• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

2.6. Struktur Kelembagaan Pengelolaan DAS Kali Brantas

Dalam rangka menyusun rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS Kali Brantas, kajian PJT I et al. (2003) telah menganalisis keberadaan: (1) hubungan antar lembaga yang terkait di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, (2) ijin penggunaan air, dan (3) pungutan iuran penggunaan air irigasi.

Beberapa lembaga yang berperan pada tingkat propinsi adalah Dinas Pengairan Propinsi Jawa Timur, Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (Balai PSDA), Perum Jasa Tirta I, Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA) , Panitia Irrigasi, dan Himpunan Petani Pemakai Air. Organisasi dan tanggung jawab Dinas Pengairan diatur dalam Peraturan Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur (PERDA Tk I) Nomor 23 tahun 2003. Tugas utama Balai PSDA adalah melaksanakan bagian gugus tugas Dinas Pengairan dalam pengelolaan air permukaan di wilayah DAS. Keberadaan dan fungsi Balai PSDA diatur dalam PERDA Tk I Nomor 59 tahun 1994. Organisasi maupun tugas PTPA dan Panitia Irrigasi dikuatkan dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur Nomor 59 tahun 1994 dan Nomor 180 tahun 1992. Dalam melaksanakan tugasnya, PTPA didukung oleh Panitia Pelaksana Tata Pengaturan Air (PPTPA) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur Nomor 131 tahun 1997. Diantara beberapa fungsi yang telah dirumuskan, terdapat dua fungsi PPTPA yang tekait dengan pemeliharaan dan kelestarian DTA; yaitu melaksanakan: 1. Program yang mengintegrasikan sumberdaya air dan konservasi tanah.

2. Peningkatan kesadaran publik dan partisipasi masyarakat terhadap perlindungan sumberdaya air, pengembangan dan pengunaan serta kontrol sumberdaya air.

Lembaga yang terlibat pada tingkat kabupaten/kota meliputi: Dinas Pengairan Kabupaten/Kota dan Panitia Irigasi Kabupaten/Kota yang didukung oleh Panitia Irigasi Kecamatan.

Adapun sistem kelembagaan yang diusulkan berdasarkan hasil kajian PJT I et al. (2003) adalah membentuk Dewan Sumberdaya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), tingkat propinsi, wilayah DAS dan tingkat Kabupaten/Kota. Dewan SDA Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Program Dewan SDA Nasional disusun dari program departemen/sektoral dan stakeholder

nasional. Otoritas Dewan SDA Nasional adalah: (1) Penetapkan perencanaan pengelolaan sumberdaya air, dan (2) melaksanakan program tahunan yang telah disepakati dengan keseluruhan stakeholder yang telah ditetapkan dalam

Master Plan. Ketua Dewan SDA Nasional adalah Menteri Koordinator Perekonomian, dengan wakil ketua Menteri Pekerjaan Umum. Adapun yang menjadi anggota adalah berbagai departemen terkait, Bappenas, organisasi profesional, LSM dan perguruan tinggi.

Pada tingkat wilayah propinsi disebut dengan Dewan SDA Propinsi. Apabila dalam wilayah propinsi terdapat beberapa DAS, maka dibentuk Dewan SDA wilayah sungai. Usulan yang terkait dengan sistem tarif air yang diuraikan oleh PJT I et al. (2003) hanya sebatas metode untuk mendapatkan pungutan iuran (retribusi) yang cocok. Dalam kaitannya dengan sistem tarif air, hasil kajian PJT I et al. (2003) belum merekomendasikan model kelembagaan pengelola dana konservasi DAS yang efektif dan berkelanjutan. Retribusi air dari pengguna masih dikelola oleh PJT I (PERUM Jasa Tirta I); dan belum ada usulan pengaturan kelembagaan yang secara khusus mengelola dana konservasi wilayah hulu hingga hilir.

Sementara itu, Witoelar (2005) mengemukakan bahwa perlindungan fungsi lingkungan dapat dicapai melalui Tujuan Pembangunan Milenium

(Millennium Development Goals). Menurutnya, strategi yang bisa diaplikasikan adalah kemitraan nasional secara holistik dalam sistem perencanaan dan pendanaan, serta koordinasi dan harmonisasi kebijakan.

Oleh karena itu, dalam upaya konservasi DTA bagian hulu DAS Kali Brantas pada khususnya dan keseluruhan wilayah DAS Kali Brantas pada umumnya perlu disusun rancangan struktur kelembagaan yang mampu mengintegrasikan sistem perencanaan dan pendanaan serta mensinergikan kebijakan tingkat nasional dan regional. Arah kebijakan yang ditempuh didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, khususnya pada Bab III pasal 21 ayat 2 tentang Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air. Pada pasal dan ayat tersebut secara eksplisit terdapat beberapa aktivitas yang berkaitan dengan konservasi daerah tangkapan air.

Regulasi kebijakan dan struktur kelembagaan yang diusulkan adalah replikasi dan atau modifikasi pengalaman pemerintah Costa Rica dalam menangani deforestasi yang sangat parah menuju pembangunan hutan lestari. Dari uraian Rahardian (2005) mencerminkan bahwa pengembalian fungsi lingkungan di Costa Rica telah menerapkan strategi penanganan sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Witoelar (2005). Kebijakan penting yang telah dilakukan oleh Costa Rica adalah: (1) kebijakan membuat aturan tentang tata ruang dan penggunaan lahan, dan (2) membuat undang-undang tentang struktur dan fungsi kelembagaan (Rahardian 2005). Struktur kelembagaan meliputi: (1) lembaga yang mengelola trust fund, (2) assosiasi pemangku kepentingan (stakeholder), masyarakat dan LSM, serta (3) organisasi pengawas lapangan.

Berdasarkan deskripsi hasil kajian PJT I et al. (2003) dan pengalaman pemerintah Costa Rica tersebut, maka dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air di wilayah DAS Kali Brantas perlu penelitian aksi

tentang revitalisasi struktur kelembagaan pengeloaan DAS Kali Brantas dengan pendekatan hulu-hilir.

III. MODEL SUMBERDAYA

LAHAN DAN AIR

Sebagaimana telah diuraikan di bagian sebelumnya bahwa sub-sistem bendungan-waduk merupakan satu kesatuan dengan sub-sistem hulu waduk. Aktivitas yang terjadi pada sub-sistem hulu waduk yang secara simultan mempengaruhi aktivitas sub-sistem ekologi bendungan dan waduk. Dalam rangka pengembangan pengelolaan kedua sub-sistem tersebut telah banyak dilakukan kajian yang terkait dengan sumberdaya lahan maupun sumberdaya air waduk. Pada pengelolaan lahan termasuk didalamnya adalah fungsi lahan dan pengaturan pola tanam. Deskripsi beberapa kajian optimasi sumberdaya lahan maupun sumberdaya air yang disajikan pada bab ini khusus yang diaplikasikan pada unit analisis tingkat wilayah (landscape).

3.1. Alokasi Sumberdaya Lahan

Dengan mempertimbangkan dimensi waktu, model optimasi pengunaan lahan di sub-sistem hulu waduk, dapat dirumuskan dengan sistem pendekatan statik ataupun dinamik. Model statik seperti telah dilakukan oleh Wade & Heady (1977), Hermanto (1983), Soemarno (1991) dan Tjoneng (1999); sedangkan model dinamik telah diterapkan oleh Fleming (1981) dan Barbier (2001).

Aktivitas yang dipertimbangkan dalam perumusan model optimasi meliputi produksi pertanian, teknik konservasi, kegiatan reboisasi dan pemukiman kembali, serta proses hidrologi. Model akan memilih luas areal optimal; yang menjadi variabel keputusan adalah luas penggunaan lahan. Teknik pemecahan (solution) problem optimasi yang digunakan terdiri atas program linier (Linear Programming), Goal Programming dan model dinamik yang dilengkapi dengan

penentu kesesuaian agroteknologi maupun pola tanam. Pada kajian yang lain, variabel erosi dan sedimentasi dipertimbangkan sebagai kendala.

Kajian Wade dan Heady (1977) didasarkan pada fenomena perkembangan permintaan komoditas pertanian yang menimbulkan beban sedimen dari lahan budidaya (cropland). Pemenuhan permintaan yang terus berkembang memaksa perubahan struktur pertanian yang mengarah pada perubahan kualitas lingkung- an, yakni melalui transmisi perubahan tataguna lahan yang menyebabkan soil loss dan sedimentasi. Penyesuaian perubahan sistem produksi pertanian di satu daerah dari suatu negara bagian diimbangi oleh penyesuaian teknologi produksi daerah lain dalam menyediakan produk pertanian. Dengan demikian proses yang dipandang sebagai suatu masalah lokal mempunyai banyak implikasi nasional dan antar daerah secara serentak.

Berdasarkan latar belakang tersebut Wade dan Heady (1977) mengevalusi pengaturan perubahan tataguna lahan, penerapan teknologi pada lahan serta pengaturan jenis tanaman yang diproduksi di atasnya. Alternatif penggunaan lahan optimal didasarkan pada analisis skenario melalui perubahan kendala sedimen; yakni tanpa kendala sedimen (sebagai model dasar), sedimen minimal, T-limit, PA-limit dan DAS-limit.

Perumusan model optimasi mempertimbangkan proses sedimentasi antar lokasi lahan. Proses sedimentasi meliputi sistem pelepasan, pengangkutan dan pengendapan yang terjadi antar lahan budidaya dan antar daerah. Sistem pelepasan dan pengangkutan sedimen untuk wilayah produksi ke-i diungkapkan dengan persamaan (3.1) sampai (3.3). Pelepasan sedimen dari daerah produksi ke-i adalah:

(3.1)

' * [ i k j ij ij i ijk ijk j i S X s SA XA XD D

+ +

=

dimana Xijk adalah luas aktivitas produksi ke-k pada kualitas lahan klas ke-j (acre); Sijk adalah berat kotor kehilangan lapisan tanah (soil loss atau SL) dari aktivitas ke-k pada kualitas lahan klas ke-j per unit lahan (ton/acre); s*j adalah berat kotor SL untuk total lahan (ton). XAij adalah luas lahan budidaya (cropland) pada kualitas lahan klas ke-j (acre); SAij adalah berat SL per acre lahan lahan non-budidaya (non-cropland) pada kualitas lahan klas ke-j (ton/acre); Di adalah proporsi gros SL yang menjangkau sungai, dan XDi ialah berat suspensi sedimen yang dilepaskan (ton).

Sedimen yang diangkut pada areal/wilayah produksi

ke-i yang mempunyai aliran sedimen:

(3.2)

dimana XDl adalah sedimen yang dilepas dari daerah produksi hulu sungai ke-i; XTk ialah sedimen yang diangkut melalui daerah hulu ke-k dengan aktivitas ke-i; Ti adalah proporsi perpindahan sedimen pada batas daerah produksi ke-i’, yaitu yang diangkut melalui daerah produksi ke-j; dan Xti ialah sedimen yang diangkut. Muatan sedimen total (XSi’) pada outflow masing-masing daerah sungai adalah:

XSi’ = XT i’ +XD i’

(3.3)

dimana XSi’ adalah penjumlahan dari sedimen yang dilepas dari sedimen yang diangkut sampai daerah produksi terakhir (atau ke-i) suatu DAS.

Fleming (1981) dalam Hufschmidt (1990) telah menerapkan model dinamik dalam mengkaji alokasi penggunaan lahan optimal di DTA Phewa Tal Nepal. Fungsi tujuan yang dirumuskan adalah maksimasi nilai sekarang dari

→ → = + i l i l i l l i XD Xt XT T[ ] '

penerimaan bersih (present value net revenue) wilayah dengan memperhatikan adanya perubahan produktivitas lahan berteras.

Tabel 7. Aktivitas, Variabel Keputusan dan Teknik Analisis Optimasi Beberapa Kajian Daerah Tangkapan Air (DTA)

Kajian Lokasi Aktivitas Keputusan Variabel

Model Analisis Optimasi

Wade & Heady (1977) Beberapa negara bagian USA Permintaan & produksi pertanian & peternakan, praktek pengolahan tanah, teknik konservasi luas penggunaan lahan Program Linier Fleming (1981 dlm. Hufschmidt et al. 1996) Daerah Tangkapan Air Phewa Tal Nepal Produksi pertanian & manajemen teras alokasi lahan menurut penerapan manajemen teras Model Dinamik Hermanto (1984) DAS Way Rarem Lampung Produksi pert, kegiatan reboisasi & pemukiman kembali luas penggunaan lahan perkebun- an Program Linier Soemarno (1991) DAS Konto Kab. Malang Jawa Timur Pergiliran tanaman, teknik konservasi luas penggunaan lahan Goal Programming Tjoneng (1999) Daerah Tangkapan Air Datara (Bili-bili Sulawesi Sel. rotasi tanaman dan proses hidrologi luas penggunaan lahan dan unsur hidrologi Program Linier Barbier (2001) Sub-DAS di Honduras Produksi pertanian, ternak dan hasil hutan

alokasi lahan & alokasi uang tunai

Model dinamik

Sumber: (diolah dari berbagai sumber)

Untuk menangkap fenomena adanya perbedaan alokasi pemanfaatan lahan antara adanya program dan tidak ada program pertanian, sepertinya Fleming melakukan analisis post optimal. Kondisi tanpa program pertanian didasarkan pada asumsi bahwa lahan teras, tanah ternak dan belukar meningkat sebesar pertumbuhan penduduk.

Pada Tabel 8 tampak bahwa luas areal hutan dalam jangka waktu lima tahun akan habis terkonversi menjadi jenis pemanfaatan yang lain jika tidak ada program; jika ada program konservasi, maka areal hutan dapat dilestarikan. Di samping itu, hasil kajian menggambaran bahwa total presen value of benefit dari

alokasi pemanfaatan lahan di DTA Phewa Tal Nepal tanpa program relatif lebih kecil daripada dengan program peningkatan produktivitas lahan pertanian.

Tabel 8. Pemanfaatan Lahan yang Diproyeksikan Tanpa dan Dengan Program Manajemen dengan Selang 5 Tahun di DTA Phewa Tal, Nepal, 1980

Uraian 1978 1983 1988 1993 1998

A. Tanpa Program Manajemen: Tanah teras Tanah ternak Tanah rumput Tanah belukar Hutan 5 238 1 180 71 924 2 666 5 770 1 300 71 1 018 1 921 6 354 1 431 71 1 121 1 102 6 999 1 576 71 1 234 200 7 707 1 736 71 565 0 B. Dengan Program Manajemen:

Teras

Lahan peternakan (tdk dikelola) Lahan rumput (dikelola)

Belukar (tdk dikelola)

Hutan Pemerintah (tdk dikelola) Hutan Pemerintah (dikelola) Hutan kebun (dikelola)

5 238 1 180 71 924 2 616 - - 5 238 229 1 022 241 1 743 873 633 5 238 0 1 251 341 1 243 784 1 222 5 238 0 1 251 341 743 1 000 1 506 5 238 0 1 251 341 363 1 380 1 506

Sumber: Hufschmidt, et al. (1990)

Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Hermanto (1983) pada persamaan (3.4) adalah memaksimalkan keuntungan agregat usaha tani dari berbagai kemampuan lahan dengan memasukan biaya sosial yang diakibatkan oleh erosi dan manfaat air yang disumbangkan oleh areal lahan ke inflow waduk. Rumusan tersebut dilengkapi dengan kendala pada persamaan (3.5) yang bersifat obyektif (jumlah lahan pertanian, jumlah tenaga kerja dan faktor produksi) serta kendala yang bersifat normatif. Kendala yang bersifat normatif meliputi: (1) Kebijakan untuk menurunkan tingkat erosi sampai pada tingkat tertentu, (2) Pengaturan besarnya aliran air permukaan, (3) Pengurangan kepadatan penduduk, dan (4) Program reboisasi. Aktivitas produksi pertanian yang dimasukan dalam model analisis sebanyak 54, yaitu kombinasi antara 14 pola tanam (monokultur maupun tumpangsari) dan lima klasifikasi kelas kemampuan lahan.

Maks Z =

∑∑

∑∑

∑∑

∑∑

+ − − − − j k jk jk j k jk jk jk k k k k k j k jk jk j k j jk jk A W W A E e R r F f A C H A Y . . . . . . . . .

Rumusan fungsi tujuan adalah memaksimalkan Z yang terdiri dari komponen: total nilai produksi, total biaya produksi, total biaya reboisasi, total biaya pemukiman kembali, total biaya erosi dan total nilai air irigasi. Adapun formulasi beberapa kendala adalah:

1. Produksi pertanian: ∑ ∑ = = j k jk d jk A Q Y

Q . (persamaan identitas) (3.5a)

2. Modal kerja: ∑ ∑ ∑ − ≥ j k l jkl jk K A C M . (3.5b) 3. Tenaga kerja: ∑ ∑ − + ≥ j k jk jk s r l l A l L . (3.5c) 4. Resettlement: ∑ ≥ k k k r r R S . (3.5d) 5. Reboisasi: ∑ ≥ k k k f f F S . (3.5e) 6. Debit air: ∑ ∑ ≥ j k jk jk w W A C . (3.5f) 7. Erosi Tanah: ∑ ∑ ≥ j k jk jk e e A T . (3.5g) dimana:

Z = fungsi tujuan, memaksimalkan keuntungan wilayah DTAS Way Rarem (Rp/tahun)

Qjk = Jumlah produksi komoditi j, pada kelas kemampuan lahan k (ton/tahun)

h(Qjk) = harga merupakan fungsi dari jumlah produksi komoditas j, pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha/tahun)

Cjk = biaya tidak tetap untuk memproduksi satu hektar komoditas j, pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha/tahun)

Ajk = jumlah luas lahan pertanian untuk tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (ha)

fk = biaya reboisasi per hektar pada kelas kemampuan lahan k (Rp/ha)

Fk = areal yang dihutankan pada kelas kemampuan lahan k (ha) rk = biaya pemukiman kembali untuk satu Kepala Keluarga Rk = jumlah KK yang dimukimkan kembali

ejk = laju erosi pada areal yang ditanam tanaman j kelas kemampuan lahan k (ton/ha/tahun)

Ejk = nilai eksternalitas erosi (Rp/ton/ha)

wjk = dugaan terhadap aliran air permukaan pada areal yang ditanami tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (m3/ha/tahun)

W = nilai air yang disubsidikan ke areal irigasi Waduk Way Rarem (Rp/m3)

Ÿjk = produksi rata-rata komoditas j pada kelas kemampuan lahan k (ton/ha/tahun)

Hj = harga bayangan komoditas j (Rp/ton)

M = modal komulatif masyarakat yang tersedia untuk usaha pertanian (Rp/tahun)

K = jumlah kredit untuk usaha pertanian (Rp/tahun)

ljk = jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk produksi tanaman j pada kelas kemampuan lahan k (HOK/ha/tahun)

ls = jumlah tenaga kerja sewa dari luas DTAS Way Rarem (HOK) lr = jumlah tenaga kerja yang dimukimkan kembali

L = jumlah tenaga kerja yang tersedia di DTAS Way Rarem (HOK/tahun)

Sr = jumlah dana subsidi pemerintah yang tersedia untuk kegiatan pemukiman kembali (Rp/tahun)

Sf = jumlah dana subsidi pemerintah yang tersedia untuk kegiatan reboisasi (Rp/tahun)

Ċw = dugaan rata-rata debit sungai Way Rarem (m3/tahun)

Te = jumlah erosi yang dapat ditoleransi oleh Waduk Way Rarem (ton/tahun)

Hasil kajian yang didasarkan pada empat skenario

adalah: (1) apabila kendala erosi dilonggarkan, maka luas

areal yang direboisasi akan menurun dan akan terjadi

kenaikan pada luas areal komoditas komersial (khususnya

kopi), debit air dan erosi, (2) jika pembatas erosi diperketat

akan terjadi kondisi yang sebaliknya dengan besaran

dan debit (selain reboisasi), (3) apabila harga output

dinaikan sebesar 15% tidak berpengaruh terhadap

keputusan alokasi, dan (4) apabila harga output dinaikan

sebesar 30% akan terjadi penurunan areal kopi monokultur

dan kenaikan pola tumpangsari (dengan padi); serta tidak

berpengaruh pada areal reboisasi. Di samping itu, kajian

juga menghitung nilai eksternalitas tanah yang tererosi baik

di areal tanaman maupun di waduk, hanya saja nilai

tersebut diperlakukan sebagai variable eksogen

(didapatkan di luar sistem persamaan).

Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Soemarno (1991) adalah memi- nimumkan total beberapa kendala sasaran yang memperhatikan kepentingan berbagai pihak (multi party). Hasil pemecahan fungsi tujuan selanjutnya dipergunakan untuk menentukan alokasi luas penggunaan lahan optimal pada masing-masing Sub-sub DAS dengan mempertimbangkan: (1) pola tanam yang aman erosi, (2) pemenuhan kebutuhan hidup, (3) penyediaan kesempatan kerja, dan (4) pemenuhan debit air sungai pada kondisi maksimal ataupun minimal. Di samping itu, juga dicari beberapa alternatif lain dari alokasi luas penggunaan lahan optimal dengan menerapkan analisis post optimal; yakni dengan skenario perubahan luas kawasan hutan lindung, kawasan hutan produksi konversi, kebun campuran, kebun kopi, tegalan, sawah dan pemukiman atau pekarangan.

Fungsi tujuan yang dirumuskan oleh Tjoneng (1999) adalah maksimisasi keuntungan. Luas areal pola tanam optimal dari berbagai skenario selanjutnya

dipergunakan untuk menganalisis perubahan hidrologi di DAS Dataran Sulawesi Selatan.

Dengan menerapkan metode program tujuan ganda

(goal programming), hasil kajian Soemarno (1991)

menunjukkan bahwa simpangan yang cukup besar pada

kendala erosi, debit air sungai, kesempatan kerja dan

penerimaan. Hal tersebut mengindikasikan adanya

perilaku orientasi ekonomi dalam jangka pendek dan tidak

memperhatikan aspek-aspek ekologi. Dalam jangka

panjang, alokasi lahan optimal yang didasarkan pada pola

tanam rumusan lebih mampu mencapai sasaran kendala

erosi daripada pola tanam yang telah ada (diterapkan oleh

masyarakat).

Model pemrograman problem non-linier multi-periode telah dibuat oleh Barbier (2001), yaitu untuk mengkaji bagian hulu suatu DAS. Pada aktivitas pertanian memasukan pengaruh erosi tanah pada produksi tanaman. Fungsi tujuan yang dirumuskan adalah memaksimalkam kegunaan agregat dari seluruh wilayah dengan horizon waktu (time horizon) multi-tahun. Utilitas didefinisikan sebagai nilai diskonto pendapatan bersih yang akan datang + nilai ternak + nilai stok kayu di hutan + biaya kesempatan (opportunity cost) waktu luang. Tingkat diskonto yang ditetapkan ialah tingkat bunga riil di wilayah.

Variabel keputusan luas areal meliputi 2 unit klasifikasi. Klasifikasi unit dilakukan dalam dua tahap. Pertama, didasarkan pada kombinasi antara

ketinggian tempat dan luas penguasaan lahan disebut dengan Land Management Unit (LMU). Dalam model Honduras dibedakan 3 klas ketinggian tempat dan 2 kelompok usaha tani. Klas ketinggian tempat adalah di atas 1 100 m, di bawah 800 m dan diantaranya. Dua kelompok usaha tani dicirikan dari ukurannya: < 10 ha dan > 10 ha. Tiga klas ketinggian tempat dan dua kelompok usaha tani menghasilkan 6 LMU. Masing-masing LMU dapat diperhatikan satu usaha tani besar (large farm); dan dicirikan oleh suatu stok awal dari sifat sosial- ekonomi, seperti jumlah orang, sapi dan mules, mesin dan modal. Sifat yang melekat dari masing-masing LMU berubah secara eksogenous secara lintas waktu. Masing-masing LMU dicirikan oleh jarak spesifik dari jalan utama, yang berperan penting membedakan waktu perjalanan antar LMU.

Tahap kedua, dari unit LMU diklasifikasikan menurut kelerengan lahan yang sebut dengan Land Production Units (LPU); mengingat fungsi produksi tanaman dispesifikasikan oleh kemiringan lahan. Pembagian klas slope terdiri atas: (1) < 10%, (2) > 25%, dan (3) 10 – 25%. Dengan demikian terdapat 18 LPU (kombinasi dari 3 klas ketinggian tempat, 2 kelompok petani dan 3 klas

slope). Pada masing-masing LPU dapat mempunyai perbedaan kombinasi dari tataguna lahan seperti hutan, padang gembala, pakan ternak, tanaman dan struktur konservasi lahan.

Kendala yang dipertimbangkan dalam struktur model tersebut meliputi kendala kebutuhan air, tenaga kerja, modal uang tunai dan jumlah produksi yang bisa dipasarkan. Air yang diperlukan untuk kegunaan domestik, irigasi dan usaha ternak. Model merinci spesifikasi kebutuhan air menurut kelompok usaha tani maupun ketinggian tempat; serta mempertimbangkan ketersediaan air menurut musim dan prioritas pembagiannya. Air yang tidak digunakan dari satu sektor dialirkan ke sektor berikutnya yang berada di lokasi ketinggian tempat

yang lebih rendah. Hal itu mengikuti analisis dari pengaruh kenaikan penggunaan air oleh satu sektor terhadap sektor lain di wilayah hilir.

Pada kendala ketersediaan tenaga kerja diasumsikan terjadi mobilitas antar lokasi atau LMU dalam wilayah DAS. Tingkat kelahiran dan kematian diperlakukan sebagai exogenous pada model. Kepadatan penduduk ditetapkan sebagai endogenous dalam model, karena arus migrasi dapat mempengaruhi ukuran penduduk. Migrasi permanen atau sementara merupakan variabel yang membatasi populasi tahunan.

Dalam kendala uang tunai memperhatikan keseimbangan aliran uang tunai, karena beberapa uang tunai tidak diinvestasikan kembali atau dikonsumsi- kan pada akhir musim namun disimpan untuk musim selanjutnya. Pendapatan bersih keuangan pada akhir tahun juga menentukan konsumsi keuangan keluarga di tahun berikutnya. Kendala pasar diperlukan mengingat petani yang memproduksi sayuran mempunyai ikatan dengan sedikit pedagang. Jika kendala tersebut tidak dimasukkan, dari model terdapat solusi memproduksi tanaman tertentu tanpa pasar.

Estimasi produksi tanaman tidak hanya

mempertimbangkan tingkat produksi pada masing-masing

Land Production Units (LPU), namun juga memperhatikan

pengaruh pupuk dan erosi terhadap produksi serta

kecukupan ketebalan lapisan tanah (soil depth).

Penerapan fungsi produksi untuk masing-masing tipe

variable endogenous dipertimbangkan dalam model

dirumuskan dengan persamaan (3.6) berikut:

TPRODc,t = yieldc,d,t * CROPc,t + ∑ = D d 1 effnpkd,c * FERTc,d,t (3.6) - ∑ = E e 1

efferose,c * EROSIONc,d,t - ∑ =

F

f 1

effdefc,f * SOILDEFc,d,t

Dimana TPRODc,t adalah total produksi untuk tanaman C dalam periode t; yieldc,d,t dan CROPc,t berturut-turut ialah hasil potensial dan areal tanam; FERTc,d,t dan EROSIONc,d,t masing-masing adalah pengaruh pemupukan dan pengaruh erosi; SIOLDEFc,d,t pengaruh ketidakcukupan kedalamam tanah. Tanda d, e dan f mengindikasikan batas segmen pada x-axis.

Kendala transisi penggunaan lahan budidaya yang meliputi perluasan (NEWCROPc,t) atau pengurangan (CUTCROPc,t) dari areal budidaya awal (CROPc,t-1). Persamaan (3.7) adalah formulasi keseimbangan lahan budidaya.

CROPc,t = CROPc,t-1+ NEWCROPc,t - CUTCROPc,t (3.7)

Adapun persamaan (3.8) adalah kendala transisi lahan non-budidaya (LANDt). LANDt = LANDt-1+ NEWLANDt - CUTLANDt

(3.8)

Variabel LAND, mewakili areal non-budidaya seperti hutan

dan padang gembala. NEWLAND dan CUTLAND masing-

masing adalah perluasan dan pengurangan lahan non-

budidaya.

Erosi pada masing-masing LPU digambarkan sebagai

tingkat erosi dasar, dikurangi pengaruh dari struktur

konservasi dan pemupukan. Persamaan (3.9) merupakan

rumusan total erosi.

=

E

e 1

EROSIONc.d = eros * CROPc.t – effconsc * CONSERc,t

∑ = D d 1

effert

d,c

* FERT

c,d,t

(3.9)

Dimana EROSION

c.d

ialah tingkat erosi potensial; eros

c

adalah rata-rata volume tanah yang tererosi per hektar

pada lahan tanpa struktur konservasi maupun pemupukan;

CROP

c,t

ialah luas areal lahan budidaya; effcons

c

adalah

koefisien volume pengurangan erosi per unit lahan

konservasi; CONSER

t

ialah luas areal lahan konservasi;

effert

d.c

adalah koefisien volume tanah yang tidak tererosi

sebagai hasil penerapan satu ton pupuk; dan FERT

c.d.t

ialah

volume erosi lahan budaya disajikan pada persamaan

(3.10a).

VOLCROPt = VOLCROPt-1 – ∑ ∑ = = C c E e 1 1 EROSIONc,e,t – (VOLCROPt-1/ΣcCROPc-1) * ∑ = C c 1 CUTCROPc,t

+ (VOLAND t-1/LANDt-1) NEWCROPc,t) (3.10a) Dimana VOLCROPt dan VOLCROPt-1 masing-masing adalah volume topsoil di areal lahan budidaya pada tahun ke-t dan periode sebelumnya; VOLANDc,t ialah