• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengambilan Contoh

C. albicans pada contoh Lokasi pengambilan

pengambilan contoh

Dugaan koloni yang diisolasi dari contoh Susu Usapan vagina Usapan

tangan

Pelicin Air Urin

P. Kebon Pedes C. abicans C. albicans - C. albicans - - P. Cisarua C. albicans - - C. albicans - - P. Cipanas C. albicans C. Pseudotropicalis - - - -

P. Kunak - - - - - -

Catatan: P= Peternakan. Pelicin yang digunakan di Peternakan Kebon Pedes, Cisarua, dan Cipanas adalah mentega. Pelicin yang digunakan di Peternakan Kunak adalah vaselin

Tabel 6 Jumlah C. albicans pada contoh-contoh yang diperiksa

C. albicans pada contoh Lokasi pengambilan contoh S UV UT P A U Ca Ca Ca Ca Ca Ca P. Kebon Pedes 3 1 5 1 2 0 2 2 1 0 1 0 P. Cisarua 3 1 5 0 2 0 1 1 1 0 1 0 P. Cipanas 3 1 5 0 2 0 1 0 1 0 1 0 P. Kunak 3 0 5 0 2 0 1 0 1 0 1 0 Total 12 3 20 1 8 0 5 3 4 0 4 0

Catatan : P. Peternakan. S= Susu, UV= Usapan vagina, UT= Usapan tangan, P= Pelicin, A= Air, U= Urin, Ca= C. albicans

Berdasarkan Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa dari keempat peternakan yang menjadi lokasi pengambilan contoh hanya peternakan Kunak yang tidak diperoleh C. albicans. Terdapat dua spesies Candida yaitu C. albicans dan C. pseudotropicalis yang berhasil diisolasi dari contoh-contoh yang diambil dari peternakan Kebon Pedes, Cisarua, dan Cipanas. Namun, C. albicans tetap sebagai khamir yang mendominasi. Spesies Candida merupakan flora normal saluran kelamin, kulit (termasuk kuku dan ambing), dan membran mukosa, seperti mulut, vagina atau dubur (Hanafi et al. 2010). Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa susu, mukosa vagina dan pelicin merupakan media yang paling rentan untuk dijadikan media hidup bagi C. albicans. Diisolasinya khamir C. albicans dari contoh susu, usapan vagina, dan pelicin diatas sejalan dengan laporan yang

disampaikan oleh Kivaria dan Noordhuizen (2006) yang menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi C. albicans dari 1 % pada tahun 1971 menjadi 17 % pada tahun 2002 untuk kasus mastitis sapi di Tanzania.

Lebih dari tiga perempat kasus dari mastitis mikotik disebabkan oleh spesies Candida, seperti C. albicans, C. glabrata, C. kefyr, C. tropicalis, C. krusei, dan C. parapsilosis (Lagneau et al. 1996). Sedangkan kasus aborsi mikotik yang disebabkan oleh C. albicans telah dilaporkan terjadi pada sapi Holstein dengan atau tanpa penyakit reproduksi (Garoussi et al. 2007).

Susu sapi merupakan salah satu produk asal ternak yang paling sering dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, jika susu tersebut memiliki mutu yang kurang baik dan telah tercemar oleh berbagai mikroorganisme patogen seperti spesies Candida, khususnya C. albicans, maka akan berakibat terhadap kesehatan manusia. Spesies Candida yang tercerna oleh manusia dalam jumlah yang besar dari beberapa produk, termasuk susu, dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti kandidiasis vagina, kandidiasis usus, dan sariawan (Tafarosh dan Purohit 2008; Agboke et al. 2011).

Kadar Hambat Terendah

Penetapan MIC dapat dilakukan dengan menggunakan metode agar difusi maupun agar dilusi. Metode agar difusi hanya dapat mengetahui kemampuan daya hambat suatu anticendawan dengan melihat adanya zona hambat yang terbentuk. Sedangkan, metode agar dilusi dapat dilakukan dan mengetahui kadar terendah dari anticendawan yang efektif dalam menghambat pertumbuhan suatu cendawan (Kusumaningtyas et al. 2008). MIC suatu anticendawan ditentukan berdasarkan kadar terendah yang dapat menghambat pertumbuhan koloni cendawan sebanyak 80% (Koga et al. 2008).

Sebagai uji pendahuluan, dilakukan uji zona hambat untuk mengetahui kisaran kadar anticendawan yang mungkin efektif menghambat pertumbuhan isolat khamir C. albicans yang diperiksa. Efektifitas anticendawan diketahui dengan terbentuknya zona hambat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Namun uji ini tidak dapat menentukan peka atau resistennya anticendawan yang digunakan karena besar kecilnya diameter zona hambat yang terbentuk

29

dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya ketebalan media, waktu pradifusi, dan kerapatan inokulum. Jadi, metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan MIC (Rostinawati 2009).

Gambar 14 Zona hambat yang dibentuk oleh anticendawan

Kadar anticendawan yang digunakan pada tahap awal uji zona hambat ini merupakan kadar anticendawan yang tergolong peka, yaitu ≤ 0,125 µg/mL untuk ketokonazol, 0,125 µg/mL untuk itrakonazol, 0,25 µg/mL untuk flukonazol, dan ≤ 0,25 µg/mL untuk griseofulvin (Graybill et al. 1998; Citak et al. 2005; Koga et al. 2008; Noreva 2012). Kemudian kadar dari masing-masing anticendawan ini dinaikkan sampai terbentuk zona hambat pada masing-masing isolat. Kadar terbentuknya zona hambat untuk masing-masing isolat C. albicans terpapar pada Tabel 7 dibawah ini.

Tabel 7 Kadar terbentuknya zona hambat pada ketokonazol, itrakonazol, flukonazol dan griseofulvin terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh

Lokasi Contoh

Anticendawan

KTK ITK FLU GRIS (µg/mL)

Peternakan Kebon Pedes

Usapan vagina 8 16,0 4,0 64,0

Pelicin 0,5 0,125 4,0 64,0

Peternakan Cisarua Susu 2,0 0,125 0,25 4,0 Peternakan Cipanas Susu 0,125 0,25 32,0 8,0 Catatan: KTK= ketokonazol; ITK= itrakonazol; FLU= flukonazol; GRIS= griseofulvin

Uji selanjutnya adalah uji untuk menentukan MIC dengan menggunakan metode dilusi agar. Setiap anticendawan yang diuji terdiri dari empat kadar anticendawan, yaitu 0,125 µg/mL, 0,5 µg/mL, 2 µg/mL, dan 8 µg/mL untuk ketokonazol, 0,125 µg/mL, 0,5 µg/mL, 4 µg/mL, dan 16 µg/mL untuk itrakonazol, 0,25 µg/mL, 2 µg/mL, 8 µg/mL, dan 32 µg/mL untuk flukonazol, dan 0,25 µg/mL, 4 µg/mL, 8 µg/mL, dan 64 µg/mL untuk griseofulvin. Setiap anticendawan memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap C. albicans dan dari data yang diperoleh terbukti adanya perbedaan zona hambat yang terbentuk. Oleh karena itulah, terdapat perbedaan kadar yang digunakan untuk masing-masing anticendawan. MIC yang diperoleh ditentukan dari koloni cendawan yang hanya tumbuh sebanyak ≤ 20 % jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak dipaparkan anticendawan (Koga et al. 2008). Nilai MIC anticendawan terhadap C. albicans yang diperoleh dari contoh tertera pada Tabel 8 dibawah ini.

Tabel 8 Nilai MIC ketokonazol, itrakonazol, flukonazol dan griseofulvin terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh

Lokasi Contoh

Anticendawan

KTK ITK FLU GRIS (µg/mL)

Peternakan Kebon Pedes

Usapan vagina 2,0 16,0 8,0 8,0

Pelicin 2,0 0,5 8,0 64,0

Peternakan Cisarua Susu 0,125 16,0 8,0 64,0 Peternakan Cipanas Susu 0,125 4,0 32,0 64,0 C. albicans (Referensi) ≤ 0,125 – 4 (Citak et al. 2005) 0,125 – 4 (Koga et al. 2008) 0,25 – 8 (Graybill et al. 1998; Citak et al. 2005) 800 (Sehgal et al. 2005)

Catatan: KTK= ketokonazol; ITK= itrakonazol; FLU= flukonazol; GRIS= griseofulvin

Berdasarkan Tabel 8 diatas, nilai MIC yang didapatkan untuk ketokonazol masih tergolong peka terhadap semua isolat yang diuji dan nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Citak et al. (2005) yang menyatakan bahwa nilai MIC ketokonazol yang tergolong peka terhadap C. albicans berada pada kisaran ≤ 0,125 - 4 µg/mL. Hal yang serupa juga terjadi pada griseofulvin. Semua isolat yang diuji tergolong peka karena nilai MIC yang didapatkan pada penelitian ini jauh berada dibawah nilai MIC yang didapatkan pada penelitian Sehgal et al.

31

(2005) yaitu sebesar 800 µg/mL. Sedangkan untuk itrakonazol terdapat isolat C. albicans yang tergolong resisten karena nilai MICnya untuk itrakonazol adalah ˃ 4 µg/mL. Hal serupa juga terdapat pada flukonazol karena ada salah satu isolat C. albicans yang tergolong resisten dengan nilai MIC ˃ 8 µg/mL. Nilai ini tergolong resisten karena berdasarkan Graybill et al. (1998) dan Citak et al. (2005) nilai MIC flukonazol yang dapat dikatakan peka terhadap C. albicans berada pada kisaran 0,25 - 8 µg/mL.

Ketokonazol, itrakonazol, dan flukonazol merupakan anticendawan yang berasal dari golongan azol. Ketokonazol termasuk dalam kelompok imidazol, sedangkan itrakonazol dan flukonazol termasuk dalam kelompok triazol. Kerja anticendawan ini menghambat biosintesis ergosterol dengan membatasi atau menghalangi kerja enzim 14-α-demithilase, yakni enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 dan dibutuhkan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol menyebabkan fluiditas membran sehingga menurunkan aktifitas enzim yang berkaitan dengan membran dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas, menghambat pertumbuhan dan perbanyakan sel (Ford 2004). Ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil farmakologik yang sama. Sedangkan untuk flukonazol memiliki struktur kimia yang unik karena ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilitasnya yang lebih rendah. Secara umum, perbedaan penting antara kelompok imidazol dan triazol terletak pada afinitasnya. Triazol memiliki afinitas yang lebih besar terhadap enzim sitokrom P-450 dibandingkan dengan imidazol (Herman 1996).

Setidaknya ada tiga mekanisme resistensi yang dikenal terhadap golongan azol, yaitu perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase, perubahan ∆5-6 -sterol desaturase, dan ketergantungan energy (energy dependent) yang ada pada mekanisme efflux pumps (Pinjon et al. 2003). Perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase terjadi saat adanya mutasi pada gen ERG11 (kode untuk enzim 14-α-demethylase). Pengkodean gen pada enzim ini mencegah terjadinya pengikatan pada bagian enzimatik sehingga menyebabkan penurunan kadar obat pada sel sasaran. Ergosterol merupakan sterol utama membran sel cendawan dan seringkali menjadi sasaran kerja bagi obat-obat anticendawan. Resistensi terjadi karena komposisi sterol ini mengalami perubahan sehingga menyebabkan

berkurangnya penyerapan agen anticendawan ke dalam sel. Energi yang ada pada mekanisme efflux pumps merupakan karakteristik terjadinya resistensi pada bakteri, khamir, dan sel mamalia. Mekanisme ini memberikan kemampuan untuk memompa azol keluar dari sel target (Kanafani dan Perfect 2008; Pinjon et al. 2003).

Mekanisme resistensi C. albicans terhadap ketokonazol disebabkan karena kemampuan sel C. albicans mengurangi penimbunan ketokonazol di dalam sel dengan cara meningkatkan nonesterified sterol sehingga menyebabkan penurunan rasio fosfolipida/sterol yang merupakan komponen utama membran sel, menaikkan Candida Drug Resistance1 mRNA (CDR1 mRNA) yang berfungsi sebagai sistem pengeluaran obat, mengubah 14α-demethylase, dan mengubah ∆5,6 -sterol desaturase (Bossche, 1997). Mekanisme-mekanisme tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan asam amino sehingga membutuhkan kadar anticendawan yang tinggi agar dapat menghambat ataupun membunuh sel C. albicans (Kanafani dan Perfect 2008).

Munculnya galur C. albicans yang resisten terhadap obat anticendawan azol terjadi karena pengobatan flukonazol jangka panjang atau sebagai propilaksis. Beberapa mekanisme resistensi flukonazol dapat timbul pada isolat tunggal C. albicans. Ekspresi tinggi CDR1p merupakan mekanisme resistensi yang paling sering dilaporkan dari C. albicans terhadap obat anticendawan golongan azol dan ekspresi tinggi MDR1p merupakan mekanisme resistensi yang secara khusus terjadi pada flukonazol. Dua mekanisme resistensi lain yang dilakukan C. albicans terhadap flukonazol adalah perubahan pada enzim demethylase dan penurunan flukonazol intraseluler. Perubahan enzim 14-α-demethylase diatur oleh gen ERG11 dan pada proses ini terjadi mutasi dan ekspresi tinggi ERG11. Mekanisme ini menghasilkan peningkatan produksi enzim yang menyebabkan berkurangnya kemampuan afinitas sitokrom P-450 terhadap flukonazol. Penurunan flukonazol intraseluler berhubungan dengan ekspresi tinggi CDR1 dan CDR2 (gen pengkode ATP Binding Cassette (ABC)) dan dari MDR1 dan FLU1 yang merupakan gen pengkode untuk fasilitator utama (Pinjon et al. 2003; Goldman et al. 2004).

33

Kombinasi antara granulocyte macrophage colony-stimulating factor (sitokin) dan anticendawan flukonazol dapat meningkatkan efek terapi dari flukonazol tersebut terhadap sel cendawan, khususnya C. albicans. Hal ini terjadi karena GM-CSF ini berperan dalam meningkatkan fungsi fagositik dan metabolisme oksidatif intraseluler sehingga kematian sel cendawan tercapai dengan maksimal. Penerapan kombinasi antara sitokin dan flukonazol ini dapat dilakukan dengan pemberian sel darah putih pada pasien yang memiliki gangguan sistem pertahanan. Monosit merupakan komponen penting pada sistem pertahanan yang memiliki peranan dalam meningkatkan kerja sitokin. Ketika tubuh terpapar oleh cendawan, monosit dirangsang untuk meningkatkan kerjanya dalam memproduksi asam arakidonat dan sitokin (Kothavade et al. 2010; Baltch et al. 2001).

Itrakonazol yang merupakan turunan dari triazol memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan flukonazol dan telah terbukti efektif untuk C. albicans. Resistensi klinis itrakonazol belum menjadi masalah yang besar saat penggunaan itrakonazol masih belum meluas dibandingkan flukonazol. Namun, ternyata dengan hilangnya fungsi CdERG3 dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap itrakonazol. Analisis pada sterol membran menggambarkan adanya kerusakan pada enzim ∆5,6-sterol desaturase (CdERG3p) yang dikonfirmasi oleh adanya mutasi pada alel (CdERG3) (Pinjon et al. 2003).

Griseofulvin merupakan golongan miscellaneous dari suatu anticendawan dan menjadi satu-satunya obat dari jenis golongan ini (Ali 2008). Obat ini tidak larut dalam air dan bersifat termostabil. Penyerapan dapat ditingkatkan bila diberikan bersama makanan berlemak. Perubahan morfologik yang menonjol sebagai akibat dari kerja griseofulvin adalah produksi sel-sel inti ganda saat obat menghambat mitosis sel cendawan dengan pemutusan berkas mitotik melalui interaksi mikrotubulus terpolimerasi. Griseofulvin juga mengganggu sistem pengangkutan di dalam sel yang tergantung pada adanya energi (energy-dependent transport system). Dengan demikian, keberadaan griseofulvin akan menyebabkan tingkat metabolisme di dalam sel meninggi yang mengakibatkan sel kehabisan energi untuk melakukan pertumbuhan lebih lanjut. Spektrum kerja obat ini hanya efektif untuk cendawan-cendawan Dermatofita, seperti Microsporum,

Tricophyton, dan Epidermophyton. Sedangkan pada cendawan yang tidak peka, seperti C. albicans, memiliki sistem metabolisme yang singkat dan tidak membutuhkan energi (Herman 1996; Bossche 1997).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, isolat C. albicans masih tergolong peka terhadap griseofulvin karena nilai MIC yang didapatkan berada jauh dibawah nilai MIC yang ditetapkan oleh Sehgal et al. (2005). Hal ini terjadi dimungkinkan karena sel C. albicans yang diuji masih muda sehingga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap griseofulvin (Herman 1996). Resistensi C. albicans terhadap griseofulvin terjadi karena sistem metabolisme C. albicans yang tidak membutuhkan energi, selain itu untuk C. albicans yang telah dewasa, griseofulvin hanya bersifat fungistatik sehingga mengakibatkan C. albicans masih mampu bertahan terhadap kerja griseofulvin (Herman 1996; Bossche 1997).

Resistensi C. albicans terhadap anticendawan yang diperoleh pada penelitian ini paling banyak ditemukan pada contoh susu. Hal ini terjadi dimungkinkan karena penggunaan anticendawan ataupun antibiotika yang tidak tepat pada kasus mastitis subklinis. Selain itu, keadaan sistem pertahanan yang kurang baik menjadi salah satu faktor khamir tahan atau relatif tahan terhadap obat anticendawan. Oleh karena itu, para peternak diharapkan lebih memperhatikan ketepatan dalam penggunaan antibiotika, baik dari segi dosis, tujuan, maupun caranya. Sistem pertahanan yang kurang baik pada sapi dapat dicegah dengan cara pemberian nutrisi secara teratur dan hindari keadaan yang akan mengakibatkan sapi tersebut mengalami cekaman.

Selain pada contoh susu, pada penelitian ini juga ditemukan C. albicans pada contoh usapan vagina dan pelicin yang digunakan saat melakukan pemerahan. Ditemukannya C. albicans pada contoh-contoh tersebut menjelaskan bahwa peternakan yang menjadi lokasi pengambilan contoh pada penelitian ini masih menggunakan pengelolaan pemeliharaan yang kurang baik. C. albicans yang berada di organ reproduksi sapi perah dapat menyebabkan terjadinya aborsi. Oleh karena itu, higiene dan sanitasi di peternakan harus sangat diperhatikan, terutama bagi sapi yang sedang menjalani masa kebuntingan.

Pelicin yang digunakan saat pemerahan dapat menjadi media berkembangbiaknya bakteri maupun cendawan sehingga dikhawatirkan sisa

35

pelicin tersebut masih menempel pada putting. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, maka ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya mastitis. Sebaiknya saat melakukan pemerahan tidak dianjurkan menggunakan pelican karena selain akan menyebabkan mastitis, juga akan mencemari susu yang telah diperah.

BAB 5

Dokumen terkait