• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ambang Batas Parlemen ( Parliamentary Threshold ) Tidak Mencerminkan Keterwakilan Minoritas

Dalam dokumen T1 312012040 BAB III (Halaman 26-39)

Ambang batas pembentukan fraksi ini lebih adil karena tidak akan menghilangkan suara pemilih dan caleg. Sebagai contoh, apabila ambang batas pembentukan fraksi ditetapkan sebesar 20% kursi di parlemen, maka akan terdapat 5 fraksi di parlemen. Kemudian 5 fraksi ini yang akan menjalankan proses politik selama 5 tahun secara efisien. Ambang batas pembentukan fraksi tepat karena berfokus untuk bagaimana membuat kinerja parlemen efisien untuk menstabilkan pemerintahan.

3. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Tidak Mencerminkan Keterwakilan Minoritas

Ambang batas parlemen atau PT merupakan kebijakan yang diambil pemerintah dan DPR dalam rangka penyederhanaan partai politik. PT tersebut memiliki legalitas sebab didukung oleh adanya undang-undang. Selain itu, PT yang menggagalkan partai politik untuk mendudukkan wakil-wakilnya di

130 Ibid.

parlemen (setelah memenuhi BPP) karena tidak mampu memenuhi PT, juga didukung oleh argumen formal yang tidak menganggap serius hilangnya keterwakilan minoritas.

Oleh karena itu, sebelum penulis mengargumentasi secara substantif bahwa PT tidak mencerminkan keterwakilan minoritas, penulis akan menanggapi lebih dulu argumen formal yang mendukung PT dan kontra dengan argumen substantif penulis.

a. Catatan Terhadap Argumen Formal

Ketiga argumen formal yang mendukung PT hanya melihat permasalahan penerapan PT secara sederhana, sehingga tidak menjangkau permasalahan-permasalahan spesifik dari konsekuensi penerapan PT yang sangat substansial. Cara pandang argumen formal yang sederhana atau dapat dikatakan pemikiran yang dangkal terhadap konsekuensi penerapan PT dapat terlihat dari bagaimana argumen formal memandang hilangnya suara dalam sebuah kompetisi merupakan kondisi yang lazim terjadi. Pola pemikiran argumen formal hanya mencakup hal-hal yang bersifat umum seperti melihat DPR hanya dari segi kelembagaan maka jelas bahwa secara umum DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Hal yang demikian inilah yang penulis katakan bahwa argumen formal tersebut merupakan suatu kumpulan alasan yang sangat sederhana, justru hal yang sangat subtansial tidak dapat dijabarkan oleh argumen formal itu sendiri.

Argumen formal hakikatnya hanya menjabarkan suatu masalah pada posisi netral sehingga tidak menggali nilai-nilai substantif dari suatu permasalahan yang sebenarnya perlu untuk menjadi perhatian khusus. Argumen formal yang digunakan untuk mendukung PT sangatlah dangkal dalam menganalisa

masalah-masalah yang timbul akibat dari penerapan PT. Argumen formal tidak melihat apabila PT diterapkan maka akan berdampak serius pada pelanggaran prinsip-prinsip fundamental yang seharusnya dipertahankan. Sifat argumen formal yang dangkal dapat terlihat dari cara memandang kompetisi dalam Pemilu hanya sebatas persaingan antara partai politik, tetapi argumen formal tidak melihat bahwa dalam Pemilu juga terdapat persaingan antar caleg untuk memenuhi BPP. Argumen formal sangatlah sederhana bahkan cenderung dangkal dalam menjelaskan permasalahan di atas, terlebih argumen formal telah memisahkan persaingan antara partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu sehingga terkesan bahwa dalam Pemilu yang ada hanya persaingan antara partai politik tanpa melibatkan caleg.

Selain memisahkan persaingan partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu, argumen formal juga dapat membahayakan demokrasi. Sejatinya ide dasar dari demokrasi perwakilan yaitu sistem politik harus mewakili secara keseluruhan, akan tetapi kenyataannya ide dasar demokrasi yang mengharuskan perwakilan keseluruhan tidak dapat sepenuhnya diterapkan sehingga mensyaratkan seorang wakil harus memenuhi BPP untuk dapat menjadi wakil di parlemen. Syarat BPP ini mutlak dipenuhi oleh seorang caleg agar dapat menjalankan prinsip perwakilan.

Namun argumen formal telah mencederai prinsip keterwakilan karena argumen formal telah menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP. Tindakan menyingkirkan caleg yang memenuhi BPP ini bertentangan dengan sistem pemilihan terbuka dalam pemilu. Dalam sistem terbuka, rakyat tidak lagi memilih partai politik mana yang akan mewakili mereka di parlemen, tetapi rakyat telah

memilih orang (caleg dari suatu partai politik) yang nantinya akan mewakili mereka di parlemen. Prinsip ini yang seharusnya dipertahankan dalam sistem proporsional pemilu kita. Sayangnya caleg yang lolos BPP ini tidak beruntung karena partai politik yang mencalonkannya tidak mencapai PT dan di sisi lain UU pemilu legislatif mengatur PT. Oleh karena itu, caleg yang memenuhi BPP hakikatnya harus duduk menjadi wakil di parlemen. Kondisi ini yang seharusnya konsisten dengan prinsip demokrasi, bukan dengan argumen formal yang melegalkan PT.

Dari catatan terhadap argumen fomal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa argumen formal tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mendukung PT karena tidak menganggap serius permasalahan dibalik penerapan PT. Oleh karena itu, penulis menyatakan tidak setuju dengan ketiga argumen formal yang digunakan untuk mendukung berlakunya PT dalam rangka penyederhanaan partai politik. Argumen formal tidak dapat mencakup hal substansial dari pemberlakuan PT, sehingga menurut penulis ketiga argumen formal tersebut hanya bersifat formalitas sehingga tidak dapat menjangkau hal yang substantif yaitu keterwakilan minoritas. Terkait dengan permasalahan di atas, penulis telah melakukan tiga penyangkalan terhadap argumen formal yang mendukung PT.

Penyangkalan pertama yang dilakukan oleh penulis yaitu meskipun anggota DPR merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen. Pembentukan wakil rakyat merupakan proses dimana konstituen memberikan mandat kepada wakilnya dan wakil tersebut mengambil keputusan atas nama konstituen, serta akuntabel dan

responsif pada konstituen.131 Dengan begitu para wakil rakyat dengan sendirinya akan bertindak dengan mempertimbangkan aspirasi dari konstituen yang diwakilinya, sehingga besar kemungkinan keputusan yang mereka buat sedikitnya akan mencerminkan aspirasi konstituennya. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Rozaki dkk bahwa; “.... seorang wakil rakyat melakukan tindakan politik yang mencerminkan kehendak atau preferensi dari konstituennya. Preferensi tersebut diperoleh dengan cara tatap muka secara langsung ....”132

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anggota DPR dalam melakukan tindakan politik sedikitnya harus mencerminkan kehendak konstituen yang didapat melalui pertemuan langsung kepada konstituennya untuk menyerap aspirasi mereka sehingga secara tidak langsung para anggota DPR tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya.

Kemudian terdapat pembagian dua konsep perwakilan rakyat dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili, yakni:133

1. Perwakilan dengan tipe delegasi (mandat) yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili. Ia harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil rakyat terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki kebebasan berbicara lain daripada yang dikehendaki konstituennya. Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki kontak secara langsung dan kontinu dengan konstituen. Hubungan ini diperlukan untuk menjaga ketersambungan aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai dua pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.

131

Abdur Rozali dkk., Menuju Representasi Susbtantif: Potret Representasi Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Penerbit IRE (Institute for Research and Empowerment), Yogyakarta, 2014, h. 20.

132

Ibid., h. 21. 133

Charles Simabura, Parlemen Indonesia: Lintas Sejarah dan Sistemnya, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 24-25.

2. Perwakilan dengan tipe trustee (independent) berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgment). Wakil rakyat memiliki kebebasan untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan nasional. Jika terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan nasional, dengan tetap memerhatikan aspirasi rakyat. Wakil rakyat tidak terikat secara mutlak dengan rakyat sehingga ia bebas bertindak ....

Dari dua hubungan tersebut, maka yang lebih mencerminkan hubungan anggota DPR dengan kontituen serta memperkuat argumen penulis adalah perwakilan dengan tipe trustee (independent). Perwakilan tipe trustee ini terbentuk atas dasar kepercayaan, sehingga para anggota DPR mewakili kepentingan nasional tetapi tetap harus memperhatikan aspirasi konstiuen. Selanjutnya terdapat empat tipe hubungan antara wakil dan yang diwakili, yakni:134

1. Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

2. Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikan.

3. Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

4. Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang mencalonkannya.

Berdasarkan keempat tipe di atas, penulis berpendapat bahwa tipe wakil sebagai

politico lebih tepat untuk menggambarkan hubungan antara anggota DPR dan konstituennya. Tipe wakil sebagai politico sesuai untuk memperkuat argumen

134

Ibid., dikutip dari Abdi Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Pasca-Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Fokusmedia, Bandung, 2007, h. 56.

penulis karena para anggota DPR dalam melakukan tugas adakalanya bertindak sebagai wakil seluruh rakyat, namun di sisi lain tetap harus memperhatikan aspirasi kontituen. Seperti halnya pada masa reses, dimana para anggota DPR melakukan pekerjaan di luar gedung DPR, menjumpai kontituen di Dapil masing-masing yang bertujuan menjaring dan menampung aspirasi konstituen. Di samping wakil rakyat tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya, para wakil rakyat sejatinya bukan wakil semua rakyat melainkan wakil partai politik yang mencalonkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Abdi Yuhana bahwa:

“.... wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil bertindak sesuai

dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang

mencalonkannya.”135

Kemudian yang kedua adalah argumen penulis yang menyatakan bahwa terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg telah memenuhi BPP tetapi partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di parlemen diakibatkan berlakunya PT. Pendapat penulis di atas diperkuat oleh pendapat M. Akil Mochtar bahwa:

Penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness)

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold.136

Kemudian lebih lanjut M. Akil Mochtar memperjelas akibat penerapan PT, yakni:

Parliamentary threshold, mengakibatkan tidak terpilihnya seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat walaupun

135 Ibid. 136

Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 106.

perolehan suaranya diperoleh secara sempurna melampaui ambang batas yang ditentukan dari harga sebuah kursi di daerah pemilihan (Dapil) yang sesungguhnya juga merupakan threshold

di tingkat daerah pemilihan, tetapi partainya akan terus menjadi peserta pemilihan umum berikutnya.137

Pendapat di atas memperlihatkan penerapan PT berakibat tidak terpilihnya calon anggota DPR yang sebenarnya telah memenuhi harga sebuah kursi di Dapil tetapi hanya karena pemberlakuan PT, partainya selalu akan menjadi peserta Pemilu dan tidak akan mendapatkan kursi di parlemen.

Argumen penulis yang menyatakan bahwa pemberlakuan PT akan menghambat seorang calon yang telah memenuhi BPP, diperkuat kembali oleh pendapat Pipit Rochiyat Kartawidjaja, yakni:

“ .... sebab dengan ditetapkannya ambang batas, calon anggota

legislatif di suatu Dapil akan tidak terpilih karena secara nasional partai politiknya tidak lolos ambang batas 2,5 % (dua koma lima perseratus), meskipun di Dapilnya perolehan suaranya melebihi partai-partai politik yang lolos ambang batas”.138

Dari dissenting opinion dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa PT mengakibatkan calon anggota DPR yang perolehan suaranya melampaui BPP tidak akan menduduki kursi di parlemen karena partainya tidak mampu mencapai besaran PT yang ditentukan pembentuk undang-undang.

Selanjutnya argumen penulis ketiga yang menyatakan meskipun unsur

fairness UU Pemilu Legislatif terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas. Pengaturan PT merupakan skenario mayoritas DPR untuk menyingkirkan

137

Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 139.

138

Keterangan ahli Pipit Rochiyat Kartawidjaja di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 29 Januari 2009 dan tanggal 4 Februari 2009 pada Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 100.

minoritas dalam hal ini caleg yang lolos BPP. Pengaturan PT merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas yang dilakukan secara halus atas dasar alasan rasional yaitu kebijakan legislatif terbuka pembentuk undang-undang yang kewenangannya didelegasikan oleh UUD NRI 1945. Pengaturan PT ini tidak adil karena diciptakan oleh keputusan mayoritas sehingga besar kemungkinan hak-hak minoritas ditiadakan. Oleh karena itu, untuk melindungi minoritas dari tirani mayoritas perlu diberlakukan prinsip majority rule minority rights.139 Prinsip

majority rule minority rights sangat tepat dijadikan batasan bagi mayoritas untuk mengambil keputusan. Dengan diterapkannya prinsip ini, maka pemerintahan yang dijalankan oleh mayoritas tidak akan menghilangkan hak-hak minoritas dalam hal ini keterwakilan politik minoritas.

b. Hakikat Keterwakilan Minoritas dalam Demokrasi Perwakilan

Secara konseptual, demokrasi mengandung pengertian pemerintahan yang dijalankan sendiri oleh rakyat (self goverment). Pada masa dahulu demokrasi dalam pengertian tersebut dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat karena bentuk susunan negara pada saat itu tergolong sederhana dan jumlah rakyat termasuk kecil belum sebesar polulasi rakyat pada masa kini. Berlangsungnya demokrasi langsung ini pada masa dahulu didukung oleh masalah kenegaraan yang tidak begitu rumit. Kondisi negara sekarang yang berkembang dan mengarah pada negara modern, ditandai dengan daerah suatu negara yang bertambah luas dan jumlah populasi rakyat yang semakin banyak serta tersebar diseluruh pelosok

139

Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, Op.Cit., h. 48, dikutip dari Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011, h. 51.

negara, sehingga dapat dimengerti apabila demokrasi langsung tidak dapat diterapkan secara mutlak sebagaimana pada masa Yunani kuno.140

Demikian rumitnya persoalan negara serta semakin luas negara dan banyaknya populasi rakyat, maka diperlukan sistem demokrasi yang tetap mempertahankan nilai dari demokrasi itu sendiri yaitu melalui sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan ini dirasa penulis lebih tepat untuk menjalankan sistem pemerintahan Indonesia. Demokrasi perwakilan merupakan sebuah sistem dimana rakyat menunjuk wakil-wakilnya yang menjadi kepercayaannya untuk membawakan kemauan rakyat di dalam pemerintahan.141 Kemudian wakil-wakil inilah yang nantinya akan bertindak untuk dan atas nama rakyat dalam masalah-masalah pemerintahan. Para wakil ini tentunya harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk menjadi wakil di pemerintahan.

Idealnya dalam negara demokrasi semua orang harus terwakili dalam urusan politiknya, akan tetapi konsep tersebut tidak mungkin dapat terwujud secara mutlak. Konsep di atas tidak mungkin terjadi dikarenakan penentuan wakil-wakil rakyat harus melalui kompetisi bernama Pemilu. Proses kompetisi untuk menentukan wakil tersebut dijustifikasi oleh sistem pemilihan sebagai salah satu ciri khas sebuah negara yang diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi. Sistem pemilihan melalui kompetisi memberikan konsekuensi tidak semua rakyat mampu terwakili di parlemen. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari dianutnya asas demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi perwakilan

140

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara,Op.Cit., h. 23. 141

akan sempurna apabila penyelenggaraan suatu negara berjalan secara demokratis melalui wakil-wakil yang mewakili seluruh rakyat.

Sistem pemilihan yang digunakan untuk menentukan wakil dalam demokrasi perwakilan menciptakan sebuah kondisi dimana terdapat pihak pemenang pada satu sisi dan pihak yang kalah pada sisi lain. Hasil dari proses Pemilu tersebut merupakan hal yang lazim terjadi dan harus diterima sebagai sebuah akibat proses demokrasi yang agak kurang ideal. Sebagai akibatnya pihak yang kalah melalui proses kompetisi tidak akan terwakili di parlemen. Tidak terwakilinya pihak yang kalah (tidak mencapai BPP) adalah adil, manakala melihat kembali ketentuan itu merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari sebuah kompetisi. Pihak yang tidak terwakili karena kalah dalam Pemilu adalah adil sebagai akibat dari wakil yang mereka kehendaki untuk duduk di parlemen tidak dapat bersaing dengan wakil lainnya untuk memenuhi BPP.

Namun pada sisi lain tidak terwakilinya rakyat di parlemen tidak serta-merta terjadi karena kalah secara adil melalui proses Pemilu. Tidak terwakilinya kebebasan politik mereka dikarenakan oleh penerapan PT sebagai mekanisme yang digunakan untuk menentukan wakil yang duduk di parlemen. PT menimbulkan permasalahan serius bagi tidak terpilihnya seorang wakil (memenuhi BPP) karena partai politik yang mencalonkannya tidak mampu bersaing memenuhi PT. Permasalahan lainnya penerapan PT sebagai penentuan wakil manakala dihadapkan pada sistem proporsional dengan sistem daftar terbuka dimana rakyat langsung memilih nama wakil yang diharapkan mewakili mereka, bukan lagi memilih partai politik. Sistem pemilihan terbuka mengandung pengertian bahwa rakyat telah memberikan harapannya kepada wakil (memenuhi

BPP), tetapi harapannya dipatahkan oleh kenyataan bahwa wakil yang ia pilih gagal duduk di parlemen karena terbentur oleh penerapan PT.

Dalam sistem demokrasi perwakilan idealnya semua elemen rakyat harus terwakili tanpa terkecuali, akan tetapi hakikat ideal demokrasi tersebut tidak mungkin dapat diterapkan. Tidak dapat terwakilinya seluruh rakyat mengingat bahwa jumlah rakyat yang besar tidak sebanding dengan wakil yang ada. Selanjutnya untuk tetap menjamin perwakilan yang ideal, pembentuk undang-undang menetapkan PT sebagai tolak ukur perwakilan yang ideal. Namun PT menimbulkan akibat perubahan kursi bahkan hilangnya kursi caleg yang telah memenuhi BPP sehingga kursi tersebut digantikan oleh caleg yang sebenarnya secara perhitungan hanya mendekati BPP atau jauh dari BPP, tetapi caleg tersebut diusung oleh partai politik yang memenuhi PT. Apabila syarat untuk menentukan seorang wakil berdasarkan partai politik yang lolos PT, ada resiko terlalu besar bagi caleg yang memenuhi BPP tetapi akhirnya gagal duduk di parlemen. Kondisi ini justru bertentangan dengan prinsip keterwakilan yang ideal.

Oleh karena itu, agar demokrasi perwakilan dapat berlangsung secara ideal dimana ide persamaan dan kebebasan berpolitik setiap individu tetap dijamin eksistensinya, maka perlu mekanisme untuk mewadahi keterwakilan politik mereka. Keterwakilan yang ideal yaitu manakala semua caleg yang memenuhi BPP harus duduk sebagai wakil di parlemen. Mekanisme BPP ini yang seharusnya diterapkan untuk menentukan wakil, bukan dengan menerapkan PT. Menjamin keterwakilan dengan mekanisme BPP adalah pilihan yang tepat, mengingat caleg yang bersangkutan telah mendapatkan dukungan dari konstituen dan memenuhi BPP sehingga caleg yang bersangkutan memperoleh kursi di parlemen.

Keterwakilan dengan BPP menjamin peluang lebih besar keterwakilan bagi rakyat di parlemen. Jaminan prinsip keterwakilan ini tidak akan dapat diwujudkan apabila menggunakan PT. PT justru bertentangan dengan perlindungan minoritas terutama keterwakilan politiknya karena para wakil tersebut memenuhi angka BPP, tetapi seorang wakil tidak akan duduk di parlemen dikarenakan partainya tidak lolos PT. Kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan demokrasi perwakilan dalam sistem demokrasi untuk menjamin representasi yang mendekati sempurna.

Kemudian berkaitan dengan efektifnya fungsi partai politik dalam sistem demokrasi, penulis sependapat dengan kebijakan pembentuk undang-undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik, tetapi bukan dengan menetapkan PT. Penyederhanaan partai politik tetap harus sejalan dengan ide demokrasi yaitu persamaan, kebebasan, dan perlindungan minoritas. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi ketika sebuah negara menghendaki penyederhanaan partai politik. Apabila penyederhanaan partai politik tetap dilakukan dengan PT, maka akan bertentangan dengan sistem daftar terbuka sekaligus mencederai konstituen yang telah memilih seorang wakil untuk menyampaikan aspirasinya di parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik tidak boleh dilakukan dengan merubah posisi kursi yang telah didapat seorang caleg (memenuhi BPP) agar tidak mencederai kontituen yang telah memilih caleg yang bersangkutan.

PT hakikatnya ditujukan untuk menyederhanakan partai politik yang ada di parlemen untuk mencegah kegaduhan di parlemen. Namun kebijakan PT ini sangatlah janggal karena pada kenyataannya kegaduhan yang terjadi di DPR itu bukan diakibatkan oleh banyaknya partai politik di parlemen, tetapi lebih tepatnya diakibatkan oleh banyaknya fraksi di DPR sehingga mengakibatkan tidak

efektifnya kinerja parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik lebih baik dilakukan di parlemen dengan kebijakan ambang batas pembentukan fraksi

(fractional threshold).142 Ambang batas pembentukan fraksi merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik dari pada PT karena dengan ambang batas pembentukan fraksi tidak ada suara yang hilang dan FT tidak menyingkirkan caleg yang lolos BPP untuk menjadi wakil di parlemen.

142

Dalam dokumen T1 312012040 BAB III (Halaman 26-39)

Dokumen terkait