• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 37

4. Alur

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur yaitu terrjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. 5. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27

7. Amanat

Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat juga dapat diartikan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra atau makna yang disarankan lewat cerita yang ditulis oleh pengarang.28

D. Pendekatan Objektif

Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang

27

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 158. 28

yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.29

Pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam pendekatan objektif.30 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Melalui pendekatan objektif, unsur-unsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.

Dalam menganalisis secara objektif, penelitian ini hanya membatasi pada tema, amanat, sudut pandang, alur, penokohan, dan latar atau setting dan gaya bahasa yang ada pada novel Rinai Kabut Singgalang

terkait dengan persoalan yang diangkat yaitu tentang aspek budaya Minangkabau dengan tinjauan antropologi.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan.31 Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti

29

Ratna, op. cit., h. 73. 30

Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 24.

31

dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun SMK).32 Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif.

Pembelajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan dan keindahan. Di samping memberikan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan budaya. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi sumber semangat bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik.33

Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas. Penelitian yang difokuskan pada aspek

32

Dedi Wijayanti, “Pengajaran di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, 2013, (http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB.

33

Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 131.

budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang diharapkan dapat membuat siswa mencintai dan melestarikan salah satu kebudayaan besar di Indonesia.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu dirasakan perlu sekali meninjau penelitian yang telah ada. Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan, banyak penelitian yang menganalisis novel. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Nindiarti. Skripsi (2012) STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh yang berjudul Analisis Nilai Moral Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Elsa menyimpulkan bahwa secara keseluruhan analisis nilai moral novel Rinai Kabut Singagalang karya Muhammad Subhan ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini tercermin dari moral tokoh utamanya yang sudah baik dan dapat diteladani. Elsa mengelompokkan ada 4 aspek moral yang perlu diteladani yaitu, aspek hatinurani, aspek kebebasan dan tanggungjawab, aspek nilai dan norma, serta aspek hak dan kewajiban. Pesan moral yang disampaikan dalam novel ini yaitu: Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan karena hal itu bisa membuat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari kesalahannya itu.

Penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Riyan Hidayat. Skripsi (2012) STKIP YPM Bangko Jambi yang berjudul “Kajian Emosi Pelaku Cerita dalam Novel Rinai Kabut Singgalang”. Riyan menyimpulkan bahwa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan

menyajikan emosi yang beragam dari para pelakunya ketika menghadapi suatu permasalahan, yang kemudian bisa ditarik kesimpulan secara positif. Hal ini terlihat pada ditampilkannya tindakan-tindakan yang baik untuk dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Silvia Deswika, Abdurrahman, dan Zulfikarni. Artikel (2011) FBS Universitas Negeri Padang yang berjudul Struktur dan Nilai Religius dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Silvia, dkk. menyimpulkan bahwa dalam novel RKS

terdapat tiga nilai religius yang dianalisis yaitu nilai religius dalam lingkup aqidah, syariah, dan akhlak. Secara umum banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan.

Penelitian yang akan dilakukan penulis mempunyai persamaan yang mendasar. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama memakai Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sebagai objek yang akan diteliti. Namun, penelitian ini juga memiliki perbedaan yang mendasar dalam subjek penelitiannya. Yaitu penulis meneliti aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.

29 A. Sinopsis Novel

Latar novel ini adalah di Minangkabau. Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai orang-datang (orang yang tak jelas adat-istiadatnya). Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamak (pamannya) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat mamak Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh, dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima, utamanya Ningsih (kakak Rahima) bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan; Fikri orang-datang.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantahnya kota Aceh, karena bencana dahsyat yaitu tragedi gempa dan

tsunami pada tahun 2004. Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Kini Fikri hidup sebatang kara, dan begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Rahima kekasih pujaannya itu telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya Rahima dibawa oleh kakaknya ke Jakarta untuk dijodohkan dengan laki-laki pilihannya. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam dikerak kepedihan.

Beberapa hari Fikri terbaring lemah, karena menanggung derita. Beruntunglah ada sahabatnya Yusuf yang selalu memberikan motivasi sehingga bangkitlah ia agar tetap tegar menghadapi kehidupan. Berkat kesusahan hidupnya dan segala penderitaan yang ia tanggungkan, menghantarkan ia menuju jenjang kesuksesan. Ia menjadi pengarang terkenal, novelnya laris manis di pasaran.

Keberhasilannya itu yang mempertemukan ia kembali dengan Rahima, namun sayang Rahima telah menjanda. Ningsih yang merasa malu pada Fikri, meminta maaf atas kesalahannya dulu yang memutuskan tali cintanya dengan Rahima. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam Fikri.

B. Pengarang dan Karyanya

Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980, berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh.

Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan

(2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia

(www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam Sabili (2008-sekarang). Sejak 2 Maret 2012, ia memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.

Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, di antaranya Lautan Sajadah (Kuflet Publishing, 2009), Ponari for President (Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Sastera Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh Kita (AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari

(Bappeda Sumbar, 2009), Kado untuk Jepang (AG Publishing, 2011),

Fesbuk (Leutika, 2012), Menyirat Cinta Hakiki (Malaysia, 2012). Saat ini ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang

akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.1

Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain. Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik, hidupnya memang biasa-biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis, sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota Padang.2

Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.3

Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala,

1

Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari 2013 pukul 17.00 WIB.

2

Musriadi Musanif, “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, 2011,

( http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistik-lalu_08.html) diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB.

3Ibid .

mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM)

Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM

Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH)

Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah tidak terbit lagi.

Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta, Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest

masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda)

Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang,

tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapa-siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.

Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat, ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta.

Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk

dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor (tema utama) dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya.4

Ada peristiwa nyata (realitas sosial), ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh, terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan, sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang dilakoninya bertahun-tahun untuk bangkit dari keterpurukan dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi bernama Rinai Kabut Singgalang.5

Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat

4

Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca Muhammad Subhan”, 2012, ( http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-rinai-kabut-singgalang.html) diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB.

indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas Muhammad Subhan.

37 BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel

Untuk menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan diperlukan analisis dari segi unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik tersebut dapat mendekatkan masalah pada penelitian yang akan dilakukan.

1. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Tema cerita yang ditemukan dalam novel

Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan adalah tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terhalang adat istiadat. Tema ini tergambar melalui tokoh seorang pemuda bernama Fikri. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang (pendatang), tidak beradat, dan miskin harta. Ia berasal dari

Dokumen terkait