• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lemahnya sinergi kebijakan Iptek nasional, termasuk kelautan, menyebabkan kegiatan Iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan Iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri kelautan dan perikanan. Di samping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan Iptek kelautan dan perikanan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka sasaran pembangunan lintas bidang pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Pengembangan data dan informasi dan riset sumberdaya kelautan non konvensional: (2) Pengembangan infrastruktur dasar di pulau-pulau kecil terluar dan pembangunan fasilitas perintis untuk meningkatkan akses ke wilayah terpencil; (3) peningkatan kerjasama dan percepatan penyelesaian tata batas wilayah lautan dengan negara tetangga; (4) peningkatan pengawasan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan pelanggaran di wilayah laut NKRI; (5) Penataan ruang dan zonasi di wilayah pesisir dan lautan; dan (6) rehabilitasi, konservasi dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta sumberdaya kelautan dan perikanan.

1.2.3.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, maka arah kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) Meningkatkan sinergitas antar sektor/daerah/pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pulau-pulau kecil; (2) Meningkatkan pemahaman tehadap konsep negara kepulauan bagi generasi muda dan masyarakat luas; (2) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pelanggaran di laut; (3) Meningkatkan pengamanan, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI: (3) Pembangunan ekonomi kelautan yang terfokus dan terintegrasi untuk sektor-sektor strategis untuk pendorong peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk membangun industri maritim.; (4) Meningkatkan sarana dan prasarana penghubung antar pulau dalam rangka menjadikan laut sebagai perekat NKRI; (5) Meningkatkan upaya pelestarian lingkungan pesisir dan laut dalam rangka menjaga dan mempertahankan fungsinya sebagai pendukung kehidupan.

1.2.4. Perlindungan Anak

1.2.4.1. Kondisi Umum

Pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh,

Alur

Pemban

II.1 - 31

berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan demikian, upaya pemenuhan hak-hak anak terkait dengan berbagai bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan anak yang dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia.

Keberhasilan dalam memenuhi hak untuk hidup, tumbuh, dan kembang serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak ditunjukkan oleh berbagai capaian pembangunan. Di bidang kesehatan, hasil SDKI tahun 2002/03 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB) adalah 35 anak per 1.000 kelahiran hidup, angka kematian balita (AKBA) mencapai 46 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian neonatal (usia 0−28 hari) mencapai 20 per 1.000 kelahiran hidup. Data SDKI tahun 2007 menunjukkan penurunan, yaitu AKB menjadi 34 anak per 1.000 kelahiran hidup, AKBA menjadi 44 anak per 1.000 kelahiran hidup, dan angka kematian neonatal menjadi 19 per 1.000 kelahiran hidup. Selain itu, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita juga mengalami penurunan, masing-masing dari 8,8 persen dan 19,24 persen (SDKI 2002/03) menjadi sebesar 5,4 persen dan 13,0 persen (Riskesdas 2007).

Di bidang pendidikan, data Susenas menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun telah mengalami peningkatan, dari masing-masing 97,14 persen; 84,02 persen; dan 53,86 persen pada tahun 2005, menjadi masing-masing 97,83 persen; 84,41 persen; dan 54,70 persen pada tahun 2008. APK PAUD juga meningkat dari 42,34 persen pada tahun 2005 menjadi 50,62 persen pada tahun 2008. Di samping itu, data Depdiknas menunjukkan adanya penurunan angka putus sekolah SD+MI, SMP+MTs, dan SM+MA masing-masing sebesar 2,9 persen, 1,78 persen, dan 2,83 persen pada 2005/2006 menjadi 1,63 persen, 2,22 persen, dan 2,33 persen pada 2007/2008. Upaya pengembangan anak usia dini secara tidak langsung juga dilakukan melalui penyuluhan pengasuhan anak kepada orang tua dan keluarga. Data BKKBN menunjukkan adanya peningkatan jumlah anggota yang aktif dalam kegiatan BKB, dari sebanyak 970.939 keluarga pada tahun 2005 menjadi 2.320.747 keluarga pada tahun 2009. Selain itu, telah dibentuk pula 5 sekolah ramah anak di 3 provinsi dan 5 kabupaten/kota; serta diterbitkan dan disosialisasikannya buku panduan tentang sekolah tanpa rokok di Provinsi DKI Jakarta.

Di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, data Sakernas 2006-2008 menunjukkan penurunan persentase pekerja anak usia 10-14 tahun, dari 5,52 persen pada tahun 2005 menjadi 4,65 persen pada tahun 2006 dan 3,78 persen pada tahun 2007. Sementara itu, dalam memenuhi hak sipil anak untuk mendapatkan identitas dan legalitas kependudukan, data Supas 2005 menunjukkan bahwa sekitar 42,82 persen anak usia 0-4 tahun telah memiliki akta kelahiran. Selain itu, kemajuan lain yang dicatat dalam rangka peningkatan kesejahteraan perlindungan anak, antara lain adalah: (1) disahkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan No. 2 Tahun 2009 Tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak sebagai penguatan dasar hukum pelaksanaan KLA; (2) terlaksananya sosialisasi dan advokasi mengenai penyusunan peraturan daerah tentang pemberian akta kelahiran gratis kepada pemerintah daerah di 49 kabupaten/kota; dan (3) terbentuknya forum nasional partisipasi bagi anak.

Dalam rangka memberikan pelayanan bagi anak dan perempuan korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, dan diskriminasi, terdapat peningkatan jumlah lembaga pelayanan baik yang diadakan oleh pemerintah maupun swasta/masyarakat. Untuk melayani laporan/pengaduan kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak telah

II.1 - 32

tersedia Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) sebanyak 305 buah di tingkat Polres yang tersebar di seluruh Indonesia (data Mabes Polri tahun 2008) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 17 provinsi dan 76 kabupaten/kota (data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Juli 2009). Selain itu, telah dikembangkan pula mekanisme pengaduan bagi anak melalui telepon yang disebut Telepon Sahabat Anak (TESA) 129 di tujuh kota. Selanjutnya, telah terbentuk pula gugus tugas penanganan anak korban perdagangan orang pada tingkat nasional yang berfungsi untuk mengkoordinasikan dan mendorong pemberantasan perdagangan orang (termasuk perdagangan anak) serta telah disusun standar operasional prosedur pemulangan korban perdagangan anak, baik di dalam negeri maupun antarnegara.

Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, sampai akhir 2008 terdapat 20 Pusat Krisis Terpadu (PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah (data Departemen Kesehatan) dan 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di Rumah Sakit Bhayangkara yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia (data Mabes Polri). Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi anak dan perempuan korban kekerasan di rumah sakit dan puskesmas, telah dilaksanakan penyusunan: (1) pedoman pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) di Rumah Sakit; (2) pedoman rujukan korban kekerasan terhadap anak untuk petugas kesehatan; dan (3) pedoman pengembangan puskesmas mampu tatalaksana kasus KtP/KtA. Selain itu, juga dilaksanakan pelatihan penanganan korban KtP dan KtA bagi sekitar 110 dokter/petugas medis di rumah sakit. Selanjutnya, untuk membantu anak korban kekerasan dalam pemulihan psikososial dan perlindungan kondisi traumatis, data Departemen Sosial menunjukkan bahwa hingga awal tahun 2009 sudah terdapat sekitar 29 Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di 23 provinsi dan 15 Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA).

Di samping itu, untuk meningkatkan pelayanan terhadap perempuan korban perdagangan orang, telah terbentuk pula gugus tugas penanganan anak korban perdagangan orang di tingkat nasional, yang berfungsi untuk mengoordinasikan dan mendorong pemberantasan perdagangan orang termasuk perdagangan anak. Selain itu, telah disusun pula standar prosedur operasional pemulangan korban perdagangan anak, baik dalam di dalam negeri maupun antarnegara.

Di bidang kesejahteraan sosial, telah tersedia pula pelayanan untuk mengatasi masalah anak jalanan di berbagai kota, termasuk pendidikan, pendidikan keterampilan, dan upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi orang tua mereka agar anak-anak jalanan dan orang tuanya tetap dapat hidup bersama dalam keluarga yang harmonis. Sementara itu, untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, telah ditanda-tangani Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.

Sementara itu, untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, telah ditetapkan kebijakan terpadu tentang penanganan anak yang berhadapan dengan hukum berbasis restorative justice, yang ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Sosial, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk memenuhi hak-hak anak jalanan di berbagai kota, telah disediakan pula beberapa pelayanan, diantaranya: layanan pendidikan, pendidikan keterampilan, dan upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi orang tua mereka, agar anak-anak jalanan dan orang tuanya tetap dapat hidup bersama dalam

II.1 - 33 keluarga yang harmonis.

Peraturan perundang-undangan sebagai basis hukum dalam memberikan perlindungan bagi anak dan perempuan juga telah mencatat kemajuan, antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pemidanaan terhadap pornografi anak, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pusat Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Terpadu bagi Korban Perdagangan Orang.

1.2.4.2. Permasalahan dan Sasaran

Walaupun sudah banyak kemajuan yang dicapai di bidang perlindungan anak sampai dengan tahun 2009 sebagaimana diuraikan di atas, namun masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada tahun 2011.

Pertama, masih belum optimalnya pemenuhan kebutuhan esensial anak usia dini, yang mencakup berbagai stimulasi dini dan pelayanan tumbuh kembang anak untuk

kesiapan belajar dalam memasuki jenjang sekolah dasar; derajat kesehatan dan gizi anak; serta pengasuhan dan perlindungan anak. Data Depdiknas pada tahun 2008 menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 49,38 persen anak usia 0-6 tahun yang belum mengenyam pendidikan anak usia dini. Di samping itu, masih banyak anak yang tidak bersekolah, yang terutama disebabkan oleh kemiskinan.

Rendahnya pemenuhan hak tumbuh kembang anak, juga ditunjukkan oleh masih relatif tingginya kematian bayi dan balita, yang antara lain disebabkan oleh peningkatan infeksi HIV dan AIDS. Dampak hal tersebut terhadap anak, di antaranya adalah kehilangan pengasuhan karena orang tua meninggal dunia, kehilangan sumber daya ekonomi karena biaya pengobatan yang relatif mahal, dan risiko menghadapi akibat-akibat infeksi itu dalam dirinya sendiri. Selain itu, jumlah pekerja anak masih tinggi, terutama di perdesaan, termasuk yang melakukan berbagai pekerjaan yang berbahaya, seperti menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Dari 2,6 juta pembantu rumah tangga (PRT), 35 persennya adalah anak-anak, khususnya anak perempuan, dengan rata-rata jumlah jam kerja 25-45 jam/minggu (KNPP, 2006). Di samping itu, masih banyak pula anak-anak yang melakukan pekerjaan berbahaya di sektor transportasi, konstruksi, dan pertambangan.

Dalam pemenuhan hak-hak sipil, jumlah anak yang belum mendapatkan akta kelahiran masih tinggi, yaitu sekitar 57,18 persen. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh: (a) belum adanya keseragaman sistem pencatatan kelahiran; (b) tingkat kompleksitas persyaratan pengurusannya; (c) adanya inkonsistensi aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengenai jangka waktu pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran (dari 487 kabupaten/kota, hanya 219 kabupaten/kota yang sudah membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran); (d) terbatasnya tempat pelayanan pencatatan kelahiran (hanya tersedia sampai tingkat kabupaten/kota); dan (e) belum adanya insentif dari kepemilikan akta kelahiran.

Kedua, masih rendahnya perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak

adalah sebesar 7,6 persen, atau terdapat sekitar 4 juta anak yang mengalami kekerasan setiap tahun. Sementara itu, data Bareskrim POLRI menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2004 sampai dengan Oktober 2009 terdapat 538 anak dari 1,722 korban perdagangan

II.1 - 34

orang. Perdagangan anak biasanya ditujukan untuk menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial atau pengemis di jalan, pengedar narkoba, dieksploitasi di tempat-tempat kerja berbahaya seperti jermal, pertambangan, dan perkebunan. Di samping itu, masih banyak pula anak-anak pengungsi korban konflik atau bencana alam yang belum memperoleh hak-hak dasar, termasuk pengasuhan alternatif yang memadai (WHO, 2006; Depsos, Save the Children, 2006). Kondisi tersebut, antara lain, disebabkan oleh masih banyaknya rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang permisif terhadap kekerasan dan eksploitasi anak, masih lemahnya penegakan hukum, dan belum terbentuknya mekanisme dan struktur perlindungan anak yang komprehensif sampai pada tingkatan masyarakat.

Ketiga, masih rendahnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Belum

efektifnya pelaksanaan perlindungan anak seperti diuraikan sebelumnya, antara lain disebabkan oleh masih terbatasnya kapasitas kelembagaan perlindungan anak, yang ditunjukkan oleh: (1) masih terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan KHA dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; (2) belum adanya mekanisme komprehensif yang berlaku dari pusat ke daerah yang ditujukan untuk melindungi anak. Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak; dan (3) belum tersedianya sistem pengelolaan data dan informasi perlindungan anak serta indeks komposit perlindungan anak.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut di atas, maka sasaran pembangunan perlindungan anak pada tahun 2011 adalah meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai dengan:

1. Meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 7—12 tahun, APS 13—15 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan.

2. Meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat

penanganan pengaduan.

3. Meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.

1.2.4.3. Strategi dan Arah Kebijakan

Berdasarkan uraian di atas, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan pada: (a) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; (b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.

Kebijakan perlindungan anak tersebut dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas.

Pertama, peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain,

melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Kedua, perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan

II.1 - 35

diskriminasi, antara lain melalui: peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak; peningkatan perlindungan bagi pekerja anak dan penghapusan pekerja terburuk anak; dan peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain, melalui penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak; peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional, maupun internasional.

Dokumen terkait