• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amanah terhadap Sesama Manusia

Dalam dokumen AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR (Halaman 96-155)

BAB III RUANG LINGKUP AMANAH

B. Amanah terhadap Sesama Manusia

Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar bab 3 ini, Sayyid Quthub menyebutkan beberapa hal yang termasuk dalam amanah terhadap sesama manusia, yaitu antara lain mengembalikan titipan harta, memberikan nasehat bagi pemimpin dan rakyat, mengurus anak, memelihara kehormatan dan kekayaan masyarakat. Dalam hal ini, az-Zuhaylî menyebutkan beberapa hal, yaitu : mengembalikan barang titipan dan pinjaman, tidak berbuat curang dalam melakukan transaksi, jihad dan nasihat, tidak menyebarkan rahasia dan cacat orang lain. M. Quraish Shihab menyebutkan amanah antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain. Sedangkan al-Marâghî menyebutkan lebih banyak lagi. Beliau menyebutkan antara lain : tidak berbuat curang, menjaga rahasia dan semacamnya yang termasuk kewajiban terhadap keluarga, kerabat, manusia secara umum dan para penguasa. Termasuk dalam hal itu menurut beliau sikap adil para pemimpin terhadap rakyatnya; sikap adil para ulama terhadap orang-orang awam dengan memberikan bimbingan kepada mereka dalam masalah keyakinan dan perbuatan yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan akhirat seperti pendidikan yang baik, mencari harta yang halal, nasihat dan hukum yang menguatkan iman, menyelamatkan dari kejahatan dan dosa, serta dapat mendorong dalam melakukan kebaikan; sikap adil seseorang terhadap isterinya dengan saling tidak menyebarkan rahasia masing-

masing, terutama rahasia yang khusus menyangkut mereka berdua yang biasanya tidak diketahui selain mereka100.

Dari pemaparan kedua penafsir tersebut, jelaslah amanah terhadap sesama manusia memiliki cakupan yang luas, baik dari sisi orang yang menjadi sasaran amanah maupun dari sisi bentuk-bentuk amanah. Dalam pembahasan ini, penulis akan membatasi pada bentuk-bentuk amanah yang mencakup amanah dalam harta, amanah dalam pisik dan nyawa, amanah dalam kehormatan, amanah dalam rahasia, amanah dalam kekuasaan dan jabatan, serta amanah dalam ilmu pengetahuan.

1. Amanah dalam Harta

Yang mendasari amanah dalam harta secara spesifik adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu

(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan . (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

Dalam ayat ini menurut Sayyid Quthub, Allah menjelaskan bahwa ketika orang yang berhutang dan berpiutang dalam perjalanan dan tidak mendapatkan penulis, maka untuk memudahkan transaksi dan dengan jaminan kepercayaan, Allah memberikan kemurahan dengan melakukan transaksi lisan disertai penyerahan barang tanggungan yang diserahkan kepada orang yang berhutang sebagai jaminan hutangnya. Dan Allah mengetuk hati orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanahnya dengan dorongan takwa kepada Allah. Ini merupakan jaminan akhir untuk melaksanakan syari’at secara keseluruhan, untuk mengembalikan harta dan barang tanggungan kepada pemiliknya serta memeliharanya secara utuh. Orang yang berhutang diamanahi (dipercayai) atas hutangnya, dan orang yang berpiutang diamanahi atas barang tanggungan. Keduanya diseru untuk menunaikan amanahnya atas dasar takwa kepada Allah, Tuhannya yang memelihara, menguasai, dan yang memutuskan perkara. Nilai-nilai ini memiliki sentuhan dalam bertransaksi, mempercayai, dan menunaikan kepercayaan itu101.

Az-Zuhaylî dan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat di atas tidak jauh berbeda dengan penafsiran Sayyid Quthub, hanya beliau berdua mengingatkan bahwa dikaitkannya memberi barang tanggungan dengan perjalanan, tidak berarti bahwa memberikan barang tanggungan hanya dibenarkan dalam perjalanan.

Disebutkannya dalam perjalanan secara khusus, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan, lebih-lebih pada waktu diturunkannya al- Qur’an, karena banyaknya pertempuran dan peperangan. Termasuk dalam arti perjalanan adalah semua halangan, seperti pada kondisi malam hari, banyaknya kesibukan, dan sebagainya102.

Dari ketiga penafsiran di atas penjelasan umum ayat di atas kita bisa tarik kesimpulan bahwa Allah memberikan petunjuk kepada kita untuk menunaikan amanah dalam harta seperti titipan, pinjaman, wasiat dan lain sebagainya sekalipun kontek ayat di atas berbicara tentang utang piutang.

Ayat lain yang menjadi landasan amanah dalam harta secara spesifik adalah firman Allah dalam surat Ali Imran :

Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan: "Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (QS. Ali Imran/3 : 75)

102az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munî , juz 3, h.114; M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , h.

Ayat ini menjelaskan bahwa Ahlul Kitab terbagi kepada dua golongan : pertama, golongan yang dapat dipercaya walaupun diamanahi harta yang banyak seperti Abdullah bin Salam yang dititipi 1200 ons emas oleh seorang Quraisy, ia menunaikannya ketika diminta. Kedua, golongan yang tidak dapat dipercaya walaupun diamanahi harta yang sedikit. Golongan ini seperti Ka'ab bin al-Asyraf yang dititipi satu dinar oleh seorang Quraisy, namun ketika diminta ia mengingkarinya.

Prilaku golongan kedua ini barangkali terdapat pada setiap umat, namun yang berbahaya yang diingatkan ayat di atas adalah anggapan mereka bahwa mereka tidak berdosa memakan harta orang yang bukan pemeluk agama mereka. Hal ini karena menurut mereka Allah telah menghalalkan bagi mereka harta orang yang bukan pemeluk agama mereka walaupun berupa amanah. Anggapan mereka ini sudah barang tentu merupakan tindakan mendustakan Allah, karena Allah mengharamkan makan harta kepada mereka kecuali dengan jalan yang benar.103

Di antara amanah dalam harta yang harus ditunaikan seseorang adalah memberikan nafkah terhadap orang yang menjadi tanggungannya seperti isteri, anak, orang tua dan pembantunya, baik makanan, pakaian, biaya pendidikan maupun yang lainnya. Firman Allah :

103 Lihat : az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 2, juz 3, h. 266-267; Sayyid Quthub,

Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 417; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h. 119; al-Marâghî,

Tafsîr al-Marâghî, juz 3, hal 189, al-Qurthubhî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (Cairo, Dâr asy-Sya’b,

cet. 2, 1372 H. CD Rom Maktabah at-Tafsir wa 'Ulum al-Qur'ân), juz 4 hal 115, Saîd Hawwâ, al-Asâs

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. (QS. Al-Baqarah/2 : 233).

Kontek ayat di atas berbicara tentang wanita yang ditalak dalam keadaan memiliki bayi. Wanita yang ditalak itu harus menyusui bayinya selama dua tahun jika penyusuan itu supaya sempurna. Sedangkan si ayah bayi itu berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu si bayi atau isteri yang diceraikannya. Kewajiban atas ayah memberikan makan dan pakaian kepada si ibu menurut Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah atas dasar imbalan penyusuan jika ibu si anak itu telah diceraikannya secara bain, bukan raj'i; dan atas dasar hubungan suami isteri, jika ibu si anak itu masih berstatus isteri walau telah ditalak secara raj'i104.

Dari ayat itu juga az-Zuhaylî mengambil kesimpulan bahwa si ayah wajib memberi nafkah kepada si anak; sebab Allah mewajibkan kepada si ayah untuk memberikan nafkah kepada isteri yang diceraikannya pada masa penyusuan karena si anak. Nafkah itu wajib diberikan karena si anak itu lemah dan membutuhkan, sedangkan si ayah adalah orang yang paling dekat kepadanya105.

Sayyid Quthub pun menafsirkan ayat di atas tidak jauh berbeda dengan kedua mufassir di atas. Beliau mengungkapkan bahwa si ibu yang menyusui berhak

104 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 2, h. 471.

mendapat imbalan menyusui yang diwajibkan kepadanya dari ayah si bayi berupa makanan dan pakaian secara baik. Jadi si ayah dan si ibu sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap bayi yang sedang disusui. Si ibu memberikan air susu dan asuhan, sedangkan si ayah memberikan makanan dan pakaian kepada si ibu itu agar bisa memelihara si bayi tersebut106.

Jadi dari ayat di atas dengan ketiga penafsirannya kita mendapatkan kesimpulan bahwa seseorang wajib memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya yang menjadi tanggungannya.

Sebagai kewajiban, memberikaan nafkah kepada keluarga harus diutamakan dari pada memberikan harta yang sifatnya sunnah seperti berinfak di jalan Allah, memberikan sedekah kepada fakir miskin dan semacamnya. Hal ini dapat kita pahami dari hadits Rasulullah saw. :

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﻞﯿِﺒَﺳ

ﻲِﻓ

ُﮫَﺘْﻘَﻔْﻧَأ

ٌرﺎَﻨﯾِد

َﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﮫﱠﻠﻟا

ُلﻮُﺳَر

َلﺎَﻗ

َلﺎَﻗ

َةَﺮْﯾَﺮُھ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

ٌ

رﺎَﻨﯾِدَو

ٍﺔَﺒَﻗَر

ﻲِﻓ

ُﮫَﺘْﻘَﻔْﻧَأ

ٌرﺎَﻨﯾِدَو

َ

ﻚِﻠْھَأ

ﻰَﻠَﻋ

ُﮫَﺘْﻘَﻔْﻧَأ

ٌرﺎَﻨﯾِدَو

ٍﻦﯿِﻜْﺴِﻣ

ﻰَﻠَﻋ

ِﮫِﺑ

َﺖْﻗﱠﺪَﺼَﺗ

َ

ﻚِﻠْھَأ

ﻰَﻠَﻋُﮫَﺘْﻘَﻔْﻧَأ

يِﺬﱠﻟا

اًﺮْﺟَأ

ﺎَﮭُﻤَﻈْﻋَأ

)

ﻢﻠﺴﻣ

هاور

(

Dari Abu Hurairah ra. katanya : Rasulullah saw. telah bersabda : " Satu dinar engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar engkau infakkan untuk memerdekakan seorang budak, satu dinar engkau sedekahkan kepada seorangmiskin, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu; yang lebih besar pahalanaya adalah yang engkau belanjakan untuk keluargamu ". (HR. Muslim)107.

106 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 1, h. 254.

107 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb az-Zakâh, Bâb Fadhl an-Nafaqah ‘Alâ al-‘Iyâl wa al-

Menurut Dr. Mushthafâ Saîd al-Khin dkk. dalam bukunya Nuzhat al- Muttaqîn bahwa hadits di atas memberikan pelajaran bahwa memberikan nafkah kepada keluarga adalah merupakan jenis nafkah yang paling utama; karena memberikan nafkah kepada keluarga termasuk wajib, sedangkan yang lainnya termasuk sunnah.108

Sebagai kewajiban, maka orang yang melaksanakannya akan mendapatkan pahala seperti dipahami dari hadits di atas dan orang yang melalaikannya akan berdosa sebagaimana dijelaskan dalam hadits :

ْﺑ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﺪْﺒَﻋ

ْﻦَﻋ

ْنَأ

ﺎًﻤْﺛِإ

ِءْﺮَﻤْﻟﺎِﺑ

ﻰَﻔَﻛ

َﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﮫﱠﻠﻟا

ُلﻮُﺳَر

َلﺎَﻗ

َلﺎَﻗ

وٍﺮْﻤَﻋ

ِﻦ

ُتﻮُﻘَﯾ

ْﻦَﻣ

َﻊﱢﯿَﻀُﯾ

)

دواد

ﻮﺑا

هاور

. (

Dari Abdullah bin 'Amr katanya : Rasululah saw. telah bersabda : " Cukuplah seseorang mendapatkan dosa kalau ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya ". (HR. Abu Daud)109

Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda :

َلﺎَﻗ ،َﺔَﻤَﺜْﯿَﺧ

ْﻦَﻋ

:

َﻞَﺧَﺪَﻓ ،ُﮫَﻟ

ٌنﺎَﻣَﺮْﮭَﻗ

هَُءﺎَﺟ

ْذِإ

وٍﺮْﻤَﻋ

ِﻦْﺑ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﺪْﺒَﻋ

َﻊَﻣ

ﺎًﺳﻮُﻠُﺟ

ﺎﱠﻨُﻛ

.

َلﺎَﻘَﻓ

:

ْﻋَأ

َلﺎَﻗ ؟

ْﻢُﮭَﺗﻮُﻗ

َﻖﯿِﻗﱠﺮﻟا

َﺖْﯿَﻄ

:

ﺎَﻟ

.

َلﺎَﻗ

:

ْ

ﻢِﮭِﻄْﻋَﺄَﻓ

ْﻖِﻠَﻄْﻧﺎَﻓ

.

َلﺎَﻗ

:

ُلﻮُﺳَر

َلﺎَﻗ

َ

ﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﮫﱠﻠﻟا

" :

ُﮫَﺗﻮُﻗ ُﻚِﻠْﻤَﯾ

ْﻦﱠﻤَﻋ

َﺲِﺒْﺤَﯾ

ْنَأ

ﺎًﻤْﺛِإ

ِءْﺮَﻤْﻟﺎِﺑ

ﻰَﻔَﻛ

. "

)

ﻢﻠﺴﻣ

هاور

(

Dari Khaytsamah, ia berkata : Kami sedang duduk bersama Abdullah bin 'Amr, ketika itu datang penjaga gudang makanannya, lalu dia masuk. Abdullah berkata : Sudahkah kamu memberikan makanan budak-budak itu ? Penjaga gudang itu

108 al-Khinn, Nuzhah al-Muttaqîn , jld. 2, h. 291.

menjawab : Belum. Abdullah berkata : Pergilah, berikanlah makanan mereka. Abdullah berkata : Rasulullah saw. bersabda : " Cukuplah seseoran mendapatkan dosa, kalau ia menahan makanan orang yang menjadi tanggungannya" . ( HR. Muslim)110

Juga termasuk amanah dalam harta adalah seseorang menunaikan hak orang lain yang ada dalam tanggungannya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah barang dagangan yang sudah dijual kepada orang lain, uang sebagai harga barang yang sudah dibeli, utang, harta warisan, titipan, barang gadaian, pinjaman, wasiat, harta umat yang ada dalam kekuasaannya dan sebagainya.

Berkaiatan dengan hutang, Allah berfirman :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu

(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang

menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

110 Muslim, Shahih Muslim, Kitâb az-Zakâh, Bâb Fadhl an-Nafaqah ‘Alâ al-‘Iyâl wa al-

Ayat di atas merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, di mana ayat sebelumnya itu menyebutkan bahwa kalau orang melakukan transaksi hutang piutang, maka hendaknya transaksi itu ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa jika dalam kondisi perjalanan yang sulit mendapatkan penulis, maka pengutang boleh memberikan barang jaminan kepada pemberi hutang. Namun jika si pemberi hutang itu percaya kepada si pengutang bahwa ia tidak akan mengingkari hutangnya, maka si pemberi hutang boleh tidak menerima barang jaminan itu. Dalam hal ini si pengutang yang dipercayai pemberi hutang hendaknya membayar hutangnya, tidak mengkhianati dan mengingkarinya, tidak lambat dalam membayarnya, dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah dalam menjaga hak orang lain.

Ketiga mufassir : Sayyid Quthub, az-Zuhayli dan M. Quraish Shihab sependapat bahwa hutang itu amanah, sebab hutang dasarnya adalah kepercayaan antara dua orang yang melakukan transaksi. Si pemberi hutang percaya bahwa si pengutang itu tidak akan mengkhianati dan mengingkarinya, dan si penerima hutang juga percaya bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi hutang itu tidak akan meminta melebihi apa yang diberikan. Begitu juga kalau ia menerima jaminan, ia akan memelihara dan menjaganya dengan baik. Oleh karena itu keduanya diperintahkan untuk menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya. Agar keduanya menunaikan amanahnya masing-masing dan tidak bersikap khianat, Allah mengingatkan keduanya untuk bertakwa kepada Allah, karena

perintah takwa itu memiliki sentuhan kuat dalam menerima amanah dan menunaikannya.111

Berkaiatan dengan pinjaman dan hutang, Rasulullah saw. bersabda :

َلﺎَﻗ

َﺔَﻣﺎَﻣُأ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

:

ُ

ﺖْﻌِﻤَﺳ

ِﮫﱠﻠﻟا

َلﻮُﺳَر

َﺒْﻄُﺧْﻲِﻓ

ُلﻮُﻘَﯾ

َﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﺘ

ِﮫ

َمﺎَﻋ

ِعاَدَﻮْﻟا

ِﺔﱠﺠَﺣ

" :

ٌ

ةاﱠدَﺆُﻣ

ُﺔَﯾِرﺎَﻌْﻟا

،

ٌ

مِرﺎَﻏ

ُﻢﯿِﻋﱠﺰﻟاَو

،

ﻲِﻀْﻘَﻣ

ُﻦْﯾﱠﺪﻟاَو

) ."

يﺬﻣﺮﺘﻟا

هاور

َو

َلﺎَﻗ

:

ٌ

ﻦَﺴَﺣ

ٌﺚﯾِﺪَﺣ

َﺔَﻣﺎَﻣُأ

ﻲِﺑَأ

ُﺚﯾِﺪَﺣ

(

Dari Abu Umamah, ia berkata : Saya telah mendengar Nabi saw. bersabda pada khutbah haji wada' : " Barang pinjaman itu harus dikembalikan, penjamin itu harus memmbayar, dan utang itu harus dibayar ". (HR. Tirmidzi, ia berkata : Hadits Abu Umamah adalah haditd Hasan )112

Begitu juga harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dalam sebuah yayasan, organisasi atau negara yang bukan milik pribadinya, melainkan milik yayasan, organisasi atau negara tersebut, maka ia harus memeliharanya atau memberikannya kepada yang berhak. Berkaitan dengan ini Ibnu Taimiah berkata dalam bukunya as-Siyâsah asy-Syar'iyyah : " … Bagi setiap penguasa dan wakilnya dalam pemberian hendaknya memberikan setiap hak kepada pemiliknya… Dan para pengurus harta itu tidak boleh membagikannya menurut keinginannya sendiri seperti pemilik harta membagikan hartanya; karena mereka adalah orang-orang yang

111 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , Jld. 1, h. 337; az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld.

2, juz 3, h.115; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 1, h. 570-571.

112 al-Mubârakfûrî, Tuhfah al-Ahwadzî , Abwâb al-Buyû’, Bâb Mâ Jâa Ann al-‘Âriyah

diberikan Amanah dan para wakil, bukan pemilik "113. Kemudian Ibnu Taimiah menguatkan perkataannya dengan hadits :

َلﺎَﻗ

َﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﮫﱠﻠﻟا

َلﻮُﺳَر

ﱠنَأ

،

ُﮫْﻨَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

َﻲِﺿَر

َةَﺮْﯾَﺮُھ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

" :

ﺎَﻣ

ُتْﺮِﻣُأ

ُﺚْﯿَﺣُﻊَﺿَأٌﻢِﺳﺎَﻗ

ﺎَﻧَأ

ﺎَﻤﱠﻧِإْﻢُﻜُﻌَﻨْﻣَأ

ﺎَﻟَو

ْﻢُﻜﯿِﻄْﻋُأ

) . "

يرﺎﺨﺒﻟا

هاور

(

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda : " Saya tidak berhak memberi kamu dan tidak berhak untuk tidak memberi kamu, sesunguhnya saya hanya yang membagikan, saya berikan sesuai dengan yang diperintahkan (Allah) kepadaku " (HR. Bukahri)114

Mengomentari hadits ini, Ibnu Taimiah berkata : " Inilah Rasul Allah, Tuhan semesta alam memberitahukan bahwa memberi atau tidak memberi bukan karena kehendak dan kemauannya, sebagaimana dilakukan si pemilik yang dibolehkan membelanjakan hartanya, dan sebagaimana dilakukan oleh para raja yang memberi orang yang mereka sukai. Beliau adalah seorang hamba Allah yang membagikan harta sesuai dengan perintah Allah "115.

Sebagai amanah, maka orang yang menerimanya akan berurusan dengan Allah sebelum ia berurusan dengan orang yang memberikan amanah kepadanya. Jika dalam menerima amanah tersebut, ia mempunyai niat untuk mengembalikannya, maka Allah-pun akan membantunya untuk dapat mengembalikannya. Tapi jika ia

113 Ibnu Taimiah, as-Siyâsah al-Syar'iyyah, fî Ishlâh ar-Râi'î wa ar-Ra'iyyah; selanjtnya:

Ibnu Taimiah, as-Siyâsah al-Syar'iyyah, (Dâr al-Ma'rifah, ttp, tth, hal 9-10, CD ROM, Maktabah

Syaikh al-Islâm wa Tilmîdzuh Ibn al-Qayyim), h. 27-28.

114 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb Fardh al-Khums, Bâb Fainn lillâhi Khumusah,

jld. 2, juz 4, h. 49. Hadits yang dikutip Ibn Taimiah berbeda lafaz dengan hadits ini.

mempunyai niat untuk tidak mengembalikannya, maka Allah pun akan membinasakannya. Sabda Rasulullah saw. :

َلﺎَﻗ

َﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟاْﻦَﻋ

ُﮫْﻨَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

َﻲِﺿَرَةَﺮْﯾَﺮُھ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

" :

َلاَﻮْﻣَأ

َﺬَﺧَأ

ْﻦَﻣ

ُﮫﱠﻠﻟا

ُﮫَﻔَﻠْﺗَأ

ﺎَﮭَﻓﺎَﻠْﺗِإ

ُﺪﯾِﺮُﯾ

َﺬَﺧَأ

ْﻦَﻣَو ،

ُﮫْﻨَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ىﱠدَأ

ﺎَھَءاَدَأ

ُﺪﯾِﺮُﯾ

ِسﺎﱠﻨﻟا

) . "

يرﺎﺨﺒﻟا

هاور

(

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw,beliau bersabda : " Barangsiapa mengambil harta orang lain dengan niat mengembalikannya, maka Allah akan menunaikannya untuknya; dan barangsiapa mengambil dengan niat merusaknya, maka Allah akan membinasakan harta itu ". (HR. Bukhari)116

2. Amanah dalam Pisik dan Nyawa

Termasuk amanah terhadap orang lain adalah menahan diri untuk tidak menyakiti dan mengganggu pisik dan nyawanya seperti membunuh, melukai dan semacamnya. Membunuh orang lain termasuk yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Firman Allah dalam al-Qur'an :

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar ". (QS. Al-Isra'/17 : 33)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Quthub mengungkapkan bahwa Agama Islam adalah agama kehidupan dan kedamaian, oleh karena itu membunuh

116 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb al-Istiqrâdh, Bâb Man akhadza Amwâl an-Nâs

jiwa manusia merupakan dosa besar setelah dosa kemusyrikan. Allah yang memberi kehidupan, siapapun tidak berhak merampas kehidupan kecuali dengan izin dan batas-batas yang telah ditentukan Allah. Setiap nyawa haram untuk disentuh kecuali dengan alasan yang benar. Kemudian beliau mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhai dan Imam Muslim sebagai penjelasan alasan yang benar dalam membunuh jiwa yan disebutkan dalam ayat :

ْﻦَﻋ

َلﺎَﻗ

ُﮫْﻨَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

َﻲِﺿَر

ٍدﻮُﻌْﺴَﻣ

ِﻦْﺑ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﺪْﺒَﻋ

:

َ

ﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ِﮫﱠﻠﻟا

ُلﻮُﺳَر

َلﺎَﻗ

:

"

ٍثﺎَﻠَﺛ

ىَﺪْﺣِﺈِﺑ

ﺎﱠﻟِإ

ِﮫﱠﻠﻟا

ُلﻮُﺳَر

ﻲﱢﻧَأَو

ُﮫﱠﻠﻟا

ﺎﱠﻟِإ

َﮫَﻟِإ

ﺎَﻟ

ْنَأ

ُﺪَﮭْﺸَﯾ

ٍﻢِﻠْﺴُﻣ

ٍئِﺮْﻣا

ُمَد

ﱡﻞِﺤَﯾ

ﺎَﻟ

:

ﺜﻟا

ﻲِﻧاﱠﺰﻟا

ُﺐﱢﯿ

،

ِ

ﺲْﻔﱠﻨﻟﺎِﺑ

ُﺲْﻔﱠﻨﻟاَو

،

ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻠِﻟ

ُقِرﺎَﻔُﻤْﻟا

ِﮫِﻨﯾِﺪِﻟ

ُكِرﺎﱠﺘﻟاَو

"

) .

يرﺎﺨﺒﻟا

هاور

ﻢﻠﺴﻣو

(

Dari Abdullah bin Mas'ud r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: " Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu di antara tiga perkara ini : Seorang janda yang berzina, seseorang yang membunuh orang lain dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu orang yang memisahkan dirinya dari jamaah umat Islam " . (HR. Bukhari Muslim)117

Az-Zuhaylî mengungkapkan tentang ayat di atas bahwa membunuh tanpa alasan benar merupakan kejahatan yang besar; karena membunuh itu merupakan kerusakan sedangakan Allah tidak suka kerusakan. Begitu juga membunuh merupakan bahaya, penganiayaan, merusak keamanan, menyebabkan kegoncangan

117 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , Jld. 1, h. 2224. Hadits adalah riwayat : al-Bukhârî,

Shahîh al-Bukhârî , Kitâb ad-Diyât, Bâb Ann Nafs bi an-nafs wa al-‘ayn bi al-‘Ayn…, jld. 4, juz 8, h.

38; Muslim, Shahih Muslim, Kitâb al-Qasâmah, Bâb Mâ Yubâhu Bihi Dam al-Muslim, jld. 3, h.

dalam masyarakat serta pemusnahan terhadap kemanusiaan. Sebagai alasan yang benar dalam membunuh, beliaupun juga mengutip hadits di atas118.

M. Quraish Shihab juga menafsirkan hal yang tidak jauh berbeda dengan kedua mufassir di atas119.

Dari ketiga mufassir itu jelas bahwa membunuh tanpa alasan yang benar merupakan tindak kejahatan terhadap manusia yang diharamkan Allah dan termasuk dosa besar. Bagi seorang muslim tidak ada jalan lain kecuali ia harus meninggalkannya. Inilah salah satu bentuk amanah yang arus ia tunaikan terhadap sesama manusia, dan sekaligus menunaikan amanah terhadap Allah dengan meningalkan larangan-Nya.

Di samping membunuh, melukai atau memukul orang lain termasuk yang dilarang dalam Islam. Menurut pengetahuan penulis tidak ada ayat yang menjelaskan hal ini, tapi dapat kita pahami dari hadits di bawah ini :

ﺎَﻤُﮭْﻨَﻋُﮫﱠﻠﻟا

َﻲِﺿَر

وٍﺮْﻤَﻋ

ِﻦْﺑ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﺪْﺒَﻋْﻦَﻋ

،

َ

ﻢﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا

ْﻦَﻋ

َ

َلﺎ

:

"

ِ

هِﺪَﯾَو

ِﮫِﻧﺎَﺴِﻟ

ْﻦِﻣ

َنﻮُﻤِﻠْﺴُﻤْﻟا

َﻢِﻠَﺳ

ْﻦَﻣ

ُﻢِﻠْﺴُﻤْﻟا

،

ُﮫْﻨَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰَﮭَﻧ

ﺎَﻣ

َﺮَﺠَھ

ْﻦَﻣ

ُﺮِﺟﺎَﮭُﻤْﻟاَو

. "

)

ﺎﺨﺒﻟا

هاور

ير

(

Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash r.a dari Nabi saw, beliau bersabda: "Seorang muslim adalah orang yang orang-orang Islam lain merasa aman dari (gangguan) lidah dan tangannya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa- apa yang dilarang Allah ". (HR. Bukhari)120

118 az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr , jld. 8, juz 15, h. 71.

119 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 7, h. 460.

120 a-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb, al-Îmân, Bâb al-Muslimu Man Salima al-

Dalam hadits ini, tidak mengganggu atau tidak menyakiti orang lain, baik dengan perkataan maupun dengan pisik seperti memukul merupakan ciri seorang muslim sejati. Menyakiti orang lain dengan perkataan atau dengan menyakiti pisiknya mengurangi kesempurnaan iman. Ini berarti, hal itu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.

3. Amanah dalam Kehormatan

Termasuk amanah terhadap orang lain adalah menjaga nama baik atau kehormatan orang lain, tdak mencemarkan nama baik atau merusak kehormatannya. Dalam pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pembahasan tentang merusak kehormatan orang lain yang harus dijauhi seseorang ; karena dengan tidak merusak kehormatan orang lain berarti ia menjaga kehormatan dan nama baiknya. Dalam hal ini penulis akan membatasi tiga penrusakan kehormatan dan pencemaran nama baik yang harus dijauhi seseorang, yaitu : ghîbah (menggunjing), namîmah (mengadu domba), dan menudah orang lain berzina.

a. Ghîbah

Ghîbah menurut pandangan Islam adalah haram berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan terang sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah

Dalam dokumen AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR (Halaman 96-155)

Dokumen terkait