• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Alergi

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya. World Allergy Organization (WAO) menunjukkan prevalensi alergi terus meningkatkan dengan angka 30-40% populasi dunia. Di Indonesia sendiri, walaupun belum ada angka pastinya, namun beberapa peneliti memperkirakan bahwa peningkatan kasus alergi di Indonesia mencapai 30% pertahunnya. Anak usia sekolah lebih 40% mempunyai 1 gejala alergi, 20% mempunyai asma, 6 juta mempunyai dermatitis (alergi kulit). Penderita hay fever lebih dari 9 juta orang (Anindya, 2013).

Alergi terjadi melalui tahap-tahap aktivasi sel-sel imunokompeten, aktivasi sel-sel struktural dan aktivasi sel-sel mast, eusinofil dan basofil, reaksi mediator dengan target organ dan tahap timbulnya gejala (Kapsenberg dan Kalinski, 2003). Alergen yang berhasil masuk tubuh akan diproses oleh antigen presenting cells (APC). Peptida alergen yang dipresentasikan oleh APC menginduksi aktivasi limfosit T. aktivasi limfosit T oleh APC yang memproses alergen akan mengaktivasi limfosit Th2 untuk memproduksi sitokin-sitokinnya (Kapsenberg dan Kalinski, 2003).

Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan alergi serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun tersebut walaupun bersifat merusak, berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh. Bila suatu protein asing masuk berulangkali kedalam aliran darah seorang yang hipersensitif, maka limfosit B akan membentuk antibodi IgE. IgE mengikat diri pada membran sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membran sel mast. Sejumlah zat perantara dilepaskan, yakni histamin bersama serotonin, bradikinin dan asam arakidonat, yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat-zat ini menarik makrofag dan neutrofil ketempat infeksi untuk memusnahkan sel asing tersebut. Disamping itu juga mengakibatkan beberapa gejala antara lain bronkokonstriksi, vasodilatasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. Mediator tersebut secara langsung atau melalui susunan saraf otonom menimbulkan bermacam-macam penyakit alergi penting, seperti asma, rinitis alergi (hay fever) dan eksim.

Gejala reaksi alergi tergantung pada lokasi dimana reaksi alergen-antibodi berlangsung, misalnya di hidung (rinitis alergi), dikulit (eksim, urtikaria = biduran, kaligata), mukosa mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma). Gejala tersebut juga dapat timbul bersamaan waktu diberbagai tempat, misalnya pada asma, demam merang dan eksim.

Penggolongan

Reaksi alergi dapat digolongkan berdasarkan prinsip kerjanya dalam 4 tipe hipersensitivitas, yakni tipe I-IV.

Tipe I

Hipersensitivitas tipe I merupakan suatu respon jaringan yang terjadi secara cepat secara khusus hanya dalam bilangan menit setelah terjadi interaksi antaraalergen dengan antibodi IgE yang sebelumnya berikatan pada permukaan sel mast dan basofil pada pejamu yang tersensitisasi. Bergantung pada jalan masuknya hipersensitivitas tipe I dapat terjadi sebagai reaksi lokal yang benar-benar mengganggu misalnya rinitis alergi, asma dan anafilaksis.

Banyak reaksi tipe I yang terlokalisasi mempunyai dua tahap yang ditentukan secara jelas yaitu respon awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular dan spasme otot polos yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5 hingga 30 menit setelah terpajan oleh suatu alergen dan menghilang setelah 60 menit dan kedua reaksi fase lambat yang muncul 2 hingga 8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eusinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel mukosa.Sel mast dan basofil merupakan inti dari terjadinya hipersensitivitas tipe I (Robbins, 2007).

Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Antigen tersebut dapat merupakan molekul intrinsik normal sebagai membran sel atau matriks ekstraseluler atau dapat merupakan antigen eksogen yang diadsorbsi

misalnya metabolit obat. Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme yaitu lisis langsung atau opsonizasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis melalui kompleks penyerang membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen C3b teropsonisasi rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit dapat menyebabkan fagositosis gagal. Hal ini terjadi karena adanya pelepasan enzim lisosom eksogen dan metabolit toksik misalnya sindrom Goodpasture. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi terjadi pada keadaan reaksi transfusi, anemia hemolitik dan reaksi obat (Robbins, 2007).

Tipe III

Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigen-antibodi, diikuti dengan aktivasi komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklir.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan virus atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks antigen-antibodi terbentuk selama berlangsungnya berbagai respon imun dan menunjukkan mekanisme pembersihan antigen yang normal. Kompleks imun patogen terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam. Tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung dan pembuluh darah kecil, contohnya pada serum sickness akut penyakit kompleks imun sistemik (Robbins, 2007).

Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV disebut juga imunitas seluler yang merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus serta agen ekstrasel seperti fungi, protozoa dan parasit. Namun proses ini dapat pula menyebabkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal maupu sebagai respon terhadap antigen sendiri pada penyakit autoimun. Contoh lain reaksi hipersensitivitas seluler adalah sesuatu yang disebut dengan sensitivitas kulit kontak terhadap bahan kimiawi seperti poison dan penolakan graft. Oleh karena itu hipersensitivitas tipe VI diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi.

Bentuk alergi tipe I s/d III berkaitan dengan imunoglobulin dan imunitas humoral (cairan tubuh), artinya ada hubungan dengan plasma. Hanya tipe IV berdasarkan imunitas seluler (limfosit T) (Robbins, 2007).

Dokumen terkait