• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

7.3. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Ekologi Bendungan-Waduk

Berkaitan dengan paket pola tanam optimal dari lahan budidaya intensif yang dikelola pada sub-sistem hulu, pendugaan debit outflow Waduk Sengguruh relatif lebih kecil daripada debit rata-rata debit outflow tahunan selama tahun 2002/2003. Dari hasil olahan data sekunder (Lampiran 6), rata-rata debit outflow

Waduk Sengguruh sebesar 41.93 m3/det dan Sutami sebesar 57.05 m3/det. Namun debit outflow optimal tersebut masih relatif lebih besar daripada batas bawah debit; yakni 19.90 m3/det (lihat anak sub-bab 5.2.8.4). Dengan demikian,

antara hasil pendugaan debit outflow dan data dilapangan terdapat perbedaan sekitar 64%.

Hasil pendugaan debit operasi atau outflow tahunan dari masing-masing waduk cenderung relatif tetap (Tabel 21), karena luas lahan optimal (Tabel 15 dan 16) serta debit inflow air waduk setiap periode diasumsikan konstan. Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan persamaan (5.14d) bahwa debit

inflow hanya didasarkan pada karakteristik hidrologi pada tahun2003 sebagai awal horizon waktu; dan belum mempertimbangkan karakteristik hidrologi pada waktu yang akan datang. Untuk menangkap fenomena variasi karakteristik hidrologi karena perubahan curah hujan, maka dalam penyusunan program model optimasi dinamik dapat dikembangkan dengan memasukan persentase perubahan debit inflow karena perubahan curah hujan. Dengan kata lain variabel sumbangan lahan terhadap volume inflow (dsk) tidak deterministik namun bersifat stokastik.

Apabila hasil optimasi dinamik yang terdapat pada Tabel 21 dibandingkan dengan rata-rata debit musim kemarau dapat dikatakan bahwa besaran pendugaan outflow Sengguruh relatif lebih besar; sedangkan pada Sutami terjadi kondisi yang sebaliknya. Selama musim kemarau antara Juni hingga Nopember tahun 2002, rata-rata debit outflow Waduk Sengguruh sebesar 14.81 m3/det dan Waduk Sutami adalah 42.46 m3/det (Lampiran 6). Sementara itu, rata-rata debit

outflow Waduk Sengguruh dan Sutami selama musim penghujan (antara Desember 2002 hingga Mei 2003) masing-masing adalah 59.05 m3/det dan 62.19 m3/det. Besaran debit outflow yang dihasilkan oleh model perumusan optimasi dinamik tidak bisa menangkap fluktuasi musim kemarau dan penghujan.

Tabel 21. Perkembangan Pendugaan Debit Outflow dan Produksi Daya Listrik

Tahun

Sengguruh Sutami Debit (Wo1) Energi Debit (Wo2) Energi

(m3/det) ( GWh) (m3/det) ( GWh) 2003 26.74 65.25 36.95 272.67 2004 26.74 65.25 36.95 272.67 2005 26.74 65.25 36.95 272.67 2006 26.74 65.25 36.95 272.67 2007 26.73 65.23 36.94 272.61 2008 26.73 65.21 36.93 272.57 2009 26.73 65.21 36.93 272.57 2010 26.73 65.21 36.93 272.57 2011 26.73 65.21 36.93 272.57 2012 26.73 65.21 36.93 272.57 2013 26.73 65.21 36.93 272.57 2014 26.73 65.21 36.93 272.57 2015 26.73 65.21 36.93 272.57 2016 26.73 65.21 36.93 272.57 2017 26.73 65.21 36.93 272.57 2018 26.73 65.21 36.93 272.57 2019 26.73 65.21 36.93 272.57 2020 19.90 48.56 . .

Sumber: Hasil olahan

Besaran pendugaan produksi daya listrik yang terdapat pada Tabel 21 didasarkan rumusan produksi listrik pada persamaan (5.3c) dan (5.3d). Selama periode bulan Juni 2002 hingga Mei 2003, total produksi daya listrik secara riil sebesar 78.03 GWh untuk PLTA Sengguruh dan Sutami sebesar 338.61 GWh (Lampiran 6). Total produksi daya listrik secara riil tersebut relatif lebih besar bila dibandingkan dari hasil pendugaan (Tabel 21). Pendugaan produksi daya listrik dari PLTA Sengguruh sebesar 83.57% dari produksi riil; sedangkan dari PLTA Sutami sebesar 70.14%. Hal tersebut terjadi karena volume stok air (Vsa2) yang dipertahankan sepanjang horizon waktu relatif tinggi; yakni 146.00 juta m3.

Berdasarkan hasil optimasi pendugaan debit outflow selama horizon waktu serta kondisi volume yang tersimpan dalam waduk pada akhir horizon waktu, dapat dikatakan bahwa sub-sistem ekologi bendungan-waduk mempunyai kontribusi terhadap total manfaat sosial bersih dari sistem DTA sebesar 30.98%.

Sebagaimana telah diuraikan pada anak sub-bab 5.1.3., bahwa produksi energi listrik PLTA Sutami didasarkan pada tail race 181.90 m, sehingga tinggi jatuh efektif 85.41 m. Pada kondisi tersebut setara dengan elevasi muka air waduk sama dengan 267.31 m. Berdasarkan hasil pengukuran tahun 2003, volume air waduk pada elevasi 267.31 m sebanyak 107.99 juta m3; yakni relatif lebih kecil daripada Vsa. Dengan demikian apabila Vsa diperkecil atau diturunkan akan menjadikan meningkatnya debit outflow (Wo1 dan Wo2); yakni melalui transmisi persamaan fungsi produksi yang terdapat dalam persamaan (6.1) dan kendala transisi kapasitas tampungan waduk pada persamaan (6.3) dan (6.4). Berdasarkan persamaan tersebut juga dapat diperoleh gambaran besaran pendugaan debit outflow optimal ditentukan oleh: (1) luas lahan optimal (Xijk), (2) besarnya sumbangan lahan terhadap inflow (ds), dan (3) volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu (Vsa).

7.4. Ikhtisar

Selama periode tahun 2003 hingga 2020 diperoleh total nilai sekarang manfaat sosial bersih dari sistem daerah tangkapan air sebesar Rp 52.20 trilyun; dengan rata-rata manfaat sosial bersih Rp 2.95 milyar per tahun. Dari berbagai aktivitas optimal dan alokasi luas lahan yang dihasilkan pada tataran normatif tersebut, besarnya PVMSB dari DTA terdiri atas: (1) pendapatan total lahan budidaya intensif dari sub-sistem hulu waduk sebesar 69.12%, (2) nilai air baku dari sub-sistem ekologi bendungan-waduk sebesar 30.69% dan (3) nilai air yang masih tertampung pada waduk pada akhir horizon waktu sebesar 0.29%.

Berdasarkan hasil optimasi intertemporal di sub-sistem hulu waduk dapat diperoleh fenomena sebagai berikut:

1. Dari setiap klasifikasi fungsi lahan hanya terdapat satu paket pola tanam optimal.

2. Keseluruhan total luas areal yang tersedia dioptimalkan hanya untuk satu paket pola tanam.

3. Jenis paket pola tanam optimal pada klasifikasi fungsi lahan yang sama relatif tidak beragam menurut wilayah Sub-sub DAS.

Keadaan tersebut mencerminkan luas alokasi lahan dan pola tanam optimal tidak bervariasi; sedangkan kondisi riil relatif beragam.

Diantara berbagai alternatif terdapat pada satu jenis fungsi lahan yang sama hanya terdapat satu aktivitas pola tanam optimal. Pola tanam tersebut mempunyai pendapatan per hektar per tahun paling tinggi sejak awal hingga akhir horizon waktu. Kondisi pendapatan yang tetap dominan sepanjang horizon waktu karena berkurangnya ketebalan lapisan tanah setiap periode tidak siknifikan dalam mempengaruhi perubahan produktivitas, serta karena asumsi harga komoditas maupun biaya konstan sepanjang horizon waktu. Dengan demikian menjadikan keputusan alokasi lahan intertemporal adalah konstan.

Tendensi kurang beragamnya jenis paket pola tanam optimal menurut wilayah Sub-sub DAS dikarenakan besaran biaya produksi dari pola tanam yang dipertimbangkan dalam model diasumsikan berlaku sama di seluruh Sub-sub DAS. Sementara itu, secara riil biaya usahatani bervariasi berdasarkan lokasi Sub-sub DAS, terutama untuk pengelolaan komoditas tanaman semusim. Biaya produksi yang beragam bisa disebabkan oleh tingkat harga maupun penggunaan kuantitas input produksi yang berbeda karena perbedaan agroekologi.

Paket pola tanam optimal tidak selalu dicirikan dengan pendapatan tertinggi dan potensi tingkat erosi rendah, namun juga bisa terjadi pada pola tanam dengan potensi erosi tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat pendapatan per hektar lahan mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan optimal; sedangkan tingkat erosi mempunyai pengaruh tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui transmisi: (1) tingkat erosi

mengurangi ketebalan lapisan tanah yang mempengaruhi produksi komoditas, (2) tingkat produksi akan mempengaruhi penerimaan yang selanjutnya bersama biaya usahatani menentukan besarnya pendapatan aktivitas pola tanam dan (3) pendapatan dari aktivitas pola tanan optimal menentukan besarnya manfaat sosial bersih (net social benefit) dari fungsi tujuan sistem daerah tangkapan air.

Perubahan pendapatan antar periode yang tidak siknifikan sejalan dengan hasil kajian Van Kooten et al. (1989) dan Barbier (1990) pada solum yang tebal. Dari data sekunder diperoleh rata-rata tertimbang ketebalan lapisan tanah di DTA Waduk Sutami-Sengguruh berkisar antara 84.84 cm hingga 89.65 cm.

Hasil pendugaan debit outflow optimal intertemporal dari masing-masing waduk cenderung relatif tetap, karena luas lahan optimal setiap periode relatif konstan. Pada kondisi riil, besaran debit outflow sangat berfluktuasi tergantung musim. Debit outflow optimal didasarkan pada asumsi volume inflow air adalah konstan sepanjang horizon waktu; serta belum mempertimbangkan karakteristik hidrologi periode yang akan datang. Pendugaan debit outflow optimal periode yang akan datang hanya didasarkan pada karakteristik hidrologi pada tahun 2003 sebagai awal horizon waktu. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendekatan stokastik pada variabel dsk (sumbangan lahan terhadap volume inflowI air) mengingat fenomena curah hujan adalah berfluktuasi.

Debit outflow optimal Waduk Sengguruh relatif lebih kecil daripada debit rata-rata debit outflow tahunan selama tahun 2002/2003, namun masih relatif lebih besar daripada batas bawah debit operasi PLTA. Debit outflow yang relatif lebih kecil daripada debit rata-rata menjadikan produksi daya listrik yang dihasilkan juga relatif lebih rendah daripada kondisi riil. Khusus pada PLTA Sutami, relatif rendahnya outflow optimal karena volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu relatif tinggi; yakni 146.00 juta m3. Apabila kendala batas atas volume air yang tersimpan diperkecil, maka debit

outflow bisa menjadi lebih besar; yakni melalui transmisi fungsi tujuan dan kendala kapasitas tampungan waduk.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan antara hasil alokasi (lahan dan debit outflow) optimal dengan kondisi riil di lapangan adalah: (1) perbedaan orientasi pencapaian fungsi tujuan, (2) keputusan rumah tangga petani, (3) kebijakan makro, dan (4) wacana politik.

Fungsi tujuan optimasi dinamik didasarkan pada asumsi bahwa semua komponen masyarakat dalam mengelola sumberdaya pada daerah tangkapan air untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Sedangkan pada kondisi riil, tidak semua pengelola lahan budidaya intensif berorientasi memaksimalkan keuntungan; dan pengaturan debit outflow hanya didasarkan pada aspek kuantitas permintaan dan ketersediaan air. Pada skala mikro, pemilihan aktivitas riil dipengaruhi oleh keputusan rumah tangga petani. Keputusan tersebut didasarkan pada: (1) kondisi pasar (fluktuasi permintaan dan tingkat harga setempat), (2) kendala sumberdaya (modal, tenaga kerja dan lahan), (3) sifat pengusahaan (subsisten atau komersial). Pada skala makro meliputi: (1) kebijakan sektoral (intensifikasi tebu rakyat, program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), dan (2) kebijakan harga.

Besaran pendugaan debit outflow optimal ditentukan oleh: (1) luas lahan optimal (Xijk), (2) Besarnya sumbangan lahan terhadap inflow (ds), dan (3) volume stok air yang dipertahankan sepanjang horizon waktu.