedakan persetujuan yang timbul dari perbuatan manusia:

(1) Yang sesuai dengan hukum atau perbuatan yang rechtmatige, misalnya dalam hal seseorang melakukan suatu pembayaran yang tidak diwajibkan (Pasal 1359 KUHPerdata), atau jika seseorang dengan sukarela dan dengan tidak diminta, mengurus kepentingan-kepentingan orang lain (zaakwarneming dalam Pasal 1354 KUHPerdata).

(2) Karena perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Suatu perjanjian dapat disebut sebagai suatu perjanjian yang sah ketika telah memenuhi syarat-syarat perjanjian. Syarat-syarat tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal.

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya 3 (tiga) unsur perjanjian, yaitu:45

1. Unsur Esensialia

Unsur ini dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur ini

45 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, Raja Grafindo Perkasa, 2004, hal. 84.

pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi atau pengertian dari suatu perjanjian, misalnya perjanjian jual beli yang dibedakan dari perjanjian tukar menukar.

2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung esensialia jual beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual cacat-cacat tersembunyi.

Ketentuan ini tidak dapat oleh para pihak, karena sifat dari jual beli menghendaki yang demikian.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur ini adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak. Dengan demikian, maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak.

Perkataan kredit sesungguhnya berasal dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan, atau “credo” yang berarti saya percaya. Jadi seandainya seseorang memperoleh kredit, berarti orang tersebut memperoleh kepercayaan (trust). Dengan perkataan lain maka kredit mengandung pengertian adanya suatu kepercayaan dari seseorang atau badan yang diberikan kepada seseorang atau badan lainnya yaitu bahwa yang bersangkutan pada masa yang akan datang memenuhi segala sesuatu kewajiban yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.46 Hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur khusus mengenai perjanjian kredit, baik dari segi bentuk maupun materil yang luas di muat dalam perjanjian kredit. Oleh karena itu ketentuan hukum yang sebagai acuan dalam perjanjian kredit tersebut adalah ketentuan hukum perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.

46Rachmat Firdaus, Manajemen Perkreditan Bank Umum, Alfabeta, Bandung, 2009, hal. 1.

Menurut Sutarno, perjanjian kredit adalah perjanjian pokok atau perjanjian induk yang mengatur hak dan kewajiban antara Kreditur dan Debitur.47 Kreditur adalah orang atau badan hukum yang memberikan kredit kepada Debitur dan Debitur adalah orang atau badan hukum yang menerima kredit dari Kreditur. Objek dalam perjanjian kredit adalah kredit atau penyediaan uang. Prestasi dari Kreditur adalah menyerahkan kredit dan menerima pengembalian pokok utang dan bunga, sedangkan prestasi Debitur adalah menerima kredit dan mengembalikan pokok dan bunga.48

Sementara itu, menurut Munir Fuady, elemen-elemen yuridis dari suatu kredit adalah adanya kesepakatan antara Debitur dan Kreditur yang disebut dengan Perjanjian Kredit, adanya para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur, adanya kesanggupan atau janji untuk membayar hutang, adanya pinjaman berupa pemberian sejumlah uang, adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit.49

Berkaitan dengan pengertian kredit pada pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dapat dipahami bahwa setiap bank memberikan kredit kepada Debitur dituangkan dalam suatu perjanjian kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yakni pihak bank (Kreditur) dan pihak peminjam (Debitur). Pembuatan perjanjian kredit tersebut diperlukan dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi para pihak, sehingga apabila terjadi permasalahan dikemudian hari maka para pihak yang

47Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung, Alfabeta, 2003, hal 6.

48Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Perjanjian, Jakarta, Rajawali Pers, 2017, hal 186.

49Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 11.

berkepentingan dapat mengajukan perjanjian kredit yang telah dibuat sebagai dasar hukum untuk menuntut pihak yang telah dirugikan.

Perjanjian kredit merupakan ikatan atau alat bukti tertulis antara Kreditur dengan Debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Bentuk perjanjian kredit sangat luas karena perjanjian kredit dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan dan akta otentik.50

Perjanjian kredit yang dituangkan dalam bentuk akta di bawah tangan merupakan perjanjian antara Kreditur dengan Debitur, tanpa adanya keterlibatan dari pihak Notaris atau pejabat yang berwenang. Pada umumnya, klausula-klausula yang termuat dalam perjanjian kredit bawah tangan ini sangat singkat dan jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah relatif kecil. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan umumnya dilakukan pada lembaga jaminan pegadaian, yang bentuk isi dan syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian secara sepihak, dan Debitur tinggal menyetujui isi dari perjanjian tersebut.51

Akta perjanjian kredit yang dibuat dengan akta otentik adalah akta perjanjian kredit yang dibuat di hadapan Notaris atau pejabat yang berwenang, yang mengatur dan memuat hak dan kewajiban antara Kreditur dengan Debitur.52Perjanjian kredit yang bukan dibuat dalam lembaga pegadaian, wajib dibuat dengan menggunakan akta otentik, bila tidak menggunakan akta otentik, maka dapat diancam dengan batal demi hukum.53

50Ibid

51Ibid

52Ibid

53Rachmadi Usman, Op Cit., hal. 88.

Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu kemampuan Debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada Kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau hutang yang diterima Debitur terhadap Krediturnya.54 Dalam perspektif hukum perbankan, istilah

“jaminan” berbeda dengan istilah “agunan”. Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan diberi istilah

“agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan arti “keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan.”

Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan Kreditur, yaitu kepastian atas pelunasan hutang Debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh Debitur atau oleh penjamin Debitur. Keberadaan jaminan merupakan persyaratan untuk memperkecil risiko bank dalam menyalurkan kredit.

Walaupun demikian secara prinsip jaminan bukan persyaratan utama. Bank memprioritaskan dari kelayakan usaha yang dibiayainnya sebagai jaminan utama bagi pengembalian kredit sesuai dengan jadwal yang disepakati bersama.

Menurut Subekti, untuk dapat menanggung atau menjamin pembayaran atau pelunasan hutang tertentu, jaminan tersebut harus berupa suatu benda atau suatu hak yang dapat dinilai dengan uang, dan dapat dialihkan kepada pihak

54Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal. 66.

lain.55 Atas dasar tersebut maka jaminan dapat dibedakan menjadi jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten) dan jaminan yang bersifat perorangan (persoonlijke zekerheidsrechten). Jaminan kebendaan adalah suatu kebendaan tertentu yang dijaminkan dengan hutang sedangkan jaminan perorangan adalah seseorang atau suatu badan hukum yang bersedia menjamin pelunasan hutang tertentu apabila Debitur lalai menjalankan kewajibannya atau wanprestasi.56

Jaminan kebendaan dibedakan atas jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak. Jaminan atas benda bergerak dibebankan dengan lembaga jaminan gadai atau fidusia sedangkan jaminan atas benda tidak bergerak dibebankan dengan lembaga jaminan hipotek dan Hak Tanggungan.57 Pemberian jaminan atas benda tidak bergerak seperti tanah pada saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur-Kreditur lain.58 Hal ini merupakan perwujudan dari ketentuan pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

55R. Subekti, dalam Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal. 70.

56Rachmadi Usman, Op Cit., hal. 76

57Ibid

58Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, edisi kedua, cet. 1, Bandung: Penerbit Alumni, 1999, hal. 11.

2. Perjanjian Kredit yang melahirkan Perjanjian Pemberian Jaminan melalui Hak Tanggungan

Menurut Edy Putra Tje Aman uraian prosedur pemberian kredit yang akan dilalui, sejak pengajuan permohonan kredit sampai realisasi kredit sebagai berikut:59

1. Calon nasabah mengajukan permohonan kredit secara tertulis ke Bank pelaksana terdekat, yang alamat / tempat tinggalnya (calon nasabah) termasuk dalam wilayah kerja (daerah hukum) Bank yang dituju dan sesuai dengan bidang/sektor ekonomi yang ditentukan.

2. Calon nasabah mengisi daftar isian/formulir/blanko yang telah disediakan oleh Bank.

3. Bank melakukan penelitian / menganalisa terhadap dana yang tersedia (plafond kredit) dan pribadi calon nasabah serta segala sesuatu yang diisyaratkan, yang berhubungan dengan usaha calon nasabah.

4. Setelah Bank selesai mengadakan analisa dan semua persyaratan terpenuhi, dilakukanlah penandatanganan perjanjian kredit dan pengikatan jaminan.

5. Penarikan kredit/pencairan kredit/realisasi kredit.

Adapun penyajian konteksnya dalam bentuk urutan langkah-langkah yang lazim dalam prosedur perkreditan yang harus ditangani oleh Bank yaitu, tahap-tahap permohonan kredit, penyidikan dan analisis, keputusan persetujuan atau penolakan permohonan, pencairan kredit, administrasi, pengawasan dan pembinaan serta pelunasan kredit.

Permohonan kredit dilakukan oleh calon Debitur dengan mengajukan permohonan fasilitas kredit kepada Bank. Calon Debitur mengajukan permohonan kredit tersebut diajukan dengan melampirkan:60

a. Foto copy identitas diri (KTP) b. Foto copy kartu keluarga (KK) c. Foto copy Surat Nikah

59Edy Putra Tje Aman, Op. Cit., hal. 16.

60Hasil Wawancara dengan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Mimin Rusli di Medan

d. Foto copy NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) e. Foto copy sertipikat SHM/SHGB

f. IMB (Ijin Mendirikan Bangunan)/legalisir.

g. Foto copy PBB (Pajak Bumi Bangunan) tahun terakhir.

h. Slip gaji/penghasilan terakhir.

i. Foto copy rekening koran/buku tabungan di Bank manapun selama 3-6 bulan terakhir.

j. Foto copy Akte Pendirian / Izin-izin usaha berupa SIUP/TDP untuk pengusaha.

k. Data-data keuangan laporan rugi laba, catan penjualan/pembelian, bon faktur pembelian/penjualan untuk pengusaha/wiraswasta dan data lain yang diperlukan untuk proses kredit tersebut.

Setelah melampirkan data tersebut diatas, Bank akan melakukan pertimbangan terhadap calon Debitur. Asas yang digunakan dalam melakukan pertimbangan tersebut dikenal dengan sebutan prinsip 5 C, yang meliputi: Watak (Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Jaminan (Collateral), dan Kondisi Ekonomi (Condition of Economy).61Konsep 5 C ini pada prinsipnya akan dapat memberikan informasi mengenai itikad baik dan kemampuan membayar Debitur untuk melunasi kembali pinjaman berikut bunga dan beban lainnya.62Selain melalui 5C, penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P kredit dengan unsur penilaian sebagai berikut:63

a. Personality yakni mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu maslah dan menyelesaikannya.

b. Party yakni mengklasifikasikan nasabah dalam golongan-golongan tertentu, berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya dan ini mendapat fasilitas yang berbeda dari bank.

c. Purpose yakni menilai usaha tujuan nasabah dalam mengambil kredit sesuai dengan kebutuhan.

d. Prospect yakni menilai usaha nasabah dimasa yang akan datang menguntungkan atau tidak, karena tanpa mempunyai prospek, bukan saja bank yang rugi akan tetapi juga nasabah.

61Teguh Puji Mulyono, Manajemen Perkreditan Bagi Bank Komersial, Yogyakarta, BPFE, 1993, hal. 11.

62 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal. 246.

63 Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003, hal.241.

e. Payment yakni cara pembayaran dari mana sumber dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan Debitur ini semakin baik karena jika salah satu rugi dapat ditutupi dengan usaha yang lain.

f. Profitability yakni menganalisis kemampuan nasabah dalam mencari laba yang diukur dalam periode ke periode apakah sama atau meningkat dengan adanya tambahan kredit yang diperoleh.

g. Protection yakni untuk mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman, ini berupa jaminan barang atau jaminan asuransi.

Dengan penilaian tersebut di atas dapat dikatakan sebagai studi kelayakan usaha dan biasanya digunakan untuk proyek-proyek yang bernilai besar dan berjangka waktu panjang. Perjanjian kredit biasanya diikuti dengan perjanjian jaminan maka perjanjian kredit adalah pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan atau assesoir artinya ada dan berakhirya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok (perjanjian kredit).

Dalam hal jaminan yang digunakan adalah jaminan hak atas tanah, maka berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Keberadaan Hak Tanggungan tersebut ditentukan melalui cara pembebanannya yang meliputi dua tahap, yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran Hak Tanggungan.

Untuk tahap pemberian Hak Tanggungan, pertama-tama Debitur harus menyerahkan kepada Bank sertipikat hak atas tanah (Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan) yang akan dibebankan Hak Tanggungan.

Sertipikat hak atas tanah tersebut merupakan atas nama Debitur atau atas nama pihak ketiga. Selain menyerahkan sertipikat, Debitur atau pemilik tanah harus menyerahkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang memuat keterangan mengenai keabsahan dari sertipikat hak atas tanah, mengenai status

tanah apakah dalam sengketa atau diletakkan dalam sita pengadilan, mengenai sudah atau belum dibebankan Hak Tanggungan, dan lain-lain yang berkaitan dengan pendaftaran tanah.64

Setelah semua data telah dilengkapi, pihak Bank dan pemilik tanah menghadap ke Pejabat Pembuat Akta Tanah yang wewenangnya meliputi daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi Hak Tanggungan dan Bank selaku pemegang Hak Tanggungan, dua orang saksi dan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang membuat akta tersebut.

Akta Pemberian Hak Tanggungan mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari Debitur kepada Kreditur. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan (Kreditur preferen). Dengan demikian, pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat sebagai berikut:65

1. Pemberian Hak Tanggungan harus didahului dengan janji untuk memberikan jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan dalam perjanjian kredit.

2. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukkan secara jelas utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai Hak Tanggungan, dan uraian mengenai objek Hak Tanggungan.

3. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan setempat.

64Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hal 92.

65Ibid

4. Sertipikat Hak Tanggungan sebagai bukti adanya Hak Tanggungan yang memuat titel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

5. Tidak diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memilki objek Hak Tanggungan apabila Debitur wanprestasi.

Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut selanjutnya didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah tempat tanah yang dibebankan Hak Tanggungan berada. Untuk keperluan pendaftaran perlu disertakan pula sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Menurut Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib menyerahkan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lainnya yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang merupakan saat lahirnya Sertipikat Hak Tanggungan. Secara sistematis tata cara pendaftaran Hak Tanggungan dikemukakan sebagai berikut:66

1. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan ;

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam waktu 7 hari setelah penandatanganan pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan (Akta Pemberian Hak Tanggungan) dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan yaitu :

a. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat rangkap 2 dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan;

b. Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak tanggungan;

c. Fotokopi surat identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

d. Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek Hak Tanggungan.

66H. Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. 2007.

hal.100.

e. Lembar kedua Akta Pemberian Hak Tanggungan (Akta Pemberian Hak Tanggungan);

f. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat Hak Tanggungan;

g. Bukti pelunasan biaya pendaftaran Hak Tanggungan.

3. Kantor Pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.

4. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Surat-surat yang diperlukan bagi tanah yang sudah bersertifikat atas nama Pemberi Hak Tanggungan adalah:

a. Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan.

b. Asli sertifikat hak atas tanah.

c. Asli Akta Pemberian Hak Tanggungan.

d. Pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.

e. Bukti dipenuhinya persyaratan administrative yang didasarkan pada minimal peraturan tertulis tingkat menteri atau disetujui menteri.

5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan.

6. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan, dimana mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.

Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14

Penerbitan Sertipikat Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 14

Dokumen terkait