• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amplifikasi Silang Penanda Mikrosatelit

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Amplifikasi Silang Penanda Mikrosatelit

Penggunaan primer-primer mikrosatelit jenis A.crassna (6pa18, 10pa17,16pa17, dan 71pa17)dapat mengamplifikasi silang pada gaharu jenis lainnya (sampel penelitian :A.malaccensis, A.microcarpa, A.crassna, Gyrinops sp dan A.filaria). Hasil amplifikasi silang mikrosatelit disajikan pada Gambar 8.Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil amplifikasi silang menunjukkan panjang fragmen yang berbeda-beda sesuai Eurlings et al. (2009).

Gambar 8 Hasil amplifikasi silang mikrosatelit

Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari gaharu jenis A.crassna berhasil dilakukan dengan kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Syarat utama terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari kedua untai cetak DNA pada posisi yang berlawanan (Hartati et al.2007).Adapun komposisi lokus polimorfik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. 

Tabel 8 Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer

Primer Panjang fragmen (bp) Keterangan Size range (bp) 6pa18 A158, A164, A180, A186, A196 Polimorfik 180–210

10pa17 A152, A153, A154 Polimorfik 152–156

16pa17 A143, A145, A147 Polimorfik 143–155

71pa17 A158, A186, A206, A210, A216, A224 Polimorfik 152–224 Tabel 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu

Allele (bp) 143 145 147 151 152 153 154 158 164 180 186 194 196 206 210 216 224 A.malaccensis - - Φ - - - - - - A.microcarpa - Φ - - - - - - - A.crassna - - - - - Φ - - - Gyrinops sp. - - - - - - - - - - - A.filaria - - - Φ - - - - - - - Keterangan :

- = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), tidak ada dalam penelitian Φ = tidak ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), ada dalam penelitian =ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009) dan penelitian

allel 155-156, 168-178, dan 198-202 memiliki tanda: - Jenis

Tabel 8memperlihatkan bahwa hasil amplifikasi silang berada pada kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Berdasarkan Tabel 8 tersebut penulisan alel didasarkan pada panjang panjang fragmen, misalnya untuk A. malacensis alelnya dapat ditulis A143, A145, A153, A164, dan A186, begitu juga dengan jenis yang lainnya. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat adanya shared alelle, yaitu alel yang ditemukan pada beberapa jenis gaharu yang diteliti. Fragmen ini dapat ditemui pada base pair 143, 145, 153,158, 164, 180, 186, dan 216.Selanjutnya hasil scoring genotype dari populasi yang diteliti berdasarkan jenis secara lengkap disajikan pada Lampiran 3 sampai 10.

4.2Keragaman Genetik dalam Populasi Gaharu

Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan dua parameter, yaitu dalam populasi dan antar populasi. Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik dalam populasi yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan rata- rata jumlah alel per lokus (A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Hasil analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu disajikan pada Tabel 10.Adapun hasil analisis dari PopGene disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 10 Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman

No Populasi N PLP (%) Na Ne He Rata- rata He 1 A. malaccensis 32 100.00 2.7500 2.1981 0.5424 HT 2 A. microcarpa 8 100.00 2.5000 2.1138 0.5234 0.5443 3 A. crasna 15 100.00 2.7500 2.3492 0.5672 4 Gyrinops sp. 10 100.00 2.0000 1.9950 0.4987 5 A. malaccensis(Riau) 20 100.00 2.2500 2.2326 0.5397 HA 6 A. malaccensis(NTB) 20 100.00 2.0000 1.7762 0.3988 0.4642 7 A. microcarpa 20 100.00 2.0000 1.8036 0.4197

8 Kayu A. malaccensis 2 100.00 2.0000 2.0000 0.5000 kayu 9 Kayu A. filarial 7 100.00 2.0000 2.0000 0.5000 0.5000 Rata-rata 15 100.00 2,2500 2.0520 0.4988

Keterangan :

1-4 hutan tanaman , 5-7 hutan alam, 8-9 kayu

N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; Na = Jumah alel yang diamati; Na = Jumah alel efektif (Kimura and Crow (1964); He = Diferensiasi genetik Nei (1973)/Heterozigositas harapan

Secara umum nilai keragaman genetik (He) gaharu alam dan tanaman tidak berbeda jauh, yaitu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam). Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar gaharu tanaman masih berasal dari

21  

  biji atau cabutan yang diambil dari alam.Akan tetapi, akhir-akhir ini beberapa gaharu hasil budidaya sudah dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur jaringan sebagai akibat semakin langkanya gaharu di hutan alam.Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media kultur, sumber eksplan yang digunakan serta sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur jaringan (Azwin2007). Hal ini bisa menyebabkan keragaman genetik berubah pada suatu populasi,sehingga dapat memberikan peluang dalam membedakan struktur genetik gaharu hasil budidaya dengan hasil gaharu dari alam.

Tabel 10menampilkankeragaman genetik (He) gaharu di dalam populasi berkisar antara 0,3988 - 0,5672 dan persentase lokus polimorfik yaitu sebesar 100%.Nilai He tersebut tergolong masih tinggi.Hal ini sesuai dengan penelitian Rambey (2011) yang menyatakan bahwa keragaman genetikmindi besar sebesar 0,439 dan mindi kecil sebesar 0,373 masih tergolong tinggi. Keragaman genetik beberapatanaman kehutanan disajikan dalam Tabel 11.Selain itu, Harada et al. (2003) menyatakan He sebesar 0.322 pada Avicennia marina (Forsk.) di Vietnam termasuk tinggi yang digunakan sebagai pusat keragaman genetik.Harada et al. (2006) juga menyatakan bahwa He sebesar 0.244 tergolong pada keragaman genetik yang rendah.Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata keragaman geneti tanaman kehutanan adalah sebesar 0.4123.Nilai tersebut jika dibandingkan dengan kergaman genetik gaharu (sampel penelitian) memiliki nilai yang lebih rendah, sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman genetik gaharu masih tergolong tinggi.

Tabel 11 Keragaman genetik (He) beberapa jenis tanaman kehutanan

No Jenis Sumber He(*)

1 Melia azedarach Rambey (2011) 0.3730

2 Melia excelsa Rambey (2011) 0.4390

3 Avicennia marina Harada et al. (2003) 0.3220 4 Kandelia sp. Harada et al. (2006) 0.3220

5 Shorea leavis Yunanto (2010) 0.4443

6 Shorea leprosula Lee et al. (2004) 0.6860

7 Shorea cursitii Ujino et al. (1998) 0.6220

rata-rata 0.4123

8 Gaharu (sampel penelitian) 0.4988

Populasi yang mempunyai keragaman terendah (Tabel 10) adalah A. malaccensis dari hutan alam, sedangkan yang mempunyai keragaman tertinggi adalah A.crassna dari hutan tanaman. Rendahnya keragaman genetik dari jenisA. malaccensisini mungkin disebabkan oleh kelangkaannya di alam (jarang ditemukan/kerapatan rendah) jika dibandingkan dengan jenis gaharu yang lainnya.Hal ini sesuai dengan Mahfudz (2010) yang menyatakan bahwa keragaman Mebau yang mengalami eksploitasi lebih awal memiliki keragaman genetik yang rendah.Finkeldey (2005) juga menyatakan bahwa jenis dalam populasi yang mempunyai kerapatan rendah mempunyai variasi genetik rata-rata yang lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis dalam populasi dengan kerapatan tinggi.Salah satu hal yang menyebabkan kelangkaan ini misalnya pemanenan berlebihan, karena jenis A. malaccensis merupakan penghasil gaharu berkualitas terbaik dengan nilai jual yang tinggi (Sukandar 2009).

Nilai variasi genetik gaharu dari hutan tanaman dan hutan alam dapat digunakan untuk kepentingan aktivitas pemuliaan pohon dan konservasi sumberdaya genetik serta penelusuran asal-usul tanaman.Hal ini disebabkan karena kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas individual pohon dalam populasi.

4.3Keragaman Genetik antar Populasi semua Jenis Gaharu

Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak genetik, dan analisis klaster/kelompok.Salah satu peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik. Jarak genetik mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu.

Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey2005).Adapun jarak genetik antar populasi gaharu disajikan dalam Tabel 12.

23  

  Tabel 12 Jarak genetik populasi gaharu

Pop 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 **** 2 0.0588 **** 3 0.1663 0.1051 **** 4 0.1191 0.1715 0.3383 **** 5 0.1624 0.1375 0.2473 0.0291 **** 6 0.1641 0.1615 0.3613 0.0712 0.1041 **** 7 0.1457 0.1498 0.3436 0.0559 0.0884 0.0012 **** 8 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 **** 9 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 0.0000 **** Keterangan: 1). A. malaccensis (HT); 2). A. microcarpa (HT); 3). A. crassna (HT); 4). Gyrinops sp (HA); 5). A. malaccensis (HA “LOMBOK”); 6). A. malaccensis (HA “RIAU”); 7). A. microcarpa (HA “KALIMANTAN”); 8). Kayu A. malaccensis; 9). Kayu A. filaria

Hasil analisis jarak genetik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa populasi yang memiliki jarak genetik yang paling besar adalah populasi A. crassna (hutan tanaman) dengan A. malaccensis (hutan alam “Riau”) dengan nilai jarak genetik yaitu 0,3613. Jarak genetik yang besar ini mengindikasikan bahwa hubungan kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh. Sedangkan populasi dengan jarak genetik terdekat adalah antara kayu A. malaccensis dengan kayu A. filaria yaitu 0,0000.

Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau dendogram jarak genetik antar populasi.Berdasarkan analisis nilai jarak genetik dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi yang digunakan untuk melihat kekerabatan antar populasi seperti terlihat pada Gambar9.Adapun tampilan hasil dendrogram Ntsys disajikan pada Lampiran 12.

Gambar 9 Dendogram pengelompokan gaharu hutan alam dan hutan tanaman (Nei’s 1972) hutan

tanaman

hutan alam

Gambar 9memperlihatkan bahwa populasi nuklear daun gaharu tanaman dengan gaharu alam berpisah membentuk dua klaster yang berbeda.Pengklasteran mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir sama (penghomogenan), sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya memiliki struktur genetik yang berbeda. Hal ini memberikan peluang untuk kegiatan diskriminasi kayu gaharu alam dengan kayu gaharu budidaya atau tanaman.

Hartati et al. (2007) menyatakan bahwa proses evolusi dan adaptasi suatu populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan habitatnya akan menyebabkan masing-masing populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik secara morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainnya.Berdasarkan hasil dendogram, secara garis besar pengelompokan tidak berhubungan dengan posisi geografisnya. Artinya pengelompokan tidak menunjukkan bahwa semakin dekat jarak geografisnya suatu populasi maka jarak genetik antar populasi tersebut semakin dekat, akan tetapi populasi-populasi yang berdekatan mempunyai kecenderungan untuk membentuk satu sub kelompok,

4.4 Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul Tidak Jelas

Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004).

Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008). Pendugaan asal – usul kayu gaharu yang tidak jelas dapat dilihat dari pengelompokan/klaster dendogram (Gambar 10).

25  

  Gambar 10 Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu(Nei’s 1972)

Dendogram Gambar 10memperlihatkan bahwa potongan kayu gaharu mengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam, sehingga kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan gaharu dari alam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk kedalam daftar CITES Apendiks II.

Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), para pengumpul gaharu kini cenderung mengabaikan pendekatan tradisional untuk mencari gaharu.Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Soehatono dan Mardiastuti, terungkap bahwa pada saat ini hanya 42% dari pengumpul gaharu yang masih menggunakan metode tradisional untuk mencari gaharu.Karena pendapatan dari gaharu menurun, para pengumpul gaharu cenderung untuk mencari gaharu sebesar- besarnya untuk menutupi kerugian.Oleh karena itu, tekanan terhadap populasi gaharu di alam terus berlangsung dan bahkan meningkat sepanjang waktu.

Menanggapi tentang kelestarian perdagangan di masa depan, Soehartono dan Mardiastuti (2003) menjelaskan bahwa 56,6% pengumpul gaharu dari Kalimantan percaya bahwa aktivitas mereka dapat terus berlanjut dan mereka percaya bahwa pengawasan tradisional (adat) dalam mengumpulkan gaharu semestinya dilakukan. Untuk menjawab ide ini, WWF Kayan Mentarang (1994) dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) memprakarsai pengaktifan kembali pengawasan adat di Kalimantan Timur, meski hasilnya kurang menjanjikan.

Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu gaharudapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002).Selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001).Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Atas dasar hal tersebut banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007).

Penggunaan empat primer dalam penelitian ini mampu memperlihatkan pemisahan/klaster antara hutan alam dan tanaman. Dari keempat primer tersebut penggunaan satu primer yang mampu memperlihatkan pemisahan hutan alam dan tanaman dengan lebih tajam (Gst= 0,965)adalah primer 10pa17 (Gambar 11). Pada Gambar 11 dapat dilihat adanya klasterisasi populasi hutan alam dan tanaman. Namun hasil yang lebih baik akan didapatkan jika menggunakan primer lebih dari satu. Penggunaan satu primer ini bisa dimanfaatkan jika memerlukan waktu yang singkat untuk mengetahui keragaman genetik pada suatu populasi.

Gambar 11 Dendogram klaster/pemisahan hutan alam dan tanaman dengan primer 10pa17. Siregar (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa ukuran. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya.

27  

  Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008) dan aliran kayu meranti pada IUPHHK-HA di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (Yunanto 2010).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis gaharu lainnya dapat dilakukan. Analisis genetikmenunjukkan nilai keragaman genetik (He) dalam populasi gaharu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam).

2. Berdasarkan dendogram, pendugaan asal-usul kayu gaharu dapat dikatakan bahwa sampel potongan kayumengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis gaharu sudah termasuk ke dalam daftar CITES Appendix II.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian marka DNA lanjutan tentang gaharu, misalnya dengan metode sequensing DNA.

29  

  DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC. 2010. Mengenal pohon gaharu.http://wahyukdephut.wordpress. com/2010/02/23/mengenal-pohon–gaharu-aquilaria-microcarpa/[19 November 2010]

Alamendah. 2010. Konferensi CITES ke-15 (CoP15 Species) Qatar. http://alamen dah.wordpress.com/2010/03/12/konferensi-cites-ke-15-cop15-species- qatar/[20November 2010]

Anonim.2010a. Cites. http://id.wikipedia.org/wiki/CITES#Latarbelakang[20 November 2010]

. 2010b. Reaksi berantai polymerase.http://id.wikipedia.org/wiki/Reaksi berantai polymerase [19 November 2010]

Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB

Aswin. 2007. Evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) hasil kultur in vitro[Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Aswoko G. 2009. Wahana gaharu.http:// wahanagaharu.blokspot. com/2009/02/ spesifikasi-klasifikasi-gaharu.html [30 Januari 2011]

[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.2006. Budidaya Gaharu dan rekayasa produksinya [Leaflet]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservassi Alam

Barden A, NAwang AnakT, MullikenM, Song. 2000. Heart of the matter: Agarwood use andtrade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report.

Boer D. 2007.Keragaman dan struktur genetik populasi jati Sulawesi Tenggara berdasarkan marka Mikrosatelit [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Deguilloux MF, Pemonge MH, Petit RJ. 2004. DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperage industry. Ann. For. Sci. 61: 97-104

Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2009. Polymorphic microsatellites for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). FSI-197 30:34

Fatchiyah. 2006. Polymerase Chain Reaction:Dasar Teknik Amplifikasi DNA dan Applikasinya. Malang: Universitas Brawijaya

Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah.Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetic

Finkeldey R, Rachmayanti Y, Nuroniah H, Nguyen NP, Cao C, Gailing O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of dipterocarps. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Godoy JA, Jordano P. 2001. Seed dispersal by animals: exact identification of source trees with endocarp DNA microsatellites. Mol. Ecol. 10: 2275-2283

Harada K, Giang LH, Hong PN, Tuan MS. 2003. Genetic variation of Avicennia marina (Forsk) Vierh.(Avicenniaceae) in Vietnam revealed by microsatellite and AFLP markers.Genes Genet.Syst 78 : 399-407

Harada K, Giang LH, Geada GL, Hong PN, Tuan MS, Lien NTH, Ikeda S. 2006.Genetic variation of two mangrove species in Kandelia (Rhizophoraceae) in Vietnam and surrounding area revealed by microsatellite markers.Int. J. Plant Sci 167(2) : 291-298

Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007. Pendugaan keragaman genetic di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 : 89-98

Heuertz M, Fineschi S, Anzidei M, Pastorelli R, Salvini D, Paule L, Lacoste LN, Hardy OJ, Vekemans X, and Vendramin GG. 2004. Chloroplast DNA variation and postglacial recolonization of common ash (Fraxinus excelsior L.) in Europe. Molecular Eology 13: 3437-3452.

James C, Akiko I. 1994. The Use and Trade of Agarwood in Japan: 1-21.

Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS. 2005. Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera (Dipterocarpaceae) the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 (5): 775-788

Lee SL, Tani N, Ng KKS, Tsumura Y. 2004.Isolation and characterization of microsatellite loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to S.parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: 222-225

Lowe A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber?. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting

31  

  methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Mahfudz, Na’iem, Sumardi, EB Hardiyanto. 2011. Variasi genetik dalam dan antar populasi alam Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di Papua dan Maluku.Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.Edisi Juli 2011, Vol.5 No.1

Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea leavis Ridl.Di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [Skripsi].Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Nasoetion M. 2004. Marka molekuler. http://psb-psma.org/content/blog/2423- marka-molekuler [11 Desember 2010]

Rambey R. 2011. Pengetahuan Lokal Sistem Agroforestri Mindi (Melia azedarach L.) (Studi Kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:Japan International Coorperation Agency (JICA)

Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh.et de Vriese in Indonesia. [dissertation]. Göttingen. Faculty of Forest Sciences and Forest Ecology, Georg-August University of Göttingen.147 p.

Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L. dan Yunanto T. 2008. Pengembangan Penanda Genetika Molekuler untuk Lacak Balak (Studi Kasus pada Jati). Laporan Akhir Hibah Bersaing. Bogor :LPPM Institut Pertanian Bogor Smulders MJM, Van ‘T Westende WPC, Diway B, Esselink GD, Van Der Meer

PJ and Koopman WJM. 2008. Development of microsatellite markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking of wood of this protected species. Molecular Ecology Resources 8: 168 –171

Sukandar. 2009. Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccenis) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Workshoop HHBK. Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung

Surahman M. 2007. Perakitan Varietas Semangka (Citrullus lanatus (Thunberg) Matsum & Nakal) Tanpa Biji Tahan Terhadap Penyakit Layu Fusarium dengan Pemanfaatan Marka RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) [LP]. Bogor : IPB

Suryo. 2008. Genetika. Yogyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

Ujino T, Kawahara T, Tsumura Y, Nagamitsu T, Yoshimaru H, Wickneswari R. 1998. Development and Polymorphisme of Simpel Sequence Repeat DNA Marker ForShorea curtisii and Other Dipterocarpaceae Species. Heredity 81 : 422-428

Wulandari Y. 2008. Analisis keragaman genetik kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphik DNA (RAPD) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for International Forestry Research: Universitas of Alberta

Yunanto T. 2010. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.[Tesis]. Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

33  

 

LAMPIRAN

  Lampiran 1. Beberapa jenis tumbuhan yang terdaftar pada Apendiks I, II dan III CITES

1a.Tumbuhan di Indonesia

Apendiks

I II III

1 Paphiopedium bullenianum (Reichb.f) Pfitz Cycas papuana F.Muell Gonistilus bancanus (Miq.) Kurz 2 P.primulinum M.Wood & Tailor Podocarpus neriifolius D.Don

var.neriifolius

3 P.glaucophyllum J.J Smith Aqularia malaccensis Lamk. 4 P.tonsum (Reichb.f) Stein Magnolia candollei (Blume)

5 Nepenthes alata Blanko

6 Raufolfia serpentine Benth.ex Kurz Sumber : Soehartono & Mardiastuti (2003)

1b.Tumbuhan di dunia

No Apendiks

I II III

1 Araucaria araucana Aquilaria spp. Tetracentron sinense (Nepal)

2 Cycas beddomei Gonystylus spp. Magnolia liliifera var. obovata (Nepal) 3 Euphorbia ambovombensis Gyrinops spp. Dalbergia stevensonii(Guatemala)] 4 Euphorbia cylindrifolia Swietenia humilis Gnetum montanum (Nepal)

5 Dalbergia nigra Nepenthes spp.

6 Nepenthes khasiana Pterocarpus santalinus 7 Podocarpus parlatorei

Sumber : http://www.cites.org/eng/app/appendices.shtml [12 Oktober 2011] No

35  

  Lampiran 2 Instrumen/alat-alat penelitian

(a) (b) (c) (d)

(e) (f) (g) (h)

(i) (k)

Gambar Foto alat-alat penelitian, a).Mesin sentrifugasi, b).Mesin PCR PTC-100 Programmable Thermal Cycler, c).Frezzer , d). Pipet mikro effendrof, e).Mesin water bath fisherbrand, f).Mesin elektroforesis Fisher scientific, g).Vortex, h).Timbangan analitik, i).Mesin pengaduk magnet, dan j).poliakrilamid elektroforesis (foto: Mulyadiana 2010).

Lampiran 3 Hasil skoring genotipe populasi Aquilaria malaccensispada

Dokumen terkait