• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran atau Paham dalam Etika

Dalam dokumen Makalah Logika Estetika Etika dalam Ilmu (Halaman 67-71)

3.2 Etika

3.2.6 Aliran atau Paham dalam Etika

Pada hakikatnya etika erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan.pembahasan etika memang sangat erat kaitannya dengan perbuatan manusia baik secara aktif maupun pasif. Dari itu munculah beberapa paham/aliran yang kajiannya menitik beratkan pada perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Paham-paham dalam etika yaitu : naturalisme, hedonisme, idealisme, humanisme, perfectionalisme, dan theologis (relegius).

1.Naturalisme

Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan manusia didapatkan dengan menurut panggilan natur (fitrah) dari kejadian manusia itu sendiri. Perbuatan yang baik (susila) menurut aliran ini ialah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan natur manusia. Baik mengenai fitrah lahir maupun mengenai fitrah batin. Kalau lebih memberatkan pada fitrah lahirnya

dinamakan aliran etika maerialisme. Tetapi pada aliran mnaturalisme ini faktor lahir batin itu sema beratnya sebab kedua-duanya adalah fitrah (natur) manusia.

2.Hendonisme

Hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesengangan sebagai kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Menurut hendonisme yang dipandang sebagai perbuatan baik adalah perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kelezatan atau rasa nikmat. Aliran hedonisme memiliki dua cabang yaitu hedonisme egoistik dan hedonisme universilatik.

•Hedonisme egoistik menilai suatu yang baik adalah perbuatan yang bertujuan untuk mendatangkan kelezatan atau kesenangan diri terbesar terhadap diri sendiri secara individual.

•Hedonisme universalistik menilai suatu yang baik adalah hal-hal yang bertujuan untuk mewujudkan kezetan atau kesenangan umum terbesar.

3.Idealisme

Pokok-pokok pandangan idealisme adalah:

1.Wujud yang paling kenyataan (hakikat) ialah kerohanian. Seseorang yang baik pada prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik dilakukan juga, karena adanya rasa kewajiban yang berseri dalam nurani manusia.

2.Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan tindakan yang kongkret. Dan yang menjadi pokok disini adalah “kemauan baik”.

3.Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakan yaitu “rasa kewajiban”

4.Humanisme

Humanisme memandang suatu yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia yaitu kemanusiannya.dalam tindakan kongkret tentulah manusia kongkret pula yang ikur menjadi ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik buruknya tindakan kongkret itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkret adalah kata hati orang yang bertindak.

5.Perfectioisme

Dari tokoh filsuf Yunani (Plato dan Aristoteles) bersepakat dalam satu aliran, yakni perfectionisme. Teori perfectionisme dari Plato dan Aristoteles menetapkan dalam kaitan dengan pengembangan berbeagai kemampuan manusia. Kebahagian hanya bernilai jika kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik. Sumber kebahagian tertinggi terdapat pada fungsi sebenarnya dari kemampuan intelektual.

6.Theologis

Menurut Dr. H. Hamzah Ya’Qub, pengertian Etika theologis ialah aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran Tuhan, segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci.

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur

di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologisKristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah swt.

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.

Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:

 Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

 Diaparalelisme

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat. Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka. Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja. Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

Dalam dokumen Makalah Logika Estetika Etika dalam Ilmu (Halaman 67-71)

Dokumen terkait