• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)"

Copied!
141
0
0

Teks penuh

(1)

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

OLEH : NONOS MAFIANOS

A14201002

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

NONOS MAFIANOS. DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN. Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan MURDIANTO).

Pada tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, sehingga sektor pariwisata menjadi sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara. Pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, dimana keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan. Pengembangan wisata yang membutuhkan lahan dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan struktur agraria masyarakat lokal, perubahan kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal.

(3)

program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur.

Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang sekarang dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal. Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan yang tergolong luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi

(4)

salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.

Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong.

Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah pembangunan Kota Bunga yaitu komersil, dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong.

Peluang usaha di sektor wisata setelah pembangunan Kota Bunga ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuk i masyarakat lokal adalah sebagai buruh pencabut rumput di Kota Bunga.

(5)
(6)

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

SKRIPSI

Se bagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(7)

ii Judul : Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

Nama : Nonos Mafianos NRP : A14201002

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Murdianto, MSi. NIP. 131 999 962

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698

(8)

iii

iii

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (KASUS DI SEKITAR KAWASAN PARIWISATA KOTA BUNGA, DESA SUKANAGALIH, KECAMATAN PACET, KABUPATEN CIANJUR, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2006

(9)

iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 20 April 1983. Riwayat pendidikan penulis diawali dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga 1995. Pada tahun 1995 hingga tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Rangkasbitung. Selama tiga tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian.

(10)

v

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjau an pustaka yang bekaitan dengan kebijakan kepariwisataan, perubahan struktur agraria, kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini; Bab IV berisi gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi kesimpulan dan saran yang direkomendasikan peneliti.

Laporan skripsi ini penulis persembahkan dengan penuh pengharapan semoga cakrawala keilmuwan semakin memperkaya jiwa para pembaca dan semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut kehidupan petani dan masyarakat desa hutan.

Bogor, Januari 2006

(11)

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

OLEH : NONOS MAFIANOS

A14201002

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(12)

RINGKASAN

NONOS MAFIANOS. DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN. Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat. (Di bawah bimbingan MURDIANTO).

Pada tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, sehingga sektor pariwisata menjadi sektor andalan untuk menghasilkan devisa negara. Pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, dimana keberadaan lahan di perdesaan memiliki peranan penting. Selain rumahtangga petani, terdapat juga pemerintah dan pemilik modal yang memiliki kepentingan atas lahan. Pengembangan wisata yang membutuhkan lahan dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria masyarakat lokal. Maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perubahan struktur agraria masyarakat lokal, perubahan kelembagaan masyarakat lokal, dan menganalisis ada atau tidak adanya peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal.

(13)

program SPSS versi 11.0. Sementara itu, data hasil wawancara dirangkum dan diorganisasikan sesuai kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah petani pemilik lahan yang sekarang dibangun Kota Bunga. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa awalnya Kota Bunga bernama Taman Mawar dengan luas wilayah sekitar 40 ha. Sekitar tahun 1996, nama tersebut berubah menjadi Kota Bunga. Pembangunan Kota Bunga diatur oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Cianjur.

Sebelum tahun 1993, lahan-lahan yang sekarang dibangun fasilitas pariwisata Kota Bunga masih dimiliki petani. Lahan-lahan tersebut sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan tempat tinggal. Pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga. Perubahan itu bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan yang tergolong luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji statistik Korelasi

(14)

salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan. Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan.

Sebelum pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, sebagian besar masyarakat Desa Sukanagalih menggantungkan hidupnya dari hasil bertani. Hampir setiap warga kampung terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Kegiatan bertani ini dilakukan secara bersama-sama dan saling tolong menolong antar tetangga, mulai dari kegiatan menanam, memberantas hama, memperbaiki saluran air, hingga panen. Tujuan bertani semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar (subsisten). Maka kegiatan-kegiatan ini menjadi ciri khas sifat kelembagaan masyarakat Desa Sukanagalih yaitu gotong royong.

Setelah adanya pembangunan fasilitas pariwisata Kota Bunga, masyarakat Desa Sukanagalih mengalami perubahan kelembagaan dalam bertani. Sifat kelembagaan setelah pembangunan Kota Bunga yaitu komersil, dimana segala sifat kerja atau aktivitas dinilai dengan uang. Berbeda dengan sifat kelembagaan sebelum pembangunan fasilitas pariwisata, masyarakat masih bersedia membantu tetangganya bertani dengan dasar tolong menolong.

Peluang usaha di sektor wisata setelah pembangunan Kota Bunga ternyata rendah. Peluang usaha yang dapat dimasuki masyarakat lokal yaitu usaha membuka rumah makan dan jasa angkutan, baik angkutan kendaraan beroda empat maupun kendaraan beroda dua. Peluang kerja yang ada pun rendah. Peluang kerja yang dapat dimasuk i masyarakat lokal adalah sebagai buruh pencabut rumput di Kota Bunga.

(15)
(16)

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG

USAHA DI PERDESAAN

(Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

SKRIPSI

Se bagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN

pada

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

(17)

ii Judul : Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)

Nama : Nonos Mafianos NRP : A14201002

Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ir. Murdianto, MSi. NIP. 131 999 962

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M. Agr NIP. 130 422 698

(18)

iii

iii

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (KASUS DI SEKITAR KAWASAN PARIWISATA KOTA BUNGA, DESA SUKANAGALIH, KECAMATAN PACET, KABUPATEN CIANJUR, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Januari 2006

(19)

iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak M. Masjkur Iljas dan Ibu Yeti Sumiati. Penulis dilahirkan di Kota Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 20 April 1983. Riwayat pendidikan penulis diawali dengan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 4 Rangkasbitung pada tahun 1989 hingga 1995. Pada tahun 1995 hingga tahun 1998 penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 4 Rangkasbitung. Selama tiga tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikan ke SMU Negeri 1 Rangkasbitung yaitu pada tahun 1998 sampai dengan 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian.

(20)

v

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan skripsi merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Adapun uraian isi dari laporan penelitian ini adalah Bab I menguraikan latar belakang dari penelitian ini; Bab II Mencakup tinjauan-tinjau an pustaka yang bekaitan dengan kebijakan kepariwisataan, perubahan struktur agraria, kelembagaan, peluang usaha, pelapisan sosial, dan marginalisasi petani; Bab III menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian ini; Bab IV berisi gambaran lokasi penelitian; Bab V, Bab VI, Bab VII, Bab VIII merupakan analisis dan pembahasan masalah penelitian; dan Bab IX Merupakan Bab yang berisi kesimpulan dan saran yang direkomendasikan peneliti.

Laporan skripsi ini penulis persembahkan dengan penuh pengharapan semoga cakrawala keilmuwan semakin memperkaya jiwa para pembaca dan semakin mendorong kita untuk selalu belajar. Penulis juga mengharapkan bahwa tulisan ini dapat menggugah kepekaan kita tentang fakta sosial menyangkut kehidupan petani dan masyarakat desa hutan.

Bogor, Januari 2006

(21)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam pelaksanaan dan penulisan Penelitian ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak, baik itu bantuan moril maupun materiil. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

• Ir. Murdianto, MSi sebagai Dosen Pembimbing Skripsi atas dorongan dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi.

• Ir. Said Rusli, MA atas kesediannya menjadi Penguji Utama pada saat ujian skripsi dan Ir. Dwi Sadono, MSi yang bersedia menjadi Dosen Penguji Komisi Pendidikan Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.

• M. Masjkur Iljas dan Yeti Sumiati orang tua penulis atas kasih sayang dan dukungannya selama ini. Selain itu juga kepada Nonih Rostini dan Agung Suryandaru yang merupakan saudari dan ipar atas bantuannya memfasilitasi kelancaran skripsi.

• Wydia Fermata, SP; Rizal Razak, SP; Dewi Lestari, SP; Santi Setiawati; Cecilia Evita; Dini Harmita; Retno Puji Astuti; Telly Imelda, SP yang telah membantu proses editing dan kelancaran pelaksanaan ujian skripsi.

• Martua Sihaloho, SP, MSi; Eko Dafid Afianto, SP; Wawuk Kristian Wijaya, SP; Wijanarko, SP; dan Ahmad Solihin, SPi untuk semua bantuan moril dan materiil, serta diskusi yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi. • Masyarakat Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur,

(22)

vii

vii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ...v DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ...xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Perumusan Masalah ...7 1.3 Tujuan Penelitian... 9 1.4 Manfaat Penelitian... 10 1.5 Batasan Penelitian... 10

BAB II PENDEKATAN TEORITIS...11 2.1 Tinjauan Pustaka ...11

2.1.1 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang

Pembangunan Fasilitas Pariwisata... 11 2.1.2 Pengembangan Kepariwisataan...14 2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur

(23)

viii 2.3 Hipotesa Uji ...32 2.4 Definisi Konseptual dan Operasional ...32 2.4.1 Definisi Konseptual ...32 2.4.2 Definisi Operasional ... 34

BAB III METODOLOGI... 37 3.1 Pendekatan Penelitian ...37 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ...37 3.3 Teknik Pengambilan Data... 38 3.4 Teknik Penentuan Responden ... 38 3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data...39

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN...41 4.1 Kondisi Geografis Desa ...41 4.2 Kondisi Pertanian Desa Sukanagalih ...43 4.3 Demografi Desa ...44

4.3.1 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Desa

Sukanagalih ... 44 4.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Umur...45 4.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Tingkat

Pendidikan ...46 4.3.4 Komposisi Penduduk Menurut Mata

(24)

ix

ix BAB V KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PEMBANGUNAN

DAN PENGELOLAAN FASILITAS PARIWISATA...58 5.1 Kebijakan Pemerintah tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah ...58 5.2 Peraturan-Peraturan Mengenai

Pembebasan Lahan ...62 5.3 Peraturan-Peraturan Mengenai

Pembangunan dan Pengelolaan Fasilitas

Pariwisata ...65 BAB VI ALIH FUNGSI LAHAN DAN PERUBAHAN

STRUKTUR AGRARIA... 69 6.1 Proses Alih Fungsi Lahan ... 69 6.2 Perubahan Struktur Agraria ...72 6.3 Perubahan Struktur Agraria dan Mata Pencaharian

Penduduk ...78

BAB VII PERUBAHAN KELEMBAGAAN MASYARAKAT

DESA SUKANAGALIH... 83 7.1 Kelembagaan Masyarakat Desa Sukanagalih

sebelum Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota Bunga ...83 7.2 Kelembagaan dan Mata Pencaharian Masyarakat

Desa Sukanagalih Setelah Pembangunan Fasilitas

Pariwisata Kota Bunga... 84

BAB VIII PELUANG USAHA DAN PELUANG KERJA DI

SEKTOR PARIWISATA...88 8.1 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata ... 88 8.2 Peluang Kerja di Sektor Pariwisata ...91 8.3 Tingkat Pendapatan Masyarakat setelah Pembangunan

(25)

x BAB IX PENUTUP... 95

9.1 Kesimpulan ...95 9.2 Saran ...96

(26)

xi

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di

Indonesia Tahun 1993 ... 5 Tabel 2 Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber

Data, dan Metodologi Penelitian... 40 Tabel 3 Kegunaan dan Luas Lahan Desa Sukanagalih... 43 Tabel 4 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut

Umur ... 45 Tabel 5 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Sukanagalih ... 46 Tabel 6 Komposisi Penduduk Desa Sukanagalih Menurut

Mata Pencaharian ... 47 Tabel 7 Tingkat Gaji Karyawan Kota Bunga... 53 Tabel 8 Tingkat Pendidikan Karyawan Kota Bunga ... 54 Tabel 9 Luas Kepemilikan Lahan Responden sebelum dan

setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota

Bunga ... 57 Tabel 10 Hubungan Antara Tingkat Keragaman Tingkat

Jumlah Produk Wisata dan Tingkat Jual Beli Lahan... 74 Tabel 11 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan

Sebelum Adanya Kota Bunga dan Luas

Kepemilikan Lahan Setelah Adanya Kota Bunga ... 76 Tabel 12 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan

Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Uta ma Setelah Adanya Kota

Bunga ... 79 Tabel 13 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan

Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum Adanya

Kota Bunga ... 80 Tabel 14 Hubungan Antara Luas Kepemilikan Lahan

Sebelum Adanya Kota Bunga dan Perubahan Jenis Pekerjaan Samping an Setelah Adanya Kota

(27)

xii Tabel 15 Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan

Jenis Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota

Bunga ... 91 Tabel 16 Hubungan Antara Tingkat Peluang Usaha dan

Jenis pekerjaan Sampingan Setelah Adanya Kota

Bunga ... 91 Tabel 17 Hubung an Antara Tingkat Peluang Kerja dan Jenis

Pekerjaan Utama Setelah Adanya Kota Bunga ... 92 Tabel 18 Hubungan Antara Jenis Pekerjaan Utama Setelah

Adanya Kota Bunga dan Tingkat Pendapatan

Setelah Adanya Kota Bunga ... 93 Tabel 19 Hubungan Antara Perubahan Jenis Pekerjaan

Sampingan Setelah Adanya Kota Bunga dan

Tingkat Pendapatan Setelah Adanya Kota Bunga... 94

(28)

xiii

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1 Proses Pembentukan Kelembagaan dalam

Masyarakat...23 Gambar 2 Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan

Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di

(29)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Hasil Uji Statistik Korelasi Rank Spearman... 101 Lampiran 2 Hasil Uji Statistik Chi-Square... 105 Lampiran 3 Peta Desa Sukanagalih ... 106 Lampiran 4 Gambaran Tempat Fasilitas Pariwisata Kota Bunga... 107 Lampiran 5 Jalan Penghubung Antara Kota Bunga dan

Permukiman Penduduk ... 109

Lampiran 6 Luas Kepemilikan Lahan Responden Sebelum dan Setelah Pembangunan Fasilitas Pariwisata Kota

(30)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 1980-an, pembangunan sektor pariwisata bukanlah sektor yang diprioritaskan dalam pengumpulan devisa negara. Keadaan ini berubah ketika harga minyak bumi di pasaran internasional merosot tajam, kemudian sektor pariwisata menjadi sektor yang didorong untuk menghasilkan devisa negara (Suhendar dan Winarni, 1998). Padahal sebelumnya yaitu pada tahun 1978 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang perlunya pengembangan kepariwisataan. Kebijakan tersebut berisi pernyataan bahwa kepariwisataan dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan kebudayaan. Pembinaan dan pengembangan pariwisata ini dilakukan dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kebudayaan dan kepribadian nasional.

Dalam hal memperluas kesempatan kerja, pada tahun 1973 sektor pariwisata terbukti memberikan kesempatan kerja di Inggris, Meksiko, Amerika Serikat, dan Bahama. Di Inggris, sektor pariwisata menampung 1,5 juta tenaga kerja; di Meksiko, sektor pariwisata menampung 250 ribu tenaga kerja; di Amerika Serikat, sektor pariwisata menampung 8,75 juta tenaga kerja; dan di Bahama, sekitar 70 persen tenaga kerja bekerja di sektor pariwisata (Spillane, 1987).

(31)

perumusan Visi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional yaitu terwujudnya kebudayaan dan pariwisata yang maju, dinamis, dan berwawasan lingkungan yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan peradaban, persatuan dan persahabatan antarbangsa. Untuk mewujudkan visi tersebut, dirumuskan Misi Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata Nasional, salah satunya yaitu pengembangan produk pariwisata yang berwawasan lingkungan, bertumpu pada kebudayaan, peninggalan budaya dan pesona alam lokal yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003).

Berdasarkan pasal 16 UU No. 9 Tahun 1990, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata dikelompokkan menjadi tiga kelompok1. Penelitian ini membahas kelompok pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam. Pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam merupakan usaha pemanfaatan sumberdaya alam dan tata lingkungan untuk dijadikan sasaran wisata. Salah satu contoh tempat wisata alam adalah Kebun Raya Cibodas di Kabupaten Cianjur.

Sektor pariwisata memiliki manfaat dari segi ekonomi dan lingkungan. Dari segi ekonomi, manfaat pariwisata yaitu meningkatkan penerimaan devisa negara (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Manfaat pariwisata dalam meningkatkan devisa negara dapat dilihat dari perolehan pendapatan dari sektor tersebut. Diperkirakan devisa yang dihasilkan sektor pariwisata dunia tahun 2010 sebesar US $ 3,4 trilyun dan membuka kesempatan kerja sebesar 10,6 persen dari angkatan kerja dunia. Satu dari sepuluh orang akan bekerja di sektor pariwisata (Yoeti, 1996a). Industri pariwisata di Indonesia pada tahun

(32)

3

1997 menghasilkan perolehan sebesar 64,48 triliun rupiah dan 6,6 juta pekerjaan. Diperkirakan tahun 2007 meningkat menjadi 248,363 triliun rupiah hasil bruto dan 8,5 juta pekerjaan (Yoeti dalam Safri, 2003).

Dari segi manfaat bagi lingkungan, pembangunan pariwisata diarahkan pada pengembangan daerah sehingga memberikan kehidupan yang tenang, bersih, jauh dari polusi, santai dan dapat mengembalikan kesehatan fisik maupun mental (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003). Menurut Pendit (1986), pariwisata memiliki 14 jenis pariwisata, diantaranya yaitu wisata pertanian dan wisata cagar alam. Wisata pertanian merupakan pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek-proyek pertanian, perkebunan, atau ladang pembibitan. Di sisi lain wisata cagar alam adalah wisata yang berkaitan dengan kegemaran terhadap keindahan alam, kesegaran hawa udara di pengunungan, keajaiban hidup binatang dan satwa langka serta tumbuh-tumbuhan khas daerah.

Di sisi lain, Tjondronegoro (1999) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata membutuhkan lahan, maka tidak mengherankan jika masalah kebutuhan lahan bertambah. Hal ini dipertegas oleh Yudohusodo (2002) yang menyatakan bahwa masalah agraria terjadi kerena tidak terealisasinya UUPA. Padahal UUPA sebenarnya merupakan wujud implementasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “bumi dan air termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara da n dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

(33)

Pulau Jawa, Kalimantan bagian Timur, dan Sulawesi (Suhendar dan Winarni, 1998).

Saat ini tuntutan atas lahan semakin kuat karena tumbuhnya industri yang membutuhkan lahan (Tjondronegoro, 1999). Salah satu industri yang membutuhkan lahan adalah industri pariwisata. Di Pulau Jawa, kasus sengketa lahan antara pemilik lahan dan pengembang pariwisata banyak terjadi di Jawa Barat. Salah satunya yaitu kasus sengketa lahan yang terjadi di Bogor. Sekitar 21 petani pemilik lahan di Pasarangin harus menyerahkan lahan seluas 15 ha ke PT. KAA untuk perluasan proyek agrowisata terpadu ( Republika dalam Suhendar dan Winarni, 1998).

Menurut Lipton dalam Tjondronegoro (1999), ketidakberhasilan pembangunan mengangkat kesejahteraan petani di dunia ketiga disebabkan oleh pembangunan yang bias perkotaan. Hal yang sama juga terjadi pada bidang pariwisata. Pada prakteknya pembangunan industri pariwisata lebih dirasakan oleh masyarakat kota, misalnya kasus yang terjadi di Cisarua dan Rancamaya, Bogor. Di Cisarua, sebanyak 201 petani penggarap menolak pembayaran ganti rugi proyek perluasan Taman Safari (Bisnis Indonesia dalam Suhendar dan Winarni, 1998). Di Rancamaya, sekitar 300 petani menolak ganti rugi atas lahan untuk proyek lapangan golf dan perumahan mewah karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan harapan petani (Suara Karya dalam Suhendar dan Winarni, 1998).

(34)

5

petani. Umumnya aksi-aksi protes petani selama periode 1980 hingga 1990-an lebih disebabkan oleh masuknya modal secara masif di wilayah perdesaan dalam bentuk pengambilalihan lahan secara paksa yang berkolaborasi dengan negara (Bahari, 2001). Salah satu kasus sengketa lahan kawasan pariwisata yang menimbulkan gerakan petani yaitu kasus yang terjadi di Pecatu, Bali (Suhendar dan Winarni, 1998).

Lebih lanjut Bahari (2001) menyatakan bahwa pada umumnya petani yang terlibat dalam gerakan tersebut berasal dari kalangan pemilik lahan atau penggarap. Mereka sudah menguasai dan mengelola lahan cukup lama meskipun lahan tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhannya secara normal, tetapi setidaknya dapat mempertahankan hidup mereka dari kelaparan. Maka ketika lahan yang mereka kuasai diambil alih secara paksa oleh negara atau pemilik modal, mereka kehilangan sumber subsistensi.

Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993

Rumahtangga Pertanian

Sumber : Sensus Pertanian Indonesia dalam Yudohusodo, 2002

(35)

dari luas lahan pertanian, sementara 16 persen rumahtangga petani “kaya lahan” (petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70 persen luas lahan pertanian. Hal ini terjadi akibat fragmentasi pemilikan atau penguasaan lahan dan fragmentasi fisik hamparan lahan serta alih fungsi lahan pertanian subur ke penggunaan non pertanian (Yudohusodo, 2002).

Di sisi lain, Spillane (1987) mengungkapkan pariwisata dapat mengubah motivasi unsur kebudayaan. Kesenian dan upacara yang semula dilakukan karena motivasi tradisi atau spiritual menjadi motivasi komersil. Kegiatan kebudayaan dilaksanakan bukan lagi karena tradisi tetapi karena permintaan wisatawan. Hal ini terjadi pada pelaksanaan upacara-upacara kebudayaan di Bali. Upacara-upacara yang seharusnya dilakukan waktu tertentu, kini dapat dilakukan kapan saja tergantung permintaan wisatawan dan besarnya bayaran (Metera, 1996).

Pembangunan pariwisata dapat juga memunculkan kegiatan usaha seperti usaha kerajinan, rekreasi atau hiburan, toko cinderamata dan lain-lain (Atmaja dalam Metera, 1996). Salah satu contohnya yaitu usaha kerajinan yang berkembang di daerah Bali ketika daerah tersebut dijadikan kawasan pariwisata. Seperti usaha kerajinan patung batu padas, usaha kerajinan emas dan perak, usaha kerajinan ukiran kayu, dan usaha kerajinan lukisan (Suara Merdeka dalam

Suhendar dan Winarni, 1998).

Pengembangan pariwisata memunculakan adanya produk wisata. Medlink dan Midleton menyatakan (Yoeti, 1996b) terdapat tiga unsur yang membentuk produk wisata, yaitu :

1. Atraksi pada suatu daerah pariwisata termasuk citra daerah wisata.

(36)

7

3. Aksesibilitas ke daerah pariwisata.

Pengembangan produk wisata dapat menjadi salah satu peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal di daerah wisata tersebut. Masyarakat tinggal mencari peluang usaha dan peluang kerja yang dapat dimasuki mereka. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari modal dan keterampilan yang mereka miliki (Metera, 1996).

1.2 Perumusan Masalah

(37)

Masalah lain yang muncul akibat alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian adalah masalah kepemilikan dan penguasaan lahan. Petani-petani yang kehilangan lahan harus mencari lahan baru di daerah baru. Pada kasus sebelumnya, petani yang kehilangan lahan mampu membeli lahan baru di daerah baru, hanya saja lahan tersebut tidak subur seperti lahan semula. Harga ganti rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan petani dan harga pasaran menyebabkan petani sulit membeli lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang sama dan lokasi yang dekat dengan sumber mata air. Hal ini disebabkan harga lahan-lahan subur mahal, sedangkan petani tidak mampu membeli lahan yang subur itu. Jumlah petani yang mampu membeli lahan subur dan luas rendah sehingga mengakibatkan terakumulasinya lahan oleh sebagian orang dan dapat meningkatkan jumlah tuna kisma. Maka dari itu, bagaimana nasib petani jika petani kehilangan lahan pertanian? Apakah petani akan kehilangan mata pencahariannya sebagai petani dan berganti profesi? Lalu bagaimana tingkat pendapatan petani di daerah wisata?

(38)

9

dan pendatang. Pada beberapa kasus, persaingan timbul karena ada persaingan dalam hal memperoleh kesempatan berusaha dan bekerja. Dalam hal peluang usaha, masyarakat pendatang lebih mampu mengisi peluang tersebut. Masyarakat pendatang memiliki modal yang cukup dan telah diperhitungkan untuk berusaha di daerah wisata, sehingga kemungkinan rugi dapat ditekan, sedangkan masyarakat lokal jarang memperhitungkan hal tersebut. Selain itu keterbatasan modal yang dimiliki masyarakat lokal merupakan salah satu kelemahan dalam memasuki peluang usaha.

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan dapat menjadi peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal. Hanya saja, tidak semua peluang usaha atau peluang kerja dapat dimasuki masyarakat lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal dan keterampilan masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang awalnya berusaha di sektor pertanian, kini harus dapat menyesuaikan diri dengan peluang usaha dan peluang kerja baru di sektor wisata. Meskipun masyarakat lokal dapat memasuki peluang usaha dan peluang kerja, tetapi mereka hanya dapat menempati usaha-usaha yang menghasilkan keuntungan kecil, bukan usaha-usaha utama yang keuntungannya jauh lebih besar. Usaha-usaha utama itu biasanya ditempati pendatang atau pemilik modal.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan struktur agraria rumahtangga petani karena pembangunan fasilitas pariwisata dan dampaknya terhadap peluang usaha dan peluang kerja masyarakat lokal. Tujuan ini dirinci sebagai berikut :

(39)

2. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap kelembagaan di perdesaan.

3. Menganalisis dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap peluang usaha dan peluang kerja bagi masyarakat lokal dan kontribusi sektor pariwisata terhadap pendapatan masyarakat lokal.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perubahan struktur agraria di perdesaan sebagai akibat pembangunan fasilitas pariwisata. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, sehingga lebih memperhatikan kepentingan masyarakat lokal.

1.5 Batasan Penelitian

Penelitian ini membahas dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan. Fasilitas pariwisata yang dibahas berupa pembangunan real estate

(40)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Tentang Pembangunan Fasilitas Pariwisata

Dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Orde Baru mengundang investasi swasta (asing dan domestik) dalam kegiatan pembangunan ekonomi di Indonesia termasuk kegiatan industri. Upaya tersebut dilegitimasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Tujuan dikeluarkannya UU tersebut yaitu menarik investor asing dan dalam negeri (domestik) melakukan investasi di Indonesia (Suhendar dan Winarni, 1998).

Undang-undang penanaman modal ini ditindaklanjuti dengan serangkaian kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor seperti keringanan pajak, pembebasan bea masuk, penyediaan tenaga kerja yang melimpah dan murah, dan kemudahan memperoleh tanah. Adapun kemudahan memperoleh tanah untuk investor dijamin oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang industrial estate2. Dalam perkembangan selanjutnya aturan penyediaan tanah untuk industri diperkuat melalui Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Dalam keputusan Presiden tersebut, pemberian lokasi untuk kawasan industri mengikuti petunjuk sebagai berikut : (1) sejauh mungkin harus menghindari pengurangan areal subur; (2)

(41)

sedapat mungkin memanfaatkan tanah yang semula tidak atau kurang produktif; (3) sedapat mungkin menghidari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya; (4) perhatian terhadap persyaratan bebas pencemaran lingkungan (Metera, 1996).

Kebijakan tentang kepariwisataan diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990. Adapun kebijakan-kebijakan tersebut antara lain: (1) kebudayaan dan pariwisata adalah wahana pengembangan wilayah; (2) dalam pengembangan kebudayaan dan pariwisata, masyarakat merupakan subyek pembangunan dan bukan hanya obyek pembangunan; (3) pelestarian dan pengembangan kebudayaan pariwisata menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara kesatuan Indonesia; dan (4) pemanfaatan unsur kesenian dan kebudayaan serta unsur alami untuk pariwisata harus dilakukan secara bertanggung jawab dan menuju pada pelestarian alam dan pengkayaan budaya, sehingga menjadi wahana persahabatan antar bangsa, sekaligus menunjung pelestarian lingkungan alam (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2003).

(42)

13

Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam rumusan kebijakan itu diperlukan perhatian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha kebudayaan dan pariwisata dalam memajukan kebudayaan dan pariwisata, penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang di bidang Kebudayaan dan Pariwisata, dan penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang Kebudayaan dan Pariwisata.

Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KEP-04-A/MKP/VI/2001, tujuan program pengembangan pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian dan kebudayaan serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempat; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Landasan pengembangan pariwisata juga berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Bab XII tentang pembinaan dan pengawasan, pasal 112, ayat (1) menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam arti memberdayakan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi.

Selain undang-undang yang telah disebutkan di atas, masih ada undang-undang lain yang terkait dengan kepariwisataan khususnya wisata alam, diantaranya yaitu (Yoeti, 2001):

1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.

(43)

3. Surat Keputusan Dirjen Pariwisata No. Kep. 18/U/11/1988 tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Obyek Wisata dan Daya Tarik Wisata.

4. Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

5. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di zona pemanfaatan kawasan pelestarian alam.

6. Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.

7. Sadar Wisata dan Sapta Pesona dari Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

2.1.2 Pengembangan Kepariwisataan

Menurut Institut of Tourisme in Britain dalam Pendit (1986), pariwisata adalah kepergian orang-orang dalam jangka waktu pendek ke tempat-tempat tujuan di luar te mpat tinggal dan tempat bekerja, sedangkan Pendit (1986) memandang pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produtivitas lainnya. Ke pariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata. Beberapa produk wisata diantaranya (Yoeti, 1996) yaitu:

1. Jasa-jasa agen perjalanan yang memberi informasi, advis, pengurusan dokumen perjalanan, perjalanan itu sendiri pada waktu akan berangkat. 2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke

daerah tujuan wisata.

3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi.

(44)

15

5. Jasa-jasa transport lokal (bus, taksi, coach-bus) dalam melakukan perjalanan obyek wisata setempat.

6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. 8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film (photo supply),

penukaran uang (bank).

Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan sumberdaya, ketersediaan sumberdaya wisata di Indonesia banyak macamnya, diantaranya yaitu (Joyosuharto, 2001) :

1. Alam non hayati : wilayah pesisir di pantai, pegunungan, laut, pulau karang, taman laut, danau, dan gua.

2. Alam hayati : hutan pantai, hutan bakau, hutan dataran rendah, pegunungan dengan floranya, dan fauna.

3. Manusia dengan perilaku, budaya dan kebutuhan : Adat istiadat yang terpatri dalam kehidupanya, budaya dan kebutuhan yang menggambarkan kedekatannya dengan alam hingga keramahan, kehalusan dan ketinggian budaya.

4. Buatan : taman hutan raya, taman margasatwa, taman pantai, peninggalan sejarah, tata letak dan arsitektur rumah, tempat peribadatan, istana raja, taman hiburan, dan museum.

(45)

pengawasan, pengendalian, dan pemulihan sumberdaya wisata (Joy osuharto, 2001). Selanjutnya ditambahkan oleh Lakoni (2001), yang menyatakan bahwa syarat utama dalam mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata adalah peningkatan profesionalisme yang didukung oleh kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, juga masalah koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) dalam pembangunan pariwisata.

Pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan memberikan beberapa peluang usaha bagi masyarakat perdesaan khususnya petani, tetapi sedikit sekali peluang usaha yang dapat dimasuki oleh petani. Hal ini dikarenakan keterbatasan keterampilan yang dimiliki petani. Kemampuan untuk memasuki lapangan kerja baru tergantung pada faktor-faktor motivasi, keberanian mengambil resiko, modal yang dimiliki petani, kemunculan pusat pertumbuhan yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dan keberadaan lembaga yang mendukung petani memasuki peluang usaha (Metera, 1996).

Petani pemilik lahan luas pada peristiwa alih fungsi tanah di kawasan wisata Tanah Lot, Bali memiliki kecenderungan mengalokasikan uang ganti rugi untuk membeli tanah lagi di daerah pedalaman, sehingga dapat meneruskan kembali usahataninya. Hal yang paling menarik dari penelitian ini adalah buruh tani lebih banyak yang berubah mata pencaharian ketimbang penggarap. Hal ini disebabkan karena penggarap lebih terikat kepada tanah dibanding buruh tani. Buruh tani relatif lebih bebas (tidak terikat pada lahan garapan) ketimbang penggarap (Metera, 1996).

(46)

17

Swadaya Masyarakat (LSM) dalam memberikan pembinaan kepada petani untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Sebagai contoh, para pemula diajak ke Agrowisata Kali Klatak di Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana mereka melakukan studi banding terhadap pengusaha agrowisata yang berhasil dalam mengusahakan kopi, karet, coklat, dan cengkeh. Melalui pendekatan ini, diharapkan pembangunan pariwisata tidak lagi hanya menjadi milik orang yang bermodal saja tetapi juga dimiliki oleh petani sekitar proyek yang selama ini hanya menjadi penonton di kampung halaman sendiri.

2.1.3 Alih Fungsi Lahan dan Perubahan Struktur Agraria

Salah satu kebijakan agraria di Indonesia adalah Undang-Undang Pokok Agraria. UUPA mengandung sifat politis, misalnya dalam hal penetapan fungsi sosial bagi kepemilikan tanah (Pasal 33 dari UUD 1945); memberikan tanah bagi penggarapnya; dan penghapusan kepemilikan tanah berluasan lebih agar hubungan tuan tanah – penggarap menjadi lebih menguntungkan penggarap. Redistribusi tanah dipandu dengan aturan penjelasan dalam undang-undang tersebut mengenai luas penguasaan tanah minimum dan maksimum (Tjondronegoro, 1999).

(47)

peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi (pasal 4 UUPA 1960). Selanjutnya pasal 16 ayat 1 UUPA 1960 menjelaskan macam-macam hak atas tanah yang meliputi: (1) hak milik, (2) Hak Guna Usaha, (3) hak guna bangunan, (4) hak pakai, (5) hak sewa, (6) hak membuka tanah, (7) hak memungut hasil hutan, (8) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak penguasaan tanah yang sifatnya sementara, diatur dalam pasal 53 UUPA 1960 yang menunjuk pada hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan untuk hapus dalam waktu yang singkat (Subekti dalam Sutisna, 2001).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam usaha pengumpulan devisa negara dari sektor pariwisata, kasus-kasus sengketa tanah yang merupakan ekses dari usaha ini bermunculan. Kasus ini banyak terjadi di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa kasus sengketa tanah untuk daerah pariwisata banyak dijumpai di Jawa Barat. Seperti kasus di Desa Margamulaya, Bandung. Lahan seluas 360 ha dibebaskan untuk membangun perumahan mewah, lapangan golf, dan cottage. Warga menolak menyerahkan lahan tersebut karena ganti rugi yang diberikan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di luar Jawa, kasus ini ditemukan di Minahasa, Sulawesi Utara. Di daerah ini sekitar 195 KK menolak ganti rugi dari PT AEP yang membebaskan lahan seluas 485 ha milik penduduk untuk kawasan wisata (Suhendar dan Winarni, 1998).

(48)

19

1. Banyaknya petani yang membeli tanah di daerah lain, meskipun demikian masih lebih banyak petani yang mengalami penurunan luas lahan.

2. Semakin rendah status kepemilikan tanah, semakin besar kecenderungan untuk membeli tanah lagi.

3. Secara relatif semakin tinggi status pemilikan tanah semakin menurun kepemilikan atas tanah.

Ketersediaan tanah dari waktu ke waktu relatif tetap, sedangkan kebutuhan manusia terhadap tanah meningkat sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan aktivitas yang mereka lakukan. Selain itu juga jumlah penduduk semakin meningkat . Keadaan ini menjadikan lahan memiliki nilai yang tinggi (Afianto, 2002). Barlow dalam Afianto (2002) menyatakan bahwa nilai lahan menjadi lebih tinggi jika lahan mempunyai potensi fisik seperti kesuburan tanah, kandungan barang tambang, atau keutamaan lokasi. Suatu contoh di perdesaan Jawa, kepadatan penduduk berkisar antara 480 sampai 800 jiwa setiap satu kilometer persegi (Koenjjaraningrat dalam Soekanto, 1987). Hal ini dapat menimbulkan persaingan dalam mendapatkan tanah.

Dalam konteks perkembangan di sektor agraria, tanah merupakan alat yang vital. Para pemilik modal dan negara saling bekerjasama untuk mendapatkan keuntungan. Pemilik modal memanfaatkan tanah dengan alasan untuk membangun infrastruktur di perdesaan dimana pemerintah sebagai aparat negara memberikan alasan memperluas kesempatan kerja, memperbesar devisa negara, dan berbagai alasan lain untuk mengambil alih tanah petani di perdesaan (Fauzi, 1999).

(49)

terlihat melalui proses perkembangan mode produksi dari kepentingan subsisten petani yang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup ke bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang menggunakan faktor-faktor produksi menurut perhitungan rasional dan seefisien mungkin agar memperoleh keuntungan setingi-tinginya. Sistem ini disebut sistem kapitalis. Ciri khas kapitalisme adalah penguasaan modal oleh kapitalis, sementara tanah dan tenaga kerja sebagai faktor produksi terpisah. Kapitalisme menempatkan tenaga kerja sebagai alat produksi dengan mekanisme upah. Kapitalisme ada dua jenis yaitu kapitalisme yang berkembang berdasarkan modal swasta dan negara. Kapitalisme yang berdasarkan modal swasta berkembang atas dasar kebebasan produksi, konsumsi, perdagangan, dan persaingan melalui mekanisme pasar. Di sisi lain, kapitalisme negara adalah pemilikan kapital terbesar di tangan negara, rakyat menjadi buruh negara tanpa imbalan (Suhendar dan Winarni, 1998).

Kemudian Suhendar dan Winarni (1998) juga menjelaskan bahwa perebutan sumberdaya agraria dapat menimbulkan konflik. Konflik agraria sering terjadi pada kasus-kasus pengambilalihan lahan pertanian untuk kepentingan industri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konflik agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelola agraria berikut pola penguasaannya terancam dengan terganggunya tata produksi oleh intervensi kapital ke masyarakat. Scott (1989) menilai bahwa dorongan moral merupakan alasan utama munculnya gerakan petani sehingga reaksi tersebut memiliki kekuatan moral yang besar.

(50)

21

terdaftar dalam hukum seluas 1 ha, maka ia dikatakan sebagai pemilik lahan tersebut. Masalah pemilikan tanah lebih nyata terdapat di Jawa dan Bali. Di wilayah ini konsep pemilikan telah berakar selama dua abad terakhir, sedangkan di pulau lain lebih dikenal dengan hak pakai, karena tanah merupakan milik komunal.

Konsep “penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif. Hal ini merujuk pada cara seseorang atau rumahtangga pertanian menguasai atau mengusahakan lahan. Apakah ia mengusahakan lahan miliknya sendiri atau mengusahakan tanah milik orang lain melalui cara sewa, bagi hasil, bengkok, tanah bebas sewa, tanah serobotan, atau tanah liar.

Perubahan struktur agraria dapat mengubah pelapisan dalam masyarakat, seperti yang dikatakan Sorokin dalam Soekanto (1987) menjelaskan dasar adanya pelapisan masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara anggota masyarakat. Soekanto (1987) memberikan ukuran atau kriteria yang biasa dipakai dalam pelapisan masyarakat, yaitu :

1. Ukuran kekayaan yang dapat dilihat dari kepemilikan benda-benda berharga seperti mobil, rumah, pakaian, dan barang-barang mewah lain.

2. Ukuran kekuasaan. Orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang tertinggi berada pada lapisan atas.

3. Ukuran kehormatan. Ukuran ini indikatornya adalah penghormatan kepada orang-orang yang disegani oleh masyarakat, biasanya pada masyarakat tradisional.

(51)

2.1.4 Kelembagaan

Konsep kelemb agaan menurut Soekanto (1987) adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar dari segala kebutuhan pokok yang berada pada masyarakat. Koentjaraningrat (1980), mengajukan istilah lain untuk lembaga dengan sebutan pranata untuk institution, misalnya pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan memproduksi dan mendistribusikan harta benda yaitu pertanian, peternakan, dan industri. Hal ini ditujukan agar tidak dikacaukan dengan istilah lembaga untuk institute (suatu badan atau organisasi yang berfungsi dalam suatu lapangan kehidupan masyarakat yang khas, biasanya lapangan penelitian, pendidikan, pembinaan, atau pengembangan).

Istilah tersebut menunjuk pada kelakuan berpola atau sistem norma. Norma adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat.

Kelembagaan merupakan salah satu bentuk abstraksi dari struktur sosial. Dengan demikian perubahan kelembagaan dapat diartikan sebagai pergantian-pergantian pada struktur sosial melalui dimensi waktu. Struktur sosial dapat diartikan sebagai jaringan kerja yang kuat atau kokoh pada hubungan sosial dalam bentuk interaksi secara rutin dan berulang-ulang (Harper dalam

(52)

23

Hubungan kekerabatan merupakan hal yang penting di desa, meski demikian ikatan komunitas didasarkan pada kenyataan bahwa orang desa hidup bersama di dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama pula. Kelembagaan yang menguasai ekonomi desa yang bercirikan cara-cara produksi dan tukar-menukar merupakan adat kebiasaan dan prinsip-prinsip moral daripada undang-undang dan perjanjian resmi (Hayami dan Kikuchi, 1987). Kelembagaan perdesaan mengalami tantangan berat di bawah arus modernisasi. Hal ini mengikis fungsi-fungsi sosial kelembagaan tersebut seperti sistem derep

dan bawon yang mempunyai fungsi sosial, artinya pembagian hasil pertanian dapat berlangsung tanpa adanya upah uang . Masuknya ekonomi uang semakin merangsang hubungan komersial di perdesaan. Namun, ekonomi dan kelembagaan tradisional belum merata kesiapannya dalam menerima hubungan komersial tersebut. Hal lain yang mengikis kelembagaan di perdesaan adalah pelaksanaan revolusi hijau (Tjondronegoro, 1999).

Salah satu lembaga ekonomi (institut) di desa adalah Lembaga Perkreditan Desa. Rata-rata lembaga ekonomi di desa mensyaratkan adanya

Gambar 1. Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat

Peralatan dan

Perlengkapan PendukungPersonel

(53)

agunan dalam pemberian kredit. Hal ini menyulitkan petani membuka usaha karena rata-rata petani tidak memiliki agunan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi di Tanah Lot, Bali. Rata-rata petani mengeluh karena kesulitan membuka usaha di sektor non pertanian karena tidak memiliki modal. Untuk mendapatkan modal, mereka harus memiliki agunan. Lembaga Perkreditan Desa saja hanya dapat memberikan pinjaman maksimal satu juta rupiah, itupun harus dilengkapi jaminan (agunan). Apalagi lembaga-lembaga ekonomi lain yang memiliki persyaratan lebih rumit daripada Lembaga Perkreditan Desa.

Hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan oleh Soekadijo (2000) dibagi ke dalam tiga model, yaitu:

1. Model Enklave, dalam pariwisata model enklave wisatawan datang, masuk ke dalam hotel dan hanya ke luar sebentar untuk membuat foto-foto kenangan. Waktunya dihabiskan di dalam kompleks hotel: mereka bersenang-senang di situ, menghabiskan malam harinya bersama-sama , berbelanja di hotel, melihat pertunjukan yang diadakan di hotel, dan kegiatan lain di hotel.

2. Model Berbaur, dalam pariwisata model berbaur wisatawan bergerak dan bergaul dengan penduduk setempat, mereka berekreasi di tengah-tengah masyarakat, berbelanja di tempat perbelanjaan yang juga terbuka untuk penduduk, hotelnya terletak di tengah-tengah kediaman penduduk atau mereka tinggal di homestay.

3. Model Individual, dalam model ini, wisatawan adalah wisatawan individual, yang memilih atraksi menurut selera pribadi.

2.1.5 Masyarakat Petani

(54)

25

petani, Scott (1989) memberikan sebuah nilai normatif yang mengambarkan kehidupan ekonomi petani yang dekat dengan pola hubungan sosial yang pantas, wajar dan adil. Keputusan-keputusan ekonomis petani, seperti prinsip mendahulukan selamat, merupakan indikator bahwa orientasi subsistensi sangat mendasari pola hidup petani. Petani menganggap pertanian bukanlah suatu usaha ekonomis untuk memperoleh keuntungan melainkan suatu pertanian subsistensi yang semata-mata menghasilkan pangan. Redfield dalam Winarni dan Suhendar (1998) melukiskan sebagai suatu “kehidupan yang baik” dari nilai-nilai petani yang berlaku. Salah satu pola hubungan itu adalah sikap intim dan hormat pada tanah yang menganggap pekerjaan pertanian sebagai pekerjaan yang baik. Ia menyebutnya sebagai “rasa samar-samar tentang sesuatu yang pantas dihormati” di dalam tanah dan kegiatan pertanian.

Sebaliknya Popkin dalam Suhendar dan Winarni (1998) mengakui adanya rasionalitas petani. Petani adalah homo oekonomikos yang akan terus berusaha menghasilkan sumberdaya dan kemakmuran sendiri tanpa memperdulikan moral perdesaan seperti yang dikatakan Scott. Sementara itu Hayami dan Kikuchi (1987) cenderung mengakui adanya moralitas dan rasionalitas petani. Pada masyarakat petani berlaku prinsip moralitas dan rasionalitas ketika akan mencari keuntungan. Petani cenderung mempekerjakan tetangganya atas dasar tolong menolong daripada mengambil tenaga kerja dari luar, meskipun dengan biaya yang sama atau bahkan lebih murah. Cara ini dinilai tepat untuk menghindari kerugian akibat kecurangan pekerja.

(55)

dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah menempati lapisan terendah pada komunitas petani. Tinggi rendahnya jumlah kepemilikan tanah dapat dilihat dari ketersediaan tanah di suatu komunitas.

Suhendar dan Winarni (1998) menyimpulkan bahwa dari beberapa pandangan tersebut terlihat bahwa sebuah keluarga tani bisa tetap survive dan solidaritas komunitas tetap kuat. Mereka mengandalkan sikap kepatuhan terhadap peraturan-peraturan sosial bersama. Berhubung cara tersebut begitu efektif dalam menjamin keamanan seluruh keluarga petani, mekanisme itu kemudian melembaga dalam masyarakat. Dengan demikian pengertian subsisten tidak selalu berarti makan secukupnya dari suatu usaha tertentu dan bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan makan, melainkan juga melihat pandangan petani terhadap orientasi kerjanya. Ada tiga indikator untuk memahami pola subsistensi petani, diantaranya yaitu :

1. Sikap atau cara petani memperlakukan faktor-faktor produksi yaitu tanah dan sumberdaya agraria. Jika bersikap tidak komersial, tidak eksploitatif terhadap tanah dan sumberdaya agraria, menganggap peningkatan produksi tidak perlu dan hanya memproduksi sebatas kebutuhan keluarganya. Petani tersebut termasuk petani subsisten. Sebaliknya, jika sikapnya didasari oleh orientasi surplus produksi dan maksimalisasi produksi, mereka termasuk petani komersial.

(56)

27

3. Jenis komoditas yang dibudidayakan petani. Walaupun mengusahakan komoditas komersial, jika hanya digunakan sebatas kebutuhannya saja, petani itu disebut petani subsisten. Sebaliknya, apabila mengusahakan tanaman komersial dengan tujuan untuk menghasilkan surplus, walaupun tanah yang dikuasainya terbatas, petani itu disebut petani komersil.

Jika pola subsisten petani tersebut ditinjau dalam kenyataan petani di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada petani di Indonesia yang subsisten mutlak. Akan tetapi jika digunakan indikator kecilnya skala usaha dan kemampuan petani berproduksi, jelas bahwa petani di Indonesia memiliki pola subsisten (Suhendar dan Winarni, 1998).

2.1.6 Peluang Usaha di Sektor Pariwisata

(57)

2.2 Kerangka Pemikiran

Usaha pemerintah dalam meningkatkan devisa negara adalah melalui sektor pariwisata. Kini, sektor pariwisata menjadi sektor andalan pemerintah. Implementasinya, banyaknya pengembangan di sektor pariwisata. Salah satu pengembangan pariwisata adalah pembangunan fasilititas pariwisata. Dengan pembangunan fasilitas pariwisata, diharapkan dapat meningkatkan jumlah wisatawan sehingga menambah pendapatan negara. Dewasa ini, pembangunan fasilitas pariwisata banyak ditemukan di daerah perdesaan. Salah satu alasannya yaitu karena daerah perdesaan cocok untuk pembangunan tersebut. Keasrian dan kesejukan desa dapat sekaligus menjadi objek wisata.

(58)

29

Kelembagaan yang ada di perdesaan adalah kelembagaan gotong royong. Dimana adanya sifat tolong menolong dan kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Masuknya pembangunan di perdesaan dapat mengubah kelembagaan tersebut, yang tadinya gotong royong berubah menjadi komersil. Pembangunan fasilitas pariwisata dapat me ngakibatkan masyarakat meninggalkan sifat gotong royong kemudian beralih ke komersil , dimana setiap tindakan dinilai dengan uang. Selanjutnya, komersialisasi dapat mengakibatkan perubahan mata pencaharian masyarakat di perdesaan. Hal ini tentu saja didasari keuntungan dari mata pencaharian baru yang dikonversikan ke uang jauh lebih besar. Kemudian juga meningkatkan pendapatan rumahtangga petani. Keuntungan yang tinggi dari perubahan mata pencaharian ini dalam jangka waktu tertentu dapat menghasilkan perubahan pelapisan sosial masyarakat tersebut.

(59)
(60)

31

Penetapan Daerah Wisata

Jenis- jenis Produk Wisata Peluang Usaha dan Peluang Kerja

Tingkat Pendapatan Perubahan Mata Pencaharian

- Jenis Pekerjaan Utama Sebelum dan Setelah

- Jenis Pekerjaan Sampingan Sebelum dan

Setelah

Perubahan Kelembagaan

Bentuk- bentuk Kelembagaan

Perubahan Struktur Agraria

- Luas Kepemilikan Lahan Sebelum dan Setelah

Kebijakan Pemerintah Tentang

Pembangunan Fasilitas Pariwisata

(61)

2.3 Hipotesa Uji

Berdasarkan hasil dari tinjauan pustaka maka hipotesa yang akan diujikan adalah :

1. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan struktur agraria masyarakat lokal.

2. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan kelembagaan masyarakat lokal.

3. Pembangunan fasilitas pariwisata mempengaruhi perubahan mata pencaharian masyarakat lokal karena adanya peluang usaha dan peluang kerja di sektor wisata.

2.4 Definisi Konseptual dan Operasional 2.4.1 Definisi Konseptual

Dalam penelitian ini konsep-konsep yang digunakan dijelaskan berdasarkan uraian berikut, yaitu :

1. Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidu pan masyarakat (Soekanto, 1987).

2. Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata (UU No. 9 Tahun 1990 pasal 1).

(62)

33

4. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut (UU No. 9 pasal 1).

5. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata (UU No. 9 Bab I pasal 1).

6. Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.

7. Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.

8. Lahan pertanian adalah semua lahan yang produktif yang digunakan untuk bercocok tanam.

9. Alih fungsi lahan pertanian adalah perubahan fungsi tanah sebagai lahan pertanian ke non pertanian.

10. Kemitraan adalah adanya kerjasama antara pengusaha wisata dan penduduk setempat.

11. Rumahtangga adalah sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur.

12. Rumahtangga pertanian adalah rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggotanya melakukan kegiatan bertani atau berkebun.

13. Petani adalah orang yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan dan secara otonom memiliki kemampuan menentukan sendiri komoditas apa yang akan ditanam di lahannya.

(63)

15. Penguasaan lahan menunjukkan pada penguasaan lahan yang bersifat sementara apakah itu menyewa atau menggadaikan.

2.4.2 Definisi Operasional

Berdasarkan uraian menyangkut definisi operasional di atas, dijelaskan juga definisi yang penulis gunakan dalam operasional penelitian, yaitu :

1. Luas kepemilikan lahan adalah jumlah luasan penguasaan lahan formal (Sensus Pertanian). Luas kepemilikan lahan dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1. Tinggi, jika luas kepemilikan lahan lebih besar atau sama dengan 1 Ha 2. Sedang, jika luas kepemilikan lahan antara 0,5 Ha - 0,99 Ha

3. Rendah, jika luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 Ha

2. Tingkat pendapatan adalah sejumlah uang responden yang didapatkan dari hasil kerjanya. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

1. Tinggi, jika pendapatan responden perbulan lebih besar atau sama dengan Rp 900.000,00

2. Sedang, jika pendapatan responden perbulan antara Rp 500.000,00 – Rp 900.000,00

3. Rendah, jika pendapatan responden perbulan kurang dari Rp 500.000,00

3. Produk Wisata adalah obyek wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata yang menyebabkan wisatawan tertarik untuk datang ke tempat wisata, fasilitas-fasilitas wisata, seperti akomodasi, restoran, dan tempat hiburan. Produk wisata dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

(64)

35

3. Tinggi; jika jumlah produk wisata 7 – 9

4. Tingkat harga jual lahan adalah total harga lahan yang dijual petani ke pengusaha. Besar kecilnya tingkat harga jual lahan tergantung luas lahan, lokasi, waktu pembelian, kegunaan lahan, dan kemampuan tawar menawar.

1. Rendah; jika total harga jualnya lebih atau sama dengan Rp. 14.700.000,00

2. Sedang; jika total harga jualnya Rp. 14.700.000,00 – Rp. 29.700.000,00 3. Tinggi; jika total harga jualnya kurang dari Rp. 29.700.000,00

5. Sifat Kelembagaan adalah sifat-sifat dari kelembagaan yang ada pada suatu masyarakat. Sifat kelembagaan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Subsisten, jika sifat kelembagaan masyarakat masih berhubungan dengan kegiatan agraris dan kegiatan produksi sebatas untuk memenuhi kebutuhan pokok.

2. Komersil, jika sifat kelembagaan yang segala sesuatunya dinilai dengan uang.

6. Peluang usaha pariwisata adalah kesempatan berusaha bagi penduduk setempat untuk bekerja di sektor pariwisata. Tingkat peluang usaha dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu :

1. Rendah; jika peluang usaha di daerah wisata 0 – 3 jenis peluang usaha. 2. Sedang; jika peluang usaha di daerah wisata 4 – 6 jenis peluang usaha. 3. Tinggi; jika peluang usaha di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang usaha. 7. Peluang kerja pariwisata adalah kesempatan kerja bagi penduduk setempat

untuk bekerja di sektor pariwisata.

(65)

3. Tinggi; jika peluang kerja di daerah wisata 7 – 9 jenis peluang kerja. 8. Pekerjaan utama adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan pemasukan

utama rumahtangga. Pekerjaan utama dibagi menjadi empat jenis, yaitu : 1. Petani

2. Pedagang 3. Buruh Bangunan 4. Buka Usaha Sendiri

9. Pekerjaan sampingan adalah pekerjaan yang hasilnya merupakan tambahan pemasukan rumahtangga. Pekerjaan sampingan dibagi menjadi empat jenis, yaitu :

(66)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survai dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Penelitian ini dipilih dengan maksud untuk menjelaskan dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan agraria, kelembagaan, dan peluang usaha di perdesaan yang dibahas secara deskriptif dan eksplanatif. Dengan penelitian deskriptif diharapkan dapat menggambarkan fenomena dampak pembangunan fasilitas pariwisata di perdesaan, sedangkan dengan penelitian eksplanatif dapat menjelaskan hubungan variabel-variabel. Unit analisis penelitian ini adalah individu (petani). Untuk melengkapi data kuntitatif, maka digunakan juga data-data kualitatif, dimana fungsi data kualitatif yaitu menerangkan dan menambahkan informasi yang tidak dapat dijelaskan secara kuantitatif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

(67)

Survai lokasi penelitian dimulai pertengahan Bulan Juni 2005. Penelitian dimulai pertengahan Bulan Juli 2005 hingga Bulan September 2005. Peneliti kembali ke lokasi sekitar pertengahan Oktober 2005 untuk mencari data tambahan yang terkait dengan kekurangan data pada waktu pengumpulan data.

3.3 Teknik Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil adalah data luas kepemilikan lahan, mata pencaharian, sifat kelembagaan, peluang usaha dan peluang kerja di sektor wisata, serta pendapatan penduduk, sedangkan data sekunder yang diambil adalah data kependudukan Desa Sukanagalih dan kebijakan-kebijakan pemerintah tentang pariwisata. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuesioner dan panduan pertanyaan. Pertimbangan menggunakan kuesioner dalam penelitian ini adalah dinilai lebih praktis, hemat waktu dan tenaga. Untuk sumber data sekunder diambil dari data Desa Sukanagalih, kantor Kota Bunga, instansi-instansi seperti Bappeda, Dinas Perhubungan dan Pariwisata, serta laporan-laporan penelitian.

3.4 Teknik Penentuan Responden

Gambar

Tabel 1. Struktur Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia Tahun 1993
Gambar 1.   Proses Pembentukan Kelembagaan dalam Masyarakat
Gambar 2.  Kerangka Pemikiran Dampak Pembangunan Fasilitas Pariwisata Terhadap Perubahan Struktur Agraria, Kelembagaan dan Peluang Usaha di Perdesaan
Tabel 2. Matriks Masalah, Data yang Dibutuhkan, Sumber Data, dan Metodologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya karena penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir yang berjudul

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesai kan skripsi

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Dampak Internet

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “Peranan

Alhamdulillah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

i     Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penyusunan

KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat serta hidayah-Nya sehingga penulisan disertasi yang berjudul Analisis