• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

7.2. Alokasi Optimal pada Sub-sistem Hulu Waduk

Berdasarkan hasil pemecahan optimasi dinamik dapat diperoleh gambaran bahwa alokasi lahan di daerah tangkapan air Waduk Sutami- Sengguruh relatif tetap sepanjang horizon waktu (Tabel 17). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keputusan pola tanam optimal pada awal horizon waktu tetap dipertahankan hingga akhir. Hal tersebut terjadi karena pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal mempunyai pendapatan per hektar relatif paling besar (dominan) mulai dari awal hingga sepanjang horizon waktu. Dengan kata lain, selama horizon waktu tidak ada pola tanam lain yang dapat menghasilkan pendapatan per hektar lebih besar daripada yang dihasilkan paket pola tanam yang terpilih sebagai aktivitas optimal pada awal horizon waktu. Pendapatan per hektar yang dominan selama periode horizon waktu tidak saja ditunjukkan dalam bentuk nominal, namun juga dalam bentuk nilai saat ini seperti yang terdapat pada Tabel 19 dan 20.

Tabel 17. Luas Lahan Optimal (ha) Selama Horizon Waktu pada Sub-Sub DAS Bango dan Sumber Brantas pada Tingkat Bunga 10% dengan Tingkat Harga Komoditas dan Biaya Konstan

Tahun

Sub-sub DAS Bango Sub-sub DAS Sumber Brantas

Sawah I Tegal I Tegal II Kebun I Sawah I Sawah II Tegal I Tegal II Kebun I

Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Pd-Jg-KcTnh Apel Pd-Pd-Sy Pd-Pd-Sy Kn-Wrl Apel Apel

2003 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2004 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2005 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2006 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2007 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2008 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2009 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2010 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2011 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2012 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2013 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2014 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2015 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2016 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2017 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2018 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2019 3689 7174 211 646 16095 72 4939 628 1856 2020 . . . . . .

Sumber: Olahan data

Alokasi lahan optimal yang terdapat pada Tabel 17 didasarkan pada tingkat bunga sebesar 10% serta harga komoditas dan biaya konstan sepanjang horizon waktu. Aktivitas optimal pada lahan sawah dan tegal kemiringan I antara Sub- sub DAS Bango dan Sumber Brantas tidak terjadi perbedaan. Perbedaan keputusan optimal terjadi pada lahan tegal kemiringan II (≥ 25%); di wilayah Bango adalah paket pola tanam Pd-Jg-Kacang Tanah dan pada wilayah Sumber Brantas adalah tanaman tunggal apel. Pengusahaan tanaman apel pada lahan tegal kemiringan II di wilayah Sub-sub DAS Bango secara riil tidak dijumpai (Tabel 15).

Pendugaan alokasi lahan optimal yang konstan selama beberapa tahun tersebut terjadi pada keseluruhan Sub-sub DAS. Keadaan tersebut berlawanan dengan kondisi riil yang terjadi di lapangan. Berdasarkan data luas panen yang dikumpulkan dari BPS Daerah Tingkat II Kabupaten Malang selama kurun waktu 1998 hingga 2002, terdapat tendensi bahwa luas areal berfluktuasi (Tabel 18).

Dari Tabel 18 dapat dikatakan bahwa secara riil luas areal komoditas padi, jagung dan tebu cenderung menurun; sedangkan tanaman kacang tanah terjadi yang sebaliknya. Berdasarkan sumber data yang sama juga diperoleh pendugaan pertumbuhan komoditas kentang dan wortel masing-masing sebesar 6.71% dan 1.78%.

Tabel 18. Perubahan Luas Areal Berbagai Komoditas Dominan Menurut Sub-Sub DAS Berdasarkan Rumus Polinomial

Sub-sub DAS Perubahan areal (%)

Padi Jagung Kacang Tanah Tebu

Amprong - 3.93 - 12.50 - 14.22 10.71

Bango 0.49 - 6.01 3.02 - 0.69

Lesti - 5.02 - 3.97 - 3.98 - 2.17

Metro - 0.15 - 6.90 1.96 6.92

Sumber Brantas - 1.23 - 17.39 3.95 - 4.27

Sumber: Olahan data sekunder

Sementara itu, dari hasil wawancara bebas dengan informan kunci didapatkan deskripsi bahwa luas areal pengelolaan tanaman sayuran secara riil berfluktuasi. Pada wilayah Sub-sub DAS Bango dan Lesti terdapat tendensi bahwa perkembangan luas areal tanaman sayuran (kubis, cabe, bawang prei) menggantikan tebu di lahan sawah maupun tegal dengan kemiringan ≤ 16%. Khususnya di Desa Dawuhan (salah satu desa di wilayah Sub-sub DAS Lesti) didapatkan informasi bahwa perkembangan komoditas sayuran sejak tahun 1998 beriringan dengan adanya program Inpres Desa Tertinggal (IDT); ada beberapa masyarakat memanfaatkan bantuan IDT untuk modal usaha sayuran. Luas areal sayuran mengalami puncaknya pada tahun 2000. Komoditas lombok diusahakan masyarakat setempat sejak tahun 1995/96; dan komoditas kubis sejak tahun 1999. Sedangkan petani Desa Ngadas (wilayah Sub-sub DAS Amprong) memulai pengusahakan tanaman kentang sejak tahun 1980 dan perkembangan areal kentang semakin meluas, namun tata tanam yang searah dengan lereng bukit menyebabkan erosi alur dan parit yang cukup serius (KEPPAS, 1988).

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada saat penelitian, luas areal tanam apel pada lahan budidaya intensif fungsi kawasan C (budidaya tahunan) relatif tetap dan pada fungsi kawasan D (tanaman semusim) terjadi kenaikan. Perkembangan luas lahan apel yang terjadi di Desa Tulungrejo dan Sumber Gondo (desa-desa di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas) karena adanya konversi lahan tegal dari tanaman sayuran menjadi kebun apel. Disamping itu, lahan dengan pohon pelindung alam (sebagai penyangga) telah dikonversi menjadi lahan tanaman sayuran (Tabel 4). Proses konversi fungsi lahan di desa tersebut telah terjadi sejak tahun 1935 (KEPPAS

, 1988).

Menurut informasi dari Pamong Desa Gubug Klakah (pusat produksi apel di wilayah Sub-sub DAS Amprong), perkembangan tanaman apel saat ini relatif kecil (0.50%) bahkan cenderung tetap. Secara historis, tanaman apel mulai dikenal masyarakat desa tersebut sejak tahun 1969/1970. Pada awalnya, tanaman apel ditanam di lahan pekarangan dan selanjutnya diusahakan di lahan tegal. Pada tahun 1985 areal tanaman apel telah mencapai 75% dari total lahan pertanian; dan sejak tahun 1990 hingga kajian ini dilakukan telah mencapai 90%. Sisa dari total lahanyang tersedia tetap dipergunakan untuk tanaman palawija karena: (1) ketidaksesuaian lahan untuk apel, (2) keterbatasan biaya, dan (3) beberapa masyarakat masih mempertahankan pemikiran atau tradisi lama. Sebelum tanaman apel mendominasi lahan pertanian, pada awalnya didominasi oleh jagung dan sayuran. Walaupun pada saat ini luas areal tanam apel relatif tetap, namun tingkat erosi yang terjadi perlu diwaspadai karena pada umumnya apel ditanam pada lahan dengan kemiringan ≥ 30%. Tingginya tingkat erosi yang terjadi diperparah dengan perilaku petani dalam pengaturan sebagian akar tanaman apel yang menggantung di bibir teras. Menurut informan kunci

pengaturan tersebut dimaksudkan untuk mengupayakan air hujan di permukaan tanah cepat “tuntas” sehingga mengurangi frekuensi serangan hama.

Pengaruh fluktuasi permintaan dan tingkat harga komoditas terhadap keputusan petani (tingkat mikro) dalam pemilihan jenis tanaman tercermin dari informasi yang diberikan oleh responden dari Desa Petung Sewu kecamatan Dau (wilayah Sub-sub DAS Metro). Pada awalnya, pola tanam lahan sawah didesa tersebut adalah padi–jagung–kacang tanah. Pada tahun 1985 petani setempat banyak yang mengelola tanaman jeruk. Oleh karena harga jeruk pada saat itu relatif murah (Rp 200/kg) dan belum ada pasar (tengkulak/pedagang pengepul belum ada), maka pada tahun 1989 tanaman jeruk di desa tersebut banyak yang dibongkar. Sejak tahun 1990 komoditas tersebut mulai laku (ada pasar) dan harga relatif tinggi, maka tanaman jeruk di desa tersebut terus berkembang sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan. Sejak tahun 1997 luas lahan sawah yang menjadi kebun jeruk mencapai 40% dari total sawah desa atau seluas 33.18 ha.

Secara riil, luas areal tebu cenderung mengalami peningkatan. Hal itu karena lahan sawah yang semula ditanami padi mengalami pergeseran menjadi tebu, mengingat padi memerlukan sarana produksi dan tenaga kerja yang lebih intensif sementara subsidi pupuk mengalami penurunan dan harga gabah tidak terjamin. Menurut petani setempat, menanam tebu relatif lebih menguntungkan karena lebih hemat tenaga kerja dan sebagian besar petani mengikuti program intensifikasi tebu yang dikelola langsung oleh pabrik gula. Lahan sawah di wila- yah Sub-sub DAS Amprong menjadi dominan tebu sejak tahun 1992 (Tabel 4).

Hasil optimasi dinamik pada wilayah Sub-sub DAS Amprong menunjukkan bahwa komoditas tebu sebagai aktivitas optimal pada lahan tegal klasifikasi kemiringan I (0–15%), namun luas areal optimal konstan. Kondisi tersebut

berbeda dengan keadaan di lapangan. Secara riil, perubahan luas lahan tebu wilayah Sub-sub DAS Amprong cenderung naik. Luas areal tanaman sayuran dan palawija di lahan sawah di Desa Ngadireso Kecamatan Poncokusumo semakin sempit, banyak digantikan dengan tanaman tebu. Lahan sawah di Desa Kemantren Kecamatan Jabung menjadi dominan komoditas tebu sejak tahun 1992 ; yakni menggantikan pola tanam lama yaitu padi-padi-jagung.

Luas areal tebu pada Kecamatan Dau (salah satu wilayah Sub-sub DAS Metro) secara riil terjadi fluktuasi. Dari hasil wawancara pada responden perangkat desa maupun petani biasa, dapat disimpulkan bahwa keputusan pemilihan pola tanam di tingkat mikro pada daerah tersebut dipengaruhi oleh ketersediaan tenaga kerja. Pada lahan “ganjaran” dengan kemiringan 80% yang semula untuk tanaman pangan pada waktu yang akan datang akan ditanami sengon, mengingat tenaga kerja untuk pengawasan tidak mencukupi. Beberapa petani tetap menanam tebu karena tanaman tersebut relatif hemat biaya dan tenaga kerja serta dapat mendatangkan uang tunai.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dan deskripsi perubahan tataguna lahan (sub-bab 2.2), dapat diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan antara hasil alokasi lahan optimal yang bersifat normatif dengan kondisi riil di lapangan. Beberapa faktor tersebut terdiri atas: (1) perbedaan orientasi pencapaian fungsi tujuan, (2) keputusan rumah tangga petani, (3) kebijakan makro, dan (4) wacana politik.

Pada perumusan optimasi dinamik secara normatif didasarkan pada asumsi bahwa semua komponen masyarakat dalam mengelola sumberdaya pada daerah tangkapan air untuk menghasilkan keuntungan maksimal. Sedangkan pada kondisi riil, tidak semua pengelola lahan budidaya intensif berorientasi memaksimalkan keuntungan. Disamping itu, pengaturan debit

Pada skala mikro, pemilihan aktivitas riil dipengaruhi oleh keputusan rumah tangga petani. Keputusan tersebut didasarkan pada: (1) kondisi pasar (fluktuasi permintaan dan tingkat harga setempat), (2) kendala sumberdaya (modal, tenaga kerja dan lahan), (3) sifat pengusahaan (subsisten atau komersial). Pada skala makro karena kebijakan sektoral dan kebijakan harga.

Beberapa kebijakan sektoral yang mempengaruhi perubahan luas lahan riil komoditas tebu adalah program intensifikasi tebu di lahan kering yang telah diintroduksikan sejak tahun tujuh puluhan. Disamping itu, dari Departemen Kehutanan terdapat program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) sejak tahun 1985. Pada program PHBM, masyarakat diberi hak kelola pada lahan hutan produksi dengan menanam tanaman pangan. Namun dalam perkembangannya, lahan tersebut diusahakan tanaman sayuran. Penerapan program tersebut telah diterapkan pada seluruh wilayah sub-sub DAS yang berada di DTA Bendungan Sengguruh maupun Sutami.

Disadari bahwa salah satu keterbatasan Model-DTA ini adalah belum dipertimbangkannya aspek permintaan pasar dari komoditas yang membentuk paket pola tanam. Asumsi yang menyertai model adalah keseluruhan kuantitas produksi yang dihasilkan dari aktivitas dan lahan optimal dapat diserap oleh pasar. Hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran bahwa model akan menghasilkan aktivitas yang memproduksi tanaman spesifik tanpa pasar (tidak ada permintaan), apalagi aktivitas produksi pertanian dalam skala wilayah Daerah Aliran Sungai (Barbier, 2001). Beberapa kendala lain yang dipertimbang- kan dalam struktur pemodelan yang dirumuskan oleh Barbier (2001) adalah ketersediaan lahan, air, tenaga kerja, dan kendala uang tunai.

Penyebab alokasi intertemporal konstan pada Tabel 17 dapat dijelaskan secara matematik melalui transmisi fungsi tujuan pada persamaan (6.1) dan rumusan kendala pada persamaan (6.2). Perubahan kuantitas produksi suatu

komoditas dipengaruhi oleh perubahan SD yang diestimasi dengan fungsi respon produksi-soil depth. Perubahan SD tergantung pada SL pada satu periode (tahun) yang ditentukan oleh tingkat erosi per hektar per tahun.

Apabila tingkat erosi per tahun relatif kecil dan SD relatif tebal, maka perubahan produksi juga relatif kecil. Pada kondisi harga komoditas dan biaya produksi yang konstan, maka perubahan pendapatan setiap periode dari suatu pola tanam relatif kecil (Tabel 19 dan 20). Secara singkat dapat dikatakan bahwa alokasi lahan optimal yang konstan disebabkan oleh perubahan produksi setiap periode yang relatif kecil karena tingkat erosi per tahun yang kecil dan SD

relatif tebal

Pada Tabel 19 tampak bahwa paket pola tanam Pd-Pd-Sy mempunyai pendapatan yang paling dominan diantara pola tanam yang lain pada lahan sawah kemiringan I (0-15%) di Sub-sub DAS Bango. Pendapatan nominal maupun nilai sekarang yang dominan tidak saja terjadi pada awal periode (tahun 2003), namun juga terjadi sepanjang time horizon. Keadaan yang sama juga terjadi pada paket pola tanam Kentang-Wortel pada lahan tegal kemiringan I.

Pola tanam pada lahan sawah kemiringan II (≥ 15%) yang menghasilkan manfaat bersih tahunan yang dominan terdapat di wilayah Sub-sub DAS Sumber Brantas (Tabel 20); yaitu pola tanam Pd-Pd-Sy. Tingkat pendapatan tahunan tertinggi pada lahan tegal I adalah paket pola tanam Kentang-Wortel; dan pada lahan tegal II ialah tanaman tunggal apel. Tanaman apel tidak saja mendominasi pada lahan tegal, namun juga pada lahan kebun I maupun II.

Tabel 19. Pendapatan (ribu Rp/ha) pada Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah dan Tegal di Wilayah Sub-Sub DAS Bango pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga ( r ) 10%

Sawah I (kemiringan 0 – 15%)

Tahun Pd-Pd-Pd Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Tebu

Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV

2003 19 900 19 900 16 976 16 976 51 554 51 554 7 754 7 754 2004 19 899 18 090 16 976 15 432 51 554 46 867 7 753 7 049

2005 19 899 16 446 16 976 14 029 51 553 42 606 7 753 6 408 2006 19 899 14 951 16 976 12 754 51 553 38 732 7 753 5 825 2007 19 899 13 591 16 976 11 595 51 552 35 211 7 753 5 295 2008 19 899 12 356 16 975 10 540 51 552 32 009 7 752 4 814 2009 19 899 11 233 16 975 9 582 51 551 29 099 7 752 4 376 2010 19 899 10 211 16 975 8 711 51 550 26 453 7 752 3 978 2011 19 899 9 283 16 975 7 919 51 550 24 048 7 752 3 616 2012 19 899 8 439 16 975 7 199 51 549 21 862 7 752 3 287 2013 19 899 7 672 16 975 6 545 51 549 19 874 7 751 2 988 2014 19 899 6 974 16 975 5 950 51 548 18 067 7 751 2 717 2015 19 899 6 340 16 975 5 409 51 547 16 425 7 751 2 470 2016 19 898 5 764 16 975 4 917 51 547 14 931 7 751 2 245 2017 19 898 5 240 16 975 4 470 51 546 13 574 7 750 2 041 2018 19 898 4 764 16 975 4 064 51 546 12 340 7 750 1 855 2019 19 898 4 330 16 975 3 694 51 545 11 218 7 750 1 687 2020 . . . . . Tegal I (kemiringan 0 - 15%)

Tahun Jg-Jg-SyPd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wortel Tebu

Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV

. . . (Rp 1,000/ha) . . . 2003 27 070 27 070 8 803 8 803 69 053 69 053 6 358 6 358 2004 27 030 24 609 8 798 7 998 68 931 62 665 6 358 5 780 2005 26 991 22 339 8 793 7 267 68 809 56 867 6 357 5 254 2006 26 951 20 278 8 788 6 603 68 686 51 605 6 357 4 776 2007 26 911 18 408 8 783 5 999 68 563 46 829 6 357 4 342 2008 26 871 16 710 8 778 5 450 68 439 42 496 6 357 3 947 2009 26 831 15 168 8 773 4 952 68 316 38 562 6 356 3 588 2010 26 791 13 769 8 768 4 499 68 191 34 993 6 356 3 262 2011 26 750 12 498 8 762 4 088 68 067 31 754 6 356 2 965 2012 26 710 11 345 8 757 3 714 67 942 28 814 6 356 2 695 2013 26 669 10 298 8 752 3 374 67 816 26 146 6 355 2 450 2014 26 628 9 347 8 746 3 065 67 690 23 725 6 355 2 227 2015 26 587 8 485 8 741 2 785 67 564 21 528 6 355 2 025 2016 26 546 7 701 8 735 2 530 67 437 19 534 6 355 1 841 2017 26 505 6 990 8 730 2 299 67 310 17 725 6 354 1 673 2018 26 463 6 345 8 724 2 088 67 183 16 083 6 354 1 521 2019 26 422 5 759 8 718 1 897 67 055 14 593 6 354 1 383 Sumber: hasil olahan data

Dari Tabel 19 dan 20 tampak bahwa pendapatan per hektar lahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu karena menurunnya produktivitas lahan akibat dari lapisan tanah yang hilang. Perubahan pendapatan antar periode tampak relatif kecil. Hal tersebut karena perubahan produktivitas lahan setiap periode tidak signifikan pada lahan dengan SD yang relatif tebal; sehingga pada tingkat harga komoditas dan biaya yang konstan sepanjang horizon waktu menjadikan keputusan alokasi lahan dinamik adalah konstan.

Tabel 20. Pendapatan (ribu Rp/ha) pada Berbagai Paket Pola Tanam Lahan Sawah dan Tegal dari Wilayah Sub-Sub DAS Sumber Brantas pada Harga dan Biaya Konstan dengan Tingkat Bunga (r) 10%

Sawah II (kemiringan >15%)

Tahun Pd-Pd-Jg Pd-Pd-Sy Tebu Jeruk

Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV

2003 13 519 13 519 41 706 41 706 7 118 7 118 3 668 3 668 2004 13 519 12 290 41 705 37 914 7 118 6 471 3 668 3 335 2005 13 519 11 173 41 705 34 467 7 118 5 883 3 668 3 031 2006 13 519 10 157 41 704 31 333 7 118 5 348 3 668 2 756 2007 13 518 9 233 41 703 28 484 7 117 4 861 3 668 2 505 2008 13 518 8 394 41 702 25 894 7 117 4 419 3 668 2 277 2009 13 518 7 631 41 701 23 539 7 117 4 017 3 668 2 070 2010 13 518 6 937 41 701 21 399 7 117 3 652 3 668 1 882 2011 13 518 6 306 41 700 19 453 7 117 3 320 3 668 1 711 2012 13 518 5 733 41 699 17 684 7 116 3 018 3 668 1 555 2013 13 518 5 212 41 698 16 076 7 116 2 744 3 668 1 414 2014 13 518 4 738 41 697 14 615 7 116 2 494 3 668 1 285 2015 13 518 4 307 41 697 13 286 7 116 2 267 3 668 1 169 2016 13 518 3 916 41 696 12 078 7 116 2 061 3 668 1 062 2017 13 518 3 560 41 695 10 980 7 116 1 874 3 668 966 2018 13 518 3 236 41 694 9 981 7 115 1 703 3 667 878 2019 13 518 2 942 41 693 9 074 7 115 1 548 3 667 798 Sumber: hasil olahan data

Tabel 20. Lanjutan

Tegal I (kemiringan 0 - 15%)

Tahun Jg-Jg-SyPd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wortel

Tebu

Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV

2003 26 728 26 728 8 760 8 760 68 004 68 004 6 344 6 344 2004 26 719 24 298 8 756 7 960 67 951 61 773 6 342 5 766 2005 26 710 22 082 8 753 7 234 67 897 56 113 6 341 5 241 2006 26 701 20 067 8 750 6 574 67 843 50 972 6 340 4 763 2007 26 691 18 237 8 746 5 974 67 790 46 301 6 338 4 329 2008 26 682 16 573 8 743 5 429 67 736 42 059 6 337 3 935 2009 26 673 15 061 8 740 4 933 67 682 38 205 6 336 3 576 2010 26 664 13 687 8 736 4 483 67 628 34 704 6 334 3 250 2011 26 654 12 439 8 733 4 074 67 574 31 524 6 333 2 954 2012 26 645 11 304 8 729 3 702 67 520 28 635 6 331 2 685 2013 26 636 10 273 8 726 3 364 67 466 26 011 6 330 2 440 2014 26 627 9 336 8 722 3 057 67 412 23 627 6 328 2 218 2015 26 618 8 484 8 718 2 778 67 357 21 462 6 327 2 016 2016 26 608 7 710 8 715 2 524 67 303 19 495 6 325 1 832 2017 26 599 7 007 8 711 2 294 67 248 17 709 6 324 1 665 2018 26 590 6 368 8 707 2 085 67 194 16 086 6 322 1 513 2019 26 580 5 787 8 704 1 894 67 139 14 611 6 321 1 376 Tegal II (kemiringan >15%)

Tahun Jg-Jg-Sy Pd-Jg-Kc. Tnh Kentang-Wol Apel

Nominal PV Nominal PV Nominal PV Nominal PV

2003 16 356 16 356 7 187 7 187 61 890 61 890 64 126 64 126 2004 16 311 14 869 7 152 6 502 61 811 56 192 64 123 58 294 2005 16 266 13 481 7 149 5 908 61 731 51 017 64 121 52 993 2006 16 221 12 221 7 146 5 369 61 651 46 319 64 119 48 173 2007 16 176 11 079 7 143 4 879 61 570 42 053 64 116 43 792 2008 16 130 10 044 7 140 4 433 61 490 38 181 64 114 39 810 2009 16 085 9 105 7 137 4 029 61 410 34 664 64 111 36 189 2010 16 039 8 254 7 134 3 661 61 329 31 471 64 109 32 898 2011 15 993 7 482 7 131 3 326 61 248 28 573 64 106 29 906 2012 15 947 6 782 7 127 3 023 61 167 25 941 64 104 27 186 2013 15 900 6 148 7 124 2 747 61 086 23 551 64 102 24 714 2014 15 853 5 573 7 121 2 496 61 004 21 382 64 099 22 466 2015 15 807 5 051 7 118 2 268 60 923 19 412 64 097 20 423 2016 15 760 4 579 7 114 2 061 60 841 17 624 64 094 18 566 2017 15 713 4 150 7 111 1 873 60. 59 16 000 64 092 16 877 2018 15 665 3 761 7 108 1 702 60 677 14 526 64 089 15 342 2019 15 618 3 409 7 104 1 546 60 595 13 187 64 087 13 947 Sumber: hasil olahan data

Keterangan: PV = Present Value

Sementara itu, hasil kajian Van Kooten et al. (1989) menunjukkan bahwa kehilangan produksi marjinal (marginal yield loss) akan semakin kecil pada SD

yang semakin tebal. Disamping itu, kehilangan produksi marjinal pada SD lebih dari 35 sentimeter adalah nol. Menurut Barbier (1990), penurunan produktivitas jangka panjang tidak tampak berarti dikarenakan SD tebal. Dicontohkan bahwa

produktivitas di tingkat petani sayuran komersial (kentang, bawang bakung, bawang putih dan kubis) Desa Ngadas Jawa Timur tidak terlihat mengalami penurunan meskipun rata-rata tingkat erosi tahunan antara 150 hingga 200 ton/ha dan kehilangan lapisan tanah setebal 2 cm/th. Lebih lanjut diuraikan bahwa pada kondisi tersebut petani sayur tidak berminat berinvestasi pada konservasi tanah. Disamping itu, juga dikemukakan bahwa sepanjang tahun 1976 – 1986 merupakan masa berkembangnya petani sayuran di Jawa yang berorientasi pasar dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada tanaman lain. Sementara itu, dari data sekunder didapatkan bahwa SD di wilayah penelitian berkisar antara 65 hingga lebih dari 100 cm.

Dari berbagai deskripsi yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas optimal secara langsung ditentukan oleh tingkat pendapatan per hektar lahan. Tingkat erosi, SD dan biaya usahatani merupakan variabel tidak langsung. Pengaruh tidak langsung tersebut melalui transmisi sebagai berikut : 1. Tingkat erosi akan mengurangi ketebalan lapisan tanah sehingga menyebab-

kan penurunan kuantitas produksi komoditas.

2. Tingkat produksi akan mempengaruhi penerimaan, dan pada biaya usahatani yang konstan menjadikan pendapatan aktivitas pola tanam menurun.