• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 312012040 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 312012040 BAB III"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

35

AMBANG BATAS PARLEMEN

(PARLIAMENTARY

THRESHOLD)

DAN ASAS KETERWAKILAN MINORITAS

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditujukan untuk pemilihan anggota DPR, bertujuan untuk penyederhanaan partai politik. Dalam perjalanannya terdapat pengujian mengenai konstitusionalitas kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang dilakukan oleh MKRI. Pengujian tersebut menghasilkan keputusan bahwa kebijakan ambang batas perlemen (parliamentary threshold) adalah konstitusional. Pendapat MKRI tersebut tidak substantif karena tidak mempertimbangkan adanya prinsip perlindungan minoritas. Pemberlakuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dapat dipandang sebagai sebuah skenario yang dilakukan oleh mayoritas agar jumlah partai politik sedikit sehingga berimplikasi pada berkurangnya persaingan terbuka untuk dapat menduduki kursi DPR. Berdasarkan uraian mengenai tidak adanya perlindungan minoritas dalam penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), maka dalam bab ini penulis hendak menegaskan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold)

bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

(2)

ambang batas parlemen (parliamentary threshold) bagi pemilihan anggota DPR (infra Sub-judul B). Ketiga, memaparkan mengenai pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mempertahankan konstitusionalitas ambang batas parlemen (parliamentary threshold) (infra Sub-judul C). Keempat, mengemukakan argumen untuk mengkritisi penerapan ambang batas parlemen yang bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas.

A.

Ambang Batas Parlemen

(Parliamentary Threshold)

dalam

Undang-Undang Pemilu Legislatif

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Indonesia mengalami beberapa peningkatan sejalan dengan perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu Legislatif. Ketentuan mengenai ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) dan ruang lingkup pemberlakuannya pertama kali tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) pada Pasal 202 Ayat (1) dan (2) yang manyatakan bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.91

Kemudian implikasi dari ditetapkannya ambang batas parlemen tersebut

(parliamentary threshold) tertuang dalam Pasal 203 Ayat (1) menyatakan bahwa;

91

(3)

“Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1), tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di masing-masing daerah pemilihan.”92 Lebih lanjut lagi dalam UU Pemilu Legislatif Nomor 10 Tahun 2008, menjelaskan fungsi dari ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai unsur penetapan angka BPP dalam Pasal 203 Ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa:

Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud`dalam Pasal 202 ayat (1).93

Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.94

Perkembangan partai politik yang begitu pesat menyebabkan perubahan terhadap besarnya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tersebut menjadi 3,5 % dari jumlah suara nasional dalam pasal 208 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.95

92

Pasal 203 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

93

Pasal 203 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

94

Pasal 203 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

95

(4)

Kemudian ketentuan lain yang menjadi konsekuensi adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah pasal 209 Ayat (1) yang mengatakan bahwa:

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan.96

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) yang menggunakan ambang batas parlemen sebagai unsur pengitungan BPP terdapat dalam pasal 209 Ayat (2) dan (3) UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa:

Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD, provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan sebagaimana dimaksud dalam pasal 208.97

Dari hasil penghitungan suara sah yang diperoleh Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan cara membagi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan.98

Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 5316). Dalam penjelasan pasal demi pasal, yang

dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan suara DPR,

(5)

B.

Alasan Penerapan Ambang Batas Parlemen

(Parliamentary

Threshold)

dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif

Kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sejatinya merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah maupun DPR untuk menyederhanakan partai politik dalam rangka mencapai efisiensi partisipasi partai politik dalam pemerintahan. Seperti yang tertuang dalam penjelasan umum Undan-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU Pemilu Legislatif) yang menyatakan bahwa:

Kriteria penyusunan daerah pemilihan, ambang batas parlemen

(Parliamentary Treshold), sistem Pemilu Proporsional, konversi suara menjadi kursi, penetapan calon terpilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Perubahan-perubahan ini dilakukan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensiil sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.99

Penerapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) merupakan suatu instrumen yang secara alami terjadi pada suatu negara. Untuk menjelaskan alasan kemunculan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Indonesia, maka penulis akan menguraikan lebih lanjut keterangan pemerintah dan DPR terkait penetapan ambang batas parlemen (parliamentary threshold)

dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif sebagai berikut:

99

(6)

1. Keterangan Pemerintah

Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, pemerintah memberikan keterangan munculnya ambang batas parlemen yakni:

Bahwa penyempurnaan sistem kepartaian mutlak dilakukan dalam rangka penyelenggaraan Pemerintah yang efektif dan produktif, serta menciptakan stabilitas politik. Apabila penyederhanaan partai dapat terwujud, maka akan tercipta iklim pemerintahan yang kuat, tegas, bersih, berwibawa, bertanggung jawab, dan transparan, sehingga bangsa Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensinya untuk menjadi bangsa yang besar, damai, dan bermatabat. Kebijakan terkait pemberlakuan PT secara nasional diharapkan dapat menciptakan sinergitas program yang dijalankan pemerintah pusat dan daerah.100

Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD kabupaten/kota dengan ambang batas perolehan suara sah secara nasional memberikan kebebasan partai politik untuk berkompetisi secara sehat dalam penyelenggaraan Pemilu 2014, untuk mendapatkan suara rakyat cara mudah untuk menentukan partai politik mana yang terpilih secara nasional, untuk menghindari adanya persoalan-persoalan sengketa Pemilu. Hal tersebut merupakan legal policy yang didelegasikan oleh Pasal 22E ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan tersebut yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945.101

Kemudian lebih lanjut dijelaskan semangat diberlakukannya ambang batas parlemen secara nasional yakni:

“.... semangat memerlukan PT secara nasional adalah untuk

membentuk partai politik yang bersifat nasional, baik secara kesekretariatan, maupun keterwakilan di DPR, dan DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, partai politik dapat secara efektif memperjuangkan dan membela kepentingan politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan PT secara nasional dalam Pasal 208 UU 8/2012 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1)

100

Keterangan Pemerintah Nomor 9 dan 10 dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h. 36.

101

(7)

dan (3) UUD 1945 karena setiap orang warga negara dan partai politik peserta pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama, mulai kompetisi secara demokratis dalam Pemilu 2014 yang merupakan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia ke depan.”102

Dari keterangan pemerintah tersebut terlihat bahwa ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) diperlukan sebagai instrumen penyederhanaan partai politik yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas politik yang nantinya akan memberikan kekuatan, kewibawaan, dan martabat bagi pemerintah. Ambang batas parlemen secara nasional diperlukan untuk menciptakan kompetisi yang sehat antar partai politik serta mempermudah penetapan partai politik terpilih dan menghindari sengketa Pemilu. Tujuan lain diberlakukannya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah sebagai alat untuk mensinergikan partai politik di pusat dan daerah sehingga partai politik secara efektif memperjuangkan serta membela kepentingan politik secara penuh. Pemerintah beranggapan bahwa Pasal 208 UU Pemilu Legislatif Nomor 8 Tahun 2012 sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar HAM karena setiap warga negara dan partai politik peserta pemilu diperlakukan sama.

2. Keterangan DPR RI

Dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif, DPR memberikan keterangan munculnya ambang batas parlemen yakni:

Sejatinya, Pasal 208 UU 8/12 tersebut merupakan sebuah upaya dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan partai politik yang bersifat nasional. Hal tersebut sama sekali tidak mengebiri kehadiran partai yang bersifat lokal. Pemberlakuan treshold

102

(8)

bersifat nasional ini merupakan ikhtiar DPR bersama Pemerintah dalam menciptakan harmoni dan keterpaduan antara parlemen tingkat pusat dan daerah.103

Sebab sebuah parpol tidak mudah untuk dapat lolos angka PT jika tidak mendapat dukungan rakyat dalam pemilu. Sebuah parpol tidak cukup hanya dengan modal lolos syarat administratif untuk ikut pemilu, tetapi syarat pengakuan dukungan rakyatlah yang terpenting. Hal itu terlihat nyata dalam syarat lolos PT.104

Kemudian keterangan lebih lanjut dari DPR mengenai tujuan dari ambang batas parlemen yakni:

“.... niat awal penerapan treshold adalah demi tercapai efisiensi dan efektivitas sistem keparlemenan. Pembahasan tentang hal ini merupakan bentuk dari keseriusan dalam menciptakan sistem pemilu yang lebih baik dan mendorong partai politik bekerja lebih baik demi kepentingan rakyat banyak sehingga semakin memperoleh kepercayaan rakyat dalam pemilu. Harapan kita agar rakyat tidak bingung dengan terlalu banyaknya parpol sebagaimana yang dikeluhkan saat ini dan mendorong setiap partai politik peserta Pemilu untuk mengkonsolidasikan setiap kegiatan dan programnya dan menyampaikannya kepada rakyat dalam kampanye.”105

Pendapat DPR RI di atas memperlihatkan bahwa tujuan awal diberlakukannya ambang batas parlemen, yaitu untuk mencapai efisiensi dan efektivitas sistem keparlemenan. DPR RI berpendapat bahwa ambang batas parlemen cocok untuk mendorong partai politik bekerja demi kepentingan rakyat. Kemudian ambang batas parlemen menurut DPR RI dapat menjadi solusi bagi kebingungan rakyat sebagai akibat dari banyaknya partai politik. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sejatinya merupakan wujud nyata pengakuan rakyat kepada partai politik peserta pemilu.

103

Keterangan DPR RI huruf b dan c dalam Putusan MKRI Nomor 51/PUU-X/2012., h. 44-45.

104

Keterangan DPR RI huruf b dalam Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 73. 105

(9)

Keterangan antara pemerintah dan DPR RI memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal fungsi diberlakukannya ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Pemerintah beranggapan bahwa ambang batas parlemen diperlukan untuk membentuk partai politik yang bersifat nasional guna memperjuangkan dan membela kepentingan politik di tingkat pusat dan daerah. Sedangkan DPR RI beranggapan bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold) digunakan untuk menciptakan partai politik yang bekerja demi kepentingan rakyat untuk mendapat kepercayaan rakyat.

C.

Pendapat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang

Mempertahankan

Konstitusionalitas

Ambang

Batas

Parlemen

(Parliamentary Threshold)

Permasalahan penerapan ketentuan ambang batas parlemen di Indonesia mengahadapi beberapa tantangan dari individu yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh adanya ambang batas parlemen tersebut. Mereka beranggapan bahwa ketentuan ambang batas parlemen telah melanggar konstitusi Pasal 28D Ayat (3) bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

dalam pemerintahan.”, dan Pasal 28E Ayat (3) bahwa “setiap orang berhak atas

(10)

batas parlemen pada putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009 berlaku mutatis mutandis terhadap pertimbangan hukum putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012 yang mengatakan bahwa:

Mahkamah menyatakan bahwa kebijakan ET tidak diskriminatif karena berlaku untuk semua Parpol, merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka,

yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur

dengan undang-undang”, sehingga menurut MK, baik kebijakan ET maupun PT sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007).106

Selanjutnya MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen hanya mengikat bagi penentuan kursi DPR dan tidak mengikat bagi penentuan kursi DPRD sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya bahwa:

“.... Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat, karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD 1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat). Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif, melainkan justru kebijakan yang proporsional.”107

Kemudian lebih lanjut MKRI berpendapat bahwa ambang batas parlemen tidak melanggar HAM sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukumnya bahwa:

“.... menurut Mahkamah, kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengabaikan prinsip-prinsip

106

Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012., h. 95. 107

(11)

HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan kesempatannya tetap

sama.”108

Kemudian lebih lanjut dalam pertimbangan hukumnya MKRI menjelaskan bahwa:

“.... Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua Parpol Peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari Parpol Peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial, dan lain-lain sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR).”109

Dalam pertimbangan hukumnya, MKRI berkesimpulan bahwa:

Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat.110

Melihat pertimbangan hukum yang diberikan MKRI terhadap konstitusionalitas kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold),

Mahkamah tetap bersikukuh bahwa kebijakan ambang batas parlemen yang

(12)

berlaku untuk DPR sesuai dengan konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR serta kewenangan menentukan besar kecilnya angka PT tersebut berada di tangan DPR sebagai legislator. Ambang batas parlemen tidak mengebiri prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI 1945 karena setiap orang, setiap warga negara, dan setiap partai politik peserta Pemilu diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui Pemilu yang demokratis. Ambang batas parlemen

(parliamentary threshold) sama sekali tidak mengandung sifat dan unsur-unsur yang diskriminatif, karena selain berlaku secara objektif bagi semua partai politik peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR dari partai politik peserta Pemilu, tanpa kecuali, juga tidak ada faktor-faktor pembedaan ras, agama, jenis kelamin, status sosial.

D.

Ambang

Batas

Parlemen

(Parliamentary

Threshold)

Bertentangan dengan Asas Keterwakilan Minoritas

(13)

bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan HAM sebagai hak dasar setiap warga negara. Oleh karena itu, sebelum merespon ambang batas parlemen bertentangan dengan asas keterwakilan minoritas, penulis akan menjelaskan lebih dulu argumen formal yang mendukung ambang batas parlemen.

Terkait hal di atas, maka dalam Sub-Judul ini penulis akan membahasnya ke dalam tiga bagian. Pertama, membahas mengenai argumen formal terkait ambang batas parlemen. Kedua, menegaskan bahwa keterwakilan minoritas harus dijamin secara khusus, termasuk sebagai argumen untuk menyatakan bahwa PT inkonstitusional. Ketiga, mengargumentasi bahwa ambang batas parlemen tidak mencerminkan keterwakilan minoritas.

1. Argumen Formal Terkait Ambang Batas Parlemen (Parliamentary

Threshold)

(14)

a. DPR sebagai Wakil Rakyat

Semua anggota DPR itu pada dasarnya mewakili seluruh rakyat. Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat A. Hoogerwerf yang mengatakan bahwa; “sesuai dengan model kesatuan, maka di sini anggota parlemen dilihat sebagai wakil

seluruh rakyat.”111

Sri Soemantri dalam bukunya menjelaskan bahwa “Dewan

Perwakilan Rakyat merupakan “tempat” wakil rakyat berada untuk

memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat yang diwakili.”112 Semua anggota DPR memiliki peran penting untuk memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat tanpa terkecuali. Terkait hakikat DPR itu sendiri, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa:

Wakil rakyat adalah juru bicara rakyat, yaitu untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan, dan pendapat rakyat. Parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat tak ubahnya merupakan wadah, dimana kepentingan dan aspirasi rakyat itu diperdengarkan dan diperjuangkan untuk menjadi materi kebijakan dan agar kebijakan itu dilaksanakan dengan tepat untuk kepentingan seluruh rakyat yang aspirasinya terwakili.113

Terpilihnya seluruh anggota DPR merupakan hasil dari suara rakyat yang diberikan kepada mereka yang terpilih. Maka sebagai konsekuensinya, para anggota dewan yang terpilih harus mewakili seluruh rakyat baik dari segi

111

Max Boboy, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Perspektif Sejarah dan Tatanegara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, h. 24, dikutip dari Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Perintis Press, Jakarta, 1985, h. 85-86.

112

Sri Soemantri M, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 2014, h. 197-198.

113

(15)

kehadiran fisik114 maupun atas dasar aspirasi.115 Pandangan tersebut memperlihatkan bahwa para wakil rakyat hakikatnya mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan seperti dikatakan oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa; “badan perwakilan rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu sehingga nantinya menghasilkan para wakil rakyat yang duduk di parlemen mewakili kepentingan umum rakyat

seluruhnya.”116

Jika DPR dilihat dari hakikat kepentingan yang diwakilinya, menurut Jimly Asshiddiqie “Dewan Perwakilan Rakyat mewakili rakyat pada

umumnya dengan orientasi kepentingan nasional.”117

Pendapat para ahli di atas mempertegas kembali bahwa semua anggota DPR merupakan wakil seluruh rakyat; artinya semua anggota DPR harus melayani rakyat tanpa memandang apakah rakyat tersebut berasal dari konstituennya atau bukan. Argumen formal tersebut juga mematahkan anggapan bahwa anggota DPR merupakan wakil konstituen. Bertolak dari pendapat-pendapat para ahli di atas mengenai hakikat parlemen itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa DPR merupakan tempat di mana para wakil rakyat memiliki tugas mendengar aspirasi

114

Ibid., h. 305. Kehadiran fisik merupakan keterwakilan yang bersifat formal; artinya keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di lembaga perwakilan rakyat.

115

Ibid. Perwakilan atas dasar aspirasi merupakan keterwakilan yang bersifat substantif; artinya keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga memengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

116

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945, Penerbit Kencana, Jakarta, 2010, h. 337, dikutip dari Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1983, h. 329.

117

(16)

rakyat yang nantinya akan menghasilkan kebijakan yang arahnya bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum rakyat keseluruhan.

Penulis menyangkal pendapat sebelumnya yang menyatakan bahwa anggota DPR diasumsikan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan. Penulis menyangkal pendapat tersebut atas dasar argumen yaitu meskipun anggota DPR merupakan wakil rakyat secara keseluruhan, tetapi para wakil tersebut tidak mungkin dapat melepaskan diri dari konstituen.

b. Hilangnya Suara Calon yang Memperoleh Suara tetapi Tidak

Memenuhi BPP

Hilangnya suara caleg yang tidak memenuhi BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dikarenakan persaingan antar caleg sehingga dengan demikian suara pemilih yang diberikan kepada caleg tersebut hilang dengan sendirinya merupakan suatu keadaan yang wajar. BPP merupakan angka minimal yang harus dicapai seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR. Setelah jumlah suara sah di suatu daerah pemilihan diketahui, selanjutnya ditentukan BPP dengan cara membagi jumlah suara sah partai politik peserta Pemilu dalam pemilihan dengan berapa kursi yang tersedia untuk satu daerah pemilihan.118 Ketercapaian angka BPP ini penting dalam sistem proporsional untuk penetapan caleg yang akan duduk di kursi DPR. Jika tidak ada caleg yang mampu mencapai angka BPP, maka penetapan siapa yang duduk ditentukan berdasarkan nomor urut dalam

118

(17)

calon partai yang bersangkutan.119 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang caleg untuk dapat duduk di kursi DPR harus memenuhi angka BPP yang telah ditentukan. Hilangnya suara pemilih yang diberikan kepada seorang caleg yang tidak memenuhi BPP dikarenakan kalah persaingan dengan caleg lain adalah hal wajar.

Begitu pula dengan hilangnya suara dikarenakan sebuah partai politik tidak dapat memenuhi PT, hal tersebut merupakan keadaan yang lazim melihat bahwa hilangnya suara tersebut diakibatkan ketidakmampuan sebuah partai politik bersaing dengan partai politik lain yang memenuhi PT. Hilangnya suara dikarenakan seorang caleg tidak memenuhi BPP maupun karena sebuah partai politik tidak lolos PT adalah suatu konsekuensi dari sebuah kompetisi yang bernama Pemilu.

Penulis tidak sependapat dengan argumen sebelumnya, karena menurut penulis para pembentuk undang-undang tidak melihat hal yang substansial dari pemberlakuan PT tersebut. Terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg telah memenuhi BPP tetapi partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di parlemen diakibatkan berlakunya PT.

c. Keterpenuhan Unsur Fairness dalam UU Pemilu Legislatif

UU Pemilu Legislatif sebagai produk DPR yang berfungsi sebagai pedoman untuk pemilihan anggota legislatif memberikan syarat bagi partai politik peserta Pemilu untuk dapat ikut Pemilu maupun syarat untuk mendapatkan kursi di DPR. UU Pemilu Legislatif menjadi produk UU yang sering diperbaharui dan

119

(18)

disempurnakan secara terus menerus menjelang Pemilu Legislatif berlangsung. Penyempurnaan pengaturan ini bertujuan untuk memperketat syarat bagi partai politik untuk dapat bersaing dalam Pemilu Legislatif. Sebagaimana keterangan yang diberikan DPR RI terhadap pasal 208 UU Pemilu Legislatif bahwa;

“Dengan hadirnya ketentuan Pasal 208 ini diharapkan semua parpol peserta

pemilu mempersiapkan lebih baik dan mampu menjadi partai politik yang bersifat

nasional sebagaimana persyaratan dalam Pasal 8.”120

Berdasarkan keterangan pemerintah tersebut maka dapat dilihat bahwa UU Pemilu Legislatif yang memuat ketentuan PT merupakan wujud peringatan sejak dini pemerintah bagi partai politik peserta Pemilu untuk bersaing dalam Pemilu.

Apabila dilihat dari sisi fairness, maka unsur fairness dalam UU Pemilu Legislatif telah terpenuhi. Sebab UU Pemilu Legislatif tersebut telah terbentuk sebelum Pemilu Legislatif dilaksanakan sehingga apabila partai politik tidak dapat memenuhi dan mematuhi semua ketentuan termasuk PT yang terdapat dalam UU tersebut maka sebagai konsekuensinya partai politik tersebut tidak dapat bersaing pada Pemilu Legislatif. Sebagaimana pendapat Zudan Arif Fakhrulloh terhadap ketentuan PT bahwa:

Norma a quo ditetapkan secara priory bukan secara posteriory, artinya norma tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan, sehingga sesungguhnya kapan sebuah partai itu merasa dirinya besar atau kecil justru setelah Pemilu dilaksanakan. Partai politik semuanya diberikan kesempatan sama untuk memperoleh lebih dari 2,5% (dua koma lima perseratus). Konstitusi maupun Undang-Undang Pemilu tidak memberikan batasan bahkan seluruh partai politik dibuka ruang yang sama untuk

120

(19)

berkompetisi mendapatkan lebih dari 2,5% (dua koma lima perseratus).121

Pendapat di atas memperkuat keterpenuhan unsur fairness UU Pemilu Legislatif karena norma PT tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan, sehingga sebelum Pemilu dilaksanakan tidak mengenal adanya partai kecil atau besar. Setelah Pemilu dilaksanakan barulah terlihat mana partai besar yaitu partai yang lolos PT dan partai kecil yaitu partai yang tidak lolos PT. Dengan demikian ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif tidaklah bersifat diskriminatif karena dengan ketentuan tersebut tidak mengebiri kesempatan yang sama bagi partai politik untuk berkompetisi dalam Pemilu untuk mendapatkan suara melebihi PT 2,5%.

Menurut John Rawls, “rasionalitas, kesamaan, dan kebebasan adalah unsur -unsur mendasar dalam konsep keadilan sebagai fairness.”122 Nilai kesamaan yang terkandung dalam UU Pemilu Legislatif telah terpenuhi karena kebijakan PT memperlakukan sama setiap orang dan partai politik peserta Pemilu serta kebijakan PT berlaku secara objektif bagi semua partai politik peserta Pemilu dan keseluruhan para calon anggota DPR tanpa kecuali. Kemudian terkait kebebasan, ketentuan mengenai ambang batas parlemen tersebut telah memenuhi unsur kebebasan dari keadilan sebagai fairness karena PT tidak menghilangkan kebebasan setiap orang untuk mendirikan partai politik, tetapi kebijakan PT

121

Keterangan ahli Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, S.H.,MH. di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 4 Februari 2009 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2012, h. 112.

122

(20)

digunakan untuk menyeleksi partai politik yang memperoleh dukungan signifikan untuk mengefektifkan kinerja pemerintah.

Berdasarkan pendapat di atas mengenai keadilan UU Pemilu Legislatif, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan PT dalam UU Pemilu Legislatif telah memenuhi unsur fairness karena ketentuan PT tersebut ditetapkan sebelum Pemilu dilaksanakan. Apabila partai politik tersebut tidak memenuhi PT maka sebagai konsekuensinya partainya tidak disertakan dalam penghitungan kursi DPR. Meskipun unsur fairness terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas.

2. Perlindungan Terhadap Keterwakilan Minoritas Terkait

Pemberlakuan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Keterwakilan minoritas terutama kaitannya dengan keterwakilan politiknya perlu dijamin secara khusus oleh MKRI maupun pembentuk undang-undang. Pembentuk udang-undang dalam rangka penyederhanaan partai politik menggunakan instrumen PT, hal ini sangat disayangkan mengingat PT tidak dapat melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. Kemudian MKRI justru lepas tangan terhadap pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT konstitusional.

(21)

penerapan PT. Kedua, mengemukakan alternatif penyederhanaan partai politik selain menggunakan instrumen PT.

a. Lepas Tangan MKRI Terkait Penerapan Ambang Batas Parlemen

(Parliamentary Threshold)

Pengaturan ambang batas parlemen atau PT menurut penulis tidak dapat melindungi keterwakilan minoritas terutama keterwakilan politiknya. PT akan menghambat keterwakilan politik minoritas karena PT diciptakan oleh lembaga legislatif yang notabene diputuskan secara mayoritas, sehingga resiko yang timbul adalah hak minoritas ditinggalkan. Untuk itu secara tegas dapat penulis katakan bahwa pengaturan PT melambangkan tirani mayoritas terhadap minoritas.

Tirani mayoritas terhadap minoritas diperburuk dengan sikap MKRI yang netral terhadap pengaturan PT atau dengan kata lain MKRI lepas tangan terhadap pengaturan PT yang sebenarnya merugikan minoritas. Bentuk lepas tangan MKRI terhadap pengaturan PT tersebut dapat dilihat dari argumen MKRI yang menyatakan bahwa pengaturan PT merupakan ranah kebijakan legislatif terbuka, yakni:

“.... kebijakan ET tidak diskriminatif karena berlaku untuk

semua Parpol, merupakan kebijakan pembentuk Undang-Undang (legal policy) yang diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang sifatnya sangat terbuka, yaitu “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”, sehingga menurut MK, baik kebijakan ET maupun PT sama konstitusionalitasnya (vide Putusan Nomor 16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007).”123

Kemudian lebih lanjut:

123

(22)

“.... dengan demikian, ketentuan selebihnya yang berkaitan dengan Pemilu, misalnya tentang sistem Pemilu, Daerah Pemilihan, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, dan sebagainya, oleh UUD 1945 didelegasikan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya dalam Undang-Undang secara bebas sebagai kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, sudah barang tentu sepanjang tidak menegasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UUD 1945, seperti prinsip kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non diskriminasi .…”124

Pada putusannya, MKRI cenderung lepas tangan terhadap pengaturan PT dan menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang sebagai kebijakan legislatif terbuka, yakni:

“Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun

PT, ... Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan

rasionalitas ....”125

Sikap netral atau lepas tangan MKRI pada putusan di atas terhadap PT dengan menyerahkan sepenuhnya kepada badan legislatif merupakan suatu kesalahan. MKRI seharusnya dapat bertindak sebagai lembaga yudisial yang memiliki kapasitas untuk melindungi hak minoritas kaitannya dengan keterwakilan politik minoritas.

PT merupakan produk badan legislatif yang hakikatnya bertujuan untuk penyederhanaan partai politik. Pembatasan PT menurut DPR perlu dilakukan untuk mengurangi banyaknya partai politik yang tidak memperoleh dukungan

124

Putusan MKRI Nomor 52/PUU-X/2012, h. 96. 125

(23)

signifikan dari rakyat sehingga berimplikasi pada kurang efektifnya kinerja pemerintah. Seperti halnya keterangan pemerintah terkait tujuan PT bahwa:

Perubahan sistem Pemilu dari electoral threshol (ET) ke sistem

parliamentary threshold (PT) merupakan upaya Pemerintah bersama DPR untuk menciptakan sistem multi partai yang sederhana. Semangat perubahan sistem tersebut antara lain adalah guna menciptakan sistem presidensial yang efektif.126 Selanjutnya ditegaskan pula oleh MKRI bahwa:

“Melalui kebijakan PT ini, tampaknya pembentuk Undang-Undang (DPR dan Pemerintah) bermaksud menciptakan sistem kepartaian sederhana melalui pengurangan jumlah Parpol yang dapat menempatkan wakilnya di DPR, berubah dari cara sebelumnya dengan kebijakan ET yang bermaksud mengurangi jumlah peserta Pemilu ....”127

Menurut penulis pembatasan melalui PT tidak dapat dilakukan karena akan berakibat pada tidak terwakilinya minoritas terutama keterwakilan politiknya. Alasan rasional bahwa PT tidak dapat diterapkan karena PT dibentuk oleh badan legislatif yang prosedur pengambilan keputusannya didasarkan oleh keputusan mayoritas. Dengan demikian keputusan yang diambil oleh mayoritas menimbulkan resiko diabaikannya hak-hak minoritas.

Sebenarnya kondisi tirani mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan PT dapat dicegah oleh MKRI. Namun MKRI justru melewatkan kesempatan untuk mengoreksi pengaturan PT dengan mengatakan bahwa PT adalah konstitusional. Pernyataan konstitusional tersebut dapat dilihat dari putusan MKRI bahwa:

“.... ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstitusi

126

Keterangan Pemerintah Nomor 8 dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 111.

127

(24)

karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik

rakyat.”128

Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa MKRI menyetujui tirani mayoritas terhadap minoritas melalui pengaturan PT dengan bentuk pernyataan MKRI bahwa ketentuan PT adalah konstitusional.

b. Alternatif Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Masih Terbuka

Selain dengan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold)

Walaupun penulis tidak sependapat dengan pembentuk undang-undang yang memilih PT sebagai intrumen penyederhanaan partai politik, namun pada sisi lain penulis sependapat perlunya mekanisme penyederhanaan partai politik. Penyederhanaan partai politik diperlukan untuk menghindari terlalu banyaknya partai politik di DPR serta menstabilkan pemerintahan. Banyaknya partai politik menimbulkan terpecah belahnya kekuatan di DPR sehingga pemerintahan menjadi gaduh dan tidak efektif.

Kondisi ini hanya dapat diminimalisir dengan mekanisme penyederhanaan partai politik, tetapi bukan dengan instrumen PT. Sebuah negara yang menghendaki penyederhanaan partai politik tidak akan gagal hanya karena tidak menggunakan instrumen PT atau dapat dikatakan tanpa PT pun mekanisme penyederhanaan partai politik akan berhasil.

128

(25)

Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa konsekuensi dari dianutnya sistem proporsional adalah penerapan PT sebagai instrumen penyederhanaan partai politik. PT hakikatnya secara universal tidak menjadi masalah penerapannya diberbagai negara dalam usaha penyederhanaan partai politik. Namun penerapan PT menjadi masalah ketika representasi tidak dapat terwujud, lebih khusus representasi minoritas.

Penulis tidak setuju PT digunakan sebagai instrumen untuk penyederhanaan partai politik karena PT akan merugikan pemilih dan caleg yang telah memenuhi BPP. Ketidakadilan PT terutama bagi caleg yaitu terdapat kondisi dimana seorang kandidat secara perhitungan mendapatkan kursi di parlemen tetapi kandidat tersebut kehilangan kursi karena partainya tidak mampu melampaui PT.

Penulis justru setuju dengan alternatif menyederhanakan jumlah fraksi di parlemen melalui pengetatan persyaratan ambang batas pembentukan fraksi

(fractional threshold).129 Alternatif ini dapat diterapkan dengan jalan menyatukan kekuatan di parlemen dalam beberapa fraksi selama kurun waktu 5 tahun. Kemudian fraksi tersebut berisikan partai-partai yang lolos ambang batas pembentukan fraksi, sehingga partai-partai yang tidak mencapai ambang batas pembentukan fraksi harus menggabungkan diri dengan partai yang seideologi yang telah memenuhi ambang batas pembentukan fraksi. Penyederhanaan partai politik dengan FT memberikan dampak positif terhadap tidak adanya suara yang hilang. Dalam FT setiap suara dihargai dan dilindungi, lain halnya dengan PT yang justru menghilangkan suara yang tidak mencapai 3,5%. Koalisi antar partai politik di parlemen tersebut yang kemudian dipandang sebagai bentuk

129

(26)

penyederhanaan partai politik. Selanjutnya dalam hal pengambilan keputusan dalam fraksi, yang mana harus tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi maka diberlakukan musyawarah. Inilah sebenarnya demokrasi yang menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Memberlakukan ambang batas pembentukan fraksi untuk menyederhanakan fraksi di DPR, sejauh ini dapat dipandang sebagai alternatif yang tepat ketimbang

menerapkan PT. Menurut Hanta Yuda, “tujuan utama dari pemberlakuan ambang

batas pembentukan fraksi adalah menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di

parlemen agar proses politik lebih efisien.”130

Ambang batas pembentukan fraksi ini lebih adil karena tidak akan menghilangkan suara pemilih dan caleg. Sebagai contoh, apabila ambang batas pembentukan fraksi ditetapkan sebesar 20% kursi di parlemen, maka akan terdapat 5 fraksi di parlemen. Kemudian 5 fraksi ini yang akan menjalankan proses politik selama 5 tahun secara efisien. Ambang batas pembentukan fraksi tepat karena berfokus untuk bagaimana membuat kinerja parlemen efisien untuk menstabilkan pemerintahan.

3. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) Tidak Mencerminkan Keterwakilan Minoritas

Ambang batas parlemen atau PT merupakan kebijakan yang diambil pemerintah dan DPR dalam rangka penyederhanaan partai politik. PT tersebut memiliki legalitas sebab didukung oleh adanya undang-undang. Selain itu, PT yang menggagalkan partai politik untuk mendudukkan wakil-wakilnya di

(27)

parlemen (setelah memenuhi BPP) karena tidak mampu memenuhi PT, juga didukung oleh argumen formal yang tidak menganggap serius hilangnya keterwakilan minoritas.

Oleh karena itu, sebelum penulis mengargumentasi secara substantif bahwa PT tidak mencerminkan keterwakilan minoritas, penulis akan menanggapi lebih dulu argumen formal yang mendukung PT dan kontra dengan argumen substantif penulis.

a. Catatan Terhadap Argumen Formal

Ketiga argumen formal yang mendukung PT hanya melihat permasalahan penerapan PT secara sederhana, sehingga tidak menjangkau permasalahan-permasalahan spesifik dari konsekuensi penerapan PT yang sangat substansial. Cara pandang argumen formal yang sederhana atau dapat dikatakan pemikiran yang dangkal terhadap konsekuensi penerapan PT dapat terlihat dari bagaimana argumen formal memandang hilangnya suara dalam sebuah kompetisi merupakan kondisi yang lazim terjadi. Pola pemikiran argumen formal hanya mencakup hal-hal yang bersifat umum seperti melihat DPR hanya dari segi kelembagaan maka jelas bahwa secara umum DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Hal yang demikian inilah yang penulis katakan bahwa argumen formal tersebut merupakan suatu kumpulan alasan yang sangat sederhana, justru hal yang sangat subtansial tidak dapat dijabarkan oleh argumen formal itu sendiri.

(28)

masalah-masalah yang timbul akibat dari penerapan PT. Argumen formal tidak melihat apabila PT diterapkan maka akan berdampak serius pada pelanggaran prinsip-prinsip fundamental yang seharusnya dipertahankan. Sifat argumen formal yang dangkal dapat terlihat dari cara memandang kompetisi dalam Pemilu hanya sebatas persaingan antara partai politik, tetapi argumen formal tidak melihat bahwa dalam Pemilu juga terdapat persaingan antar caleg untuk memenuhi BPP. Argumen formal sangatlah sederhana bahkan cenderung dangkal dalam menjelaskan permasalahan di atas, terlebih argumen formal telah memisahkan persaingan antara partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu sehingga terkesan bahwa dalam Pemilu yang ada hanya persaingan antara partai politik tanpa melibatkan caleg.

Selain memisahkan persaingan partai politik dan persaingan antar caleg dalam Pemilu, argumen formal juga dapat membahayakan demokrasi. Sejatinya ide dasar dari demokrasi perwakilan yaitu sistem politik harus mewakili secara keseluruhan, akan tetapi kenyataannya ide dasar demokrasi yang mengharuskan perwakilan keseluruhan tidak dapat sepenuhnya diterapkan sehingga mensyaratkan seorang wakil harus memenuhi BPP untuk dapat menjadi wakil di parlemen. Syarat BPP ini mutlak dipenuhi oleh seorang caleg agar dapat menjalankan prinsip perwakilan.

(29)

memilih orang (caleg dari suatu partai politik) yang nantinya akan mewakili mereka di parlemen. Prinsip ini yang seharusnya dipertahankan dalam sistem proporsional pemilu kita. Sayangnya caleg yang lolos BPP ini tidak beruntung karena partai politik yang mencalonkannya tidak mencapai PT dan di sisi lain UU pemilu legislatif mengatur PT. Oleh karena itu, caleg yang memenuhi BPP hakikatnya harus duduk menjadi wakil di parlemen. Kondisi ini yang seharusnya konsisten dengan prinsip demokrasi, bukan dengan argumen formal yang melegalkan PT.

Dari catatan terhadap argumen fomal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa argumen formal tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mendukung PT karena tidak menganggap serius permasalahan dibalik penerapan PT. Oleh karena itu, penulis menyatakan tidak setuju dengan ketiga argumen formal yang digunakan untuk mendukung berlakunya PT dalam rangka penyederhanaan partai politik. Argumen formal tidak dapat mencakup hal substansial dari pemberlakuan PT, sehingga menurut penulis ketiga argumen formal tersebut hanya bersifat formalitas sehingga tidak dapat menjangkau hal yang substantif yaitu keterwakilan minoritas. Terkait dengan permasalahan di atas, penulis telah melakukan tiga penyangkalan terhadap argumen formal yang mendukung PT.

(30)

responsif pada konstituen.131 Dengan begitu para wakil rakyat dengan sendirinya akan bertindak dengan mempertimbangkan aspirasi dari konstituen yang diwakilinya, sehingga besar kemungkinan keputusan yang mereka buat sedikitnya akan mencerminkan aspirasi konstituennya. Seperti yang dikatakan oleh Abdur Rozaki dkk bahwa; “.... seorang wakil rakyat melakukan tindakan politik yang mencerminkan kehendak atau preferensi dari konstituennya. Preferensi tersebut diperoleh dengan cara tatap muka secara langsung ....”132 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anggota DPR dalam melakukan tindakan politik sedikitnya harus mencerminkan kehendak konstituen yang didapat melalui pertemuan langsung kepada konstituennya untuk menyerap aspirasi mereka sehingga secara tidak langsung para anggota DPR tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya.

Kemudian terdapat pembagian dua konsep perwakilan rakyat dapat dilihat dari sudut pandang hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili, yakni:133

1. Perwakilan dengan tipe delegasi (mandat) yang berpendirian wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat yang diwakili. Ia harus menyuarakan apa saja keinginan rakyat. Wakil rakyat terikat dengan keinginan rakyat dan sama sekali tidak memiliki kebebasan berbicara lain daripada yang dikehendaki konstituennya. Dalam tipe ini wakil rakyat harus memiliki kontak secara langsung dan kontinu dengan konstituen. Hubungan ini diperlukan untuk menjaga ketersambungan aspirasi rakyat dan wakilnya. Wakil rakyat hanya mempunyai dua pilihan mengikuti keinginan mayoritas rakyat atau mundur jika tidak sepakat dengan keinginan tersebut.

131

Abdur Rozali dkk., Menuju Representasi Susbtantif: Potret Representasi Konstituensi dan Komunikasi Politik Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Penerbit IRE (Institute for Research and Empowerment), Yogyakarta, 2014, h. 20.

132

Ibid., h. 21. 133

(31)

2. Perwakilan dengan tipe trustee (independent) berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgment). Wakil rakyat memiliki kebebasan untuk berbuat dan diberikan kepercayaan untuk itu. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh wakil rakyat dalam bertindak lebih mengutamakan kepentingan nasional. Jika terjadi benturan antara kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, maka yang lebih diutamakan adalah kepentingan nasional, dengan tetap memerhatikan aspirasi rakyat. Wakil rakyat tidak terikat secara mutlak dengan rakyat sehingga ia bebas bertindak ....

Dari dua hubungan tersebut, maka yang lebih mencerminkan hubungan anggota DPR dengan kontituen serta memperkuat argumen penulis adalah perwakilan dengan tipe trustee (independent). Perwakilan tipe trustee ini terbentuk atas dasar kepercayaan, sehingga para anggota DPR mewakili kepentingan nasional tetapi tetap harus memperhatikan aspirasi konstiuen. Selanjutnya terdapat empat tipe hubungan antara wakil dan yang diwakili, yakni:134

1. Wakil sebagai wakil; wakil bertindak bebas menurut pertimbangan sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

2. Wakil sebagai utusan; wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili sesuai dengan mandat yang diberikan.

3. Wakil sebagai politico; wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

4. Wakil sebagai partisan; wakil bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang mencalonkannya.

Berdasarkan keempat tipe di atas, penulis berpendapat bahwa tipe wakil sebagai

politico lebih tepat untuk menggambarkan hubungan antara anggota DPR dan konstituennya. Tipe wakil sebagai politico sesuai untuk memperkuat argumen

134

(32)

penulis karena para anggota DPR dalam melakukan tugas adakalanya bertindak sebagai wakil seluruh rakyat, namun di sisi lain tetap harus memperhatikan aspirasi kontituen. Seperti halnya pada masa reses, dimana para anggota DPR melakukan pekerjaan di luar gedung DPR, menjumpai kontituen di Dapil masing-masing yang bertujuan menjaring dan menampung aspirasi konstituen. Di samping wakil rakyat tidak dapat melepaskan diri dari konstituennya, para wakil rakyat sejatinya bukan wakil semua rakyat melainkan wakil partai politik yang mencalonkannya. Sebagaimana dikatakan oleh Abdi Yuhana bahwa:

“.... wakil sebagai partisan; dalam tipe ini wakil bertindak sesuai

dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih begitu proses pemilihan selesai. Wakil hanya terikat kepada partai atau organisasi yang

mencalonkannya.”135

Kemudian yang kedua adalah argumen penulis yang menyatakan bahwa terdapat suatu kemungkinan dimana seorang caleg telah memenuhi BPP tetapi partainya terhambat untuk mendapatkan kursi di parlemen diakibatkan berlakunya PT. Pendapat penulis di atas diperkuat oleh pendapat M. Akil Mochtar bahwa:

Penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness)

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold.136

Kemudian lebih lanjut M. Akil Mochtar memperjelas akibat penerapan PT, yakni:

Parliamentary threshold, mengakibatkan tidak terpilihnya seorang calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat walaupun

135 Ibid.

136

(33)

perolehan suaranya diperoleh secara sempurna melampaui ambang batas yang ditentukan dari harga sebuah kursi di daerah pemilihan (Dapil) yang sesungguhnya juga merupakan threshold

di tingkat daerah pemilihan, tetapi partainya akan terus menjadi peserta pemilihan umum berikutnya.137

Pendapat di atas memperlihatkan penerapan PT berakibat tidak terpilihnya calon anggota DPR yang sebenarnya telah memenuhi harga sebuah kursi di Dapil tetapi hanya karena pemberlakuan PT, partainya selalu akan menjadi peserta Pemilu dan tidak akan mendapatkan kursi di parlemen.

Argumen penulis yang menyatakan bahwa pemberlakuan PT akan menghambat seorang calon yang telah memenuhi BPP, diperkuat kembali oleh pendapat Pipit Rochiyat Kartawidjaja, yakni:

“ .... sebab dengan ditetapkannya ambang batas, calon anggota

legislatif di suatu Dapil akan tidak terpilih karena secara nasional partai politiknya tidak lolos ambang batas 2,5 % (dua koma lima perseratus), meskipun di Dapilnya perolehan suaranya melebihi partai-partai politik yang lolos ambang batas”.138

Dari dissenting opinion dan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa PT mengakibatkan calon anggota DPR yang perolehan suaranya melampaui BPP tidak akan menduduki kursi di parlemen karena partainya tidak mampu mencapai besaran PT yang ditentukan pembentuk undang-undang.

Selanjutnya argumen penulis ketiga yang menyatakan meskipun unsur

fairness UU Pemilu Legislatif terpenuhi, namun secara substantif pengaturan PT tidak adil karena merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas. Pengaturan PT merupakan skenario mayoritas DPR untuk menyingkirkan

137

Dissenting opinion Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dalam Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VII/2009, h. 139.

138

(34)

minoritas dalam hal ini caleg yang lolos BPP. Pengaturan PT merupakan bentuk tirani mayoritas terhadap minoritas yang dilakukan secara halus atas dasar alasan rasional yaitu kebijakan legislatif terbuka pembentuk undang-undang yang kewenangannya didelegasikan oleh UUD NRI 1945. Pengaturan PT ini tidak adil karena diciptakan oleh keputusan mayoritas sehingga besar kemungkinan hak-hak minoritas ditiadakan. Oleh karena itu, untuk melindungi minoritas dari tirani mayoritas perlu diberlakukan prinsip majority rule minority rights.139 Prinsip

majority rule minority rights sangat tepat dijadikan batasan bagi mayoritas untuk mengambil keputusan. Dengan diterapkannya prinsip ini, maka pemerintahan yang dijalankan oleh mayoritas tidak akan menghilangkan hak-hak minoritas dalam hal ini keterwakilan politik minoritas.

b. Hakikat Keterwakilan Minoritas dalam Demokrasi Perwakilan

Secara konseptual, demokrasi mengandung pengertian pemerintahan yang dijalankan sendiri oleh rakyat (self goverment). Pada masa dahulu demokrasi dalam pengertian tersebut dapat dilaksanakan secara langsung oleh rakyat karena bentuk susunan negara pada saat itu tergolong sederhana dan jumlah rakyat termasuk kecil belum sebesar polulasi rakyat pada masa kini. Berlangsungnya demokrasi langsung ini pada masa dahulu didukung oleh masalah kenegaraan yang tidak begitu rumit. Kondisi negara sekarang yang berkembang dan mengarah pada negara modern, ditandai dengan daerah suatu negara yang bertambah luas dan jumlah populasi rakyat yang semakin banyak serta tersebar diseluruh pelosok

139

(35)

negara, sehingga dapat dimengerti apabila demokrasi langsung tidak dapat diterapkan secara mutlak sebagaimana pada masa Yunani kuno.140

Demikian rumitnya persoalan negara serta semakin luas negara dan banyaknya populasi rakyat, maka diperlukan sistem demokrasi yang tetap mempertahankan nilai dari demokrasi itu sendiri yaitu melalui sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan ini dirasa penulis lebih tepat untuk menjalankan sistem pemerintahan Indonesia. Demokrasi perwakilan merupakan sebuah sistem dimana rakyat menunjuk wakil-wakilnya yang menjadi kepercayaannya untuk membawakan kemauan rakyat di dalam pemerintahan.141 Kemudian wakil-wakil inilah yang nantinya akan bertindak untuk dan atas nama rakyat dalam masalah-masalah pemerintahan. Para wakil ini tentunya harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk menjadi wakil di pemerintahan.

Idealnya dalam negara demokrasi semua orang harus terwakili dalam urusan politiknya, akan tetapi konsep tersebut tidak mungkin dapat terwujud secara mutlak. Konsep di atas tidak mungkin terjadi dikarenakan penentuan wakil-wakil rakyat harus melalui kompetisi bernama Pemilu. Proses kompetisi untuk menentukan wakil tersebut dijustifikasi oleh sistem pemilihan sebagai salah satu ciri khas sebuah negara yang diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi. Sistem pemilihan melalui kompetisi memberikan konsekuensi tidak semua rakyat mampu terwakili di parlemen. Kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari dianutnya asas demokrasi perwakilan dalam penyelenggaraan negara. Demokrasi perwakilan

140

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara,Op.Cit., h. 23. 141

(36)

akan sempurna apabila penyelenggaraan suatu negara berjalan secara demokratis melalui wakil-wakil yang mewakili seluruh rakyat.

Sistem pemilihan yang digunakan untuk menentukan wakil dalam demokrasi perwakilan menciptakan sebuah kondisi dimana terdapat pihak pemenang pada satu sisi dan pihak yang kalah pada sisi lain. Hasil dari proses Pemilu tersebut merupakan hal yang lazim terjadi dan harus diterima sebagai sebuah akibat proses demokrasi yang agak kurang ideal. Sebagai akibatnya pihak yang kalah melalui proses kompetisi tidak akan terwakili di parlemen. Tidak terwakilinya pihak yang kalah (tidak mencapai BPP) adalah adil, manakala melihat kembali ketentuan itu merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari sebuah kompetisi. Pihak yang tidak terwakili karena kalah dalam Pemilu adalah adil sebagai akibat dari wakil yang mereka kehendaki untuk duduk di parlemen tidak dapat bersaing dengan wakil lainnya untuk memenuhi BPP.

(37)

BPP), tetapi harapannya dipatahkan oleh kenyataan bahwa wakil yang ia pilih gagal duduk di parlemen karena terbentur oleh penerapan PT.

Dalam sistem demokrasi perwakilan idealnya semua elemen rakyat harus terwakili tanpa terkecuali, akan tetapi hakikat ideal demokrasi tersebut tidak mungkin dapat diterapkan. Tidak dapat terwakilinya seluruh rakyat mengingat bahwa jumlah rakyat yang besar tidak sebanding dengan wakil yang ada. Selanjutnya untuk tetap menjamin perwakilan yang ideal, pembentuk undang-undang menetapkan PT sebagai tolak ukur perwakilan yang ideal. Namun PT menimbulkan akibat perubahan kursi bahkan hilangnya kursi caleg yang telah memenuhi BPP sehingga kursi tersebut digantikan oleh caleg yang sebenarnya secara perhitungan hanya mendekati BPP atau jauh dari BPP, tetapi caleg tersebut diusung oleh partai politik yang memenuhi PT. Apabila syarat untuk menentukan seorang wakil berdasarkan partai politik yang lolos PT, ada resiko terlalu besar bagi caleg yang memenuhi BPP tetapi akhirnya gagal duduk di parlemen. Kondisi ini justru bertentangan dengan prinsip keterwakilan yang ideal.

(38)

Keterwakilan dengan BPP menjamin peluang lebih besar keterwakilan bagi rakyat di parlemen. Jaminan prinsip keterwakilan ini tidak akan dapat diwujudkan apabila menggunakan PT. PT justru bertentangan dengan perlindungan minoritas terutama keterwakilan politiknya karena para wakil tersebut memenuhi angka BPP, tetapi seorang wakil tidak akan duduk di parlemen dikarenakan partainya tidak lolos PT. Kondisi ini bertolak belakang dengan tujuan demokrasi perwakilan dalam sistem demokrasi untuk menjamin representasi yang mendekati sempurna.

Kemudian berkaitan dengan efektifnya fungsi partai politik dalam sistem demokrasi, penulis sependapat dengan kebijakan pembentuk undang-undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik, tetapi bukan dengan menetapkan PT. Penyederhanaan partai politik tetap harus sejalan dengan ide demokrasi yaitu persamaan, kebebasan, dan perlindungan minoritas. Ketiga syarat tersebut harus terpenuhi ketika sebuah negara menghendaki penyederhanaan partai politik. Apabila penyederhanaan partai politik tetap dilakukan dengan PT, maka akan bertentangan dengan sistem daftar terbuka sekaligus mencederai konstituen yang telah memilih seorang wakil untuk menyampaikan aspirasinya di parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik tidak boleh dilakukan dengan merubah posisi kursi yang telah didapat seorang caleg (memenuhi BPP) agar tidak mencederai kontituen yang telah memilih caleg yang bersangkutan.

(39)

efektifnya kinerja parlemen. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik lebih baik dilakukan di parlemen dengan kebijakan ambang batas pembentukan fraksi

(fractional threshold).142 Ambang batas pembentukan fraksi merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik dari pada PT karena dengan ambang batas pembentukan fraksi tidak ada suara yang hilang dan FT tidak menyingkirkan caleg yang lolos BPP untuk menjadi wakil di parlemen.

142

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian mengenai pengaruh berbagai jenis pupuk dan penggunaan dekomposer pada pertumbuhan dan produksi padi organik dilakukan karena keingintahuan penulis terhadap

Perhatikan: Celah Pematrian yang diselaraskan dengan baik dan sangat sempit, pada umumnya tidak memiliki lagi atau hanya sedikit memiliki patri murni (gambar 4c). Patri ini

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 73 rekam medik pasien yang menggunakan antibiotik profilaksis pada pasien bedah sesar di Rumah Sakit Pekanbaru Medical Center bulan

4 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.. salah satu pengurus GP Ansor yang kemudian bertanya-tanya mengenai aktivitas

[r]

Suatu himpunan fuzzy intuitionistic dari himpunan semua automorfisma intuitionistic adalah subgrup fuzzy intuitionistic jika derajat keanggotaan titik automorfisma

The managerial knowledge function has positive correlation with the satisfaction about lectures and parents’ occupation, but has a negative correlation with the intention to work

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa Strategi Promosi menjadi salah satu strategi yang bisa dijadikan prediktor oleh pihak perusahaan untuk meningkatkan