BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Amplifikasi gen penyandi Carbohydrate Binding Module
PCR merupakan teknik amplifikasi DNA yang dilakukan secara in vitro dalam suatu thermal cycler. Dari penelitian Ratnadewi (2013) diketahui GbtXyl43B memiliki Carbohydrate Binding Module (CBM) pada urutan asam amino 15-149. Amplifikasi dilakukan terhadap CBM beserta linkernya pada urutan asam amino 1-156. Campuran reaksi yang diperlukan dalam PCR adalah cetakan DNA berupa plasmid pET-GbtXyl43B sebagai sumber gen Carbohydrate Binding Module (CBM) yang akan diamplifikasi, sepasang primer, deoksinukleosida trifosfat (dNTP), bufer PCR yang mengandung MgSO4, dan enzim termostabil Taq DNA polimerase. Proses amplifikasi secara enzimatis membutuhkan primer yang merupakan sejumlah kecil oligonukleotida yang komplemen dengan ujung-ujung sekuens DNA cetakan (Howe, 2007). Sisi
cara menambahkan deoksinukleosida trifosfat (dATP, dGTP, dCTP dan dTTP) yang komplemen dengan DNA template. Dalam proses amplifikasi digunakan enzim DNA polimerase I dari organisme yang hidup dalam air panas Thermus aquaticus sehingga biasa disebut Taq polimerase (Brown, 2010). Taq polimerase tidak memiliki aktivitas proof-reading (3’-5’ eksonuklease) sehingga sekitar 1 nukleotida dalam 104 satuan mengalami kesalahan. Taq polimerase tidak sepenuhnya termostabil karena memiliki waktu paruh sekitar 40 menit pada suhu 95°C. Hal ini menyebabkan penurunan aktivitas Taq polimerase dalam beberapa siklus PCR (Howe, 2007). DNA polimerase membutuhkan kofaktor berupa kation Mg2+ sehingga diperlukan penambahan larutan Mg2+ (Sambrook and Russel, 2001). Pada sisi aktif DNA polimerase terdapat dua kation Mg2+ yang terikat. Saat reaksi polimerisasi terjadi satu kation mengikat gugus hidroksil pada ujung 3’ primer, sedangkan kation lain mengikat dNTP. Kation yang terikat pada primer mengaktifkan gugus hidroksil 3’ untuk menyerang gugus α-fosforil dari dNTP. Adanya penyerangan tersebut menyebabkan terbentuknya ikatan O-P yang baru, sehingga jika reaksi polimerisasi berlangsung terus menerus akan terbentuk suatu rantai DNA (Berg et al., 2010).
Gambar 4.2a. Mekanisme pembentukan ikatan fosfodiester dari primer dan dNTP oleh DNA polimerase pada sisi aktifnya (Berg et al, 2010)
teknik PCR adalah desain primer. Primer yang pendek memberikan spesifitas yang tinggi pada amplifikasi menggunakan template pendek seperti DNA plasmid (Howe, 2007). Sedangkan primer yang terlalu pendek dapat menyebabkan hibridisasi ke sisi non target sehingga menghasilkan produk amplifikasi yang tidak diinginkan (Brown, 2010). Persyaratan desain primer dalam Sambrook and Russel (2001) adalah sebagai berikut: (1) mengandung G+C sekitar 40-60%, (2) pajang nukleotida antara 18-25, (3) tidak terdapat repeat sequence atau self-complementary sequence lebih dari 3 bp agar tidak terjadi hairpin, (4) ujung 3’ dari primer forward dan reverse tidak saling berikatan agar tiak terjadi dimer, (5) perbedaan Tm antara primer tidak melebihi 5° C, (6) ujung 3’ dari primer berupa basa G atau C jika memungkinkan, (7) terdapat sekurang-kurangnya 3 basa sebelum sisi restriksi.
Dalam penelitian ini primer didesain berdasarkan urutan Carbohydrate Binding Module (CBM) GbtXyl43B berserta linkernya pada urutan asam amino 1-156 gen penyandi ekso-xilanase putative yang telah terdeposit dalam GenBank No. DQ387047. Desain primer dilakukan menggunakan program Clone Manager dengan memasukkan beberapa basa nukleotida dari ujung 5’ daerah target untuk primer forward dan beberapa basa nukleotida yang komplemen dengan ujung 3’ daerah target untuk primer reverse. Primer didesain dengan menambahkan sisi restriksi enzim SacI pada primer forward dan enzim XhoI pada primer reverse agar produk PCR dapat diinsersikan ke vektor plasmid sehingga mudah disimpan dan dapat diperbanyak dengan teknik kloning. Penambahan beberapa basa nukleotida lebih dari 3 juga dilakukan agar primer yang dihasilkan lebih stabil.
untuk primer reverse. Berikut hasil desain primer menggunakan program Clone Manager.
Tabel 4.2. Hasil desain primer menggunakan program Clone Manager
Hasil primer yang didesain menggunakan program Clone Manager memiliki parameter sebagai berikut:
Gambar 4.2b. Parameter primer FCBM1 yang dihasilkan dari program Clone Manager
Nama Urutan Basa Nukleotida Panjang Sisi Restriksi
FCBM1 5- CGTCGAGCTCATGACTTTAC -3 20 mer SacI
RCBM1 5 CCCCCTCGAGATAATAATTCCC -3
Gambar 4.2c. Parameter primer RCBM1 yang dihasilkan dari program Clone Manager
Sedangkan dari hasil sintesis oleh Oligo Macrogen primer forward memiliki Tm 58,4°C dan primer reverse 62,1°C.
Dalam setiap siklus PCR terjadi tiga macam proses yaitu denaturasi, annealing (penempelan), dan extension (perpanjangan). Campuran reaksi dipanaskan pada suhu 94°C sehingga ikatan hidrogen yang membentuk konformasi double helix terputus menghasilkan rantai tunggal DNA (denaturasi). Suhu kemudian diturunkan menjadi 50-60 °C sehingga memungkinkan terjadinya annealing (penempelan) primer pada sisi yang spesifik (Brown, 2010). Annealing (penempelan) harus dilakukan pada suhu yang tepat karena jika suhu yang digunakan terlalu rendah, primer akan menempel ke daerah yang kurang spesifik sehingga dimungkinkan akan terjadi amplifikasi lebih dari satu gen. Namun, apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi kemungkinan pimer tidak akan menempel pada sisi manapun dari cetakan DNA (Dieffenbach et al, 1993). Proses
74 °C sesuai dengan suhu optimum enzim Taq DNA polimerase (Brown, 2010).
Gambar 4.2d. Siklus yang terjadi dalam PCR (Brown, 2010)
Dalam penelitian ini amplifikasi dilakukan dengan menggunakan alat thermal cycler gradien. Thermal cycler gradien memungkinkan untuk evaluasi 8-12 variasi suhu annealing, polimerisasi atau denaturasi dalam satu kali running. Amplifikasi dilakukan pada kondisi denaturasi dengan suhu 95oC selama 30 detik, annealing pada variasi suhu (sesuai dengan hasil optimasi PCR gradien) selama 30 detik dan extension pada suhu 72oC selama 56 detik dengan jumlah siklus 30 kali. Proses amplifikasi diawali dengan predenaturasi pada suhu 95oC selama 3 menit dan diakhiri dengan post extension yang dilakukan pada suhu 72oC selama 7 menit. Variasi suhu annealing yang dipilih adalah 56, 57, 58,2, 58,4, 59,4 dan 61,6°C. Gen Carbohydrate Binding Module (CBM) GbtXyl43B teramplifikasi pada suhu 56, 57, 58,2, 58,4, dan 59,4°C sedangkan pada suhu 61,6°C tidak
Gambar 4.2e. Kondisi reaksi PCR
Untuk mengetahui keberhasilan amplifikasi dilakukan analisa menggunakan elektroforesis gel agarosa. Dari hasil elektroforesis diketahui bahwa amplikon yang diperoleh memiliki ukuran sekitar 400 bp. Ukuran ini sesuai dengan ukuran gen Carbohydrate Binding Module (CBM) GbtXyl43B beserta linkernya hasil penelitian Ratnadewi (2013)
A B C
Gambar 4.2f. Elektroforegram hasil amplifikasi gen Carbohydrate Binding Module (CBM) GbtXyl43B beserta linkernya dengan menggunakan primer FCBM1 dan RCBM1. Lajur A adalah hasil amplifikasi pada suhu 58,4°C; B adalah hasil amplifikasi pada suhu 59,4°C; C adalah Marker GeneRulerTM 1 kb DNA ladder 400 bp
menghilangkan sisa-sisa zat dari reagen PCR sehingga hanya tertinggal DNA saja. Pemurnian DNA dilakukan dengan menggunakan reagen dari QIAquick Gel Extraction Kit. Kadar amplikon diukur dengan menggunakan Spektrofotometer NanoDrop. Kadar DNA Carbohydrate Binding Module (CBM) GbtXyl43B hasil amplifikasi adalah 482,8 ng/μL.
A B
Gambar 4.2g. Elektroforegram hasil pemurnian gen Carbohydrate Binding