• Tidak ada hasil yang ditemukan

AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

Tesis

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Dalam

Ilmu Agama Islam

Oleh : Asnin Syafiuddin NPM : 00.2.00.1.05.01.0186

Pembimbing :

Prof. Dr.H. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Tesis dengan judul AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR yang ditulis oleh Asnin Syafiuddin NPM : 00.2.00.1.05.01.0186 Program Studi Tafsir Hadits disetujui untuk dibawa ke dalam sidang munaqasyah.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

NIP. NIP.

(3)

Tesis yang berjudul AMANAH DALAM PERSEPEKTIF PARA MUFASSIR telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Januari 2007.

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master Program Strata 2 (S2) pada jurusan Tafsir Hadits.

Sidang Munaqasyah

Pembimbing I, Pembimbing II/Penguji,

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA.

Tanggal : Tanggal :

Ketua Sidang/Penguji, Penguji,

Dr.Sri Mulyati,MA Prof. Dr. Salman Harun

Tanggal : Tanggal :

Penguji,

(4)

Segala puji dan syukur hanya milik Allah swt, yang atas curahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis dalam rangka memperoleh gelar magister dalam bidang tafsir hadits pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan umat Nabi Muhammad saw. yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu juga semoga tercurah kepada para sahabat, keluarga serta pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Penulisan tesis ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik perorangan maupun lembaga, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan, penelitian, penyusunan sampai pada perampungan.

Untuk itu, sudah sewajarnya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan kepemimpinan dan kebijakan-kebijakannya, penulis bisa menyelesaikan program S2 ini.

(5)

menyelesaikan program S2 ini.

3. Bapak Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA. dan Prof. Dr. H. Hamdani

Anwar, MA. yang telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan, masukan-masukan, arahan-arahan serta memberikan dorongan moril yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. 4. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

selama penulis menimba ilmu, mereka dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab memberikan ilmu pengetahuan dan telah memperluas cakrawala berfikir penulis.

5. Kepala dan segenap staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala perpustakaan Iman Jama yang telah sudi meminjamkan buku-buku yang diperlukan untuk penyelesaian penulisan tesis ini.

6. Rekan seperjuangan yang telah banyak membantu memberikan solusi dan motivasi untuk penyelesaian studi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu di dalam lembaran yang singkat ini.

Atas semua bantuan dan jasa mereka, sekali lagi penulis ucapkan terima kasih, jazaahumullah khairan katsiro, semoga menjadi amal shaleh yang akan memberatkan timbangan amal kebaikan di akhirat nanti. Amin.

(6)

menempuh jenjang pendidikan seperti sekarang ini.

Begitu pula penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak dan Ibu Mertua HM. Marfu’ dan Hj. Mursiah atas dorongan moril dalam upaya menyelesaikan studi ini.

Terakhir, kepada isteri tercinta, Nurhayati serta keenam ananda tersayang, penulis sampaikan terima kasih atas pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran serta dorongan dalam rangka penyelesaian studi dan penulisan tesis ini.

Akhirnya, bagaimanapun maksimal usaha yang telah dilakukan, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat hendaknya. Dan Kepada Allah swt. penulis berserah diri dan senantiasa memohon bimbingan dan petunjuk-Nya. Amin.

Tangerang, 26 April 2007 M 8 R. Tsani 1428 H

Penulis

(7)

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iii

KATA PENGANTAR ……… iv

DAFTAR ISI ……….. vii

PEDOMAN TRANSLITERASI………. ix

BAB 1 PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ……….... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……….. 11

D. Tela’ah Pustaka ………. 12

E. Metodologi Penelitian ……… 13

F. Sistimatika Penulisan ………. 15

BAB II PENGERTIAN AMANAH DAN URGRNSINYA DALAM KEHIDUPAN ………. 17

A. Pengertian Amanah ……….. 17

B. Korelasi Amanah dengan Iman ……… 23

C. Amanah Merupakan Sifat Para Rasul ……….. 28

D. Korelasi Amanah dengan Sifat Lain ……… 34

(8)

B. Amanah terhadap Sesama Manusia ……… 85

C. Amanah terhadap Diri Sendiri ……… 144

BAB IV METODE AL-QUR’AN DALAM MENDORONG UMAT BERSIKAP AMANAH ………. 175

A. Menanamkan Nilai-Nilai Keimanan ………. 175

B. Perintah Amanah dan Janji Bagi Pelakunya …………. 180

C. Larangan Khianat dan Ancaman Bagi Pelakunya …… 185

BAB V PENUTUP ……… 205

A. Kesimpulan ……… 205

B. Saran-saran ……… 207

(9)

Konsonan

Arab Latin Arab Latin

ا

Tanpa lambang ط th

ب b ظ zh

ت t ع ‘

ث ts غ gh

ج j ف f

ح h ق q

خ kh ك k

د d ل l

ذ dz م m

ر r ن n

ز z و w

س s ـھ h

ش sy ء ,

ص sh ي y

(10)

.َ.. ا

.َ..

ى = â (a Panjang) ْوَا = aw

.ِِ..

ْي = î (i Panjang) ْيَا = ay

.ُ..

ْو = û (u Panjang)

Kata Sandang ( لا )

- Diikuti oleh huruf syamsiah = ditransliterasikan sesuai dengan bunyi setelah digabung.

- Diikuti oleh huruf qamariah = ditransliterasikan ditulis sesuai dengan bunyi asli.

Singkatan

swt = Subhanahu wa ta’ala

saw = Shallallahu ‘alaihi wasallam

ra = Radhiyallahu ‘anhu

as = ‘Alaihissalam / ‘alaihimussalam

H = Tahun Hijriyyah

M = Tahun Masehi

ttp = Tanpa Tahun

tth = Tanpa Tahun

tp = Tanpa Penerbit

h = halaman

vol = volume

(11)
(12)

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Manusia membutuhkan pedoman hidup yang dapat menuntun dan mengarahkannya ke jalan yang benar dan kehidupan yang teratur serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah sebagai pencipta manusia sudah barang tentu lebih tahu tentang kebutuhannya. Oleh karena itu, Allah menurunkan kitab-kitab suci sebagai pedoman dan tuntunan hidup manusia. Di antara kitab suci itu adalah al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Al-Qur’an adalah merupakan kumpulan firman-firman Allah (kalamullah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril as. Al-Qur’an merupakan wahyu Allah swt. yang paling utama, semua kandungannya adalah kebenaran semata. Firman Allah swt. :

Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah.(QS. An-Nisa’/4 : 87)

Firman Allah yang lain :

(13)

Sebagai pedoman hidup manusia, kandungan al-Qur’an mencakup semua aspek kehidupan manusia. Al-Qur’an tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan dengan alam sekitar. Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang aqidah, ibadah dan akhlak saja, tetapi juga berbicara tentang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya. Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa 86 dari 114 surat al-Qur’an merupakan surat Makkiyyah yang umumnya mengandung keterangan dan penjelasan tentang keimanan, perbuatan-perbuatan baik serta jahat, pahala dan ancaman, dan riwayat dari umat terdahulu. Sementara 28 surat lainnya merupakan surat Madaniyyah yang pada umumnya mengandung ketentuan-ketentuan hukum tentang hidup kemasyarakat umat1.

Dari sekian banyak yang dibicarakan al-Qur’an, amanah merupakan salah satu bagian yang penting dari yang dibicarakan al-Qur’an itu. Dikatakan penting, karena amanah merupakan salah satu ciri ketaatan seseorang kepada Allah dalam keislamannya. Sementara sifat khianat yang merupakan lawan dari sifat amanah merupakan salah satu ciri pembangkangan seseorang terhadap Allah yang bisa jadi akan membawanya pada keadaan cacat keislaman dan keimanannya. Dalam hal ini ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maidânî mengungkapkan : “ Sesungguhnya Islam telah mewajibkan kaum muslimin untuk memiliki sifat amanah, dan mengharamkan mereka menempuh jalan khianat. Orang yang memiliki sifat amanah berarti ia taat kepada Tuhannya, dan orang yang memiliki sifat khianat berarti ia

(14)

berbuat maksiat kepada Allah, dan bisa jadi ia sampai pada suatu keadaan di mana keislaman dan keimanannya menjadi cacat”.2

Dari ungkapan Habannakah di atas jelas bahwa ada hubungan antara amanah dengan keimanan. Hal ini pun sebetulnya telah diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Mu’minûn : 8 :

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya ) dan janji-janjinya.(QS. al-Mu’minûn/23 : 8)3

Ayat di atas merupakan lanjutan dari ayat pertama yang berbunyi :

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.(QS. al-Mu’minûn/23 : 1) Jelas sekali bahwa memelihara amanat yang terdapat dalam QS. al- Mu’minûn : 8 merupakan sifat orang-orang yang beriman. Orang yang menunaikan amanah berarti memiliki sifat orang-orang yang beriman. Sebaliknya orang yang khianat berarti memiliki sifat orang munafik. Ini merupakan bukti bahwa amanah memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam Islam. Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaylî ketika menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa orang-orang yang

2 ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maydânî (selanjutnya disebut Habannakah),

al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha, (Damaskus : Dâr al-Qalam, cet. 2, 1407 H/1987 M), jld. 1, 647.

(15)

memelihara kehormatan amanah dan kesucian janji, jika diberikan amanah (kepercayaan) tidak khianat, tetapi menunaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika berjanji atau melakukan perjanjian, menepatinya. Jadi menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang yang beriman. Sedangkan khianat, melanggar janji, tidak menepati konsekwensi perjanjian dalam jual beli, sewa menyewa, perseroan dan sebagainya merupakan sifat orang munafik…4

Amanah yang merupakan sifat orang yang beriman mempunyai cakupan yang sangat luas. Amanah tidak hanya berkaitan dengan masalah harta, tetapi juga berkaitan dengan yang bukan harta, atau menurut istilah M. Quraish Shihab amanat bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non material dan bermacam-macam5. Cukuplah sebagai dalil, amanah dalam surat an-Nisâ’ ayat 58 disebutkan dalam bentuk jamak yang menunjukkan banyak. Ayat itu berbunyi :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

4 Wahbah az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr Fî al-'Aqîdah wa asy-Syarî'ah wa al-Akhlâq,

(selanjutnya disebut az- Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr), (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu'âshir, 1418 H/1998 M), jld. 9, juz 18, h. 13.

5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, (Ciputat : Lentera Hati, cet. 1, 1421 H/2000 M),

(16)

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. an-Nisa’/4 :58)

Banyak mufassir yang dalam menafsirkan ayat di atas mengungkapkan bahwa amanah mempunyai ruang lingkup yang luas. Sayyid Quthub umpamanya dalam tafsirnya Fî Zhilâl al-Qur’ân menyebutkan beberapa macam amanah, yaitu : pertama, amanah fithrah manusia, di mana makhluk lain enggan dan menolak menerimanya. Ia adalah amanah hidayah, ma’rifah dan iman kepada Allah atas dasar niat, kemauan, usaha dan orientasi. Amanah ini merupakan dasar, karena amanah-amanah lain bersumber dari amanah-amanah ini. Kedua, amanah kesaksian terhadap Islam,

yaitu berupa tiga kesaksian : kesaksian diri agar menjadi potret hidup bagi Islam; kesaksian dakwah dengan menyampaikan agama kepada orang lain; kesaksian agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan manusia di bumi Allah dengan mengerahkan berbagai macam sarana yang dimiliki. Atas dasar kesaksian inilah kata beliau jihad akan tetap berlangsung sampai hari kiamat. Ketiga, amanah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, seperti mengembalikan titipan harta, memberikan nasehat bagi pemimpin dan rakyat, mengurus anak, memelihara kehormatan dan kekayaan masyarakat, dan seluruh kewajiban yang disebutkan dalam Islam dalam segala lapangan kehidupan. Amanah ini bisa disebut amanah memelihara hak orang lain baik berupa harta atau kehormatan.6

6 Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Beirut : Dâr asy-Syurûq, 1399 H/1979 M), jld. 2, h.

(17)

Luasnya ruang lingkup amanah disebutkan juga oleh Sayyid Sâbiq dalam bukunya Islâmunâ : “Amanah adalah segala sesuatu yang wajib dipelihara dan ditunaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Amanah kata yang pengertiannya luas mencakup segala hubungan. Konsisten dalam keimanan serta merawatnya dengan faktor-faktor yang menyebabkan berkembang dan kekalnya adalah amanah; memurnikan ibadah kepada Allah adalah amanah; berinteraksi secara baik dengan perorangan dan kelompok adalah amanah; dan memberikan setiap hak kepada pemiliknya adalah amanah…”7.

Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa amanah mencakup ajaran Islam secara keseluruhan, bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa amanah itu sebatas menjaga dan mengembalikan titipan orang lain. Amanah dalam pengertian yang luas inilah yang harus ditunaikan seorang muslim sebagai konsekwensi keimanannya kepada al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.

Namun dalam kenyataan, ada orang yang tidak menunaikan amanah ini. Ada orang yang mestinya menjadi citra yang baik bagi Islam, tetapi malah sebaliknya, memberikan citra yang buruk bagi Islam karena perbuatan dan tindakannya yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga lahirlah anggapan buruk terhadap Islam dari kalangan orang non muslim lantaran melihat pribadi muslim yang seperti ini.

Oleh karena itu, agar setiap muslim terdorong untuk memiliki sifat amanah, al-Qur’an menyebutkan beberapa metode untuk mendorong umat agar memiliki sifat

(18)

amanah tersebut. Di antara metode tersebut adalah al-Qur’an secara langsung dan secara tegas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisâ’ ayat 58 di atas. Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa memerintahkan orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya. Perintah pada dasarnya menunjukkan arti wajib yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat siksa. Oleh karena itu az-Zuhaylî dalam menafsirkan ayat dimaksud mengungkapkan bahwa menunaikan amanah adalah wajib terutama ketika diminta pemiliknya. Orang yang tidak menunaikannya di dunia, maka hal itu akan diambil dari dirinya pada hari kiamat. Dan apabila amanah itu rusak, hilang, atau dicuri, maka hal itu jika karena kesengajaan, kelalaian, dan kecerobohannya, ia harus menggantinya. Jika bukan karena demikian, maka ia tidak harus menggantinya8.

Dari uraian di atas, semakin jelaslah bahwa amanah merupakan tema penting yang dibicarakan al-Qur’an. Oleh karena itu perlu diadakan kajian yang konprehensif dan mendalam tentang pengertian amanah, urgensinya, ruang lingkupnya, dan cara menanamkannya agar umat Islam memilikinya dengan merujuk kepada al-Qur’an. Untuk memahami kandungan al-Qur’an yang berbicara tentang amanah diperlukan penjelasan para mufassir dalam kitab tafsirnya.

Di antara kitab tafsir adalah Fî Zhilâl al-Qur’ân yang disusun oleh Sayyid Quthub, at-Tafsîr al-Munîr Fî al-'Aqîdah wa asy-Syarî'ah wa al-Akhlâq yang

(19)

disusun oleh Wahbah az- Zuhaylî, dan Tafsir al-Mishbâh, yang disusun oleh M. Quraish Shihab.

Dengan melakukan kajian ini, seorang muslim dapat mengetahui bagaimana sebenarnya para mufassir menafsirkan kandungan al-Qur’an yang berbicara tentang amanah, urgensinya dalam Islam, ruang lingkupnya dan apa metode al-Qur’an dalam mendorong umat memiliki sifat amanah. Dengan demikian, setiap muslim dapat memiliki sifat amanah sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupannya sehari-hari.

Untuk mengetahui bagaimana para mufassir berbicara tentang sifat amanah, maka sebagai studi pokok dalam penelitian ini akan ditelusuri penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat amanah beserta kata jadiannya, ayat-ayat tentang khianat sebagai lawan dari kata amanah, serta ayat-ayat lain yang berhubungan dengan pokok pembahasan. Penafsiran para mufassir difokuskan pada tiga kitab tafsir yang disebutkan di atas, dengan tidak menutup kemungkinan penelusuran kitab tafsir lain untuk memperdalam pembahasan dan mempertajam analisa. Untuk hal ini, akan ditelusuri pula kitab-kitab lain seperti kitab hadits, kitab akhlak, dan sebagainya.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

(20)

para mufassir tentang konsep amanah, di mana para mufassir menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang masalah yang dibahas.

Berkenaan dengan masalah pokok yang dijelaskan di atas, maka serangkaian masalah di bawah ini akan dicarikan jawabannya melalui kajian penelitian ini, yaitu :

1. Apa pengertian amanah dan apa urgensinya dalam kehidupan.

2. Apa saja ruang lingkup amanah yang harus ditunaikan oleh seorang muslim.

3. Metode apa yang digunakan al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah.

Untuk menghindari kesalahpahaman dan persepsi yang berbeda tentang pokok masalah dan serangkaian masalah yang akan dicarikan jawabannya dalam penelitian ini, maka penulis perlu memberikan batasan berikut ini :

(21)

masa hidupnya lebih menonjol sehingga lebih memudahkan untuk memahami al-Qur’an dan mengamalkannya. At-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj yang ditulis oleh Wahbah az-Zuhaylî lebih menonjol dalam sistematika penulisannya dan bahasanya yang mudah dipahami, ini sudah barang tentu sangat membantu dalam memahami al-Qur’an. Sedangkan Tafsir al-Mishbâh yang ditulis oleh M. Quraish Shihab sebagai salah tafsir modern yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

2. Ayat-ayat pokok yang menjadi objek kajian adalah : pertama, ayat-ayat yang berkaitan dengan amanah, yaitu : QS. 33 : 72; 2 : 283; 4 : 58; 8 : 27; 23 : 8; 70 : 32; 7 : 68; 12 : 54; 26 : 107, 125, 143, 162, 178, 193; 27 : 39; 28 : 26; 44 : 18; 81 : 21; 3 : 75. Kedua yang berkaitan dengan khiyanah (khianat) sebagai lawan dari amanah, yaitu : QS. 66 : 10; 8 : 71; 8 : 27; 4 : 105, 107; 8 : 58; 5 :13; 45 : 19; 22 : 38. Selain ayat-ayat pokok di atas, penulis juga melakukan kajian terhadap ayat-ayat lain dalam rangka memperdalam pembahasan.

(22)

lingkungan ini bisa terlaksana dengan terlaksananya ketiga amanah tersebut di atas.

Berdasarkan batasan masalah yang dikemukakan di atas, maka masalah yang akan diteliti dan diungkapkan dalam penelitian ini bisa dirumuskan sebagai berikut : Apa amanah itu dalam persepektif para mufassir, pengertian, urgensi, ruang lingkupnya, serta metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang amanah dalam persepektif para mufassir, yang meliputi pengertian, urgensinya dalam kehidupan, ruang lingkupnya, metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dan sumbangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu tafsir. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan bacaan masyarakat umum khususnya masyarakat muslim agar dapat memahami tuntunan al-Qur’an tentang amanah sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai konsekwensi seorang muslim.

(23)

D. Tela’ah Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada buku yang membahas amanah secara sistematis dan menyeluruh. Begitu juga penulis belum mendapatkan tesis atau disertasi yang meneliti tentang amanah dalam persepektif para mufassir. Sekalipun demikian, pembahasan tentang amanah banyak didapatkan dalam buku-buku tafsir, baik buku-buku-buku-buku tafsir klasik seperti kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân yang terkenal dengan Tafsir ath-Thabarî dan tafsir Ibnu Katsîr, maupun buku-buku tafsir modern seperti kitab tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, at-Tafsîr al-Munîr, dan Tafsir al-Mishbâh . Hanya saja sebagaimana layaknya buku-buku tafsir, pembahasan amanah dilakukan sesuai dengan ayat-ayat tentang amanah yang terpencar dalam beberapa surat al-Qur’an, tidak secara sistematis dan terpadu.

Di samping kitab-kitab tafsir, pembahasan amanah dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab akhlak. Di antara kitab-kitab akhlak yang melakukan pebahasan tentang amanah adalah kitab al-akhlâq al-Islâmiyyah wa Ususuhâ yang ditulis oleh ‘Abd ar-Rahmân Hasan Habannakah al-Maydânî. Dalam buku ini dibahas tentang pengertian amanah, sikap Islam tentang sifat amanah, ruang lingkup amanah, sifat amanah merupakan sifat fitrah dan hasil usaha, teks-teks al-Qur’an dan hadits tentang amanah dan juga membahas khianat sebagai lawan dari amanah9. Selain buku

tersebut, penulis mendapatkan juga pembahasan amanah dalam buku Islâmunâ yang

9 Lihat : Habannakah, al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha, jld. 1, h. 645-673.

(24)

ditulis oleh Sayyid Sâbiq. Dalam buku ini, dibahas tentang urgensi memiliki sifat amanah, ajakan untuk memiliki sifat amanah, dan luasnya ruang lingkup amanah10. Namun kedua karya di atas tidak membahas amanah secara luas dan menyeluruh

Sekalipun buku-buku tafsir dan buku-buku akhlak tidak membahas amanah secara sistematis dan terpadu, atau tidak luas dan menyeluruh, namun buku-buku itu sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian ini.

E. Metodologi Penelitian

Untuk mengetahui tinjauan para mufassir terhadap masalah yang dibicarakan, maka akan ditelusuri ayat-ayat yang berkenaan dengan amanah beserta kata jadiannya, ayat-ayat tentang khianat yang merupakan lawan kata amanah, serta ayat-ayat lainnya yang relevan dengan pokok pembicaraan.

Karena penelitian ini menyangkut tafsir secara langsung, maka sumber utama penelitian ini adalah tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân oleh Sayyid Quthb, at-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj oleh Wahbah az-Zuhaylî, dan Tafsir al-Mishbâh oleh M. Quraish Shihab.

Untuk memperdalam pembahasan dan mempertajam analisa sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tidak menutup kemungkinan dipergunakan juga kitab-kitab tafsir yang lain, seperti Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm yang terkenal dengan Tafsir Ibnu Katsir oleh Ibnu Katsir, at-Tafsir Marâghî, oleh Mushthafâ al-Marâghî, dan tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân oleh al-Qurthubî.

(25)

Selain sumber-sumber rujukan buku tafsir di atas, untuk lebih memperdalam bahssan dugunakan juga, buku-buku hadits, buku-buku akhlak, serta buku-buku lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

Agar pembahasan mengenai kata-kata bahasa al-Qur’an lebih lengkap, akan dipergunakan al-Mu’jam al-Wasîth, karya Ibrahîm Mushthafâ, dkk, Lisân al-'Arab, karya Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr. Untuk memudahkan pelacakan ayat-ayat al-Qur’an yang diperlukan dalam pembahasan, dipergunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, karya Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqî. Dan agar penulisan teks al-Qur’an beserta terjemahnya terhindar dari kekeliruan, di gunakan juga CD Holy Qur’an.

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, dipergunakan studi kepustakaan, dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penulisan dari berbagai sumber yang diperlukan. Data-data dan bahan-bahan tersebut diperiksa kembali, kemudian disusun dengan sistematis dalam kerangka dan paparan yang sudah direncanakan.

(26)

diteliti serta diperbandingkan untuk mendapatkan kesimpulan tentang topik yang dibahas.

Sesuai dengan karakteristik dari penelitian ini, yaitu mencoba menganalisis penafsiran para mufassir tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif seperti kata-kata tertulis. Melalui metode ini, penulis mencoba untuk mengungkapkan apa tinjauan para mufassir tentang amanah secara komprehensif dan obyektif.

Adapun teknik penulisan tesis ini berpedoman pada buku “ Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi “ yang diterbitkan IAIN Jakarta Press edisi tahun 2000.

F. Sistimatika Penulisan

Pembahasan penelitian ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis. Bab Pertama memaparkan pendahuluan yang meliputi uraian tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tela’ah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

(27)

Bab ketiga membahas tentang ruang lingkup amanah, yang meliputi amanah terhadap Allah, amanah terhadap sesama manusia dan amanah terhadap diri sendiri.

Bab keempat membahas metode al-Qur’an dalam mendorong umat bersikap amanah, yaitu menanamkan nilai-nilai keimanan, perintah amanah dan janji bagi pelakunya, larangan khianat dan ancaman bagi pelakunya.

(28)

BAB II

PENGERTIAN AMANAH

DAN URGENSINYA DALAM KEHIDUPAN

A. Pengertian Amanah

Dalam bahasa Arab amanah

(

ﺔﻧﺎﻣ

أ

)

berasal dari kata

،

ﺎًﺘْﻣَأ

ُﻦَﻣْﺄَﯾ

َﻦِﻣَأ

َﻣَأَو

ﺎًﻧ

،

ﺎًﻨَﻣَأَو

،

ًﺔَﻧﺎَﻣَأَو

،

َﺔَﻨَﻣَأَو

،

ﺎًﻨْﻣِإَو

ُﻦْﯿِﻣَأَو

،

ُﻦِﻣَأَو

،

ُﻦِﻣآ

َﻮُﮭَﻓ

dan

ًﺔ

َﻧﺎَﻣَأ

ُﻦُﻣْﺄَﯾ

َﻦُﻣَأ

ُﻦْﯿِﻣَأ

َﻮُﮭَﻓ

yang berarti merasa aman dan percaya, jujur dan terpercaya, penunaian kewajiban yang didasari dengan niat, titipan, kewajiban, ketaatan, dan ibadah.11

Tentang arti merasa aman dan percaya dapat dipahami dari firman Allah :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; (QS. Al-Baqarah/2 : 283)

Tentang arti jujur dan terpercaya antara lain Allah berfirman :

11 Ibrahîm Mushthafâ, et al , al-Mu’jam al-Wasî th, (Istanbul : al-Maktabah al-Islamiyyah,

(29)

Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A’raf/7 : 68)12

Tentang arti kewajiban, ketaatan dan ibadah yang harus ditunaikan seseorang baik yang menyangkut dengan Allah atau yang menyangkut dengan manusia Allah berfirman :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa’/4 : 58)13

Tentang kewajiban yang harus ditunaikan seseorang yang bersifat harta (hutang) sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Baqarah : 283 sebagaimana telah disebutkan di atas.

Tentang arti kewajiban secara umum atau penunaian kewajiban yang didasari dengan niat, Allah berfirman :

12 Lihat juga, QS. 12 : 54; 26 : 107, 125, 143, 162, 178, 193; 27 : 39; 28 : 26; 44 : 18; 81 :

21.

13 Lihat juga : QS. 8 : 27; 23 : 8; 70 : 32.

(30)

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzab/33 : 72)

Berkenaan dengan arti amanah dalam ayat di atas, pengarang Lisân al-‘Arab dan Tartîb Qâmûs al-Muhîth mengungkapkan bahwa amanah di atas berarti kewajiban-kewajiban yang diwajibkan Allah kepada manusia atau niat yang diyakini seseorang tentang keimanan yang diucapkan dengan lisan, dan menunaikannya secara lahir dari semua kewajiaban itu.14

Dalam Bahasa Indonesia, selain kata amanah digunakan juga kata amanat. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, amanah ialah sesuatu yang dititipkan kepada orang lain, sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain; dapat dipercaya. Sedangkan amanat ialah titipan atau suatu kepercayaan yang dibebankan kepada orang lain – pesan atau perintah yang disampaikan kepada orang lain - keseluruhan makna suatu pembicaraan , gagasan yang mendasari isi karya sastra15.

Pengertian dua kata amanah dan amanat dalam bahasa Indonesia ini sejalan dengan kata amanah dalam bahasa Arab.

Dalam terminologi Islam, terdapat beberapa ungkapan para ulama tentang amanah :

1. Menurut Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaylî :

14 Muhammad ibn Makram Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, jld. 13, h. 24; ath-Thahir Ahmad

az-Zawi, Tartîb Qâmûs al-Muhîth, jld. 1, h. 182.

(31)

ﱡﻞُﻛ

Setiap yang dibebankan kepada manusia dari Allah seperti kewajiban-kewajiban agama, atau dari manusia seperti titipan harta.16

2. Menurut M. Quraish Shihab :

Amanat adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya .17

3. Menurut Mushtafâ al-Marâghî :

Amanah ialah segala sesuatu yang dipercayakan kepada seseorangberupa perintah dan larangan baik dalam urusan agama maupun dunia. 18

4. Menurut Dr. Mushthafâ Sa’îd al-Khin dkk. :

Memelihara dan menunaikan hak kepada pemiliknya .19 5. Menurut 'Abd ar-Rahman Hasan Habannakah al-Maydanî :

16

az-Zuhaylî, , at-Tafsîr al-Munîr, jld. 9, juz 18 h. 9.

17 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , vol. 2, h. 457.

18Muhammad Mushtafâ al-Marâghî (selanjutnya disebut al-Marâghî), Tafsîr al-Marâghî ,

jld. 8, h 45. Di tempat lain dalam kitab tafsirnya, al-Marâghî memberikan definisi yang serupa walaupun redaksinya berbeda. (Lihat : jld. 2, h. 69, jld.6, h. 4)

19 Al-Khin, Mushthafâ Sa’îd, Al-Khin, et al, Nuzhah al-Muttaqîn Syarh Riyâdh al-Shâlihîn,

(32)

َو

dengannya seseorang menjaga diri dari sesuatu yang bukan haknya, walaupun kondisi untuk berbuat pelanggaran mendukungnya tanpa dihadapkan kepada adanya pembuktian di hadapan orang banyak; dan menunaikan kewajibannya atau hak orang lain yang ada padanya, walaupun ia mampu menguranginya tanpa dihadapkan kepada adanya pembuktian di hadapan orang banyak .20

Selanjutnya setelah menjelaskan pengertian amanah di atas, Habannakah menyimpulkan pengertian amanah mengandung tiga unsur :

a. Sikap menjaga diri orang yang dapat dipercaya dari sesuatu yang bukan haknya.

b. Sikap menunaikan orang yang dapat dipercaya terhadap kewajibannya yang menjadi hak orang lain.

c. Adanya perhatian penuh dari orang yang dapat dipercaya untuk menjaga sesuatu hak orang lain yang dititipkan kepadanya dengan tidak menyia-nyiakan dan melalaikannya.21

Pengertian-pengertian amanah yang dikemukakan oleh ketiga mufassir di atas pada dasarnya sama. Pendekatan mereka adalah penafsiran terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang amanah yang konteksnya kewajiban, tugas, atau beban yang

20 Habannakah, al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha , jld. 1, h. 645.

(33)

harus ditunaikan seseorang, baik yang menyangkut dengan Allah maupun yang menyangkut sesama manusia. Sedangkan kedua ulama berikutnya dalam mengartikan amanah lebih melihat amanah sebagai suatu sikap dan sifat yang melekat pada seseorang dalam menunaikan hak atau kewajiban yang dibebankan kepadanya. Pengertian yang dikemukakan oleh kedua ulama tersebut sejalan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan sifat “amîn” nya beberapa orang rasul. Sifat “amîn” para rasul ini seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara’ ayat 107 berekenaan dengan Nabi Nuh as. : (

ٌﻦﯿِﻣَأ

ٌلﻮُﺳَر

ْﻢُﻜَﻟ

ﻲﱢﻧِإ

/ Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu ). Berkenaan dengan ayat di atas, beberapa mufassir mengungkapkan bahwa para rasul itu bersifat jujur terpercaya, tidak khianat, tidak menipu, tidak bersikap curang, tidak menambah dan mengurangi dalam menyampaikan ajaran Allah yang ditugaskan kepada mereka. Sifat jujur dan terpercaya yang dimiliki para rasul ini sebetulnya sudah dikenal oleh para pengikut mereka sebelum mereka diangkat menjadi rasul. 22

Jadi kelima pengertian amanah di atas pada dasarnya tidak bertentangan, tapi saling melengkapi, karena memandang amanah dari dua aspek yang berbeda. Tiga orang mufassir lebih menyoroti amanah sebagai tugas atau beban yang harus ditunaikan seseorang, sedangkan kedua ulama lainnya lebih menyoroti amanah sebagai sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang dalam menunaikan suatu

22 Lihat umpamanya : Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân , jld. 5 h. 2607; az-Zuhaylî,

(34)

kewajiban atau beban yang dipikulakan kepadanya. Oleh karena itu, dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan bahwa amanah mempunyai dua arti :

Pertama : Tugas atau beban yang diberikan kepada seseorang, baik diberikan oleh Allah atau oleh sesama manusia.

Kedua : Kredibilitas atau sifat dapat dipercaya yang ada pada seseorang dalam menunaikan tugas atau beban tersebut.

B. Korelasi Amanah dengan Iman

Amanah dalam pengertian di atas merupakan suatu hal yang sangat urgen dalam Islam. Di antara urgensi amanah dalam Islam adalah bahwa amanah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keimanan sesuai dengan firman Allah :

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya ) dan janji-janjinya .(QS. al- Mu’minûn/23 : 8; al- Ma’ârij /70 : 32)

(35)

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. .(QS. al- Mu’minûn/23 : 1) Jelas sekali bahwa memelihara amanat yang terdapat dalam ayat 8 surat al- Mu’minûn merupakan sifat orang-orang yang beriman. Begitu juga ayat 32 surat al- Ma’ârij walaupun sebelumnya tidak menyebutkan kata al- Mu’minûn (orang-orang yang beriman), namun sifat-sifat yang disebutkan dalam surat al- Ma’ârij dari ayat 19-35 tidak jauh berbeda dengan sifat-sifat orang-orang yang beriman yang disebutkan dalam surat al- Mu’minûn dari ayat 1-11.

Dalam hal ini Wahbah az-Zuhaylî ketika menafsirkan QS. al- Mu’minûn/23 : 8 di atas sebagaimana disebutkan dalam bab pertama mengungkapkan bahwa orang-orang yang memelihara kehormatan amanah dan kesucian janji, jika diberikan amanah (kepercayaan) tidak khianat, tetapi menunaikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika berjanji atau melakukan perjanjian, menepatinya. Jadi menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang yang beriman. Sedangkan khianat, melanggar janji, tidak menepati konsekwensi perjanjian dalam jual beli, sewa menyewa, perseroan dan sebagainya merupakan sifat orang munafik….23

Begitu juga ketika menafsirkan QS. al- Ma’ârij /70 : 32, az-Zuhaylî mengungkapkan : “ Yakni orang-orang yang menunaikan amanah yang dipercayakan

(36)

terhadap mereka kepada pemiliknya, menepati segala perjanjian, dan sedikitpun tidak melanggar perjanjian yang mereka ikat. Apabila mereka diberi amanah, tidak khianat; apabila mereka berjanji, tidak mengingkari. Inilah sifat-sifat orang-orang yang beriman, dan lawannya adalah sifat orang-orang munafik”.24

Menunaikan amanah merupakan sifat orang-orang yang beriman, didapat juga dalam penafsiran Sayyid Quthub, Ibnu Katsir dalam menafsirkan dua ayat di atas.25

Dalam hubungan amanah dengan iman M. Quraish Shihab juga menyebutkan bahwa amanah adalah asas keimanan berdasarkan sabda Nabi saw. “Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki amanah”.26

Hubungan amanah dengan iman diperkuat juga dalam hadits Rasulullah

yang beliau nukil teks aslinya adalah :

(37)

َلﺎَ

َ

ﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا

ﱠنَأ

َةَﺮْﯾَﺮُھ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw.bersabda : "Demi Allah seseorang tidak beriman, demi Allah seseorang tidak beriman, demi Allah seseorang tidak beriman", dikatakan kepadanya : Siapa wahai Rasulullah ?, beliau menjawab : " Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari segala kejahatannya " (HR. Bukhari dan Muslim)27

Dalam hadits ini Rasulullah saw. menafikan kesempurnaan iman orang yang melakukan kejahatan terhadap tetangganya. Melakukan kejahatan terhadap tetangga merupakan salah satu bentuk tidak melakukan amanah terhadap orang lain (tetangga).

Hadits Rasulullah yang lain :

bawâiqahu, (Riyadh : Daar 'Alam al-Kutub li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', cet. 1, 1417 H/1996 M), jld. 4, juz 7, h. 78; Muslim, Shahih Muslim, Kitâb mân, Bâb BayânTahr î m idzâ’ al-Jâr, (Riyadh : Daar 'Alam al-Kutub li ath-Thiba'ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi', cet. 1, 1417 H/1996 M), jld. 1, h. 68.

28 Al-Mubârakfurî, Muhammad 'Abd ar-Rahmân bin 'Abd ar-Rahîm, Tuhfah al-Ahwadzî bi

Syarh Jami' at-Tirmidzî, Kitâb Abwâb al-Imân, Bâb Mâ Jâa al-lmuslimu man salima al-Muslimûna min lisânihi wa yadihi, (selanjutnya : al-Mubârakfuriy, Tuhfah al-Ahwadzî) (Madinah : Maktabah as-Salafiyyah, tth.), jld. 7, h. 379; an-Nasâ'î, Sunan an-Nasâ'î bi Syarh al-Hâfuzh Jalâl ad-Dîn as-Suyuthî,

(38)

Dalam hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang beriman adalah orang yang tidak mengganggu orang lain. Tidak mengganngu orang lain merupakan salah satu bentuk penunaian amanah.

Dalam hadits ini juga Rasulullah saw. menafikan iman bagi orang yang tidak menunaikan Amanah.

Dengan demikian jelas sekali hubungan amanah dengan iman. Oleh karena itu dalam hadits lain beliau menjelaskan bahwa khianat - sebagai lawan dari amanah- termasuk salah satu tanda orang munafik. Rasulullah saw. bersabda :

َلﺎَ

َ

ﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ﱢﻲِﺒﱠﻨﻟا

ْﻦَﻋ

َةَﺮْﯾَﺮُھ

ﻲِﺑَأ

ْﻦَﻋ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : " Tandaorang munafik itu tiga : apabila bicara dusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila diberi amanat khianat ". (HR. Bukhari dan Muslim)29

Dalam riwayat lain Rasulullah saw. bersabda :

َلﺎَ

َ

ﱠﻠَﺳَو

ِﮫْﯿَﻠَﻋ

ُﮫﱠﻠﻟا

ﻰﱠﻠَﺻ

ﱠﻲِﺒﱠﻨﻟا

ﱠنَأ

وٍﺮْﻤَﻋ

ِﻦْﺑ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﺪْﺒَﻋ

ْﻦَﻋ

terdapat pada diri seseorang ia termasuk orang munafik murni, dan apabila satu dari empat sifat itu ada padanya, berarti ia mempunyai sifat munafik sehingga ia

29 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kitâb al-Îmân, Bab ‘Alâmah al-Munâfiq, jld. 1, juz 1, h.

(39)

meninggalkannya. (Yaitu) Apabila diberi amanat ia khianat, apabila ia bicara ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila ia bertengkar ia berbuat durhaka". (HR. Bukhari dan Muslim)30

C. Amanah Merupakan Sifat Para Rasul

Di samping amanah merupakan sifat orang mukmin, amanah juga termasuk sifat para rasul yang menonjol, karena sifat amanah merupakan syarat utama dipilihnya mereka menjadi rasul. Kalau mereka bukan orang-orang yang amanah, pasti Allah tidak menugaskan mereka untuk membawa risalah kepada umat manusia. Karena orang yang tidak memiliki sifat amanah, tidak bisa dijamin ia menyampaikan risalah kepada umatnya.

Dalam al-Qur'an banyak dikisahkan para rasul, di antara mereka ada yang secara tegas disebutkan memiliki sifat amanah. Ini tidak berarti para rasul lain tidak memiliki sifat amanah. Penyebutan sifat amanah bagi sebagian rasul, barangkali kemaslahatan dakwah menghendaki demikian sesuai dengan kondisi umatnya.

Para rasul yang dalam al-Qur'an disebutkan memiliki sifat amanah adalah nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth, Syu’aib, Yusuf dan Musa as. Tentang nabi Nuh, Hud, Shalih, Luth dan Syu'aib as, Allah memberitakan bahwa masing-masing mereka berkata kepada kaumnya :

30 al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî , Kitâb al-Îmân, Bab ‘Alâmah al-Munâfiq, jld. 1, juz 1, h.

(40)

Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu (QS. asy-Syu'ara'/26 : 107, 125, 143, 162, 178)

Khusus tentang nabi Hud as, Allah juga menyebutkan dalam surat al-A'raf :

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya"? Pemuka-pemuka yang kafir dari

kaumnya berkata: "Sesungguhnya kami benar-benar memandang kamu dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk orang-orang yang berdusta". Hud berkata: "Hai kaumku, tidak ada padaku kekurangan akal sedikitpun, tetapi aku ini adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu". (QS. Al-A'raf/7 : 65-68)

(41)

Dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami". (QS. Yusuf/12 : 54)

Sedangkan tentang nabi Musa a.s. Allah berfirman dalam surat al-Qashash :

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash/28 : 26)

Allah juga berfirman dalam surat ad-Dukhân :

(42)

Pada beberapa ayat di atas, beberapa rasul tersebut disebutkan memiliki sifat amanah dengan menggunakan kata amîn

(

ﻦﯿﻣأ

)

, artinya memiliki sifat amanah/jujur dapat dipercaya. Kata amîn

(

ﻦﯿﻣأ

)

tersebut ditafsirkan oleh Sayyid Quthub dengan tidak khianat, tidak menipu, tidak berbuat curang, dan tidak menambah atau mengurangi sedikitpun ajaran yang diperintahkan Allah untuk disampaikan31. M. Quraish Shihab menafsirkan kata amîn dalam kontek kisah Nabi Hud as. dengan memiliki sifat amanah/kejujuran. Hal ini, lanjut beliau, untuk menyanggah tuduhan kaum Nabi Hud as. yang menilai beliau berbohong. Sifat amanah adalah salah satu sifat yang mutlak dimiliki setiap nabi di samping sifat shidq, yakni berucap dan bersikap benar lagi memiliki kesungguhan, tabligh yakni tidak menyembunyikan apa yang diperintahkan Allah untuk disampaikan, dan fathanah, yakni kecerdasan yang melahirkan kemampuan menghadapi segala macam situasi sulit32. Hal yang sama juga yang ditafsirkan oleh az-Zuhaylî, beliau menafsirkan kata amîn dengan dapat dipercaya dalam menyampaikan ajaran dan risalah dari Allah , tanpa penambahan dan tanpa pengurangan sedikitpun33.

Dari ketiga penafsiran di atas, jelaslah bahwa amanah merupakan sifat mutlak para rasul, karena tugas kerasulan tidak mungkin dilaksanakan kecuali oleh orang-orang yang memiliki sifat amanah. Dan perlu ditambahkan di sini bahwa melihat konteks ayat dalam surat asy-Syu'arâ dan al-A'râf di atas, sifat amanah

(43)

disebutkan sebagai salah satu penguat dakwah yang mereka sampaikan, agar umat mereka dapat menerima ajaran yang disampaikannya; karena sifat yang ada pada mereka ini sudah pasti mereka kenal sebelum mereka diutus menjadi rasul. Jadi mereka ingin menegaskan bahwa dakwah yang mereka sampaikan, yaitu seruan untuk beribadah hanya kepada Allah, bertakwa atau taat kepada-Nya, adalah benar-benar bersumber dari Allah, bukan dari diri mereka.

Oleh karena itu ketika menafsirkan ayat 107-110 surat asy-Syu’arâ tentang nabi Nuh, az-Zuhaylî, menjelaskan sebagai berikut :

Setelah Nuh menakut-nakuti mereka tentang perbuatan mereka yang buruk, ia mensifati dirinya dengan dua hal :

Pertama : [ ٌﻦﯿ ِﻣَأٌلﻮ ُﺳَرْﻢ ُﻜَﻟﻲ ﱢﻧِإ/ Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu], yakni sesungguhnya aku seorang rasul dari Allah kepadamu, dapat dipercaya dalam menyampaikan ajaran yang aku diutus Allah untuk itu, aku menyampaikan risalah-risalah Tuhanku kepadamu, tanpa penambahan dan tanpa pengurangan.

( ِنﻮ ُﻌﯿِﻃَأَوَﮫ ﱠﻠﻟااﻮُﻘﱠﺗﺎ َﻓ / maka bertakwalah kepada Allah dan ta`atlah kepadaku ),

yakni takutlah kepada azab Allah, dan taatlah kepadaku dalam hal yang aku perintahkan kepadamu dengan mentauhidkan Allah, beribadah dan taat kepada-Nya. Perintah bertakwa kepada Allah didahulukan dari perintah taat kepadanya; karena takwa kepada Allah merupakan sebab taat kepadanya. Takwa merupakan dasar dan pembangkit ketaatan. Kalaulah tidak ada rasa takut kepada Allah, pasti orang-orang tidak taat kepadanya.

Kedua : ( َﻦﯿِﻤَﻟﺎ َﻌْﻟاﱢبَرﻰ َﻠَﻋﺎ ﱠﻟِإَيِﺮ ْﺟَأْنِإٍﺮ ْﺟَأْﻦ ِﻣ ِﮫ ْﯿَﻠَﻋْﻢُﻜُﻟَﺄ ْﺳَأﺎ َﻣَو/ Dan sekali-kali aku

tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam ), yakni aku tidak minta balasan kepadamu atas nasihatku kepadamu, tetapi aku simpan pahalanya itu di sisi Allah Ta'ala.

( ِنﻮ ُﻌﯿِﻃَأَوَﮫ ﱠﻠﻟااﻮُﻘﱠﺗﺎ َﻓ / maka bertakwalah kepada Allah dan ta`atlah kepadaku ),

yakni sudah jelas kejujuran, nasihat dan amanahku dalam menyampaikan ajaran yang aku diutus dan diamanahkan Allah untuk itu. Perintah takwa kepada Allah dan taat kepadanya ini diulangi sebagai penekanan kepada mereka dan pengokohan ke dalam jiwa mereka; karena takwa dan taat asas agama. Tapi penyebab pertama adalah keamanahan beliau di tengah-tengah mereka, dan penyebab kedua adalah memutuskan harapan dari mereka. 34

(44)

Di samping sebagai sifat para rasul di kalangan manusia, amanah juga merupakan sifat rasul di kalangan malaikat. Al-Qur'an menyebutkan bahwa malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu memiliki sifat amanah. Hal ini disebutkan dalam surat asy-Syu'arâ dan surat at-Takwîr. Dalam surat asy-Syu'arâ Allah berfirman:

Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam , dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (QS. Al-Syu'ara' /26 : 192- 194)

Sedangkan dalam surat at-Takwîr Allah berfirman :

Sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang dita'ati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya . (QS. Al-Takwir/81 : 19-21)

Firman Allah ( ﻦﯿ ﻣﻷاحوﺮ ﻟا ) pada ayat 193 asy-Syu'arâ dan firman Allah

(45)

dengan malaikat Jibril.35 Dalam kedua surat itu Malaikat Jibril diberikan sifat al-amîn artinya yang dapat dipercaya atau yang memiliki sifat amanah dalam menyampaikan wahyu dan risalah. Penyifatan Malaikat Jibril itu dengan al-amîn untuk menyatakan bahwa ia sangat terpercaya oleh Allah swt36. Ini merupakan

jaminan dari Allah bahwa al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah benar-benar wahyu dari Allah yang dibawa oleh Jibril yang memiliki sifat amanah.

D. Korelasi Amanah dengan Sifat Lain

Amanah mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan sifat lain. Menurut pengetahuan penulis, paling tidak dalam al-Qur'an ada tiga sifat yang berhubungan dengan amanah; yaitu menepati janji, penegakan hukum secara adil dan kekuatan. Berikut ini penjelasannya.

1. Hubungan Amanah dengan Menepati Janji

Hubungan amanah dengan menepati janji dapat kita pahami dari firman Allah surat al-Mukminûn ayat 8 dan surat al-Ma’rij ayat 32 :

35 Lihat umpamanya : ath-Thabarî,Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Âyi al-Qur’ân(selanjutnya

disebut Jâmi’ al-Bayân), juz 19 hal 111& juz 30 hal 80, Ibn Katsîr, , Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jld 3 hal 431 & jld 4 hal 566-567, az-Zuhaylî, at-Tafsîr al-Munîr, juz 19 hal 221 & juz 30 hal 90, Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, jld 5 hal 2616 & jld 6 hal 3842; M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 10, h. 134

(46)

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang dipikulnya ) dan janji-janjinya “.(QS. al-Mukminun/23 : 8, al-Ma’arij/70 : 32)

Sayyid Quthub mengungkapkan bahwa memelihara amanat dimulai dari penunaian amanat yang besar atau amanat fitrah atau aqidah, sebagaimana memelihara janji diawali dari janji pertama yang diikrarkan manusia ketika berada dalam alam rahim yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dari amanat dan janji inilah lahir bermacam-macam amanah dan janji. Beliau mengungkapkan juga bahwa Islam sangat menekankan dan mengulang-ulang amanah dan janji ini agar masyarakat Islam tegak di atas landasan moral yang kuat. Islam juga menjadikan menunaikan amanah dan menepati janji merupakan ciri orang mukmin sebagaimana mengkhianati amanah dan ingkar janji merupakan ciri orang munafik dan kafir37.

Setelah menjelaskan bahwa menunaikan amanah dan menepati janji merupakan sifat orang yang beriman, az-Zuhaylî mengungkapkan bahwa amanah dan janji sama-sama mencakup segala yang dibebankan kepada manusia baik yang datangnya dari Allah, maupun dari manusia, seperti perintah-perintah agama, titipan dan pelaksanaan janji-janji.38

(47)

M. Quraish Shihab tidak mengupas hubungan memelihara amanat dan janji, dalam surat al-mukminun beliau hanya mengungkapkan kata ra’un yang dikaitkan dengan kata amanat dan janji berarti pelakunya memberi perhatian terhadap kedua hal tersebut39.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanah dan janji mencakup segala yang dibebankan kepada manusia yang pelaksanaannya diawali dengan penunaian amanah yang besar atau janji pertama, yaitu pengakuan dan keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak diibadahi dan ditaati. Jika seseorang dapat menunaikan amanah dan menepati janji dengan sesungguhnya, maka akan mudah untuk dapat melaksanakan ajaran-ajaran agama yang lain. Oleh karena itu Islam sangat menekankan kepada umatnya agar punya perhatian yang penuh untuk menunaikan kedua sifat tersebut.

2. Hubungan Amanah dengan Sifat Adil

Dalam hal ini Allah berfirman dalam al-Qur'an surat an-Nisâ' : 58 :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

(48)

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa'/4 : 58)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menunaikan amanah kepada pemiliknya dan menegakkan hukum secara adil. Disebutkan dua perintah ini dalam satu ayat secara berurutan menunjukkan adanya hubungan antara amanah dan adil. Dalam hal ini, setelah menjelaskan perintah menunaikan amanah dan perintah menetapkan hukum dengan adil, Sayyid Quthub secara singkat menjelaskan bahwa menetapkan hukum dengan adil merupakan landasan hukum dalam Islam, sebagaimana amanah dengan segala pengertiannya merupakan landasan kehidupan dalam masyarakat Islam40. Menurut az-Zuhaylî, amanah adalah landasan pertama dalam hukum Islam, keadilan adalah landasan keduanya, dan taat landasan ketiganya41. M. Quraish Shihab melihat hubungan amanah dengan sifat adil dari sisi bahwa amanah harus ditunaikan kepada pemiliknya, sedangkan berlaku adil ditujukan kepada manusia secara keseluruhan. Dengan demikian kata beliau, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras42.

Sedangkan Habannakah al-Maidânî dalam hal ini menjelaskan bahwa ayat di atas mencakup penjelasan tugas pertama bagi rakyat, yaitu menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dengan mengangkat orang yang memiliki

(49)

kapabilitas untuk memegang jabatan kepemimpinan umum (seperti presiden). Dan mencakup juga penjelasan tugas pertama dan tugas kedua bagi pemimpin. Tugas pertama adalah menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dengan memberikan kepemimpinan kecil kepada orang yang berhak menerimanya yang memiliki kapabilitas dan terpercaya. Sedangkan tugas kedua adalah menetapkan hukum di antara manusia secara adil43. Pada bagian lain beliau menjelaskan bahwa amanah yang harus ditunaikan mencakup semua hak yang yang berkaitan dengan tanggungan manusia, baik yang berkaitan dengan Allah, atau yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Termasuk di dalamnya memberikan kekuasaan kepada orang yang

berhak menerimanya, yaitu orang yang memiliki kafa`ah (kapabilitas atau

kemampuan). Hukum dan kekuasaan itu sendiri juga merupakan amanah44. Dari tiga pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa :

Pertama, amanah dan adil sama-sama landasan hukum Islam. Hukum Islam tidak akan tegak bila tidak dilaksanakan oleh orang yang amanah dan adil.

Kedua, dalam urutannya, amanah menempati urutan pertama, sedangkan adil menempati urutan kedua. Artinya penegakan hukum secara adil itu tidak akan terwujud manakala tidak didahului dengan penunaian amanah. Baik penunaian amanah dari rakyat dengan mengangkat pemimpin umum, maupun penunaian

(50)

amanah dari pemimpin umum tersebut dengan memberikan berbagai jabatan di bawah kekuasaannya kepada orang-orang yang mampu dan dapat dipercaya.

Ketiga, amanah bersifat umum, mencakup berbagai macam hak yang berkaitan dengan tanggungan manusia, baik hak terhadap Allah, hak terhadap dirinya, maupun hak terhadap sesama manusia. Termasuk di dalamnya menegakkan hukum dengan adil. Sedangkan adil merupakan bagian dari amanah yang hanya berkaitan dengan hak orang lain.

Keempat, amanah dan keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras.

3. Hubungan Sifat Amanah Dengan Sifat Kuat

Dalam surat an-Naml ayat 39 Allah berfirman mengkisahkan perkataan 'Ifrît dari golongan jin kepada nabi Sulaiman as. :

(51)

Begitu juga dalam surat al-Qashash ayat 26 Allah berfirman mengkisahkan perkataan salah seorang puteri nabi Syu'aib tentang nabi Musa as. :

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. Al-Qashash/28 : 26)

Dua ayat di atas menyebutkan bahwa 'Ifrît dari kalangan Jin dan nabi Musa as. memiliki dua sifat, yaitu kuat dan dapat dipercaya (amanah). Disebutkannya dua sifat itu secara bergandengan dan berurutan, menunjukkan adanya hubungan antara kedua sifat tersebut. Hubungan kedua sifat ini diungkap oleh Abû Hayyân yang dinukil oleh Muhammad ‘Alî ash-Shâbûnî dalam kitabnya Shafwah at-Tafâsîr, katanya : "Perkataannya (salah seorang putri nabi Syu'aib) adalah perkataan yang bijaksana dan menyeluruh; karena apabila sifat kuat dan amanah bersatu pada orang yang melakukan urusan apapun, pasti tujuannya akan tercapai"45. M. Quraish Shihab

ketika menafsirkan QS. Al-Qashash : 26 di atas merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiah yang menegaskan bahwa sifat amanah dan sifat kuat merupakan kedua sifat penting yang harus disandang oleh siapa pun yang diberi tugas berdasarkan

45 Muhammad ‘Alî ash-Shâbunî, Shafwah at-Tafâsîr, (Beirut : Dâr al-Qur'ân al-Karîm, cet.

(52)

Qur’an yang antara lain disebutkan dalam surat al-Qashash : 26 dan surat Yusuf : 5446.

Kekuatan yang dimaksud menurut M. Quraish Shihab adalah kekuatan dalam berbagai bidang. Karena itu, ungkap beliau, terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang dipilih. Sedangkan kepercayaan dimaksud, kata beliau juga, adalah integritas pribadi, yang menuntut adanya sifat amanah sehingga tidak merasa bahwa apa yang ada dalam genggaman tangannya merupakan milik pribadi, tetapi milik pemberi amanat, yang harus dipelihara dan bila diminta kembali, maka harus dengan rela mengembalikannya47. Ibnu Taimiah

menyebutkan contoh yang dimaksud dengan kekuatan dalam memimpin perang dan dalam menetapkan hukum bagi manusia. Dalam memimpin perang, yang dimaksud dengan kekuatan itu adalah kembali kepada keberanian hati, pengalaman perang, taktik perang, dan penguasaan terhadap berbagai jenis peperangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan dalam menetapkan hukum bagi manusia kembali kepada pengetahuan tentang keadilan yan dimaksud al-Qur’an dan as-Sunnah dan kemampuan melaksanakan hukum. Mengenai amanah atau kepercayaan menurut beliau kembali kepada takut kepada Allah, tidak menjual belikan ayat-ayat Allah, dan tidak takut kepada manusia48.

46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, vol. 10, h. 334 ; Lihat juga : Ibnu Taimiah,

as-Siyâsah asy-Syar'iyyah, (Dâr al-Ma’rifah, ttp, tth.), h. 15. CD Rom, Maktabah Syaikh al-Islâm wa Tilmîdzuh Ibn al-Qayyim.

(53)

Didahulukannya sifat kuat dari pada sifat amanah pada ayat di atas, tidak menunjukkan bahwa orang yang kadar kekuatannya lebih tinggi dibandingkan amanahnya didahulukan dalam pemberian tugas dari pada orang yang kadar amanahnya lebih tinggi dibandingkan kekuatannya. Dalam hal ini menurut Ibnu Taimiah dilihat mana yang paling maslahat dalam bidang tugas yang diberikan. Menurut beliau, kalau dalam memimpin peperangan, maka yang harus didahulukan adalah yang kadar kekuatannya lebih tinggi, walau amanahnya kurang. Kekuatannya dapat dimanfaatkan untuk masyarakat dan kelemahan amanahnya tidak merugikan kecuali dirinya sendiri. Tetapi jika dalam bidang pemeliharaan harta dan semacamnya, maka yang harus didahulukan adalah yang kadar amanahnya lebih tinggi 49.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa betapa kuat hubungan antara sifat kuat dan sifat amanah, di mana kedua sifat ini sangat dibutuhkan dalam pemberian tugas . Seseorang akan dapat melaksanakan tugas sebaik mungkin jika memiliki kedua sifat ini. Dan disebutkannya sifat kuat sebelum amanah, menurut hemat penulis, menunjukkan bahwa sifat kuat sangat dibutuhkan oleh seseorang dalam menunaikan amanah, baik kuat iman, mental spiritual, kuat ilmu pengetahuan dan wawasan, maupun kuat pisik. Kekuatan iman akan memberikan dorongan yang kuat kepada seseorang untuk bersikap amanah; karena amanah lahir dari keimanan sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa betapa kuat hubungan amanah dengan iman. Kekuatan

(54)
(55)

BAB III

RUANG LINGKUP AMANAH

Yang menjadi dasar dalam bab ini adalah tafsiran para mufassir terhadap surat an-Nisa’ ayat 58 yang berbunyi :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa'/4 : 58)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Sayyid Quthub dalam tafsirnya Fî Zhilâl al-Qur’ân sebagaimana disebutkan dalam pendahuluan menyebutkan beberapa macam amanah, yaitu : pertama, amanah fithrah manusia, di mana makhluk lain enggan dan menolak menerimanya. Ia adalah amanah hidayah, ma’rifah dan iman kepada Allah atas dasar niat, kemauan, usaha dan orientasi. Amanah ini merupakan dasar, karena amanah-amanah lain bersumber dari amanah ini. Kedua, amanah

(56)

bumi Allah dengan mengerahkan berbagai macam sarana yang dimiliki. Atas dasar kesaksian inilah kata beliau jihad akan tetap berlangsung sampai hari kiamat. Ketiga, amanah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, seperti mengembalikan titipan harta, memberikan nasehat bagi pemimpin dan rakyat, mengurus anak, memelihara kehormatan dan kekayaan masyarakat, dan seluruh kewajiban yang disebutkan dalam Islam dalam segala lapangan kehidupan. Amanah ini bisa disebut amanah memelihara hak orang lain baik berupa harta atau kehormatan.50

Az-Zuhaylî menyebutkan tiga macam amanah, yaitu : pertama, menjaga amanah yang ada pada hak-hak Allah. Hal ini terdiri dari melaksanakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, menggunakan segala perasaan dan anggota badan pada sesuatu yang dapat mendekatakan diri kepada Allah. Kedua, menjaga amanah yang ada pada hak-hak diri sendiri. Yaitu bahwa seseorang tidak melakukan perbuatan kecuali yang bermanfaat baginya baik dalam agama, dunia dan akhirat; tidak melakukan suatu perbuatan yang membahayakannya di dunia dan akhirat; menjaga diri dari hal-hal yang menyebabkan sakit; serta melakukan kaedah-kaedah ilmu kesehatan. Ketiga, menjaga amanah pada hak-hak orang lain; yaitu dengan mengembalikan barang-barang titipan dan pinjaman, tidak curang dalam melakukan transaksi, jihad dan nasehat, serta tidak menyebarkan rahasia dan cacat orang lain51.

(57)

M. Quraish Shihab menyebutkan amanah antara manusia dan lingkungannya di samping tiga macam amanah yang disebutkan az-Zuhaylî. Beliau mengungkapkan :

Di atas, terbaca bahwa ayat ini menggunakan bentuk jamak dari kata amanat. Hal ini karena amanat bukan sekedar sesuatu yang bersifat material, tetapi juga non material dan bermacam-macam. Semuanya diperintahkan Allah agar ditunaikan. Ada amanat antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan manusia lainnya, antara manusia dan lingkungannya, dan antara manusia dengan dirinya sendiri. Masing-masing memiliki rincian, dan setiap rincian harus dipenuhi, walaupun seandainya amanat yang banyak itu hanya milik seorang52.

Pada bagian lain beliau menyebutkan empat aspek amanah. Pertama, antara manusia dengan Allah, seperti aneka ibadah, misalnya nazar. Kedua, antara seseorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain. Ketiga, antara seseorang dengan lingkungan, antara lain menyangkut pemeliharaannya agar dapat juga dinikmati oleh generasi mendatang. Dan keempat, amanah dengan dirinya sendiri, antara lain menyangkut kesehatannya53.

Penafsiran tiga orang mufassir di atas pada prinsipnya sama dan saling melengkapi. Penafsiran mereka juga tidak jauh berbeda dengan penafsiran mufassir lain. Ibnu Katsir umpamanya menjelaskan bahwa perintah menunaikan amanah mencakup semua amanah yang wajib bagi manusia. Kemudian beliau menyebutkan dua amanah, pertama : hak Allah terhadap hamba-Nya seperti shalat, zakat, nadzar, shaum (puasa) dan sebagainya. Kedua, hak manusia terhadap sesamanya, seperti

Referensi

Dokumen terkait

Dari Perjanjian Lama, Anda dapat belajar bahwa Yesus Kristus datang untuk menggenapi tiga peranan, yaitu sebagai Nabi, Imam dan Raja. Berita Injil selalu harus

Semoga pengungkapan fakta-fakta ini dapat menyadarkan kita akan posisi atlit kesulitan kita yang akhir-akhir kurang kompetitif di tingkat Asia, dan dengan kesadaran baru tersebut

Beberapa guru menggunakan satu simbol untuk melambangkan lebih dari satu konsep matematika yang sering membingungkan siswa dalam memahami materi.?. Apa yang dimaksud

Tata busana tari Wayang karya Raden Ono Lesmana Kartadikusumah memilki ciri khas sendiri, ciri khas tersebut dapat kita analisis dari hasil penelitian dari segi

Untuk memulai halaman index, terlebih dahulu pilih internet browser seperti widndows internet explorer, mozila firefox, opera dan lain sebagainya yang sudah terinstal SVG

a) Supervisi akademik. Kegiatan supervisi akademik ini dilakukan untuk memastikan bahwa guru mampu melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelasnya sesuai dengan RPPM dan RPPH yang

Tujuan penelitian adalah menentukan konsentrasi Ca(OH)2 yang paling optimum untuk menghasilkan karbon aktif dengan kualitas sesuai dengan SII 0258-88 dan Mengkaji dan

2.28 Terhadap KJPP lain atau Penilai/ Tenaga Ahli yang terlibat sebagai bagian dari kontrak penugasan Klien kepada KJPP 1 , Pimpinan KJPP atau petugas yang ditunjuk wajib