BAB I PENDAHULUAN
G. MetodePenelitian
3. AlatPengumpul Data
berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan 2 (dua) cara yaitu : a. Penelitian kepustakaan (library research).
72Jhony Ibrahim, Op Cit, Hal. 296.
73Ibid.
Dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa Penulis dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan bersumber pada literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan.Selain sumber hukum primer tersebut Penulis juga akan merujuk pada sumber hukum sekunder berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang mengandung komentar maupun analisis tentang penyaluran dana desa dan pemerintahan desa dan disamping itu juga Penulis menggunakan sumber hukum tertier seperti ensiklopedi, kamus dan lain-lain yang relevan dengan kajian tesis sebagai pendukung terhadap 2 (dua) rujukan yang telah disebutkan sebelumnya.
b. Penelitian lapangan (field research).
Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer tentang penyaluran dan pengawasan serta penggunaan dana desa oleh desa yang ada di sumatera utara.
Data ini diperoleh melalui wawancara dengan responden yang merupakan narasumber yang terkait dengan penelitian, seperti:
1. Beberapa Kepala desa yang ada di wilayah Provinsi Sumatera diantaranya:
Desa Kwala Begumit, Kecamatan Binjai, Batu Jongjong Kecamatan Bahorok. Desa Brandan Timur Baru, Desa Pelawi Selatan, Desa Simpang Pulau Rambung , Desa Suka Rakyat (Sukarayat).
2. Pejabat Pembuat Komitmen Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPK BUN adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA BUN/
PPA BUN/ KPA BUN untuk mengambil keputusan dan / atau melakukan
tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran Transfer ke Daerah sebagai penyalur dana desa di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Medan II
4) Analisis Data
Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic, dan kemudian dilakukan penafsiran.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui kepustakaan. Secara umum data dari pokok bahasan diawali dengan pengecekan data, inventarisasi buku-buku, peraturan perundang-undangan dan laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi dokumen. Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut diatas, maka dapat dilakukan penafsiran metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini secara holistik
BAB II
PENYELENGGARAAN DANA DESA YANG BERSUMBER DARI KEUANGAN DESA
A. Eksistensi Penyelenggaraan Desa di Era Otonomi 1. Masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Pranata hukum merupakan sarana yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang semakin dinamis dengan spektrum yang luas.
Paradigma ini memberikan ruang yang luas bagi perkembangan demokratisasi lokal, keanekaragaman daerah maupun kultur lokal. Dinamika ini menuntut pula perubahan dalam cara berhukum, yang tidak hanya dalam ranah peraturan perundang-undangan saja, namun jauh lebih luas dari itu yakni bagaimana melaksanakan hukum untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan.
Pembangunan hukum yang responsif, akomodatif, dan rasional merupakan sarana mewujudkan pemerintahan yag bersih dan berwibawa. Pembangunan hukum harus dilakukan secara pararel terhadap tiga komponen utama dalam hukum yang meliptui materi hukum, aparatur pelaksana hukum dan budaya hukum masyarakat.
Menurut Ade Saptomo74
74 Ade Saptomo, AkomodasiKeberagamankedalamPenyusunanPeraturanPerundang-Undangan, di dalamMemahamiHukum ; dariKonstruksisampaiimplementasi, Editor SatyaArinanto, danNinukTriyanti, ( Jakarta; Rajawali Press, 2009), hal. 38-39
produk peraturan perundang undangan yang saat ini selalu mendapat banyak protes dari masyarakat dianggap tidak mengakomodasi keberagaman tersebut, dan meninggalkan nilai-nilia kebersamaan. Kebersamaan itu merupakan the virtual of pancasila. Oleh sebab
itu, peratuarn tersebut telah dianggap cacat ideologis karena dianggap sudah menjauh dari ideologi/falsafah bangsa.
Pergaulan hidup dari rakyat yang bersifat desa itula sebagai sumber yang primer yang menjadi poko pangkal lahirnya Pancasila. Menurut Bung Karno, Pancasila itu jika di “Peras” hingga patisarinya, akan tinggal dasar permulaan yaitu biji embrionya pancasila yaitu gotong royong. Paham gotong royong inilah yang tidak lain adalah paham Indonesia asli, yang dirasakan sungguh-sungguh sebagai pedoman hidup dari bangsa Indonesia. Di dalam pergaulan hidup masyarakat Desa, serangkaian praktik gotong royong masih amat kuat, di mana sosialisme, demokrasi, dan nasionalisme masih terlihat di desa-desa nusantara.75
Desa dalam segala tindakan di Seluruh Indonesia ialah masyarakat asli Indonesia, di mana bangsa Indonesia dari bermacam-macam suku hidup bersama dalam sesuatu lingkungan kecil. Dilihar dari sudut ilmu sosiologi, yaitu ilmu masyarakat, maka desa itu menurut sarjana Tonnies tergolong masyarakat yang bersifat “Gemeinschaft” dimana para warga desa saling terkaitan oleh perasaan persatuan yang erat. Menurut Ter Haar, dalam buku “Inleiding tot adat recht”
Desa diartikan sebagai gerombolan manusia yang tetap dan teratur dengan pemerintahan dan kejayaan materiil dan imateriil sendiri. Selain ragam sebutan desa juga beragama sifatnya untuk penyebutan desa yang ada diwilayah nusantara;76
Sejak sesudah pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, terbentuk dan berkuasa dari tahun 1798 sampai maret 1942, dikeluarkannlah berbagai peraturan di bidang politik,ekonomi dan sosial untuk kepentingan Belanda, diantaranya
75Ibid. Hal. 41
76Surianingrat, BPHN, 1981
adalah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur desa-desa atau yang semacam desa. Secara formal, bahwa pemerintah Kolonial Belanda menyatakan mengakui dan menghormati adat istiadat dan tradisi hukum adat yang berlaku.
Namun, semua tradisi hukum adat itu hanya dapat digunakan sebagai landasan hukum bagi aneka kegiatan hukum penduduk pribumi dan sebagai hukum dasar bagi desa-desa, sepanjang tidak bertentangan dengan sistem dan kepentingan kolonial. Diantara peraturan perundang-undangan yang pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial yang mengatur tentang desa adalah:
1) Indische Staatregeling, khususnya Pasal 128 ayat (1) sampai (6);
2) Inlandsche Gemeente Ordonantie Java en Modoera, disingkat dengan I.G.O. dengan segala perubannnya;
3) Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitngewesten, disingkat dengan I.G.O.B dengan segala perubahannya;
4) Reglement op de verkiezing, de schorsing en het onslag van de hoofden der Inlandsche gemeenten op Java De Madoera dengan perubahannya;
5) Niewe regelen omtrent de splitsing en samenvoeging van desa op Java en madoera met uitzondering Van Vorsenlanden;
6) Herziene Indonesische Reglement, disingkat H.I.R atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui, disingkat R.I.B77
Berdasarkan peraturan perundang-undangan diatas, pemerintah Kolonial Hindia Belanda memberikan hak untu menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada kesatuan-kesatuan masyarakat hukum pribumi dengan sebutan Inlandsche Gemeente yang terdiri atas dua bentuk yaitu swapraja dan Desa atau yang dipersamakan dengan Desa. Daerah atau desa swapraja merupakan daerah-daerah bekas kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan yang terus kelonggaran berupa hak menyelenggarakan pemerintahan sendiri ( Zelfbestuur) berdasarkan hukum adat tradisionalnya masing-masing dengan pengawasan ketat dari penguasa Belanda
77Jimlly Asshiddqie, Gagasan Konstitusi Sosial : Institusionalsiasi dan Konstitusionalisasi Kehidupan Sosila Masyarakat Madani, (Jakarta :LP3S, 2015),hal. 245
dan dengan pembatasan-pembatasan atas hal-hal tertentu, disebut dengan nama
“landschap”78
Disamping itu, ada pula desa adat yang disamakan dengan desa, yaitu sekrang dikenal nama kesatuan masyarakat hukum adat diluar jawa, madura, dan Bali. Dalam H.I.R ( Herseine Gemeente dan Drop ( desa). Karena itu, desa di zaman hindia belanda biasa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, yang memiliki hak menyelenggarakan urusan rumah tanggannya sendiri sebagai bagian pemerintahan terbawah dalam susunan pemerintah kabupaten dan swapraja berdasarkan hukum adat masing-masing dan untuk hal-hal tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
.
79
78Ibid.
79Ibid.
.
2. Masa Pemerintahan Jepang
Pada tahun 1942, seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda jatuh ketangan Kekuasaan Tentara Jepang. Penyerahan kekuasaan hindia Belanda ke Jepang ditanda tangani di Lembang, Jawa Barat. Di masa pendudukan jepang, tradisi hukum adat tidak diganggu dan terus digunakan, sepanjang tidak merugikan tentara Jepang. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan di Hindia Belanda juga secara formal masih berlaku. Yang diubah hanya istilah kepada desa yang diseragamkan dengan “Kuco” yang tata cara pemilihan dan pemberhentiaannya diatura dalam Osamu Seirei Nomor 7 tahun 1944. Dengan perubahan itu, istilah desa berubah menjadi “ku” sedangkan “kuco” adalah kepala desa.
Susunan pemerintahan bala tentara jepang untuk Indonesia menurut Osamu Seirei terdiri atas:
1) Pucuk pimpinan pemerintahan tentara Jepang berada di tangan panglima tentara ke 16 Khusus untuk pulau Jawa; Gunsyireikan atau panglima tentara, yang disingkat Ssikoisikan;
2) Kepala pemerintahan militer disebut Gunseikan yang langsung berada di bawah Saikosikikan;
3) koordinator pemerintahan militer untuk jawa barat, jawa tengah dan jawa timur dengan sebutan Gunseibu yang bertanggungjawab di bawah Gunseiken.;
4) Gunseibu-gunseibu dijabat orang Jepang, sedangkan wakil Gunseibu dijabat orang Indonesia;
5) Gunseibu membawahi Residen yang disebut Syucokan. Keresidenan (syu) adalah pemerintahan daerah tertinggi. Para Syucokan adalah orang-orang jepang;
6) daerah Syu terdiri atas Kotamadya (si) dan Kabupaten (ken);
7) Ken dibagi lagi atas beberapa Gun ( Kewedanan);
8) Gun dibagi atas beberapa Son (Kecamatan) 9) Son dibagi atas beberap Ku (Desa )
10) Ku dibagi lagi atas beberapa Usa (Kampung)80
Berkaitan dengan peraturan tentang Desa, penguasa militer Jepang hanya mengeluarkan satu peraturan yaitu Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944).Peraturan tersebut mengatur dan mengubah pemilihan Kepala Desa (ku tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi (4) empat tahun.
3. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Pengakuan Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturrunde landschappen dan Volksgeemenschappen81
80Ibid. Hal. 346-347
81 Amin Suprihatini, PemerintahanDesadanKelurahan, (Klaten :CempakaPutih, 2007), hal.
13.
. Pengakuan Negara Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa juga dipertegas dalam ketentuan Pasal 18b (hasil amandemen II) yang berbunyi:
a) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.
b) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah
Pengakuan terhadap Desa di dalam Undang-undang ini tercantum di dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia disusun atas 3 tingkatan yaitu Provinsi, Kabupaten, (kota besar), dan Desa (kota kecil) Negara, Marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Selanjutnya dalam aturan peralihan Pasal 46 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “segala daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut UU No 1 Tahun 1945 diantaranya Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya berjalan terus sehingga diadakan pembentukan pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu”.
b. Masa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang dalam ketentuan Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
c. Masa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Pada tanggal 1 Desember 1979 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa dan sebagai pelaksana garis-garis besar haluan Negara pengaturan tentang pemerintahan Desa, agar mampu menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dalam menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa ini didasarkan atas politik stabilitas dan sentralisasi, sehingga menghambat demokratisasi masyarakat desa.82
Secara substansial Undang-undang ini sepenuhnya mencerminkan Stelsel dan pendekatan IGO dan IGOB yang memisahkan pemerintahan Desa dari pemerintahan Daerah, semestinya pemerintahan Desa menjadi bagian dari pemerintahan Daerah.Problematika hukum lain yang prinsipal terdapat dalam Undang-undang No 5 Tahun 1979 yang mendapatkan kritikan adalah
Diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan menyeragamkan kedudukan pemerintah Desa dan ketentuan adat-istiadat tang masih berlaku, maka secara otomatis semua kesatuan pemerintahan Desa yang disebut marga dihapuskan dengan perangkat-perangkatnya yang ada dan sekaligus dibentuk Pemerintahan Desa yang lingkup kekuasaan wilayahnya.
82Ibid, hal. 15
penyeragaman (uniformitas) nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, padahal dalam merumuskan arah kebijakan hukum pemerintahan Desa perlu pengakuan dan penghormatan terhadap asal usul yang bersifat istimewa pada eksistensi Desa, yakni dengan memperbolehkan penggunaan nama seperti dusun, marga, nagari, meunasah, gampong, negorij dan lain sebagainya yang mekanisme pemerintahan didasarkan pada adat istiadat masing-masing.83
Pemerintahan Desa juga dilengkapi dengan Lembaga Musyawarah Desa yang berfungsi menyalurkan pendapat masyarakat di Desa dengan memusyawarahkan rencana yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi ketetapan Desa
Sistem pemerintahan Desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang disebut dengan Pemerintahan Desa adalah Kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa dan kepala-kepala urusan yang merupakan staf membantu Kepala Desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban pemerintahan Desa.Sekretaris Desa sekaligus menjalankan tugas dan wewenang Kepala Desa sehari-hari apabila Kepala Desaberhalangan.
84
Undang-undang ini juga menyebutkan tentang Desa.Salah satu arah politik hukumnya adalah kembali memasukkan pengaturan tentang pemerintahan Desa sebagai satu kesatuan yang integral dalam undang-undang pemerintahan Daerah.
d. Masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
83AtengSyafrudindanSuprinNa‟a, RepublikDesa (PergulatanHukumTradisionaldanHukum Modern DalamDesainOtonomiDesa), (Bandung : PT. Alumni, 2010). hal. 31-32
84Widjaja, H. AW. PemerintahanDesadanAdministrasiDesaMenurutUndang-UndangNomor 5 Tahun 1979, ( Jakarta : PT Raja GrafindoPersada), 2002. hal. 4.
Disamping itu, juga telah memperbolehkan penggunaan nama yang berbeda-beda tentang Desa.
Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 huruf (o) yang bunyinya:”
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Berdasarkan pasal tersebut maka terllihat bahwa desa diberikan kemandirian dan keotonomian dalam melaksanakan pemerintahannya didaerahnya.
e. Masa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hal-hal yang penting mengatur tentang Desa adalah sebagai berikut:
a. Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
b. Pengertian Desa dan kawasan perdesaan.
c. Pembentukan, pembangunan, dan/atau penghapusan desa.
d. System penyelenggaraan pemerintahan desa dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
e. Perangkat desa.
f. Keuangan desa.
g. Kerjasama desa.
h. Penyelnggaraan, pembinaan, dan pengawasan serta pemberdayaan masyarakat desa.
Ketentuan-ketentuan tentang Desa yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ini diperinci lagi dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pengertian tentang desa diatur di dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomo 72 Tahun 2005 tentang Desa yang bunyinya:
” Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kestuan Republik Indonesia”.
Salah satu yang menarik di dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 adalah persyaratan bagi pemangku jabatan sekretaris harus diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebuah persyaratan yang belum pernah dilakukan dalam sejarah hukum pemerintahan Desa di Indonesia, mutatis mutandis pada zaman Hindia Belanda dan masa penjajahan Jepang.
f.Masa Undang- Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Lahirnya Undang-undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa masyarakat di Desa telah mendapatkan payung hukum yang lebih kuat dibandingkan pengaturan Desa di dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999 maupun Undang-undang No 32 Tahun 2004.
Pandangan sebagian besar masyarakat terhadap Undang-undang ini lebih tertuju kepada alokasi dana yang sangat besar. Padahal isi dari dari Undang-undang Desa tidak hanya mengatur prihal dana Desa tetapi mencakup hal yang sangat luas85
85 Ni‟ Matul Huda, HukumPemerintahanDesa, (Malang : Setara Press, 2015). hal. 206.
Pengertian tentang Pemerintah Desa di dalam Undang-undang ini terdapat di dalam Pasal 25 yang bunyinya :
“ Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh Perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain”.
Berlakunya Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah merencanakan Nawa Kerja Prioritas yang akan menjadi target utama dalam masa jabatan tahun 2014-2019. Sebelumnya terjadi kekisruhan antara dua Kementrian dalam tanggung jawab pelaksanaan Undang-undang Desa tersebut, yaitu Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Kekisruhan perebutan pelaksanaan desa menurut Undang-undang Desa oleh dua Kementrian tersebut di selesaikan oleh Pemerintah dengan jalan membagi kewenangan terkait Desa, urusan administrasi pemerintahan menjadi wewenang Kementrian Dalam Negeri sedangkan urusan pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat Desa menjadi wewenang Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Keputusan pembagian wewenang tersebut ditetapkan dalam rapat kabinet yang nantinya akan diatur dengan Peraturan Presiden.86
BerdasarkanUndang-Undang No.23 Tahun 2014 yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan g. Masa Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
86Ibid. Hal. 209
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urursan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas dan wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antardaerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun hubungan kerjasama antardaerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah harus juga mampu menjamin hubungan yang serasi antardaerah
dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru mewajibkan pemerintah melakukan pembinaan, yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan, memberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan dengan itu pemerintah wajib memberikan fasilitasi berupa pemberian peluang kemudahan bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dapat melaksanakan otonomi secara efektif dan efisien87
a. Urusan pemerintahan absolut;
.
Penyelenggaraan desentralisasi menurut undang-undang ini mensyarakatkan adanya pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya tetap menjadi kewenangan pemerintah, urusan pemerintah tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara.
Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni:
Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
b. Urusan pemerintahan konkuren;
adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten atau kota
87Pasal 373 Nomor 23 Tahun 2014 TentangPemerintahan Daerah
c. Urusan pemerintahan umum.
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Untuk urusan konkuren atau urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupatenatau kota dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh semua Daerah. Sedangkan Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Urusan pemerintah wajib yang diselenggaraan oleh pemerintah daerah terbagi menjadi Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten atau kota sebagaimana disebutkan diatas didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Berikut kriteria-kriteria urusan pemerintahan pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten atau kota.Untuk urusan kabupaten, menjadi salah satu tanggungjawab pemerintah daerah kabupaten untuk melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap terlaksanannya pemerintahan desa
B. Pemerintahan Desa
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,