• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus

Isolasi V. parahaemolyticus dari Udang Tambak

2. Amplifikasi Gen tdh dan trh V. parahaemolyticus

Amplifikasi dan protokol PCR dengan target gen tdh dan trh pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Tada et al. (1992). Tada et al. (1992) melaporkan bahwa dalam menentukan primer spesifik untuk mengidentifikasi gen tdh dilakukan berdasarkan hasil terbaik dari 6 kombinasi pasangan primer yang menyandikan gen tdh2. Gen tdh2 adalah salah satu dari 2 sub unit identik gen tdh

yang dimiliki oleh galur V. parahaemolyticus patogenik dimana gen ini berperan dalam produksi ekstraseluler toksin TDH sehingga dipilih sebagai gen untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik penghasil toksin TDH. Pasangan primer yang paling spesifik berdasarkan hasil penelitian Tada et al. (1992) untuk gen tdh adalah pasangan primer yang terletak pada region antara 256-506 dengan ukuran amplikon 251bp. Sedangkan untuk gen trh dipilih 6 kombinasi pasangan primer yang mewakili gen trh1 dan trh2. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pasangan primer spesifik untuk mengidentifikasi toksin TRH adalah primer yang terletak pada region antara 256-505 dengan ukuran amplikon 250bp. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini menggunakan pasangan primer tersebut untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak.

Hasil amplifikasi DNA sampel dengan target gen penyandi tdh pada sampel udang di tambak tradisional dan intensif selanjutnya dielektroforesis pada gel agarosa 2% pada TBE1X dan divisualisasikan dengan Gel Doc illuminator yang dapat dilihat pada Gambar 7 (a dan b) untuk tambak tradisional dan Gambar 8 untuk tambak intensif. Hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh pada isolat V. parahaemolyticus sampel udang di tambak tradisional dan intensif berturut-turut menunjukkan sebanyak 13/16 isolat (81.3%) dan 3/6 isolat (50%) positif gen tdh. Hal ini terlihat dari adanya ukuran hasil amplifikasi DNA sampel yang sama dengan kontrol positif V. parahaemolyticus yang mengandung gen penyandi tdh (ATCC43996) pada ukuran amplikon 251bp.

(a) (b)

Gambar 7. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker

DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10).

Gambar 8. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi tdh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker

DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (ATCC43996), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang.

Sementara itu berdasarkan target gen penyandi trh, hasil amplifikasi DNA dari isolat V. parahaemolyticus pada sampel udang di tambak tradisional maupun intensif berturut-turut sebesar 15/16 isolat (93.8%) dan 4/6 isolat (66.7%) positif gen trh. Hasil amplifikasi DNA yang dielektroforesis dengan gel agarosa 2% (TBE1X) pada 100V selama 45 menit dan divisualisasikan melalui Gel Doc illuminator disajikan pada Gambar 9 (a dan b) untuk tambak tradisional dan Gambar 10 untuk tambak intensif. Isolat V. parahaemolyticus yang dikatakan positif gen trh dilihat berdasarkan ukuran amplikon hasil amplifikasi DNA sampel yang sama dengan ukuran amplikon DNA kontrol positif (AQ4037) pada 250 bp.

(a) (b)

Gambar 9. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak tradisional pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker

DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2: kontrol negatif, (a) dan (b) : 16 isolat V. parahaemolyticus sampel udang (lajur 3-10).

Gambar 10. Visualisasi hasil amplifikasi DNA dengan target gen penyandi trh bakteri V. parahaemolyticus di tambak intensif pada gel agarosa 2% (TBE1X). M : marker

DNA ladder 100bp, 1 : kontrol positif (AQ4037), 2 : kontrol negatif, lajur 3-8 : isolat V. parahaemolyticus sampel udang.

Berdasarkan pengelompokan gen penyandi tdh dan trh pada isolat V. parahaemolyticus dari sampel udang baik di tambak tradisional dan intensif, beberapa isolat diketahui hanya memiliki salah satu gen patogen ( tdh atau trh saja), akan tetapi ada beberapa isolat yang memiliki kedua gen patogen tersebut seperti yang tersaji pada Tabel 17. Hasil identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh menunjukkan bahwa sebesar 14/22 isolat (63.6%) sampel udang baik di tambak tradisional maupun intensif memiliki kedua gen V. parahaemolyticus patogenik (tdh dan trh). Sementara itu V. parahaemolyticus yang hanya memiliki gen tdh (tdh+;trh-) atau trh (tdh-;trh+) saja berturut-turut sebesar 2/22 isolat (9.1%) dan 5/22 isolat (22.7%). Jika dibedakan berdasarkan jenis tambak diketahui bahwa seluruh isolat di tambak tradisional merupakan V. parahaemolyticus patogenik baik yang memiliki kedua toksin (TDH dan TRH) maupun hanya salah satunya (TDH atau TRH saja). Sedangkan isolat V. parahaemolyticus yang berasal dari tambak intensif diketahui ada satu isolat yang bukan merupakan V. parahaemolyticus patogenik yaitu isolat Int C1 (Tabel 17).

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat V. parahaemolyticus patogenik pada udang tambak baik yang berasal dari tambak tradisional maupun intensif. Hasil penelitian lain yang memberikan informasi tentang adanya V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan seperti yang dilaporkan oleh Bej et al. (1999) dimana sebesar 23.3%, 46.7%, dan 68.4% V. parahaemolyticus yang diisolasi dari produk perikanan, lingkungan, dan tambak tiram merupakan V. parahaemolyticus dengan gen tdh dan trh. Sementara

itu sebesar 9.3% dan 5.2% dari sampel produk perikanan dan tambak tiram adalah V. parahaemolyticus penghasil gen tdh saja dan tidak ada dari sampel tersebut yang merupakan V. parahaemolyticus penghasil gen trh saja. Secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian ini, V. parahaemolyticus yang diisolasi dari sampel udang baik di tambak tradisional dan intensif menunjukkan bahwa sebesar 43% dan 11% (n=32) merupakan V. parahaemolyticus yang bersifat patogen.

Tabel 17. Distribusi gen penyadi tdh dan trh pada isolat Vp dari sampel udang di tambak tradisional dan intensif.

Kode Isolat gen tdh gen trh

Tambak tradisional : TrA1 TrB2 TrC2 TrF2 TrG1 TrI1 TrJ1 TrK1 TrK2 TrL1 TrM1 TrN2 TrO1 TrO2 TrP1 TrP2 + + - - + + - + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + Total tdh+; trh+ Total tdh+; trh- Total tdh-; trh+ Total tdh-; trh- 12/16 (75%) 1/16 (6.25%) 3/16 (18.75% 0/16 (0%) Tambak intensif : IntB1 IntB2 IntC1 IntC2 IntG2 IntO1 + - - + - + + + - - + + Total tdh+; trh+ Total tdh+; trh- Total tdh-; trh+ Total tdh-; trh- 2/6 (33.3%) 1/6 (16.7%) 2/6 (33.3%) 1/6 (16.7%)

Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada awalnya dilaporkan hanya berkisar 1-2% pada sampel-sampel lingkungan dan produk perikanan (Kelly dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Hal ini kemungkinan karena keberadaan galur V. parahaemolyticus patogenik lebih rendah dibandingkan galur yang non patogenik atau galur patogenik lebih sensitif pada kondisi lingkungan yang ekstrim sehingga cepat sekali berubah ke dalam bentuk viable but nonculturable (VNC) dan menjadi sulit untuk diisolasi (Hackney dan Dicharry, 1988; Jannasch, 1967; Pace dan Chai,1989; Roszak dan Colwell,1987).

Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa V. parahaemolyticus patogenik pada sampel udang tambak memiliki persentase yang cukup tinggi. Hasil ini cukup kontras dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan akan tetapi ada beberapa hasil penelitian juga melaporkan keberadaan V. parahaemolyticus patogenik memiliki peresentase cukup tinggi. Marlina et al. (2007) melaporkan bahwa sebesar 36% (n=47 isolat Vp) pada sampel kerang yang berasal dari perairan dan pasar lokal di Padang-Sumatera Barat teridentifikasi gen tdh. Penelitian Sujeewa et al. (2009) melaporkan bahwa 15% dan 7% isolat yang berasal dari sampel udang segar, udang beku dan air tambak di Malaysia berturut-turut positif gen tdh dan trh. Sementara itu Mohammad et al. (2005) menyatakan bahwa sebesar 8% dan 11% sampel udang beku dan udang segar teridentifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Peningkatan sampel produk perikanan yang mengandung V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh) juga dilaporkan oleh DePaola et al. (2003a) yaitu sebesar 12.8% pada sampel tiram, selanjutnya Hara-Kudo et al. (2003) melaporkan bahwa sekitar 10% (n=329) isolat dari sampel produk perikanan perairan dan pasar di Jepang mengandung gen tdh . Pinto et al (2008) menyatakan sebesar 33% sampel kekerangan yang berasal dari perairan pantai Italia dideteksi positif gen tdh, bahkan hasil penelitian DePaola et al. (2003b) pada sampel makanan dan lingkungan selama kurun waktu 1977-2001 menunjukkan lebih dari 90% isolat positif gen tdh dan trh.

Identifikasi keberadaan bakteri V. parahaemolyticus pada sampel lingkungan dan produk perikanan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah pemilihahan metode analisis yang digunakan (Parveen et al. 2008). Selain

itu tahap isolasi bakteri yang merupakan tahap awal identifikasi bakteri diduga memberikan persentase yang lebih tinggi terutama yang berasal dari sampel lingkungan dan produk perikanan. Pada penelitian ini, identifikasi V. parahaemolyticus diawali dengan tahap isolasi dimana sampel udang tambak diinkubasi pada media ASPW yang merupakan media pengayaan. Teknik ini merupakan salah satu teknik yang dapat memberikan persentasi kebaradaan V. parahaemolyticus lebih tinggi karena diduga tahap pengayaan merupakan tahap pemulihan (recovery) terutama bakteri-bakteri dalam kondisi sakit. Raghunath et al. (2009) melaporkan bahwa pada umumnya galur V. parahaemolyticus patogenik jarang ditemukan pada sampel lingkungan dan produk perikanan, hal ini disebabkan oleh galur patogen lebih sensitif pada lingkungan perairan yang tidak kondusif sehingga galur ini dapat berubah menjadi viable but nonculturable (VNC). Fase viable but nonculturable (VNC) merupakan fase dorman bakteri dimana pada fase ini bakteri tidak dapat bermultiplikasi tetapi masih dapat melakukan aktivitas metabolisme. Fase ini terjadi umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan perairan yang tidak kondusif seperti fluktuasi suhu, salinitas, pH yang cukup tinggi, kandungan nutrien perairan yang tidak mendukung sehingga memberikan pengaruh terhadap populasi mikroorganisme di perairan tersebut termasuk V. parahaemolyticus. Kondisi ini dapat menyebabkan sulitnya mengisolasi V. parahaemolyticus patogenik dari lingkungan dan produk perikanan. Untuk mengatasi hal tersebut, tahap pengayaan merupakan salah satu altenatif pengembangan metode analisis yang dapat dilakukan sehingga persentase frekuensi isolasi V. parahaemolyticus patogenik dapat meningkat. Hasil penelitian Raghunath et al. (2009) melaporkan bahwa identifikasi V. parahaemolyticus patogenik yang dikayakan terlebih dahulu dengan media cair

APW(alkaline peptone water) dan ST (sodium taurocholate) memberikan

frekuensi isolasi yang lebih tinggi. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen penyandi tdh dan trh pada sampel kekerangan, ikan, udang di perairan pantai dan tambak udang di India memberikan hasil berturut-turut sebesar 32.8% dan 41.4% untuk gen trh dan 13.8% dan 20.7% untuk gen tdh.

Pada awalnya identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dilakukan berdasarkan reaksi biokimiawi yang dikenal dengan Fenomena Kanagawa (KP+). Metode ini terutama dapat mengidentifikasi faktor virulen TDH yang ditandai dengan KP+, akan tetapi faktor virulen TRH tidak dapat diidentifikasi dengan metode analisis ini, dimana diketahui hasil KP- ternyata memberikan hasil yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Selain itu beberapa kendala yang dialami teknik konvensional adalah waktu analisis yang panjang dan interpretasi hasil yang tidak cukup akurat dan sensitifitas teknik analisis ini masih cukup rendah, terutama pada isolat bakteri yang berada pada fase VNC (viable but non culturable).

Teknik identifikasi V. parahaemolyticus patogenik kemudian berkembang karena masih terbatasnya hasil anlisis yang berdasarkan metode biokimiawi. Salah satu pengembangan teknik identifikasi adalah metode analisis berbasis pendekatan molekuler antara lain dengan teknik PCR. Beberapa hasil penelitian dengan teknik PCR menunjukkan hasil yang cukup signifikan dalam hal identifikasi V. parahaemolyticus patogenik. Zimmermann et al. (2007) melaporkan hasil deteksi V. parahaemolyticus patogenik (gen tdh dan/atau trh) dengan teknik real time PCR pada sampel tiram di perairan Mississippi dan Alabama berturut-turut sebesar 56% dan 44%. Sementara itu Parveen et al. (2008) menyatakan bahwa 20% dan 40% isolat dari sampel tiram yang diambil perairan di Amerika Serikat teridentifikasi positif gen tdh dan

Rekomendasi untuk Perbaikan Usaha Budidaya Udang

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa di atas maka perlu disusun rekomendasi yang bertujuan untuk perbaikan usaha budidaya udang. Hasil pengamatan dan analisis terhadap tingginya persentase keberadaan bakteri patogen pada udang tambak baik tambak tradisional maupun intensif merupakan cerminan masih rendahnya kesadaran petambak udang dalam penerapan cara berbudidaya yang baik (Good Aquaculture Practice/GAP) terutama pada tambak tradisional. V. parahaemolyticus merupakan bakteri alami yang hidup di air

payau, sehingga kemungkinan keberadaannya pada tambak udang cukup tinggi karena penggunaan air payau selama pemeliharaan udang.

Tambak udang tradisional yang dijadikan sebagai tempat pengambilan sampel, berdasarkan pengamatan di lapangan jauh dari praktek penerapan GAP. Hal ini dapat dilihat dari tidak tersedianya tempat penampungan air sementara sebelum dialirkan ke areal tambak sehingga air langsung masuk ke tambak tanpa ada perlakuan untuk memenuhi persyaratan kualitas air. Hal ini menyebabkan potensi keberadaan bakteri cukup besar termasuk V. parahaemolyticus. Selain itu petambak juga jarang memperhatikan pengelolaan kualitas air, dimana ada beberapa parameter penting seperti salinitas, pH, oksigen terlarut, kekeruhan yang harus selalu terukur secara periodik kareana berdampak terhadap kualitas dan kuantitas udang yang dihasilkan. Penerapan sistim aerasi pada lahan tambak merupakan hal penting, dimana umumnya luas areal tambak tradisional berkisar 5000-10.000 m2 dan idealnya tambak tersebut ditempatkan aerator sekitar empat unit. Tambak tradisional memiliki sistim yang statis dimana tidak ada penggantian air tambak sampai waktu panen. Pemberian pakan alami selama periode pemeliharaan udang memberikan peluang kontaminasi bakteri yang cukup besar. Hasil pengamatan dan wawancara dengan petambak tradisional bahwa para petambak membuat sendiri pakan udang dengan cara menghaluskan campuran ikan-ikan rucah yang kemudian dijemur dan dibentuk seperti pelet. Kualitas ikan yang rendah, kondisi sanitasi lingkungan dan higiene personal dalam pembuatan pakan udang menjadi hal penting untuk menghasilkan kualitas pakan udang yang baik.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan analisis identifikasi V. parahaemolyticus jika dikaitkan dengan manajemen budidaya udang di tambak udang tradisional dapat dilihat persentase frekuansi isolasi V. parahaemolyticus dan deteksi patogenik bakteri tersebut lebih besar dibandingkan dengan tambak intensif. Sehingga beberapa hal yang perlu direkomendasikan untuk perbaikan usaha budidaya tambak udang sistim tradisional antara lain :

a. Penerapan manajemen kualitas air dengan memperhatikan parameter-parameter kualitas air yang dipersyaratkan.

b. Tersedianya sarana kolam penampungan air sebelum air dialirkan ke tambak yang bertujuan untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan yang berasaldari air sumber seperti bakteri.

c. Penerapan sistim aerasi dan penggantian air tambak secara berkala selama pemeliharaan sehingga cemaran seperti feses udang, sisa pakan dan juga biota pengganggu dapat diminimalisir.

d. Pemberian pakan yang terjaga kualitasnya baik dari segi nutrisi maupun sanitasi. Penggunaan pakan yang dibuat sendiri dapat dilakukan melalui kontrol yang baik dari segi kualitas nutrisi maupun pembuatan pakan.

Sementara itu tambak intensif sudah cukup baik dalam penerapan cara berbudidaya yang baik (GAP) namun peluang keberadaan V. parahaemolyticus tetap ada karena bakteri ini merupakan flora normal di lingkungan perairan payau. Hal ini perlu diantisipasi mengingat pada umumnya udang hasil budidaya tambak intensif banyak diekspor ke luar negeri dimana V. parahaemolyticus merupakan salah satu persyarata terhadap mutu udang dari negara pengimpor.

Dokumen terkait