• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Kehidupan masyarakat di sekitar hutan, tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk hubungan kekerabatan dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam memelihara keseimbangan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan berbagai fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan. Potensi ekonomi tegakan mangrove berasal dari tiga sumber, yaitu hasil hutan, perikanan muara sepanjang pantai dan ekoturisme. Disamping menghasilkan bahan dasar untuk industri seperti kertas, rayon, kayu bakar dan arang yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi, ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menyediakan produknya yang dapat diukur dengan uang. Menurut Saenger et al. (1983) diacu dalam Dahuri et al. (1996) telah terindentifikasi lebih dari 70 macam kegunaan pohon mangrove bagi kepentingan hidup manusia, baik produk langsung, seperti bahan bakar, bahan bangunan, alat penangkap ikan, pupuk pertanian, bahan baku kertas, obat-obatan dan makanan, maupun produk tidak langsung seperti tempat dan bahan makanan. Ekosistem hutan mangrove yang memiliki fungsi-fungsi ekologis yang penting antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pembesaran bagi biota-biota tertentu dan juga mampu menekan terjadinya abrasi dan kerusakan pantai, dapat meredam pengaruh gelombang serta tahan terendam di perairan dengan kadar garam yang beragam dan mampu menahan lumpur, sehingga mempercepat terbentuknya “tanah timbul”.

Dengan memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari, sehingga tidak mengurangi daya dukung lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, hutan mangrove ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kehutanan, perikanan (tambak), pertanian, industri, pemukiman, pertambangan dan pariwisata. Adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove, sering menimbulkan konflik dan mengarah pada pengelolaan dengan pertimbangan yang sempit dan tidak berkelanjutan (Dahuri 2003). Definisi pengelolaan sumberdaya alam (SDA) menurut Soerianegara (1977) adalah upaya manusia dalam mengubah SDA agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi.

Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaik-baiknya berdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak pembangunan yang negatif, seperti terjadinya penurunan nilai-nilai sumberdaya pesisir dan laut yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu sendiri. Keadaan ini disebabkan antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kemampuan daya dukungnya, tidak disertainya dengan usaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya.

Menurut Adrianto (2004) bahwa alternatif pengelolaan dapat diterapkan kepada ekosistem mangrove dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, kemungkinan dan prioritas pembangunan, aspek teknis, politis dan sosial masyarakat di kawasan mangrove. Alternatif dapat berupa kawasan preservasi hingga kawasan penggunaan ganda (multiple uses) yang memberikan ruang kepada pemanfaatan ekosistem mangrove untuk tujuan produktif. Contoh alternatif pengelolaan ekosistem mangrove terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pilihan Pengelolaan Deskripsi

Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif

Kawasan Kehutanan subsisten Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat ; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat

Kawasan hutan komersial Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove

Akua-silvikultur Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan

Budidaya perairan semi-intensif

Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Budidaya perairan intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya

perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan hutan komersial

dan budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan

memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan

budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat local dan perikanan Konversi ekosistem mangrove Konversi kawasan mangrove menjadi

peruntukan lain. Sumber : Adrianto (2004)

Pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/system/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah pendayagunaan sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000).

Lemahnya manajemen pengelolaan hutan mangrove baik dalam sistim silvikultur, SDM, perencanaan, kelembagaan, pelaksanaan dan pengawasan serta

keterbatasan data informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove (Dahuri et al. 1996).

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati perlu memperhatikan dua pertimbangan penting pertama bahwa keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat yang luas kepada manusia, kedua aktivitas manusia yang berlangsung, belum merugikan keanekaragaman hayati dan mengancam kesinambungan dan stabilitas ekosistem, seperti barang dan jasa (Pimm et al. 1995; Simon and Wildavsky 1995) diacu dalam Nunes et al. (2001).

Keanekaragaman hayati sebagai sumber nilai ekonomi, dapat dilihat pada Gambar 1, yang menunjukkan hubungan antara keanekaragaman hayati, ekosistem, spesies dan kesejahteraan manusia.

1 4 2 6 3 5

Sumber : Nunes et al. (2001)

Gambar 1. Nilai Ekonomi Keanekaragaman hayati

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat diklasifikasikan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, yaitu pertama hubungan 1 – 6 bahwa manfaat atau fungsi dan nilai-nilai dari ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia, misalnya fungsi ekosistem sebagai pengendali banjir dan pengisian air tanah. Kedua

hubungan 1 – 4 – 5 bahwa ekosistem sebagai perlindungan habitat bagi spesies-spesies yang terkait, contohnya dampak dari kerusakan habitat akan menurunkan nilai dan permintaan turis untuk kawasan wisata. Ketiga hubungan 2 – 5 bahwa manfaat dari semua keanekaragaman spesies untuk kepentingan manusia, karena sebagai input dalam proses produksi, contohnya industri barang yang diperdagangkan dan keempat hubungan 3 bahwa pengetahuan dan moral manusia

Biodiversity

Ecosystem

Human welfare Species

akan keberlanjutan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang (Nunes et al. 2001). Oleh karena itu, pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk pembangunan perekonomian. Sumberdaya alam hayati memiliki nilai ekonomi, investasi dalam pelestarian sebaiknya dilihat dari segi ekonomi, yang memerlukan sarana yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam mengukur keuntungan pelestarian sumberdaya hayati, mengukur akibat yang menguntungkan atau kondisi yang lebih baik yang dihasilkan oleh tindakan pelestarian.

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al. 1995). Menurut Munasinghe (1995) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup nilai-nilai sosial dan politik. Contohnya, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.

Dalam kerangka pemikiran ekonomi, cakupan konsep ekologi hanya membatasi diri dalam menanggulangi dampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, dari kegiatan pembangunan dengan kata lain konsep ekologi lebih mengarah kepada pengelolaan dampak pembangunan atas pihak-pihak yang terkena atau secara potensial terkena pengaruh. Sementara itu, teori ekonomi selain menawarkan alternatif bagi pengelola, imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact and accident) yang mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai sektor atau pelaku kegiatan ekonomi (Ismawan 1999).

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasi

Pengelolaannya

Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya alam khususnya ekosistem mangrove sangat berperan dalam penentuan kebijakan pengelolaannya, sehingga alokasi dan alternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi ekonomi sumberdaya alam termasuk mangrove adalah konsep total economic value (TEV)

yang terdiri atas tiga tipe nilai, yaitu nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non-pakai (non use value). Nilai pakai langsung diturunkan dari pemanfaatan langsung (interaksi) antara masyarakat dengan ekosistem mangrove. Nilai ini terdiri atas pemanfaatan konsumtif (seperti kayu bakar, pertanian, pemanfaatan air, kegiatan berburu dan pemanfaatan perikanan) dan pemanfaatan non-konsumtif (seperti rekreasi, manfaat riset dan pendidikan). Nilai pakai tak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktifitas ekonomi atau sering disebut sebagai “jasa lingkungan”. Sebagai contoh fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan banjir, fungsi perlindungan air tanah. Nilai pilihan (option value) terkait dengan nilai pakai (use values) yang merupakan pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove di masa datang. Nilai non pakai merupakan representasi dari individu yang tidak dalam posisi memanfaatkan ekosistem mangrove, tetapi memandang bahwa kelestarian ekosistem mangrove tetap perlu sebagai sebuah intrinsic value (kantian value). Salah satu representasi dari nilai intrinsic ini adalah nilai keberadaan (existence value) (Adrianto 2004). Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu

pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar

(market value), nilai pasar pengganti (substitute atau surrogate) atau barang-barang komplementer (complementary goods). Benefit transfer untuk menilai perkiraan benefit dari tempat lain ditransfer untuk memperoleh perkiraan yang kasar mengenai manfaat dari lingkungan, dimana sumberdaya yang memiliki ekosistem yang relatif sama (Fauzi 1999b). Contoh dari nilai pasar adalah effect of production (EOP) untuk melihat bagaimana pengaruh terhadap produksi dari sumberdaya alam, human capital approach (HCA) atau Loss of Earning Approach (LEA) dengan melihat pengaruh kerusakan lingkungan terhadap nilai tenaga kerja (upah), sedangkan contoh dari nilai pengganti adalah travel cost method (TCM) untuk melihat biaya yang dikeluarkan untuk mendatangi tempat rekreasi, wage differential (WD) yang menggunakan tingkat upah sebagai tolok ukur untuk mengukur kualitas lingkungan dan property value (PV) nilai asset pribadi digunakan memperkirakan nilai lingkungan. Kedua pendekatan biaya (cost) contohnya replacement cost, shadow project, preventive expenditure dan

P

P*

0 Q* Q

A = Jumlah yang dibayar oleh konsumen B = Surplus konsumen

relocation cost. Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM).

Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004)

Surplus konsumen atau Dupuits’s consumer’s surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya di bayar (Fauzi 2000).

Kurva permintaan yang digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga kurva permintaan Marshall, seperti terlihat pada Gambar 2. B E

A

Kurva Permintaan Sumber : Fauzi (2000)

Gambar 2. Kurva Permintaan Konsumen

Kurva pada Gambar 2, menggambarkan jumlah barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen pada tingkat harga dan waktu tertentu. Tingkat harga barang dan

jasa berbanding terbalik dengan jumlah barang dan jasa yang diminta, jika harga naik, maka jumlah yang diminta menurun (Fauzi 2000).

Gambar 2, memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar (WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen diposisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen.

Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya mangrove menurut Adrianto (2005), didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) melalui surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

n n X X X Q= β0 1β1 2β2... β dan

=

a

dQ

Q

f

U

0

( )

sehingga

CS =UPt

dimana : CS = Consumer surplus

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta

Xi = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta diturunkan dari fungsi permintaan

X2 ….Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga U = Utilitas terhadap sumberdaya

a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta

f(Q) = fungsi permintaan Pt = harga yang dibayarkan

Menurut Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004) menyebutkan ada dua kategori valuasi ekonomi yaitu (1) mengeksplorasi data pasar yang ada dan dikaitkan dengan komoditas lingkungan, teknik valuasi dalam kategori ini adalah travel cost (TC) melalui pendekatan generalisasi biaya kunjungan (generalized travel cost), hedonic price (HP) menggunakan pendekatan hedonik untuk mengestimasi, averting behavior (AB) menggunakan pendekatan generalisasi biaya pengeluaran untuk menilai jasa-jasa lingkungan termasuk biaya pencegahan kerusakan (avoided damage costs), biaya pengganti

(replacement cost), biaya kompensasi (compensation costs) dan production function (PF) yang mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkungan melalui hubungan input-output produksi. (2) stated preferences method yang berdasarkan preferensi melalui teknik Contingent Valuation (CV). Teknik mengukur total nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dalam konteks keanekaragaman hayati terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Manfaat Ekosistem Mangrove dan Metode Penilaian Ekonominya. Interpretasi nilai ekonomi Manfaat Keanekaragaman hayati Metode penilaian ekonomi Genetic and species

diversity

Input bagi proses produksi (misalnya industri farmasi, pertanian, perikanan)

CV = +, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Natural areas and lanscape diversity Perlindungan habitat (misalnya perlindungan area rekreasi) CV = +, TC = +, HP = -, AB = -, PF = + Ecosystem functions and ecological services

Nilai-nilai ekologi (misalnya fungsi pengendalian banjir)

CV = -, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Non use biodiversity Nilai keberadaan dan moral

CV = +, TC = -, HP = -, AB = -, PF = -

Sumber : Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004)

Keterangan : tanda (+) artinya metode penilaian ekonomi yang terpilih dan (-) artinya metode yang tidak terpilih, CV = Contingent Valuation, TC = Travel Costs, HP = Hedonic Price, AB = Averting Behavior, dan PF = Production Function.

Cost Benefit Analysis (CBA) juga salah satu teknik yang sering digunakan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan/dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi (Kusumastanto 2000).

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Adrianto (2004) bahwa dalam proses pengambilan keputusan terhadap alternatif pengelolaan digunakan analisis Cost Benefit Analysis (CBA), dimana proses pengambilan keputusan didasarkan pada analisis terhadap besaran (magnitude) dari kerugian pengelolaan yang ditransfer ke dalam komponen biaya (costs) dan keuntungan pengelolaan yang di

representasikan ke dalam komponen manfaat (benefits), dimana pengelolaan dikatakan layak apabila manfaat bersih (net benefits) adalah positif. Selanjutnya alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan dalam periode waktu tertentu. Arus manfaat dan biaya harus di diskon agar manfaat dan biaya dapat dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut nilai sekarang (Present Value).

Pemilihan keputusan yang strategis dengan mempertimbangkan beberapa alternatif pengelolaan, dapat dilakukan dengan membandingkan net benefits dari alternatif pengelolaan yang satu (NBA) dengan alternatif pengelolaan yang lainnya (NBB), sehingga apabila pengambilan keputusan cenderung untuk memilih alternatif A, maka NBA harus lebih besar dari NBB, dan A ≠ B. Alternatif pengelolaan yang dipilih untuk mencapai tujuan yaitu kriteria efisiensi, equity dan sustainable digunakan analisis Multi Criteria Analysis (MCA) (Adrianto 2004).

Multi criteria analysis adalah suatu kerangka kerja (framework) terstruktur untuk menginvestigasi, menganalisis dan memecahkan keputusan yang terkendala dengan berbagai tujuan dan kriteria dan merupakan teknik pengambilan keputusan yang berbasis non parametric (Fauzi 2004). Struktur dari MCA tersebut adalah mendefinisikan masalah, mendeskripsikan alternatif (kontinyu atau diskret), analisis dari dampak alternatif, defenisi kriteria, evaluasi prioritas kebijakan, seleksi alternatif dan presentasi hasil (numerik dan visual) (Adrianto 2004).