• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria

Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih agar hubungan tuan tanah – penggarap menjadi lebih menguntungkan penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undang- undang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum (Tjondronegoro, 1999).

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa masalah penguasaan dan macam-macam hak atas tanah dalam UUPA 1960 diatur dalam pasal 4, pasal 16, dan pasal 53 yang menyebutkan macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri ma upun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang dan

peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak- hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk hapus dalam waktu yang singkat (Subekti dalam Sutisna, 2001).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya, Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195 KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha milik penduduk untuk kawasan wisata (Suhendar dan Winarni, 1998).

Travis dalam Pendit (1986) menyatakan dampak dari pariwisata adalah perusakan sumber peradaban, hilangnya kegunaan tanah, dan urbanisasi yang meningkat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metera (1996), alih fungsi tanah pertanian menjadi kawasan wisata mengakibatkan tiga hal yaitu :

19

1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan.

2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan untuk membeli tanah lagi.

3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun kepemilikan atas tanah.

Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah.

Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di perdesaan (Fauzi, 1999).

Perubahan fungsi tanah dari alat produksi untuk konsumsi si penggarap menjadi alat produksi untuk surplus maksimal yang menyebabkan tingkat eksploitasi tinggi pada faktor produksi yaitu tanah dan tenaga kerja. Keadaan ini

terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya. Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa imbalan (Suhendar dan Winarni, 1998).

Kemudian Suhendar dan Winarni (1998) juga menjelaskan bahwa perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke masyarakat. Scott (1989) menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar.

Menurut Wiradi (2000), terdapat perbedaan konsep antara pemilikan dan penguasaan lahan. Konsep “kepemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal. Hal ini berarti dalam penguasaan lahan terdapat undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut. Misalnya, seseorang mempunyai lahan yang

21

terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik komunal.

Konsep “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Hal ini merujuk pada cara seseorang atau rumahtangga pertanian menguasai atau mengusahakan lahan. Apakah ia mengusahakan lahan miliknya sendiri atau mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok, tanah bebas sewa, tanah serobotan, atau tanah liar.

Perubahan struktur agraria dapat mengubah pelapisan dalam masyarakat, seperti yang dikatakan Sorokin dalam Soekanto (1987) menjelaskan dasar adanya pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota masyarakat. Soekanto (1987) memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam pelapisan masyarakat, yaitu :

1. Ukuran kekayaan yang dapat dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga seperti mobil, rumah, pakaian, dan barang-barang mewah lain.

2. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang tertinggi berada pada lapisan atas.

3. Ukuran kehormatan. Ukuran ini indikatornya adalah penghormatan kepada orang-orang yang disegani oleh masyarakat, biasanya pada masyarakat tradisional.

Ukuran ilmu pengetahuan. Dipakai pada masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Biasanya orang-orang hanya melihat gelar kesarjanaan untuk mengukur lapisan yang berdasarkan ilmu pengetahuan.

2.1.4 Kelembagaan

Konsep kelemb agaan menurut Soekanto (1987) adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok yang berada pada masyarakat. Koentjaraningrat (1980), mengajukan istilah lain untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan memproduksi dan mendistribusikan harta benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute (suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khas, biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan).

Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat.

Kelembagaan merupakan salah satu bentuk abstraksi dari struktur sosial. Dengan demikian perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai pergantian-pergantian pada struktur sosial melalui dimensi waktu. Struktur sosial dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang (Harper dalam

Sutisna, 2001). Untuk lebih jelas melihat proses terbentuknya kelembagaan dapat dilihat pada gambar 1.

23

Hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, meski demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi dan tukar-menukar merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral daripada undang-undang dan perjanjian resmi (Hayami dan Kikuchi, 1987). Kelembagaan perdesaan mengalami tantangan berat di bawah arus modernisasi. Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep

dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin merangsang hubungan komersial di perdesaan. Namun, ekonomi dan kelembagaan tradisional belum merata kesiapannya dalam menerima hubungan komersial tersebut. Hal lain yang mengikis kelembagaan di perdesaan adalah pelaksanaan revolusi hijau (Tjondronegoro, 1999).

Salah satu lembaga ekonomi (institut) di desa adalah Lembaga Perkreditan Desa. Rata-rata lembaga ekonomi di desa mensyaratkan adanya

Gambar 1. Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat

Peralatan dan

Perlengkapan PendukungPersonel

Kelakuan Berpola Sistem Norma

agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus dilengkapi jaminan (agunan). Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa.

Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo (2000) dibagi ke dalam tiga model, yaitu:

1. Model Enklave, dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan. Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel, melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel.

2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau mereka tinggal di homestay.

3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual, yang memilih atraksi menurut selera pribadi.