• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dikembangkan. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma. Metode ini memiliki kelemahan antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut mendorong pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek.

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan. Metode PCR telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit.

Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4 komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan penambahan enzim pada tiap siklus PCR (Yuwono, 2006). Selain itu komponen

lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer terkandung 10-50 mM Tris-HCl (pH 8.3-8.8), KCl, MgCl2, dan komponen lain seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan kestabilan enzim Taq DNA polimerase.

Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA (pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari : a. Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan

rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1-2 menit.

b. Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Annealing dilakukan pada suhu 55°C selama 1-2 menit. Suhu 55°C yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien pada suhu 37 °C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung 5’fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’OH pada rantai cetakan DNA lain.

c. Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA. Setelah terbentuk polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72°C yang merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit. DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94°C untuk memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan reaksi polimerasi selanjutnya.

Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak 25-30 siklus dan pada akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989).

Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus. Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik dari masing-masing gen penyandi tersebut. Salah satu sekuen nukleotida dan protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada ukuran amplikon 250 bp.

Sekuen nukleotida baik gen tdh maupun gen trh bakteri V. parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu

annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk

identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization menggunakan probe gen tdh dan trh. Sedangkan sensitifitas metode PCR dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh.

Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V. parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen primer gen tdh (L-tdh dan R-tdh) dan trh (L-trh dan R-trh) menggunakan

pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan primer S1 dan S2 pada ukuran amplikon 460 bp.

Dokumen terkait