• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Publik

2.2.5 Alokasi Air Baku untuk Air Bersih

Sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, selain masalah ekstraksi optimal (khusunya untuk air bawah tanah), permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya air adalah alokasi dan distribusi air. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 pasal 46 ayat (1) Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan usaha atau perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3). Selanjutnya pada pasal 46 ayat (2) dinyatakan bahwa alokasi air untuk pengusahaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada rencana alokasi air yang ditetapkan dalam rencana pengelolaan sumber daya air wilayah sungai bersangkutan.

Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu Kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi (diversion), baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara langsung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan. Di sisi lain, pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti:

• Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan.

• Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air.

• Rekreasi (berenang, kayaking, dan sebagainya).

Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya, namun jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang public. Berdasarkan hal tersebu,t maka teknik non-market valuation lebih cocok digunakan untuk analisis ekonomi sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif. Khusus yang menyangkut penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Berdasarkan hal tersebut maka alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan sustainability (keberlanjutan). Tabel 2 berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya.

Tabel 2. Kriteria alokasi sumber daya air

Kriteria Tujuan

Efisiensi • Biaya penyediaan air yang rendah - Penerimaan per unit sumber daya air yang tinggi

• Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Equity • Akses air bersih untuk semua masyarakat

Sustainability • Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (groundwater depletion)

• Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan generasi mendatang

• Meminimalkan pencemaran air baku

Sumber: UU Nomor 7/2004 dan PP Nomor 16/2005. (diolah)

Selain kriteria di atas, Howe et al. (1986) menambahkan kriteria alokasi sumber daya air antara lain:

• Fleksibilitas (flexibility) dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan.

• Keterjaminan (security) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin.

• Akseptabilitas ( acceptability) politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh rnasyarakat.

Pada beberapa kriteria di atas, pengelolaan sumber daya air, khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni queuing sistem, water pricing, alokasi publik, dan user-based allocation. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 26 ayat (1) pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui kegiatan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (1) pengembangan sumber daya air

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) pada wilayah sungai ditujukan untuk kepentingan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk kepentingan rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.

Kelemahan dalam manajemen penyediaan air selama ini lebih banyak terletak pada sisi demand. Sehingga tidak jarang ditemui, seiring dengan perkembangan dan waktu, akhirnya demand melebihi supply, yang mengakibatkan ketidaktaatan hukum para pengguna air dan bermuara pada degradasi sumber daya air dan lingkungan sekitar. Oleh sebab itu langkah awal perencanaan adalah adanya informasi besaran kebutuhan akan air. Kebutuhan akan air untuk suatu peruntukan tertentu sudah harus diketahui pada saat perencanaan. Kebutuhan ini menyangkut jumlah dan mutu yang diinginkan sesuai peruntukannya. Tingkat kebutuhan harus juga mencakup prediksi untuk jangka waktu panjang (long term). Strategi Penyediaan Air Bersih

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006, memiliki misi untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan air minum, meningkatkan kemampuan manajemen dan kelembagaan penyelenggaraan SPAM dan penegakan hukum dan meyiapkan peraturan. Dalam hal penegakkan hukum dan penyiapkan peraturan untuk menyiapkan penyelenggaraan SPAM antara lain:

• Penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan penyediaan air minum dan perlindungan air baku di pusat dan daerah.

• Pemerintah pusat menyiapkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan kepada daerah, termasuk petunjuk teknis penyelenggaraan SPAM.

• Pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan SPAM.

• Penegakan hukum diberlakukannya sanksi-sanksi bagi pelanggar peraturan terkait dengan penyelenggaraan SPAM.

Sasaran global dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM mengacu pada sasaran yang telah terukur dalam RPJMN dan sasaran dalam Pencapaian MDG 2015 serta beberapa sasaran terukur lainya. Selain itu juga

menuju sasaran yang normatif seperti tertuang dalam PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM. Sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009 dalam pengembangan air bersih adalah: meningkatkan pelayanan air bersih melalui perpipaan secara nasional menjadi 40% dengan cakupan layanan untuk penduduk di kawasan perkotaan dapat meningkat menjadi 66% dan kawasan perdesaan menjadi 30%.

Pada kondisi pelayanan air bersih secara nasional pada tahun 2004 sebesar 17,96% atau 39 juta jiwa yang terlayani, maka perlu peningkatan sampai 22,04% selama kurun waktu lima tahun pada tahun 2009 jumlah penduduk yang memiliki akses air bersih perpipaan diprediksi sekitar 92,4 juta jiwa, atau sebesar 40% dari total penduduk Indonesia (231 juta jiwa). Kebijakan nasional tentang air bersih mentargetkan cakupan pelayanan air bersih untuk masyarakat perkotaan pada tahaun 2010-2014 sebesar 66%. Sedangkan untuk masyarakat DKI Jakarta, pemerintah mentargetkan cakupan pelayanan air bersih pada tahun 2014 sebesar 80%.

Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam penyediaan air bersih oleh PAM Jaya belum maksimal walau telah diprivatisasi dalam bentuk konsesi selama 25 tahun kepada perusahaan swasta dari Prancis dan Inggris (kemudian dibeli Jerman dan pengusaha Indonesia). Berdasarkan data statistik dari BPS DKI Jakarta tahun 1998, sekitar 50% rumah tangga menggunakan air ledeng (PAM Jaya), air tanah dengan pompa sebesar 42,67%, sumur gali 3,16% dan lainnya 0,63%. Sementara tarif PAM sudah sangat tinggi, dengan rata-rata Rp. 5.000/ meter3, gedung perkantoran, hotel berbintang dan pusat perbelanjaan (mall) melakukan ekstraksi air tanah dengan volume yang tinggi. Akibatnya, air dalam tanah (deep water) mengalami penurunan yang luar biasa. Sebagaimana dikemukakan ahli teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, terjadi penurunan tanah di Kawasan Jln. MH. Thamrin hingga 10 cm per tahun (Nugroho, 2002).

Penambahan cakupan pelayanan untuk 53,4 juta jiwa dari total penduduk Indonesia, bilamana digunakan tingkat konsumsi normal air rata-rata nasional sebesar 120 lt/orang/hari untuk sambungan rumah dan 60 lt/hari untuk akses hidran umum serta ratio SR dan HU adalah 80:20. Berdasarkan hal tersebut maka

diperlukan peningkatan kapasitas produksi perpipaan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkiraan kebutuhan nasional kapasitas pengembangan SPAM sampai 2009 No Jenis pelanggan Persentase cakupan % Kebutuhan air rata-rata L/o/h Kehilangan air % Kapasitas tambahan m3/detik 1 Sambungan langsung 80 120 20 71,2 2 Hidran umum 20 60 20 8,9 Total kapasitas 80,1

Sumber: Data dan perhitungan (diolah)

Beberapa kebijakan yang terkait dengan sumber daya air dan pengelolaan air minum antara lain: UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM) dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM (Dep PU Direktorat Jenderal Cipta Karya).

Pada masa penjajahan Belanda, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan yang terbentuk dan berkembang berdasarkan ajaran dan teori hukum pada jaman tersebut atau disebut juga hukum lingkungan klasik. Beberapa pengaturan tersebut misalnya Undang- undang Gangguan (hinder ordonnantie) 1926, Undang-undang Perlindungan Binatang Liar (Dierenbeschermings Ordonnantie) 1931, Undang-undang Perlindungan Alam (Natuurbeschermings Ordonnantie) 1941, Undang-undang Pembentukkan Kota (Stadsvorming Ordonnantie) 1948. Undang-undang tersebut dimaksudkan sebagai undang-undang payung (umbrella act) bagi undang-undang lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai undang-

undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup sejak lahirnya UU No 4 Tahun 1982 antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Pada masa Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga tahun 1982, sudah ada beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Namun, berbagai undang-undang tersebut masih bersifat sektoral dan eksploitatif atau used oriented law. Undang-undang tersebut misalnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Sejak tahun 1982, Indonesia mulai memasuki era baru hukum lingkungan yang lebih bersifat environment oriented law dengan disahkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang tersebut diakui telah menandai awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan .

Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diberlakukannya undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya masyarakat. Pada kurun waktu tersebut terlihat pula adanya peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata.

Pada perkembangan selanjutnya, disadari bahwa permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan

pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam mempertimbangkan perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasca reformasi 1998 hingga saat ini (2008) yang ditandai dengan semangat keterbukaan, demokrasi dan desentralisasi telah dilahirkan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Undang-undang yang lahir pasca reformasi antara lain Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.