• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis ekonomi alternatif pengelolaan sekosistem mangrove kecamatan Barru Kabupaten Barru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis ekonomi alternatif pengelolaan sekosistem mangrove kecamatan Barru Kabupaten Barru"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN

EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN BARRU

KABUPATEN BARRU

NURDIANA AZIS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2006

Nurdiana Azis Nrp.C451 030 081

(3)

ABSTRAK

NURDIANA AZIS. Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru. Dibimbing oleh MOCH PRIHATNA SOBARI dan LUKY ADRIANTO.

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman mangrove tinggi, dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia, sekitar 3,7 juta ha atau 24%-nya berada di Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat lokal; (2) menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove;(3) menganalisis alternatif pemanfaatan strategis untuk ekosistem mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study), metode pengambilan sampel digunakan adalah purposive sampling atau sengaja. Jumlah responden sebanyak 138 dari rumah tangga perikanan (RTP) dan non RTP. Data dianalisis dengan consumer surplus, optimal pemanfaatan (household model), total nilai ekonomi (TEV) dan multi criteria analysis (MCA).

Hasil yang diperoleh bahwa utility terbesar adalah dari hasil kepiting sebesar Rp19.770.799,11 dengan konsumen surplus sebesar Rp17.664.744,08. Keuntungan optimal tertinggi dari jenis pemanfaatan kepiting sebesar Rp12.883.900,00 untuk 11 (sebelas) rumah tangga perikanan. Keuntungan optimal terendah diperoleh dari hasil pemanfaatan tambak udang sebesar Rp(3.165.590,70). Proporsi terbesar adalah dari manfaat tidak langsung dengan persentase 83,71% dengan nilai sebesar Rp1.039.474.428,00 per tahun. Nilai ekonomi total ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Barru yang seluas 6.23 ha untuk hutan mangrove dan 127,60 ha untuk tambak per tahun sebesar Rp1.241.763.891,75.

Alternatif pemanfaatan yang menjadi pilihan prioritas, berdasarkan keseimbangan antara indikator untuk kriteria efisiensi dengan kriteria ekologi, antara kriteria efisiensi dengan equity, baik pada tingkat suku bunga rill 4,12% maupun suku bunga rill 3,55%, adalah pertama alternatif pemanfaatan V (hutan mangrove 100% dan tambak 0%), prioritas kedua adalah alternatif pemanfaatan IV (hutan mangrove 8,73 ha dan tambak monokultur udang 0 ha, tambak monokultur ikan Bandeng 104,05 ha, serta tambak polikultur 21,00 ha). Alternatif pemanfaatan III, II dan I tidak menjadi pilihan dalam alternatif pengelolaan karena menunjukkan nilai yang sangat tidak efisien.

Kata Kunci : Ekosistem Mangrove, konsumen surplus, utility, optimal, Nilai Ekonomi Total, Alternatif Pemanfaatan.

(4)

ABSTRACT

NURDIANA AZIS. The Alternative Economic Analysis on Mangrove Ecosystem Management in Barru District, Barru Regency. Under the supervision of MOCH PRIHATNA and LUKY ADRIANTO.

Indonesia is a tropical country that has high variety of mangrove. Of 15.9 thousand ha world mangrove forest total area, the 3.7 thousand ha, or 24% of it is located in Indonesia. The aims of the research are: 1) to identify both the potential and the types of utilization of mangrove ecosystem carried out by the local society; 2) to analyze the economic value of the mangrove ecosystem; and (3) to analyze the alternatives of strategic utilization for mangrove ecosystem. The method used in this research is case study, and the sample taking method is purposive sampling. The number of respondents is 138 deriving from Fishery Household (RTP) and non-RTP. The data were then analyzed by using consumer surplus, household model, Total Economic Value (TEV), and Multi Criteria Analysis (MCA).

The results show that the biggest utility is the one of crabs that reaches Rp19, 770,799.11, with the surplus consumer of Rp17,664,744,08. The highest optimum profit from the crab utilization amounts to Rp12,883,900.00 for 11 (eleven) fishery households; while the lowest profit is obtained from the utilization of prawn pond with Rp3,165,590.70. The biggest proportion is from the indirect utilization with a percentage of 83.71% with a value of Rp1,039,474,428.00 per year. Furthermore, the Total Economic Value of the mangrove forest ecosystem in Barru District covering 6.23 ha of mangrove forest and 127.60 ha for ponds amounts to Rp1,241,763,891.75.

The utilization alternatives put as priorities, based on the balance between indicators for both efficiency criteria and ecology criteria, between the efficiency and equity criteria, not only in the level of real interest rate of 4.12% but also at the real interest rate of 3.55% are as follows: firstly, utilization alternative V (100% mangrove forest and 0% ponds); secondly, utilization alternative IV (8.73 ha mangrove forest and 0 ha shrimp monoculture pond, 104.05 ha mallet monoculture pond, and 21.00 ha poly-culture). Nevertheless, the utilization alternative III, II, and I cannot be given as choices in this management since their analysis values show that they are not efficient.

(5)

© Hak cipta milik Nurdiana Azis, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

ANALISIS EKONOMI ALTERNATIF PENGELOLAAN

EKOSISTEM MANGROVE KECAMATAN BARRU

KABUPATEN BARRU

NURDIANA AZIS

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Kecamatan Barru Kabupaten Barru Nama : Nurdiana Azis

Nrp : C 451 030 081

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ir.Moch Prihatna Sobari, M.S. Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

Prof.Dr.Ir.H.Tridoyo Kusumastanto, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2005 ini ialah Analisis Ekonomi Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kecamatan Barru Kabupaten Barru.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Moch Prihatna Sobari, M.S., dan Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc., selaku pembimbing yang telah banyak memberi ilmu dan arahan yang sangat berarti. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan juga kepada Prof. Dr. Ir. H Tridoyo Kusumastanto, M.S., selaku Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika beserta segenap dosen dan staf program studi, rekan-rekan ESK angkatan I – IV. Terima kasih kepada Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Makassar dan Yayasan Damandiri atas bantuan dana dalam penyelesaian studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada puang, mama serta seluruh keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya, kak Pono Sudrajad atas motivasi dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Labolong pada tanggal 20 September 1979 dari bapak Abd Azis dan ibu Nurhaeda. Penulis merupakan putri keempat dari tujuh bersaudara.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Pinrang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin melalui jalur UMPTN. Penulis memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove ... 5

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 7

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati ... 10

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasi Pengelolaannya... 11

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI... 17

IV METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu... 20

4.2 Metode Penelitian ... 20

4.3 Metode Pengambilan Sampel... 20

4.4 Analisis Data ... 22

4.5 Definisi Operasional ... 31

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Letak dan Luas ... 33

5.2 Keadaan Fisik ... 33

5.3 Keadaan Sosial Ekonomi ... 34

VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan... 41

6.2 Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove... 47

6.3 Pendugaan Nilai Utility Konsumen dari Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove... 49

6.4 Analisis Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Perikanan pada Ekosistem Hutan Mangrove ... 53

6.5 Pendugaan Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 63

6.6 Pendugaan Total Nilai Ekonomi Hutan Mangrove ... 76

6.7 Alternatif Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove ... 78

(11)

Halaman

VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan ... 94

7.2 Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA... 96

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove. ... 9

2. Manfaat Ekosistem Mangrove dan Metode Penilaian Ekonominya . 15 3. Perincian Jumlah Sampel... 21

4. Luas Kelurahan/Desa dan Jarak dari Ibukota Kecamatan ... 34

5. Jumlah Penduduk, Jumlah KK (Kepala Keluarga) dan RTP (Rumah Tangga Perikanan Tahun 2004 ... 35

6. Klasifikasi Umur Repsonden ... 36

7. Jenis Kelamin Responden... 37

8. Klasifikasi Tingkat Pendidikan Responden ... 37

9. Jumlah Mata Pencaharian Responden ... 38

10. Klasifikasi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga... 38

11. Asal Responden... 39

12. Lama Domisili Responden... 40

13. Status Lahan Tambak yang Dikelola Responden... 40

14. Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Barru ... 41

15. Produksi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya di Kabupaten Barru Tahun 1994 – 2003 ... 42

16. Jumlah Armada Perikanan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Barru Tahun 2004... 43

17. Jumlah Nelayan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Barru Tahun 2004 ... 44

18. Jenis Alat Tangkap per Kelurahan/Desa di Kecamatan Barru Tahun 2004 ... 44

19. Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/Desa di Kecamatan Barru Tahun 2004 ... 45

20. Rekapitulasi Hasil Pemetaan Ekosistem Mangrove di Kabupaten Barru ... 45

21. Data Fisik Hutan Mangrove Kecamatan Barru... 46

22. Pemanfaatan Hutan Mangrove ... 47

23. Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove ... 48

(13)

Halaman

25. Nilai Manfaat Optimal Ekosistem Hutan Mangrove Tahun 2005

per Ha ... 57 26. Nilai Optimal Output dan Input dari Pemanfaatan Ekosistem Hutan

Mangrove oleh Petambak per Hektar per Tahun ... 57 27. Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Ekosistem Hutan

Mangrove untuk Kepiting Kayu Bakar dan Kayu Bangunan per Ha 59 28. Nilai Output dan Input Optimal Pemanfaatan Hutan Mangrove dari

Bibit Alam, Kerang/Tude dan Bibit Bakau per Ha ... 61 29. Manfaat Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove Berdasarkan Surplus

Konsumen Tahun 2005... 64 30. Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove berdasarkan Pemanfaatan Aktual Tahun 2005 ... 65 31. Manfaat Keberadaan Hutan Mangrove dan Karakteristik Responden 70 32. Hubungan WTP Hutan Mangrove dengan Karakteristik Responden 71 33. Nilai Total Ekonomi Hutan Mangrove di Kecamatan Barru

Tahun 2005. ... 76 34. Nilai Manfaat Total dan Keuntungan dari Alternatif Pemanfaatan .. 78 35. Hasil Analisis Ekonomi pada Tingkat Suku Bunga untuk

Alternatif Pemanfaatan I... 80 36. Hasil Analisis Ekonomi pada Tingkat Suku Bunga untuk

Alternatif Pemanfaatan II... 81 37. Hasil Analisis Ekonomi pada Tingkat Suku Bunga untuk

Alternatif Pemanfaatan III ... 82 38 Hasil Analisis Ekonomi pada Tingkat Suku Bunga untuk

Alternatif Pemanfaatan IV ... 83 39. Hasil Analisis Ekonomi pada Tingkat Suku Bunga untuk

Alternatif Pemanfaatan V ... 84 40. Total Manfaat dan Keuntungan dari Alternatif Pemanfaatan ... 86 41. Hasil Standarisasi Indikator Kriteria untuk Alternatif Pemanfaatan

pada Suku Bunga 4,12%... 87 42. Hasil Standarisasi Indikator Kriteria untuk Alternatif Pemanfaatan

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Nilai Ekonomi Keanekaragaman hayati ... 10

2. Kurva Permintaan Konsumen ... 13

3. Alur Kerangka Pendekatan Studi ... 19

4. Volume Komoditas Unggulan di Kabupaten Barru Tahun 2004... 41

5. Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan Budidaya Tahun 1993 - 2003 ... 42

6. Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Kepiting... 50

7. Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Ikan Bandeng... 50

8. Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Kayu Bangunan ... 51

9. Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Kayu Bakar ... 52

10. Plot Utility Konsumen terhadap Hasil Bibit Alam... 52

11. Proporsi Total Nilai Manfaat Langsung Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove... 66

12. Plot Hubungan antara WTP/WTA dengan Pendidikan ... 72

13. Plot Hubungan antara WTP/WTA dengan Pendapatan Responden.. 73

14. Plot Hubungan antara WTP/WTA dengan Umur Responden ... 74

15 Plot Hubungan antara WTP/WTA dengan Jumlah Tanggungan Keluarga Responden... 74

16. Plot Hubungan antara WTP/WTA dengan Lama Domisili ... 75

17 Proporsi Nilai Manfaat Ekonomi Total Hutan Mangrove Tahun 2005 77 18. Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Tingkat Suku Bunga Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan I... 80

19. Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan II ... 81

20. Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif Pemanfaatan III ... 82

(15)

Halaman

22. Perbandingan Hasil Analisis Ekonomi dengan Berbagai Tingkat Suku Bunga pada Ekosistem Hutan Mangrove Alternatif

Pemanfaatan V ... 84 23. Trade Off antara Efisiensi dengan Ekologi Alternatif Pemanfaatan

pada Suku Bunga 4,12%... 87 24. Trade Off antara Efisiensi dengan Equity Alternatif Pemanfaatan

pada Suku Bunga 4,12%... 88 25. Trade Off antara Efisiensi dengan Ekologi Alternatif Pemanfaatan

pada Suku Bunga 3,55%... 89 26. Trade Off antara Efisiensi dengan Equity Alternatif Pemanfaatan

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 99 2. Rekapitulasi Output-Input Menurut Jenis Pemanfaatan

Ekosistem Mangrove ... 100 3. Rekapitulasi Manfaat dan Biaya oleh Nelayan/Tahun ... 109 4. Perhitungan Pendugaan Nilai Utility dan Konsumen Surplus

Menurut Jenis Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove ... 110 5. Perhitungan Manfaat Langsung Optimal Menurut Jenis

Pemanfaatan Ekosistem Hutan Mangrove ... 120 6. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

Berdasarkan Konsumen Surplus ... 126 7. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Kondisi Aktual ... 127 8. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Alternatif Pemanfaatan I... 131 9. Analisis Biaya-Manfaat secara Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove

Tahun 2005 pada Alternatif Pemanfaatan I ... 133 10. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Alternatif Pemanfaatan II ... 134 11. Analisis Biaya-Manfaat secara Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove

Tahun 2005 pada Alternatif Pemanfaatan II... 136 12. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Alternatif Pemanfaatan III ... 137 13. Analisis Biaya-Manfaat secara Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove

Tahun 2005 pada Alternatif Pemanfaatan III... 139 14. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Alternatif Pemanfaatan IV... 140 15. Analisis Biaya-Manfaat secara Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove

Tahun 2005 pada Alternatif Pemanfaatan IV ... 142 16. Analisis Ekonomi Manfaat Langsung Hutan Mangrove tahun 2005

pada Alternatif Pemanfaatan V ... 143 17. Analisis Biaya-Manfaat secara Ekonomi Manfaat Hutan Mangrove

Tahun 2005 pada Alternatif Pemanfaatan V... 145 18. Perhitungan Hubungan WTP/WTA dengan Karakteristik

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya alam dewasa ini diarahkan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat (ekonomi), adil (equity) dan berkelanjutan (sustainable natural resources). Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No 32 Tahun 2004, telah terjadi banyak perubahan pola kebijakan daerah terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam (SDA). Hal ini dimungkinkan karena SDA merupakan modal penting dalam menggerakkan pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi, kabupaten maupun kota. Oleh karenanya dalam pemanfaatan SDA, aspek perencanaan yang strategis merupakan langkah dalam menentukan jumlah penerimaan dan tingkat kontribusinya dalam pembentukan modal pembangunan.

Pada umumnya wilayah pantai tropika termasuk Indonesia ditumbuhi tumbuhan mangrove, merupakan tipe hutan khas yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang memenuhi beberapa kriteria. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman mangrove tinggi, dari 15,9 juta ha luas hutan mangrove dunia, sekitar 3,7 juta ha atau 24%-nya berada di Indonesia. Menurut Wantasen (2002) bahwa Indonesia merupakan tempat komunitas mangrove terluas di dunia.

(18)

Sumberdaya mangrove dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan asalkan tingkat pemanfaatannya tidak melampaui kapasitas produksinya. Potensi sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan di Indonesia yang sangat besar tersebut membutuhkan pengelolaan yang baik, sehingga pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkesinambungan, sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menjadi dasar konsep pembangunan nasional. Hal tersebut sesuai pendapat McNeely (1992) bahwa pengelolaan sistem-sistem yang efektif dapat menjamin supaya sumberdaya hayati tidak hanya bertahan hidup, tetapi meningkat ketika dimanfaatkan, sehingga membentuk dasar untuk pembangunan berkelanjutan. Kenyataannya dalam pelaksanaan pengelolaan tersebut, faktor keberlanjutan sumberdaya alam (SDA) sering diabaikan dengan terjadinya degradasi SDA yang memprihatinkan di berbagai daerah, juga karena kebijakan pengelolaan sekarang sering menperkuat kecenderungan untuk mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan, sehingga kebijakan baru perlu dikembangkan untuk memperbaiki kegagalan pasar. Salah satunya, kegiatan konversi lahan hutan mangrove yang tidak terkendali hampir di seluruh wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan.

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan untuk memaksimalkan manfaat ekonomi di sebagian besar wilayah pesisir tertentu telah menimbulkan sejumlah dampak negatif terhadap kondisi fisik lingkungan pesisir dan laut. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari luas areal yang mencapai 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi 3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi hingga sekitar 2.496.185 ha pada tahun 1993 (Dahuri et al. 1996). Penurunan luasan mangrove hampir merata terjadi di seluruh kawasan pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut adalah karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan perikanan seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri, pertambangan, pemukiman di kawasan pesisir, perluasan areal pertanian serta pengambilan kayu mangrove secara besar-besaran.

Kesalahan, kekurangcermatan atau ketidakakuratan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan SDA memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya (termasuk masyarakat lokal) yang memiliki ketergantungan secara langsung terhadap SDA tersebut. Apabila kondisi ini dipertahankan, maka laju degradasi SDA akan semakin cepat. Degradasi hutan mangrove akan menimbulkan banjir, intrusi air laut dan hilangnya biota laut. Oleh karena itu pada setiap lokasi hutan mangrove perlu memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti salinitas, pasang surut dan topografi, sejauh mungkin dipertahankan seperti kondisi semula, juga rehabilitasi hutan mangrove perlu dilakukan pada lokasi-lokasi yang mulai rusak maupun kritis kondisinya.

(20)

antara kepentingan ekologi (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat.

Pertanyaan yang kemudian timbul dengan mencermati fenomena ekologi dari kondisi potensi sumberdaya ekosistem mangrove di atas, adalah sebagai berikut :

1) Bagaimana potensi dan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Kecamatan Barru ?

2) Bagaimana dan seberapa besar nilai ekonomi dari ekosistem mangrove di Kecamatan Barru ?

3) Bagaimana alternatif pemanfaatan strategis yang efisien, equity serta berkelanjutan untuk ekosistem mangrove ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi potensi dan jenis pemanfaatan ekosistem mangrove oleh

masyarakat lokal di Kecamatan Barru

2) Menganalisis nilai ekonomi dari ekosistem mangrove

3) Menganalisis alternatif pemanfaatan strategis untuk ekosistem mangrove di Kecamatan Barru.

Kegunaan penelitian, yaitu :

1) Dengan penelitian ini, maka diharapkan akan diperoleh data dan informasi mengenai kondisi ekologi dan ekonomi suatu ekosistem mangrove.

2) Sebagai bahan acuan dalam perencanaan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien, adil (equity) dan berkelanjutan.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Mangrove

Menurut Nybakken (1986) bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa species pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Sementara itu, Bengen (2002) mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan bersubstrat lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak optimal.

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang mempunyai manfaat ganda baik dari aspek sosial ekonomi maupun ekologi. Besarnya peranan ekosistem hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove atau manusia yang bergantung pada hutan mangrove tersebut (Naamin 1991).

(22)

sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dan dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (mangrove associate).

Ekosistem hutan mangrove mempunyai peranan dan fungsi penting yang dapat mendukung kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Dahuri et al. (1996), menyatakan bahwa secara garis besar ekosistem hutan mangrove mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi ekologis dan fungsi sosial ekonomi.

Potensi ekonomi sumberdaya hutan mangrove sebagai penyedia sumberdaya kayu dan udang serta ikan, juga berfungsi ekologis untuk menahan banjir dan bagi nursery ground jenis-jenis udang (Fauzi 1999a). Fungsi ekologis ekosistem mangrove menurut Dahuri et al. (1996) adalah sebagai berikut : a) Dalam ekosistem hutan mangrove terjadi mekanisme hubungan antara

ekosistem mangrove dengan jenis-jenis ekosistem lainnya seperti padang lamun dan terumbu karang.

b) Dengan sistem perakaran yang kokoh ekosistem hutan mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, menahan lumpur dan melindungi pantai dari abrasi, gelombang pasang dan taufan.

c) Sebagai pengendalian banjir, hutan mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi untuk mengurangi bencana banjir. d) Hutan mangrove dapat berfungsi sebagai penyerap bahan pencemar

(environmental service), khususnya bahan-bahan organik.

e) Sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring-jaring makanan di ekosistem pesisir, serasah mangrove yang gugur dan jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan sekaligus berfungsi membantu proses daun-daun tersebut menjadi detritus. Selanjutnya detritus menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan, seperti cacing, udang-udang kecil dan akhirnya hewan-hewan ini akan menjadi makanan larva ikan, udang, kepiting dan hewan lainnya.

(23)

Mangrove yang tumbuh di sekitar perkotaan atau pusat pemukiman dapat berfungsi pertama sebagai penyerap bahan pencemar, khususnya bahan-bahan organik. Kedua, hutan mangrove sebagai energi bagi lingkungan perairan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem hutan mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi dari tingkat tropik yang lebih rendah ke tingkat tropik yang lebih tinggi. Ketiga, hutan mangrove merupakan pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan. Di dalam ekosistem mangrove terjadi mekanisme hubungan yang memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya.

2.2 Alokasi dan Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(24)

Dengan memperhatikan peran dan potensi ekosistem hutan mangrove yang sangat besar tersebut, maka setiap pemanfaatan hutan tersebut perlu memperhatikan prinsip pemanfaatan yang optimal dan lestari, sehingga tidak mengurangi daya dukung lingkungan itu sendiri yang selanjutnya akan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Dalam perkembangannya, hutan mangrove ini telah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti kehutanan, perikanan (tambak), pertanian, industri, pemukiman, pertambangan dan pariwisata. Adanya berbagai kepentingan dari berbagai pihak dalam memanfaatkan areal hutan mangrove, sering menimbulkan konflik dan mengarah pada pengelolaan dengan pertimbangan yang sempit dan tidak berkelanjutan (Dahuri 2003). Definisi pengelolaan sumberdaya alam (SDA) menurut Soerianegara (1977) adalah upaya manusia dalam mengubah SDA agar diperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas produksi.

Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional, harus dilaksanakan sebaik-baiknya berdasarkan azas kelestarian, keserasian dan azas pemanfaatan yang optimal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dampak pembangunan yang negatif, seperti terjadinya penurunan nilai-nilai sumberdaya pesisir dan laut yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan itu sendiri. Keadaan ini disebabkan antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kemampuan daya dukungnya, tidak disertainya dengan usaha-usaha konservasi serta rendahnya peran serta masyarakat terhadap aktivitas-aktivitas pembangunan yang telah direncanakan penataannya.

(25)

Tabel 1. Contoh Beberapa Alternatif Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pilihan Pengelolaan Deskripsi

Kawasan lindung Larangan pemanfaatan produktif

Kawasan Kehutanan subsisten Pengelolaan kawasan hutan mangrove oleh masyarakat ; pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat

Kawasan hutan komersial Pemanfaatan komersial produk hutan mangrove

Akua-silvikultur Konversi sebagian kawasan hutan mangrove untuk kolam ikan

Budidaya perairan semi-intensif

Konversi hutan mangrove untuk budidaya perairan dengan teknologi semi intensif Budidaya perairan intensif Konversi hutan mangrove untuk budidaya

perairan dengan teknologi intensif Pemanfaatan hutan komersial

dan budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan

memaksimalkan manfaat dari hutan mangrove dan perikanan

Pemanfaatan ekosistem mangrove subsisten dan

budidaya perairan semi intensif

Pemanfaatan ganda dengan tujuan memberikan manfaat mangrove kepada masyarakat local dan perikanan Konversi ekosistem mangrove Konversi kawasan mangrove menjadi

peruntukan lain. Sumber : Adrianto (2004)

Pengelolaan sumberdaya alam harus dirumuskan dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk optimasi fungsi ekosistem/system/habitat dengan kondisi perairan. Secara garis besar, kegiatan tersebut berupa kegiatan pelestarian, pengembangan dan rehabilitasi ekosistem. Kegiatan pelestarian ekosistem ditujukan terhadap ekosistem yang fungsinya dalam keadaan optimum agar fungsi tersebut dapat lestari. Pemanfaatan yang baik adalah pendayagunaan sumberdaya sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang bersangkutan. Oleh sebab itu guna mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi (Supriharyono 2000).

(26)

keterbatasan data informasi sumberdaya hutan mangrove serta IPTEK mendorong terjadinya degradasi hutan mangrove (Dahuri et al. 1996).

2.3 Valuasi Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman hayati perlu memperhatikan dua pertimbangan penting pertama bahwa keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat yang luas kepada manusia, kedua aktivitas manusia yang berlangsung, belum merugikan keanekaragaman hayati dan mengancam kesinambungan dan stabilitas ekosistem, seperti barang dan jasa (Pimm et al. 1995; Simon and Wildavsky 1995) diacu dalam Nunes et al. (2001).

Keanekaragaman hayati sebagai sumber nilai ekonomi, dapat dilihat pada Gambar 1, yang menunjukkan hubungan antara keanekaragaman hayati, ekosistem, spesies dan kesejahteraan manusia.

1

4 2

6

3 5

Sumber : Nunes et al. (2001)

Gambar 1. Nilai Ekonomi Keanekaragaman hayati

Berdasarkan Gambar 1, maka dapat diklasifikasikan nilai ekonomi dari keanekaragaman hayati, yaitu pertama hubungan 1 – 6 bahwa manfaat atau fungsi dan nilai-nilai dari ekosistem sebagai pendukung kehidupan manusia, misalnya fungsi ekosistem sebagai pengendali banjir dan pengisian air tanah. Kedua

hubungan 1 – 4 – 5 bahwa ekosistem sebagai perlindungan habitat bagi spesies-spesies yang terkait, contohnya dampak dari kerusakan habitat akan menurunkan nilai dan permintaan turis untuk kawasan wisata. Ketiga hubungan 2 – 5 bahwa manfaat dari semua keanekaragaman spesies untuk kepentingan manusia, karena sebagai input dalam proses produksi, contohnya industri barang yang diperdagangkan dan keempat hubungan 3 bahwa pengetahuan dan moral manusia

Biodiversity

Ecosystem

(27)

akan keberlanjutan dan nilai keberadaan dari keanekaragaman hayati untuk generasi mendatang (Nunes et al. 2001). Oleh karena itu, pelestarian keanekaragaman hayati sebaiknya dilihat sebagai suatu bentuk pembangunan perekonomian. Sumberdaya alam hayati memiliki nilai ekonomi, investasi dalam pelestarian sebaiknya dilihat dari segi ekonomi, yang memerlukan sarana yang dapat dipercaya dan diandalkan dalam mengukur keuntungan pelestarian sumberdaya hayati, mengukur akibat yang menguntungkan atau kondisi yang lebih baik yang dihasilkan oleh tindakan pelestarian.

Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Kramer et al. 1995). Menurut Munasinghe (1995) penilaian kontribusi fungsi ekosistem bagi kesejahteraan masyarakat merupakan hal yang sangat kompleks, mencakup nilai-nilai sosial dan politik. Contohnya, nilai kawasan konservasi sangat ditentukan oleh aturan-aturan manajemen yang berlaku untuk areal tersebut. Dengan kata lain, nilai tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor fisik, biotik dan ekonomi, tetapi juga oleh kelembagaan yang dibangun untuk mengelola sumberdaya tersebut.

Dalam kerangka pemikiran ekonomi, cakupan konsep ekologi hanya membatasi diri dalam menanggulangi dampak negatif, baik langsung maupun tidak langsung, dari kegiatan pembangunan dengan kata lain konsep ekologi lebih mengarah kepada pengelolaan dampak pembangunan atas pihak-pihak yang terkena atau secara potensial terkena pengaruh. Sementara itu, teori ekonomi selain menawarkan alternatif bagi pengelola, imbas-pengaruh kegiatan ekonomi (impact and accident) yang mencakup bahkan menekankan peran manusia sebagai sektor atau pelaku kegiatan ekonomi (Ismawan 1999).

2.4 Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove dan Teknik Evaluasi

Pengelolaannya

(28)

yang terdiri atas tiga tipe nilai, yaitu nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non-pakai (non use value). Nilai pakai langsung diturunkan dari pemanfaatan langsung (interaksi) antara masyarakat dengan ekosistem mangrove. Nilai ini terdiri atas pemanfaatan konsumtif (seperti kayu bakar, pertanian, pemanfaatan air, kegiatan berburu dan pemanfaatan perikanan) dan pemanfaatan non-konsumtif (seperti rekreasi, manfaat riset dan pendidikan). Nilai pakai tak langsung didefinisikan sebagai nilai fungsi ekosistem mangrove dalam mendukung atau melindungi aktifitas ekonomi atau sering disebut sebagai “jasa lingkungan”. Sebagai contoh fungsi ekosistem mangrove sebagai penahan banjir, fungsi perlindungan air tanah. Nilai pilihan (option value) terkait dengan nilai pakai (use values) yang merupakan pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove di masa datang. Nilai non pakai merupakan representasi dari individu yang tidak dalam posisi memanfaatkan ekosistem mangrove, tetapi memandang bahwa kelestarian ekosistem mangrove tetap perlu sebagai sebuah intrinsic value (kantian value). Salah satu representasi dari nilai intrinsic ini adalah nilai keberadaan (existence value) (Adrianto 2004). Metode valuasi ekonomi secara umum terdiri atas dua pendekatan, yaitu

pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar

(29)

P

P*

0 Q* Q

A = Jumlah yang dibayar oleh konsumen B = Surplus konsumen

relocation cost. Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM).

Pengukuran untuk barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang diperdagangkan (traded goods) dengan harga yang terukur dapat dilihat dari perubahan dalam surplus konsumen. Surplus konsumen berlandaskan pada pemikiran ekonomi neo-klasikal (neo-classical economic theory) yang berdasar pada kepuasan konsumen (Fauzi 2004)

Surplus konsumen atau Dupuits’s consumer’s surplus (karena pertama kali dikenalkan oleh Dupuit Tahun 1952) adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya di bayar (Fauzi 2000).

Kurva permintaan yang digambarkan dengan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga kurva permintaan Marshall, seperti terlihat pada Gambar 2.

B

E

A

Kurva Permintaan

Sumber : Fauzi (2000)

Gambar 2. Kurva Permintaan Konsumen

(30)

jasa berbanding terbalik dengan jumlah barang dan jasa yang diminta, jika harga naik, maka jumlah yang diminta menurun (Fauzi 2000).

Gambar 2, memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar (WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen diposisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi tolak ukur untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen.

Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya mangrove menurut Adrianto (2005), didekati melalui pengukuran tingkat kepuasan (utility) melalui surplus konsumen yang dapat dinyatakan dalam bentuk fungsi sebagai berikut :

n n X X X

Q β β 2β2... β 1

1 0 =

dan

U

=

0a

f

(

Q

)

dQ

sehingga

CS

=

U

Pt

dimana : CS = Consumer surplus

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta

Xi = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta diturunkan dari fungsi permintaan

X2 ….Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga

U = Utilitas terhadap sumberdaya

a = Batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta

f(Q) = fungsi permintaan Pt = harga yang dibayarkan

(31)

(replacement cost), biaya kompensasi (compensation costs) dan production function (PF) yang mengestimasi nilai ekonomi sebuah komoditas lingkungan melalui hubungan input-output produksi. (2) stated preferences method yang berdasarkan preferensi melalui teknik Contingent Valuation (CV). Teknik mengukur total nilai ekonomi untuk ekosistem mangrove dalam konteks keanekaragaman hayati terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2. Manfaat Ekosistem Mangrove dan Metode Penilaian Ekonominya. Interpretasi nilai

ekonomi

Manfaat

Keanekaragaman hayati

Metode penilaian ekonomi Genetic and species

diversity

Input bagi proses produksi (misalnya industri farmasi, pertanian, perikanan)

CV = +, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Natural areas and lanscape diversity

Perlindungan habitat (misalnya perlindungan area rekreasi)

CV = +, TC = +, HP = -, AB = -, PF = +

Ecosystem functions and ecological services

Nilai-nilai ekologi (misalnya fungsi pengendalian banjir)

CV = -, TC = -, HP = +, AB = +, PF = +

Non use biodiversity Nilai keberadaan dan moral

CV = +, TC = -, HP = -, AB = -, PF = -

Sumber : Nunes et al. (2001) diacu dalam Adrianto (2004)

Keterangan : tanda (+) artinya metode penilaian ekonomi yang terpilih dan (-) artinya metode yang tidak terpilih, CV = Contingent Valuation, TC = Travel Costs, HP = Hedonic Price, AB = Averting Behavior, dan PF = Production Function.

Cost Benefit Analysis (CBA) juga salah satu teknik yang sering digunakan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan/dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efisiensi ekonomi (Kusumastanto 2000).

(32)

representasikan ke dalam komponen manfaat (benefits), dimana pengelolaan dikatakan layak apabila manfaat bersih (net benefits) adalah positif. Selanjutnya alternatif pengelolaan ekosistem mangrove tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan dalam periode waktu tertentu. Arus manfaat dan biaya harus di diskon agar manfaat dan biaya dapat dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut nilai sekarang (Present Value).

Pemilihan keputusan yang strategis dengan mempertimbangkan beberapa alternatif pengelolaan, dapat dilakukan dengan membandingkan net benefits dari alternatif pengelolaan yang satu (NBA) dengan alternatif pengelolaan yang lainnya (NBB), sehingga apabila pengambilan keputusan cenderung untuk memilih alternatif A, maka NBA harus lebih besar dari NBB, dan A ≠ B. Alternatif pengelolaan yang dipilih untuk mencapai tujuan yaitu kriteria efisiensi, equity dan sustainable digunakan analisis Multi Criteria Analysis (MCA) (Adrianto 2004).

Multi criteria analysis adalah suatu kerangka kerja (framework) terstruktur untuk menginvestigasi, menganalisis dan memecahkan keputusan yang terkendala dengan berbagai tujuan dan kriteria dan merupakan teknik pengambilan keputusan yang berbasis non parametric (Fauzi 2004). Struktur dari MCA tersebut adalah mendefinisikan masalah, mendeskripsikan alternatif (kontinyu atau diskret), analisis dari dampak alternatif, defenisi kriteria, evaluasi prioritas kebijakan, seleksi alternatif dan presentasi hasil (numerik dan visual) (Adrianto 2004).

(33)

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI

Pembangunan pesisir fokusnya pada ekosistem mangrove yang dinamis terhadap isu dan konflik kepentingan dalam pemanfaatannya, maka pembangunan pesisir perlu dipikirkan khususnya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya pesisirnya. Oleh karena itu segenap stakeholder perlu membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya, sehingga pemanfaatannya seefisien mungkin dan berkesinambungan secara ekonomi dan sosial. Untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove dewasa ini, perlu adanya valuasi lingkungan, ekonomi (manfaat dan sumberdaya mangrove) dan sosial-ekonomi-budaya.

Ekosistem mangrove yang berperan penting bagi semua kehidupan tersebut ternyata dalam pengelolaannya sering dilaksanakan dengan kurang bijaksana antara lain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Perubahan ekosistem mangrove yang tak terkendali menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan, industri atau pelabuhan, merupakan bukti penyebab penurunan lahan mangrove tersebut.

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di masa mendatang. Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolalan yang baik, sifat ekosistem mangrove yang “dinamis” dan kondisi lingkungan yang “unik” perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove merupakan wahana untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

(34)

Dalam konteks pemanfaatan langsung digunakan pendekatan pasar (market-based-approach) khususnya yang komersial (Adrianto 2004). Penilaian terhadap sumberdaya alam khususnya pada ekosistem mangrove dihitung melalui penjumlahan satuan uang (benefit) dan cost yang berhubungan dengan pemanfaatan SDA tersebut. Perubahan kualitas lingkungan secara kualitatif, sehingga dapat diinterpretasikan berapa banyak yang menjadi lebih baik (better- off) dan berapa banyak yang menjadi lebih buruk (worse- off). Dengan kata lain berapa besar nilai manfaat dan berapa besar nilai yang rusak (cost and benefit).

Ruitenbeek (1992) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisis ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya.

Pendekatan penilaian total ekonomi, yaitu mengestimasi nilai total ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada klasifikasi use-value terdiri atas manfaat langsung (optimal use) dan manfaat tidak langsung dan non-use-value terdiri atas manfaat pilihan (option value) dan manfaat keberadaan (existensi value). Mengestimasi nilai ekonomi hutan mangrove berdasarkan pada pendekatan produktifitas dan preferensi (Revealed preference-based valuation). Analisis manfaat dan biaya yang dibangun berdasarkan asumsi ekonomi neo-klasik (utility konsumen) melalui consumer surplus atau Marshallian consumer’s surplus, dimana asumsi tersebut paling sesuai untuk menemukan alternatif pemanfaatan sumberdaya yang alokasinya paling efesien. Pendekatan Net Present value (NPV), Cost Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk menentukan alternatif pengelolaan yang strategis dari sumberdaya mangrove sehingga pembentukan sistem sumberdaya mangrove dapat optimal.

(35)

Keterangan : = Garis Koordinasi

[image:35.612.74.531.77.697.2]

= Ruang Lingkup Metode Analisis

Gambar 3. Alur Kerangka Pendekatan Studi Mangrove Resource System

Natural Resource

Pemanfaatan better off and worse off Benefit

and Cost

Alternatif Pengelolaan Strategis Pengelolaan Ekosistem

Mangrove yang Optimal

Efisiensi, Equity and Ekologi

Human Uses Ecological uses

NPV,CBA,MCA Nilai Ekonomi

Sumberdaya mangrove

Productivity Approach

Replacement Cost Productivity Approach

Manfaat Pilihan (Option value)

Benefit Transfer

Manfaat eksistensi (existensi value)

Contingent Valuation Method

Consumers Surplus

RTP

• Tambak Udang + Ikan

• Nelayan

• Pengambil Kayu

• Pengambil Bibit Alam

• Penangkapan Kepiting Non RTP

• Wiraswasta

• Pegawai Negeri

• Buruh

• Petani

• Pelajar

Valuasi Ekonomi

Actual Use (Direct) Indirect Use

(36)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Barru, Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan pada bulan Mei 2005 sampai Juli 2005.

4.2 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter yang khas dari kasus, tipe pendekatan dan penelaahannya terhadap satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif (Faisal 2001). Satuan kasusnya adalah areal ekosistem mangrove yang secara administratif terletak di Kecamatan Barru, terdiri atas Kelurahan Coppo, Kelurahan Mangempang, Desa Siawung, Kabupaten Barru dan seluruh masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan hutan mangrove. Penentuan lokasi yang menjadi satuan kasus tersebut dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa hanya ketiga lokasi tersebut yang mempunyai komunitas mangrove di Kecamatan Barru.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

(37)

kegiatan pemanfaatan (hasil kayu bakar, kayu bangunan, bibit alam (nener dan benur), bibit bakau, kepiting dan tude/kerang). Manfaat tidak langsung, dimana sampelnya adalah nelayan, dipilih berdasarkan lokasi penangkapan (fishing ground) dan jenis alat tangkap. Lebih jelasnya jumlah sampel dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perincian Jumlah Sampel

No Jenis Pemanfaatan Jumlah Sampel

(RTP)

Prosentase (%)

1. Polikultur (Udang,Ikan Bandeng 10 8,47

2. Monokultur Ikan Bandeng 28 23,72

3. Monokultur Udang 2 1,69

4. Kayu Bangunan 7 5,93

5. Kayu Bakar 11 9,32

6. Kepiting 6 5,08

7. Kerang/Tude 1 0,84

8. Bibit Alam (Benur + Nener) 11 9,32

9. Bibit Bakau 2 1,69

10 Nelayan 50 42,37

Jumlah 118 100,00

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2005

Jumlah RTP untuk nelayan lebih banyak dengan pertimbangan karena nelayan di lokasi penelitian menggunakan berbagai jenis alat tangkap diantaranya jaring, pancing, bagan perahu, bagan tancap, jaring insang hanyut, pancing tonda, pukat, sehingga jumlah sampel yang diambil sudah dianggap mewakili komunitas nelayan. Responden untuk mengetahui manfaat keberadaan diperoleh dari masyarakat yang berada di sekitar hutan mangrove atau yang dipengaruhi langsung oleh hutan mangrove, maupun masyarakat yang tidak dipengaruhi hutan mangrove atau yang bukan rumah tangga perikanan, atau yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, wiraswasta atau pedagang serta mahasiswa, dimana jumlah responden untuk manfaat keberadaan tersebut sebanyak 103 orang.

Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber data, yaitu : (1) Data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di

(38)

kepada responden berdasarkan daftar pertanyaan (questionnaire) yang telah disusun sesuai dengan keperluan analisis dan tujuan penelitian.

(2) Data sekunder, yaitu data penunjang yang dikumpulkan dari pemerintah daerah, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Barru, Kantor BPS dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan materi penelitian, maupun yang berasal dari publikasi dan hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data yang dikumpulkan berupa data masalah penduduk, produksi perikanan dan pemasarannya, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi di lokasi penelitian.

4.4 Analisis Data

Untuk memecahkan permasalahan dan mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, maka digunakan beberapa analisis yaitu :

1) Identifikasi Pemanfaatan Hutan Mangrove

Proses identifikasi dilakukan dengan cara wawancara yang mendalam untuk menganalisis 4 (empat) komponen menurut Kovacs (1999) diantaranya:

¬ Identifikasi jenis mangrove yang dimanfaatkan ¬ Pemanfaatan yang potensial

¬ Pemanfaatan nyata yang sedang dilakukan

¬ Pilihan untuk perbedaan lingkungan dan kesesuaian pemanfaatan dari mangrove

2) Pendugaan Fungsi Permintaan terhadap Sumberdaya Mangrove

Fungsi Permintaan UntukDirect Uses Value(Adrianto 2005) n

n X X X

Q= β0 1β1 2β2... β

di mana :

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta (Ikan, udang, kayu bangunan, kayu bakar, bibit alam, kepiting, kerang/tude, bibit bakau)

X1 = Harga

X2, X3, ….Xn = Karakteristik sosial ekonomi konsumen/rumah tangga

n nLnX LnX

LnX

LnQ = β0 + β1 1 + β2 2 +...β

1 1 2

2

0 ( ) .. ( ))

(( LnX LnX LnX

LnQ= β +β + βn n

1 1 ' LnX

(39)

Transformasi fungsi permintaan ke fungsi permintaan asal 1

' β

β X

Q=

Menduga Total Kesediaan Membayar (Nilai Ekonomi Sumberdaya)

=

a

dQ

Q

f

U

0

(

)

di mana :

U = utilitas terhadap sumberdaya

a = batas jumlah sumberdaya rata-rata yang dikonsumsi/diminta f(Q) = fungsi permintaan

Menduga Konsumen Surplus t

P U

CS = −

Q X

Pt = 1× L P a

NET = . .

di mana :

CS = konsumen surplus Pt = harga yang dibayarkan

Q(a) = rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta X1 = harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi/diminta

L = Luas Lahan NET = Nilai ekonomi total

3) Optimal Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Mangrove

Optimal pemanfaatan ekosistem mangrove menggunakan pendekatan model rumah tangga (household models) untuk rumah tangga perikanan dengan mengikuti formula:

)

;

,

,

(

:

.

.

, , q a i i i x a a l x q

z

l

x

q

f

t

s

l

w

x

p

q

p

Max

i i i a

=

π

dimana keuntungan/profit marjinal akibat perubahan output, input, tenaga kerja dan modal. Penggunaan yang optimum apabila first order condition (FOC) sama dengan nol.

Perhitungan nilai optimal dari output, input, tenaga kerja dan modal dipecahkan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9.5.

dimana π = Keuntungan bersih/profit dari responden (Rp) qa = Output (Kg)

pa = Harga output (Rp)

px= Harga input x (Rp)

(40)

zq= Modal tetap (unit)

i = Jenis output (hasil hutan, hasil perikanan, satwa lain)

4) Penilaian fungsi ekologi melalui identifikasi manfaat ekonomi dari ekosistem mangrove sebagai berikut :

a). Manfaat Langsung (ML)(Actual Use) ML = ML1 + ML2 + ML3...+ ML4

dimana :

ML1= Manfaat langsung dari hasil tambak Polikultur dan Monokultur

ML2= Manfaat langsung, total hasil hutan seperti kayu bangunan,

ranting dan kayu bakar.

ML3= Manfaat langsung, total dari hasil perikanan seperti

kepiting, kerang.

ML4= Manfaat langsung, total dari hasil bibit alam berupa benur dan

nener dan bibit bakau

Pengukuran manfaat langsung ini dilakukan pendekatan nilai pasar untuk mengkuantifikasi harga berbagai komoditas yang langsung dapat dipasarkan. Teknik pengukuran untuk manfaat langsung dari hasil usaha tambak (ML1), hasil hutan (ML2), hasil perikanan (ML3), dan hasil bibit (ML4) dilakukan

Survey rumah tangga (household) membutuhkan data-data berupa, pendapatan, jenis pekerjaan, pendidikan, keterlibatan anggota keluarga dalam pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat ketergantungan pada ekosistem mangrove dengan melihat jumlah prosentase (%) dari total responden yang bergantung pada ekosistem mangrove.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis ini yaitu :

(41)

¬ Untuk jenis produk ekspor yang dihasilkan oleh rumah tangga perikanan digunakan harga perbatasan pelabuhan bongkar muat (free on board).

¬ Nilai tukar bayangan yang digunakan yaitu Rp9.315,00 per US$. Nilai kurs Rupiah terhadap US$ diperoleh dari kurs tengah Rupiah terhadap Dollar AS (Bank Indonesia) yang diambil pada pertengahan bulan Mei 2005 dengan harga beli Rp9.310,00 dan harga Jual Rp9.320,00, sehingga kurs tengah sebesar Rp9.315,00 ¬ Nilai yang digunakan adalah nilai/harga nominal, karena dalam analisis manfaat-biaya selama jangka waktu 10 tahun tidak menggunakan harga rill setiap tahunnya, sehingga tidak terjadi perubahan nilai baik manfaat (benefit) maupun biaya (cost) pertahunnya.

¬ Output dari pemanfaatan dianggap tetap setiap tahun selama jangka waktu analisis.

b). Manfaat Tidak Langsung (MTL)

(42)

pembesaran ikan (nursery ground), sehingga luas ekosistem menjadi input bagi produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat.

c). Manfaat Pilihan

Nilai manfaat pilihan (option value) diperoleh dengan menggunakan metode benefit transfer, mengacu pada nilai keanekaragaman hayati hutan mangrove Indonesia, yaitu US$ 1,500 per km2 per tahun (Ruittenbeek 1992).

d). Manfaat Eksistensi

Pengukuran manfaat eksistensi tersebut didekati dengan pengukuran langsung terhadap preferensi individu melalui Contingent Valuation Method (CVM), mengukur seberapa besar keinginan membayar (Willingness to Pay, WTP) dari responden terhadap keberadaan dan perbaikan ekosistem mangrove, mengukur seberapa besar keinginan oleh responden untuk menerima (Willingness to Accept, WTA) dari kerusakan suatu ekosistem mangrove.

Pengukuran nilai keberadaan tersebut dilakukan kepada responden yang dipilih secara sengaja (purposive) dengan memperhatikan karakteristik tingkat pendidikan dan mata pencaharian masyarakat disekitar ekosistem mangrove. Metode yang digunakan untuk mengukur besarnya WTP/WTA setiap responden, yaitu model referendum atau discrete choice (dichotomous choice).

Menurut Fauzi (2004), pada metode pengukuran dengan teknik ini, responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak. Dalam operasionalnya untuk melakukan pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses. Tahapan tersebut yaitu :

1) Membuat hipotesis pasar

(43)

2) Mendapatkan nilai lelang (bids)

Nilai lelang diperoleh melalui survey langsung dengan kuesioner untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap perbaikan lingkungan. Nilai lelang biasanya dilakukan dengan teknik yaitu pertanyaan terstruktur, pertanyaan terbuka dimana responden bebas menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar) dan model referendum (tertutup) dimana responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak.

3) Menghitung rataan WTP dan WTA

Setelah survey dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP dan WTA dari setiap responden. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bids) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (nilai tengah). Apabila ada nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata, biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan.

Nilai rataan dapat diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut (FAO 2000 diacu dalam Adrianto 2004) :

=

= n

i i y n MWTP

1 1

dimana n = Jumlah responden

yi = Besaran WTP/WTA yang diberikan responden ke-i

4) Memperkirakan kurva lelang (bid curve)

Kurva lelang diperoleh dengan meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variable) dengan beberapa variabel bebas.

(44)

Untuk mengetahui hubungan antara WTP dengan karakteristik responden, yang mencerminkan tingkat penghargaan responden terhadap sumberdaya yang selama ini dimanfaatkan, dapat dihitung dengan menggunakan formula (Adrianto 2004) :

=

+

= n

i i i

o X

WTA WTP

1

/ β β

dimana

WTP = Kemampuan membayar responden terhadap sumberdaya WTA = Keinginan menerima kompensasi terhadap kehilangan Sumberdaya

βo = Intersep atau standar terendah βI = Koefisien peubah

Xi = Parameter pengukuran ke-i (pendapatan, pendidikan,

umur.. ……dsb) 5) Mengagregatkan data

Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga di dalam populasi (N).

Kelemahan Contingent Valuation Method adalah timbulnya bias, bias karena timbul nilai yang overstate maupun understate yang biasanya disebabkan karena strategi dalam melakukan wawancara.

Kuantifikasi Seluruh Manfaat

Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) merupakan penjumlahan dari seluruh manfaat yang telah diidentifikasi, yaitu :

NET = ML + MTL + MP + ME dimana :

NET = nilai ekonomi total (TEV) ML = nilai manfaat langsung (DUV) MTL = nilai manfaat tidak langsung (IUV) MP = nilai manfaat pilihan (OV)

(45)

5). Penilaian Alokasi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Penilaian masing-masing alternatif untuk penentuan alokasi pemanfaatan ekosistem mangrove yang efisien dilakukan dengan menggunakan Cost-Benefit Analysis (CBA), yaitu Net Present Value (NPV) atau nilai manfaat bersih sekarang dan Benefit Cost Ratio (BCR) atau perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang didiskon untuk masing-masing alternatif pengelolaan akan mengikuti persamaan berikut :

= +

− = n

t

t t t

r C B NPV

1 (1 ) ) (

(

)

(

)

= =

+ − +

= n

t

t t t n

t

t t t

r B C

r C B

BCR

1 1

1 1

dimana :

Bt = Manfaat langsung yang diperoleh pada waktu t (Rp) Ct = Biaya langsung yang dikeluarkan pada waktu t (Rp) t = Tahun

r = discount rate

NPV = Net Present Value (nilai manfaat bersih sekarang) BCR = Benefit Cost Ratio (ratio manfaat-biaya)

(46)

6). Multi Criteria Analysis (MCA)

Berdasarkan hasil dari Cost Benefits Analysis maka untuk tujuan pengambilan keputusan secara keseluruhan dilakukan penilaian terhadap kriteria lain yang dipertimbangkan dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Kriteria penilaian yang dianalisis yaitu efisiensi, equity dan ekologi (sustainable).

Uraian dan penetapan indikator dari masing-masing kriteria tersebut yaitu : 1) Kriteria Efisiensi

¬ Keuntungan usaha, berdasarkan kelayakan usaha (CBA) 2) Kriteria Equity (Keadilan)

¬ Pemerataan pendapatan, ditunjukkan dengan rata-rata keuntungan dari masing-masing jenis pemanfaatan ekosistem mangrove. ¬ Keharmonisan masyarakat, ditunjukkan oleh potensi terjadinya

konflik pemanfaatan lahan dari ekosistem mangrove. 3) Kriteria Ekologi (Sustainable)

¬ Perubahan luas lahan ekosistem mangrove dari masing-masing alternatif.

Berdasarkan kondisi aktual ekosistem mangrove di lokasi penelitian (tambak udang 2,50 ha, tambak Ikan Bandeng 104,05 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 6,23 ha), maka dapat ditentukan alternatif pemanfaatan yaitu,

(1) Alternatif Pemanfaatan I (kondisi optimum yaitu tambak udang 2,50 ha, tambak Ikan Bandeng 104,05 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan mangrove 6,23 ha)

(2) Alternatif Pemanfaatan II (tambak udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng 106,55 ha, tambak polikultur 21,00 ha dan hutan 6,23)

(3) Alternatif Pemanfaatan III (tambak udang 0,tambak Ikan Bandeng 104,05 ha, tambak polikultur 23,50 ha dan hutan mangrove 6,23) (4) Alternatif Pemanfaatan IV (tambak udang 0 ha, tambak Ikan Bandeng

104,05 ha, tambak polikultur 21,00 ha : hutan mangrove 8,73 ha) (5) Alternatif Pemanfaatan V (Tambak 0 ha : hutan mangrove 100% atau

(47)

Untuk pengambilan keputusan secara keseluruhan dengan mengikuti langkah-langkah :

¬ Menentukan sebuah alternatif yang dapat memenuhi semua kriteria. ¬ Membagi/mendefinisikan beberapa kegiatan yang sesuai dengan

kriteria.

¬ Merangking alternatif strategi dari yang sangat tertinggi hingga yang terendah.

¬ Penetapan skala prioritas dari alternatif pengelolaan tersebut.

Analisis ekonomi berupa nilai NPV dan BCR yang menjadi indikator untuk kriteria efisiensi, pemerataan pendapatan untuk kriteria equity dan perubahan luasan lahan mangrove dengan tambak untuk kriteria ekologi (sustainable). Hasil perhitungan masing-masing indikator dari kriteria, selanjutnya distandarisasi dengan mengikuti formula (Briguglio 1995; Atkinson et al. 1997) diacu dalam Adrianto and Matsuda (2004).

, 1 0

, < < −

= ij

j j ij

ij SV

j Min Max

Min SV

χ χ

χ χ

Dimana : SVij = Standarisasi Variabel Xij = Variabel ke – j

Min Xj = Nilai Minimum Variabel ke – j Max Xj= Nilai Maximum Variabel ke – j j = Jenis Pemanfaatan ekosistem hutan

4.5 Definisi Operasional

1) Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pohon yang khas di pantai tropis, tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut dan perairan asin. 2) Sumberdaya alam adalah segala sesuatu di alam yang menyediakan barang

dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia.

3) Nilai ekonomi sumberdaya alam adalah pengukuran dari barang dan jasa ke dalam satuan moneter.

4) Alokasi optimal sumberdaya alam adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang mempertimbangkan unsur keberlanjutan (lingkungan).

5) Manfaat sumberdaya alam adalah besarnya hasil yang diperoleh dari sumberdaya dalam satuan moneter

(48)

7) Keuntungan adalah selisih antara total manfaat yang diperoleh dengan biaya. 8) Rumah Tangga Perikanan (RTP) adalah rumah tangga atau kelompok

terkecil dalam masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya perikanan. 9) Surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan ditingkat konsumen

yang berdasarkan selisih keinginan membayar dari konsumen dengan apa yang sebenarnya dia bayar.

(49)

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Letak dan Luas

Wilayah Kabupaten Barru merupakan wilayah pesisir pantai bagian Barat Provinsi Sulawesi Selatan, dengan panjang garis pantai sekitar 78 Km. Kecamatan Barru merupakan salah satu kecamatan yang ada dalam wilayah Kabupaten Barru. Secara geografis dan geologis wilayah Kecamatan Barru yang berada di Ibukota Kabupaten Barru dengan posisi koordinat pada 119030’42” – 119037’20” Bujur Timur dan 4018’10” – 4033’15” Lintang Selatan dengan luas wilayah 199,32 Km2 dan ketingggian 0 sampai 87,8 meter dari permukaan laut. Secara administratif Kecamatan Barru terdiri atas 10 desa/kelurahan, dimana batas-batas dari wilayah tersebut adalah :

¬ Bagian utara dengan Kecamatan Balusu ¬ Bagian timur dengan Kecamatan Tanete Riaja ¬ Bagian selatan dengan Kecamatan Tanete Rilau ¬ Bagian Barat dengan Selat Makassar

5.2 Keadaan Fisik

Berdasarkan pencatatan data iklim diketahui bahwa suhu harian di Kecamatan Barru berkisar antara 25 – 270C, dengan suhu maksimum harian antara 28 – 320C, dengan suhu minimum harian berkisar antara 18 – 200C. Kelembaban udara berkisar antara 70 – 80%. Jumlah hari hujan rata-rata 148 hari per tahun dan ketinggian curah hujan sekitar 3.534mm per tahun, rata-rata bulanan tertinggi pada musim barat yaitu 304,2mm.

(50)

umumnya berpasir halus sampai dengan kasar dan warna hitam, coklat serta keputih-putihan, sedangkan di beberapa daerah berbatu.

5.3 Keadaan Sosial Ekonomi

a) Aksesibilitas

Seperti telah dijelaskan, bahwa lokasi penelitian terletak di Kecamatan Barru yang terdiri atas Kelurahan Coppo, berjarak 1 (satu) km sebelah barat dari ibukota Kecamatan Barru, Kelurahan Mangempang berjarak 1 (satu) kilometer sebelah utara ibukota kecamatan dan Desa Siawung dengan jarak 4 (empat) km dari ibukota kecamatan. Untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut telah tersedia jalan-jalan aspal dan kendaraan yang lancar karena merupakan jalur poros provinsi. Lebih jelasnya terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Kelurahan/Desa dan Jarak dari Ibukota Kecamatan

No Kelurahan/Desa Jarak (Km) Luas (Km2)

1 Kelurahan Coppo 1 26,83

2 Kelurahan Mangempang 1 13,80

3 Desa Siawung 4 8,36

Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Barru, 2005

b) Kependudukan

(51)

Tabel 5. Jumlah Penduduk, Jumlah KK (Kepala Keluarga) dan RTP (Rumah Tangga Perikanan) Tahun 2004.

KK RTP

No Kelurahan/Desa

Jmlh % Jmlh %

Total Penduduk

1 Kel. Coppo 786 20,00 262 7,00 3.921

2 Kel.Mangempang 2.250 46,00 785 16,00 4.907

3 Desa Siawung 603 22,00 45 2,00 2.746

Total 3.639 1.092 11.574

Sumber : Profil Kelurahan/Desa Tahun 2004.

Tabel 5 menunjukkan bahwa total penduduk untuk ketiga lokasi penelitian sebanyak 11.574 jiwa atau 33,08% dari keseluruhan jumlah penduduk yang berada di Kecamatan Barru. Jumlah penduduk lebih banyak terdapat di Kelurahan Mangempang, yaitu 4.907 jiwa. Jumlah KK dan RTP di kelurahan tersebut juga lebih banyak yaitu masing-masing sebanyak 2.250 jiwa atau 46% dan 785 jiwa atau 16%. Hal ini disebabkan karena wilayah Kelurahan Mangempang lebih luas dibandingkan kelurahan/desa lainnya di Kecamatan Barru. Jumlah penduduk paling sedikit adanya di Desa Siawung sebanyak 2.746 jiwa dengan jumlah KK dan RTP masing-masing sebanyak 603 (22%) dan 45 (2%). Kelurahan Coppo memiliki total penduduk sebanyak 3.921 jiwa, jumlah KK sebanyak 786 jiwa atau 20% dan jumlah RTP sebanyak 262 jiwa atau 7%. Masing-masing kelurahan/desa tersebut diatas jumlah KK kurang dari 50% dari total penduduknya, hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing kepala keluarga tersebut memiliki jumlah tanggungan keluarga atau anak rata-rata diatas 5 orang. Jumlah RTP untuk masing-masing kelurahan/desa juga lebih kecil persentasenya dari total penduduk karena jenis mata pencaharian dari penduduk selain dari bidang perikanan sangat beragam, seperti pertanian, peternakan, wiraswasta/pedagang, pegawai negeri dan buruh.

c) Karakteristik Responden

(52)

tersebut tempat tinggalnya tersebar dibeberapa wilayah dalam Kecamatan Barru, yaitu Kelurahan Coppo, Kelurahan Mangempang dan Desa Siawung.

Adapun responden yang diambil sebagai sampel sebanyak 40 rumah tangga untuk petambak, 50 rumah tangga untuk nelayan, masing-masing 11 untuk rumah tangga pengambil bibit alam berupa benur dan nener, hasil hutan (kayu bakar sebanyak 11 RTP dan kayu bangunan 7 RTP), pengambil bibit bakau sebanyak 2 RTP serta hasil kepiting dan kerang masing-masing sebanyak 6 RTP dan 1 RTP. Untuk manfaat keberadaan, jumlah responden sebanyak 103 orang yang merupakan rumah tangga perikanan dan diluar rumah tangga perikanan.

1) Umur Responden

Umur responden bervariasi antara 20 sampai dengan lebih dari 50 tahun. Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa responden berusia antara 46 – 50 tahun lebih banyak yaitu 30 orang atau 21,74%. Jumlah responden paling sedikit yang berusia antara 20 – 25 tahun, sebanyak 12 orang atau hanya 8,70%. Jumlah responden yang berusia lanjut atau umur > 50 tahun sebanyak 27 orang atau 19.57%. Responden yang berumur antara 36 – 40 tahun, sebanyak 22 orang atau 15,94%, umur 26 – 30 tahun sebanyak 16 orang atau (11,59) dan umur 41 – 45 tahun sebanyak 17 orang atau 12,32%. Responden yang berumur 31 – 35, sebanyak 14 orang atau 10,14%. Data selengkapnya terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Klasifikasi Umur Responden

No Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Prosentase (%)

1 20 – 25 12 8,70

2 26 – 30 16 11.59

3 31 – 35 14 10.14

4 36 – 40 22 15.94

5 41 – 45 17 12.32

6 46 – 50 30 21.74

7 > 50 27 19.57

Jumlah 138 100,00

Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2005

2) Jenis Kelamin Responden

(53)

yang bekerja di lahan tambak maupun sebagai nelayan dan yang memanfaatkan ekosistem mangrove adalah laki-laki, walaupun sebagian kecil ada juga perempuan yang bekerja sebesar 10.87% atau 15 orang, yaitu sebagai pengambil bibit alam,

Gambar

Gambar 3. Alur Kerangka Pendekatan Studi
Tabel 14.  Volume dan Nilai Komoditas Unggulan di Kabupaten Barru
Gambar 5.  Perbandingan Volume Produksi Perikanan Tangkap dengan Perikanan                       Budidaya Tahun 1993 – 2003
Tabel 19.   Jumlah Produksi dan Nilai Penangkapan Ikan per Kelurahan/ Desa di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ryðkiausias pavyzdys bûtø romano Misterijos (1892) protagonistas máslin- gasis Juhanas Nagelis, neþinia ið kur atvykæs ir neþinia kodël iðlipæs ið laivo svetimame mieste-

Pengertian Mengamati merupakan proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilakukan peserta didik dengan cara melihat langsung suatu objek

Desain halaman ini digunakan untuk menginputkan data menu buku tamu yang terdiri dari nama, email dan pesan yang bisa di simpan, edit, hapus oleh admin sesuai dengan

Berbeda dengan konsep kimia-fisik yang berprinsip konvensional, teknologi Biomining untuk memeroleh tembaga menggunakan prinsip dari proses bioleaching yang mengubah

Bapak/Ibu Staf Pengajar FISIP USU yang telah berjasa dalam memberikan banyak bekal ilmu, nasihat, bimbingan serta arahan kepada penulis, selama penulis menimba Ilmu di

Titrasi konduktometri dapat dilakukan untuk menentukan kadar ion, dengan syarat ion tersebut terlibat dalam reaksi kimia sehingga terjadi penggantian satu jenis ion dengan yang

Topik ini menarik untuk dibahas mengingat keputusan Australia untuk mengedepankan kembali penerapan prinsip forward defence policy melalui keterlibatannya dalam perang Irak 2003

Macam-macam bumbu ada empat macam antara lain : bumbu segar terdiri dari dari bumbu yang berasal dari akar, umbi, batang, daun, bunga, buah, dan biji , bumbu kering