• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Genetik Gaharu Budidaya dan Alami Berdasarkan Penanda Mikrosa telit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Genetik Gaharu Budidaya dan Alami Berdasarkan Penanda Mikrosa telit"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

Agarwood is one of the valuable Non Timber Forest Products (NTFPs) that contain resin with a specific fragrance, and is often used as raw materials of perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, incense, preservatives as well as religious activities. Overexploitation of agarwoodhas resulted in scarcity of agarwood in the nature leading to the lossesof treesof superior genotypes. This scarcity has led agarwoodto be included into the CITES Appendix II list in which a quota system is imposed for trading activities. However, this quota still does not distinguish clearly between natural or cultivatedagarwood, opening opportunities for illegal trading practices. It is therefore necessary to provide an effective attemptsto control of the origin of. Nowdayas, the use of DNA markers gains significant importance in the forensic activities such as verification of the origin of timber and plant materials. This tool is difficult to be manipulated. Therefore, a study was carried with aims to 1) cross amplify

Aquilariacrassna microsatellite primers into other agarwood species (transferability study), and 2) to infer the origin of agarwoodbeing traded in the market. Materials for research were populations of agarwood from natural and planted forests and agarwood pieces of unknown origin. A.crassna microsatellite primers were used, namely 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), and 71pa17 (152-224 bp). Results showed thatagarwood samples from both natural forests and plantations could cross amplify with expected fragment size ranges.Resultshowedthatgenetic diversity (He)

in the planted forest was 0.5443 a slighty higher than that of natural forest (He=0.4642).

Information on the level of genetic diversities can be used as scientific basis for conservation program. Cluster analysis showed different groupings of agarwood originated from plantations and natural forests. Futher analysis showed that agarwoodtimbers with unclear origins clustered intoagarwoodgroupd from natural forests indicatingcommon existence of traded natural agarwood.

Keywords: agarwood, cross amplification, microsatellite, CITES, genetic diversity.

(2)

1  

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang

memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon

penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau

buatan pada pohon gaharu.Adanya kandungan damar yang wangi dalam gaharu

ini, gaharu sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan,

kosmetik, dupa, pengawet, serta untuk keperluan kegiatan agama.

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan Aquilaria dan

Gyrinops.Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) saat ini di Indonesia

diketahui terdapat 6 jenis Aquilaria yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu

A.beccariana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis,A.cumingiana, dan A.

microcarpa.

Perdagangan gaharu di Indonesia tercatat telah dimulai sejak abad

ke-5.Cina merupakan pembeli terbesar untuk produk-produk gaharu.Perdagangan

gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Belanda (dari abad ke-18 sampai

permulaan abad ke-19) dan berlangsung hingga sekarang (Soehartono dan

Mardiastuti 2003).

Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan mengakibatkan

kelangkaan pohon gaharu dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Akibat

kelangkaan tersebut menurut Balitbanghut (2006) semua jenis Aquilaria, dan

Gyrinops ditempatkan pada CITES Apendiks II (Lampiran I),konsekuensinya

yaitupenjualan ekspor dan impor gaharu ditentukan kuota dan harus mendapat izin

dari CITES. Akan tetapi, kuota ini tidak membedakan gaharu alam atau budidaya

sehingga mendorong praktek penebangan liar.Oleh karena itu, perlu dilakukan

usaha pengendalian asal-usul kayu gaharu agar tetap terjaga kelestariannya.Hal ini

meningkatkanpengendalian perdagangan gaharu komersial di semua negara yang

berpartisipasi.

Pengendalian perdagangan internasionaldenganmetode deteksi tradisional

seperti cahaya mikroskop, gagal untuk membedakan antara gaharu legal dan

(3)

gaharu dari hutan alam dan hutan tanaman serta kepentingan pengendalian

perdagangan gaharu internasional diperlukan metode identifikasi alternatif yang

dapat diandalkan dan sulit dimanipulasi, misalnya dengan marka DNA.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna

ke jenis gaharu lainnya

2. Menduga asal usul kayu gaharu yang saat ini diperdagangkan di pasaran.

1.3Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

tentang kelayakan metode DNA untuk menduga asal-usul kayu dan jenis-jenis

gaharu yang diperdagangkan sehingga dapat digunakan untuk pengendalian

(4)

3  

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Singkat Gaharu

Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyatakan bahwa gaharu merupakan

nama perdagangan untuk kayu yang berasal dari pohon margaAquilaria (sebagian

besar berasal dari A.malaccensis). Pohon-pohon tersebut seringkali terkena infeksi

oleh parasit yang berupa jamur dan mulai menghasilkan resin yang harum dan

bewarna gelap di bagian kayu teras. Kayu yang mengandung resin ini dikenal

dengan nama gaharu. Di pasar internasional, gaharu dikenal dengan

namaagarwood, aloeswood atau oudh.

Aswoko (2009) menjelaskan bahwa gaharu adalah sejenis kayu dengan

berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal

dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi

yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aquilaria sp. (Thymelaeaceae).

Kerajaan : Plantae

Ordo : Malvales

Famili : Thymelaeaceae

Genus : Aquilaria

Secara morfologi, tinggi pohon gaharu dapat mencapai 40 meter dengan

diameter batang mencapai 60 cm. Kulit batang licin, berwarna putih atau

keputih-putihan, dan kadang beralur. Bentuk daunnya lonjong agak memanjang dengan

ukuran 5 – 8 cm, lebar 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilap

(Sumarna2002 dalam Aswin 2007).Adapun morfologi pohon gaharu disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi pohon gaharu (Adinugroho 2010)

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk

(5)

reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen melalui pelukaan pada batang,

cabang, atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan

keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu

ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,

bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou 1960 dalam Aswin 2007).

Penyebaran gaharu dimulai dari Iran, India, Vietnam, Malaysia, Sumatera,

Kalimantan, Serawak dan Filipina. Di Indonesia daerah penyebaran gaharu antara

lain terdapat di kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa

Tenggara, dan Jawa. Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada

daerah dengan ketinggian 0 – 2400 meter di atas permukaan laut. Gaharu yang

berkualitas baik umumnya tumbuh pada daerah yang beriklim panas dengan suhu

28–34ºC, kelembaban 60 – 80%, dan curah hujan 1000 – 2000 mm/tahun

(Sumarna 2002 dalam Aswin 2007).

Meningkatnya perdagangan gaharu telah mengakibatkan populasi gaharu

di Indonesia mendekati kepunahan. Hal tersebut memicu upaya melestarikan

Aquilaria di alam, antara lain dengan memasukkan A.malaccensiske dalam

Apendiks II CITES(CITES 1994 dalam Soehartono dan Maardiastuti 2003).James

et al. (1994) menjelaskan penetapan tersebut disebabkan oleh populasi tanaman

penghasil gaharu semakin menyusut di alam karena para pengusaha gaharu tidak

dapat mengenali dengan tepat tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap

dipanen.

2.2 CITES

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild

Fauna and Flora) atau konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa

liar spesies terancam merupakan perjanjian internasional antarnegara yang

disusun berdasarkan resolusi sidang anggota World Conservation Union (IUCN)

tahun 1963. Konvensi ini bertujuan melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap

perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang

mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam(Anonim 2010a).

Jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam pengawasan CITES

dikelompokkan dalam tiga kelompok yang dinamakan Apendiks.Tiga apendiks

(6)

5  

  tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan

internasional. Apendiks I sedikitnya berisi 800 spesies seperti macan tutul, gajah

sumatera, harimau sumatera, dan semua spesies badak termasuk badak jawa dan

badak sumatera,Apendiks II; daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi

mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya

pengaturan. Apendiks II berisi sekitar 32.500 spesies.Apendiks III; daftar spesies

tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas

kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam

Apendiks II atau Apendiks I. Dalam apendiks III berisi sekitar 300 spesies.

CITES merupakan satu-satunya perjanjian global dengan fokus

perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar. Keikutsertaan bersifat sukarela dan

negara-negara yang terikat dengan konvensi disebut para pihak (parties).

Walaupun CITES mengikat para pihak secara hukum, CITES bukan pengganti

hukum di masing-masing negara. Pada tahun 2002 hanya terdapat 50% para pihak

yang bisa memenuhi satu atau lebih persyaratan dari 4 persyaratan utama yang

harus dipenuhi: (1) keberadaan otoritas pengelola nasional dan otoritas keilmuan,

(2) hukum yang melarang perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi

CITES, (3) sanksi hukum bagi pelaku perdagangan, dan (4) hukum untuk

penyitaan barang bukti (Anonim 2010a).

Indonesia tergabung dalam CITES pada tanggal 28 Desember 1978 dan

konvensi ini secara resmi mulai diberlakukan sejak tanggal 28 maret 1979 melalui

Keputusan Presiden No. 43/1978 tanggal 15 Desember 1978. Indonesia

merupakan Negara ke-48 yang tergabung dalam CITES. Selama menjadi anggota

Konvensi, Indonesia secara aktif telah memberikan masukan terhadap

perubahan-perubahan peraturan di dalam Konvensi tersebut (Soehartono dan Mardiastuti

2003).

2.3 Deoksiribonukleat Acid (DNA)

DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting pada makhluk

hidup, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk

hidup dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semua

makhluk hidup kecuali beberapa virus mempunyai DNA. Di dalam sel, bagian

(7)

DNA juga ditemukan di dalam mitokondria, plastid, dan sentriol. Menurut studi

dari foto sinar-X oleh Rosalind Franklin dikemukakan bahwa molekul DNA

mempunyai struktur seperti spiral. Berdasarkan foto yang diambil oleh Franklin

tersebut, Watson dan Crick dalam bulan April 1953 mengambil kesimpulan

bahwa (Suryo 2008) :

a) Deretan polinukleotida DNA mempunyai bentuk sebagai spiral teratur

b) Spiral itu mempunyai diameter kira-kira 20 Amstrong, dan lebar spiral tersebut

tetap

c) Mengingat bahwa molekul DNA sangat padat, maka spiral DNA terdiri dari

dua buah spiral yang mengandung dua deretan polinukleotida

Suryo (2008) menjelaskan baha dua buah pita polinukleotida yang

berbentuk double helix dalam molekul DNAdihubungkan oleh atom H yang

sangat lunak. Jika suatu larutan yang mengandung DNA dipanaskan atau dibubuhi

alkali yang kuat, maka ikatanhydrogen itu menjadi lebih labil dan putus. Dua pita

spiral dari molekul DNA akan membuka, proses ini dinamakan denaturasi DNA.

Jika larutan tersebut kemudian didinginkan kembali atau dinetralisir secara

perlahan-lahan, maka terbentuklah pasangan-pasangan basa itu kembali. Peristiwa

ini dinamakan renaturasi.

2.4 Keragaman Genetik

Finkeldey (2005)menyatakan bahwa keragaman genetik merupakan

perbedaan gen yang terkandung dalam individu suatu populasi dan berhubungan

dengan kemampuan beradaptasi suatu individu dalam mengalami perubahan

selama proses perkembangan. Keragaman genetik dapat diwariskan kepada

keturunannya dan terjadi karena adanya rekombinasi genetik sebagai akibat

adanya persilangan-persilangan dan adanya mutasi.

Jenis-jenis pohon memperlihatkan keragaman dalam sifat-sifatnya.Dalam

suatu jenis pohon dapat dijumpai beberapa keragaman yaitu keragaman geografis

(antar provenansi), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), keragaman antar

pohon, dan keragaman dalam pohon.Ada dua sebab utama yang menimbulkan

keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaan struktur genetik.

Keragaman genetik dari suatu keturunan merupakan hasil dari perkembangbiakan

(8)

7  

  Penanda genetik merupakan alat yang sangat penting untuk mempelajari

sistem genetika pohon hutan. Beberapa manfaat penting dari penanda genetik

adalah sebagai alat pembantu dalam identifikasi klon, identifikasi hibrid,

pengukuran variasi genetik di dalam dan antar populasi, penelitian sistem

reproduksi yang mencakup sistem perkawinan dan aliran gen, pembuktian

pengaruh seleksi dan identifikasi QTL (Quantitative Trait Loci). Terdapat banyak

jenis penanda genetik yang telah diidentifikasi. Beberapa penanda genetik yang

banyak digunakan dalam genetika hutan, yaitu polimorfisme morfologi,

sifat-sifatwarna, produksi metabolisme sekunder, isoenzim, dan penanda DNA

(Finkeldey 2005).

Penanda (marka) dapat digolongkan atas tiga, yaitu marka morfologis,

marka sitologi, dan marka molekuler. Penanda morfologi adalah penanda yang

berdasarkan bentukorgan-organ tanaman yang mudah diamati.Penanda morfologi

digunakan dalamdeskripsi taksonomi karena lebih mudah, lebih cepat, sederhana,

dan lebih murah.Akan tetapi, penanda ini dapat dimodifikasi oleh lingkungan

sehingga dianggaptidak stabil (Wulandari 2008).Penanda ini mudah dilihat oleh

mata dan telah banyak digunakan sejak awal genetika.Contohnya adalah warna,

rambut daun, serta ukuran atau bentuk organ tertentu. Walaupun mudah dan

masih dipakai (biasanya digunakan untuk mengontrol berhasilnya suatu

persilangan), penanda morfologi dapat dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan

sehingga dianggap tidak stabil (Aritonang et al. 2007).

Menurut Asiedu (1989) dalam Aritonanget al. (2007), penanda sitologi

adalah penanda yang digunakan untuk membantu pemuliaan tanaman melalui

ukuran kromosom, rasio tangan kromosom dan pola pita teknik-teknik pewarnaan

kromosom.Penggunaan penanda sitologi khususnya pola pita kromosom

dimungkinkan pada spesies-spesies tanaman yang mempunyai kromosom dengan

ukuran yang lebihbesar, misalnya pada tanaman gandum.

Aritonang et al. (2007) menjelaskan bahwa penanda molekuler adalah

penanda yang dihasilkan dari DNA atau RNA jadi penanda biokimia, yang

sebenarnya juga molekul, tidak termasuk didalamnya. Penanda molekuler bersifat

(9)
(10)

9  

  Surahman (2007) menjelaskan bahwa proses PCR pada prinsipnya

melibatkan tiga langkah yang diulangi dalam beberapa siklus, yaitu :

1) Denaturasi termal dengan meningkatkan suhu pada tabung reaksi

2) Primer Anneling, yaitu tahap dimana primer akan berpasangan dengan sekuen

DNA cetakan (template) yang sudah dalam bentuk ss-DNA pada suhu 35-60oC

3) Ekstensi Primer, pada tahap ini suhu ditingkatkan kembali sampai 75oC yang

merupakan suhu optimum untuk kerja tag DNA polymerase yangakan memulai

reaksi pada ujung 3’-hidroksil dari primer.

Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa sekuensi pendek berulang

non-kodon asam amino yang biasanya terdiri atas 3 pasang dapat ditemukan pada

DNA dari kebanyakan hewan dan tumbuhan. Sekuensi seperti itu biasanya

memiliki polimorfisme yang tinggi, dalam arti bahwa banyak tipe berbeda dapat

diamati dalam populasi. Polimorfisme seperti itu dapat dipelajari menggunakan

metoda PCR bila dapat ditentukan secara khusus primer-primer yang cocok

dengan daerah sasaran.

2.6 Mikrosatelit

Boer (2007) menjelaskan DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola

nukleotida antara dua sampaienam pasang basa yang berulang secara berurutan.

DNA mikrosatelit biasadigunakan sebagai penanda genetik untuk menguji

kemurnian galur, studifilogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif dan

forensik.DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik

PCRdenganbeberapa pasang primer mikrosatelit. DNA produk PCRdideteksi

menggunakanteknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan

denganpewarnaan perak.

Mikrosatelit juga dikenal dengan simple sequence repeats (SSRs) yaitu

kelas terkecil dari sekuen berulang. Sekuen yang berulang sering sederhana,

terdiri dari dua, tiga atau empat nukleotida (di-, tri-, dan tetranukleotida berulang).

Salah satu contoh umum mikrosatelit adalah dinukleotida berulang (CA)n, dimana

n menunjukkan jumlah total nukleotida berulang/repeats yang berada pada

kisaran 10 dan 100(Nasoetion 2004).

Finkeldey (2005) menjelaskan bahwa mikrosatelit telah diidentifikasi pada

DNA plastid (DNAcp dan DNAmt) dan juga pada DNA inti. Mikrosatelit

(11)

dan sistem perkawinan dari suatu jenis, karena mikrosatelit sering menunjukkan

variasi yang luas. Identifikasi dan karakterisasi lokus gen mikrosatelit

membutuhkan waktu yang sangat lama. Meskipun demikian, banyak penelitian

yang menggunakan lokus mikrosatelit, misalnya Eucalyptus spp, Shorea spp, dan

Dipterocarpus lainnya, dan juga pada Swietenia bumilis, serta Meliaceae jenis

(12)

11  

  BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitiandilaksanakan di Laboratoriumbagian Silvikultur, Departemen

Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian ini

yaitu pada bulan Agustus 2010 – Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun dan potongan

kecil kayu gaharu (Gambar 3). Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari peralatanuntukekstraksiatau isolasi DNA, PCR, elektroforesis,

mikrosetelit,pewarnaan gel dan pengolahan data.Primer yang digunakan untuk

kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini terdiri atasempat primer spesifik

untuk nuklear (Eurlings et al. 2009).Primer tersebut digunakan Eurlings untuk

mengamplifikasi gaharu dari jenis A.crassna.Keempat primer tersebut adalah

6pa18, 10pa17,16pa17, dan 71pa17.Deskripsi alat dan bahan serta sampel

penelitian yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1 dan 2.Adapun

gambar peralatan yang digunakan disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 1 Alat dan bahan untuk teknik analisis genetik

No Tahapan Kegiatan Alat Bahan

1 Ekstraksi dan Isolasi DNA

penggaris, gunting, masker, sarung tangan karet, tube 1.5 ml, oven, spidol permanen, mortar, pestel,termos, sudip, mikropipet, tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi, waterbath, freezer, desikator.

daun dan kayu gaharu, nitrogen cair, bufferekstrak, PVP 2%, chloroform, fenol, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%, buffer TE, silica gel

2 PCR tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin

sentrifugasi, mesin PCR PTC-100

DNA, aquabidest, sepasang primer mikrosatelit, green go taq,nukleas free water

3 Elektroforesis masker, mikropipet, tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar, erlenmeyer, sarung tangan, UVtransilluminator, kamera

agarose, buffer TAE 1x, , blue juice 10x, DNA marker, EtBr,

4 Mikrosatelit sepasang kaca mikrosatelit, masker, sarung tangan karet, mikropipet, tissue, penjepit kaca, timbangan,

poliakrilamid elektroforesis

Akrilamit, bisakrilamit, APS, bindsiland, sigmacote, etanol, DNA yang sudah diPCR, buffet TBE

(13)

No Tahapan Kegiatan Alat Bahan

shaker,masker, sarung tangan, kamera

etanol 95%, aquades, formaldehyde 6 Analisis Data Foto mikrosatelit, notebook,

softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan Minitab versi 14

Tabel 2 Lokasi pengambilan dan jumlah sampel penelitian

No Lokasi Jenis Gaharu Keterangan

A.malaccensis A.microcarpa A.crassna Girinops sp. A.filaria

1 Muara Fajar, Riau 20** 10** daun

2 Kebun Raya Bogor 4** 1**

3 Biotrop, Bogor 4** 4**

4 Kebun Greg Hambali, Bogor 2** 2** 2**

5 Gunung Walat, Sukabumi 2** 5** 9**

6 Lombok, NTB 20*

7 Siak, Riau 20*

8 Kalimantan Selatan 20*

9 Semplak, Bogor 2? 7? kayu

Jumlah 74 28 15 10 7

Keterangan: * = hutan alam; ** = Hutan tanaman; ? = dari hutan alam atau hutan tanaman

A.malaccensis A.filaria A.crasna A.microcarpa

Gaharu yang diperoleh dari pedagang di Bogor

(14)

13  

  3.3 Prosedur Penelitian

Tahapan penelitian mengikuti alur seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 BaganAlur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel Daun

Sampel pada penelitian ini yaitu daun dan kayu dari pohon gaharu.Sampel

daun gaharu diambil dari hutan alam dan hutan tanaman.Sampel dari hutan alam

diambil dari Propinsi Riau, Kabupaten Lombok, dan Propinsi Kalimantan

Selatan.Sedangkan sampel kayu diambil dari toko kayu gaharu Semplak, Bogor,

Jawa Barat.

3.3.2 Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dari daun dan kayugaharudilakukan dengan menggunakan

metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide). Sampel daun 2 x 2 cm

digerus dengan menggunakan nitrogen cair di dalam pestel yang bersih,

sedangkan pada sampel kayu dibor untuk mendapatkan serbuk kayu. Hasil

gerusan daun dan serbuk kayu selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 ml, lalu

ditambahkan 500µl larutan buffer ekstrak (Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB,

aquades, dll) dan 100 µl PVP 1%. Fungsi buffer ekstrak dan PVP adalah

mempercepat proses penghancuran.

Tahapan selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama

1 jam pada suhu 65oC-70oC. Selama inkubasi setiap 15 menit diangkat dan Pemilihan Populasi Hutan Alam dan

Tanaman Gaharu untuk Penelitian

Pengambilan Sampel

Amplifikasi Silang

(Ekstraksi atau Isolasi DNA, Elektroforesis, PCR, Mikrosatelit dan Pewarnaan Gel)

Analisis Keragaman Genetik Gaharu Hutan Alam dan Tanaman

(15)

dikocok. Jika proses inkubasi telah selesai maka tube diangkat dan didinginkan

kurang lebih 15 menit. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µl,

selanjutnya campuran tersebut dikocok agar menjadi homogen dan disentrifuse

pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Proses sentrifugasi dilakukan untuk

memisahkan bahan-bahan kimia atau fase organik dari fase air berupa supernatan.

Langkah selanjutnya yaitu fase air dipisahkan dari fase organik dengan

menggunakan mikro pipet kemudian fase air dipindahkan ke dalam tube baru.

Kegiatan selanjutnya adalah penambahan isopropanol dingin 500 µl dan

NaCl 300 µl, lalu disimpan dalam freezer selama 45 menit sampai 1 jam. Hasil

pengendapan disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan

cairan dalam tube dibuang. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA

dengan menambahkan etanol 95% sebanyak 300 mikroliter, lalu disentrifugasi

pada kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit dan cairan dalam tube dibuang

kembali dan dilakukan secara hati-hati. Proses tersebut dilakukan 2 kali. Pellet

DNA yang ada di tube dikeringkan dengan cara disimpan di dalam desikator

secara terbalik agar silicagel di dalam desikator dapat menyerap cairan yang ada

dalam tube selama ± 15 menit.

3.3.3 Elektroforesis

Selama proses pengeringan pellet DNA, disiapkan agarose 1% (0,33 gram

agarose dalam 33 ml TAE). Untuk proses elektroforesis, ditambahkan TE 50 μl

pada pellet DNA lalu sentrifugasi, diambil 3 μl DNA ditambahkan 2 μl BJ (Blue

Juice) 10 X dan running/elektroforesis selama kurang lebih 30 menit. Hasil

elektroforesis kemudian direndam dalam larutan Etidium Bromida (EtBr) 10 μl

per 200 ml aquades selama 15 menit dan selanjutnya difoto pada UV

transiluminator.

3.3.4 PCR (Polymerase Chain Reaction) Mikrosatelit

Sebelum melakukan amplifikasi PCR, DNA hasil ekstraksi diencerkan

dengan aquabidest. Perbandingan antara DNA dan aquabidest tergantung dari

resolusi pita DNA genomik dari hasil ekstraksi, misalnya pengenceran 100x

artinya 99 μl aquabides dan 1 μl DNA hasil ekstraksi. Primer yang digunakan

(16)

15  

  Tabel 3 Primer mikrosatelit Eurlings et al. (2009)

Locus Primer sequence (50–30) Repeat Size range

(bp)

Number of alleles

TA (OC)

6pa18 F: TGAGGCGTGAGTGAGATATTGATT R: CCTTCCTCTCTTCTTACCTCACCA

(CA)8 180–210 7 50

10pa17 F: ACACACTGTTATGGTCTACAGCTT R: CGCCATCTCATAATATTCTAATGTA

(CA)12 152–156 3 50

16pa17 F: AGTGAACAACTTGACTAGGCTTG R: GCTGAACACAACAAGATATCACC

(CA)19 143–155 6 59

71pa17 F: AGCAAACAGTGGGATAAGGTC R: AGAAAGGAGGCGAAACGAAT

(CA)15 152–224 15 54

Komposisi bahan untuk reaksi PCR mikrosatelit terdiri atas Nukleas free

water, Green go taq, primer forward dan reverse, DNA isolasi. Reaksi PCR

mikrosatelit tersebut dilakukan dengan menggunakan mesin PTC-100

Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Komposisi

bahan untuk reaksi PCR Mikrosatelit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.

No. Nama Bahan 1 Sampel Reaksi X Sampel Reaksi 1. Nucleas free water 2,5 μl X x 2,5 μl

2. Green Go Taq 7,5 μl X x 7,5 μl

3. Primer 1,5 μl X x 1,5 μl

4. Cetakan DNA 2 μl X x 2μl

3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid 3.3.5.1 Persiapan plate kaca pendek

Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue

dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µl SigmaCote pada plate

menggunakan pipet mikro. Untuk meratakan SigmaCote pada seluruh permukaan

plate disapu menggunakan tissue, penyapuandilakukan secara merata untuk

memastikan permukaan kaca telah terolesi SigmaCote. Kemudian bilas kelebihan

SigmaCote dengan cara mencuci plate menggunakan ethanol 95% dan

tissue.Karena sisa-sisa SigmaCotebisa menyebabkan penghambatan ketika

pewarnaan

3.3.5.2 Persiapan plate kaca panjang

Langkah awal adalah membersihkanplate hingga bersih menggunakan tissue

dan ethanol 95%, kemudian meneteskan 50 µlBind Silanc pada plate

(17)

permukaan plate digunakan tissue. Menyapu kaca secara merata untuk

memastikan permukaan kaca telah terolesi Bind Silanc.

3.3.5.3Perakitan lapisan plate kaca

Plate kaca panjang dan pendek yang telah siap dirakit dengan bagian yang

dilapisi oleh SigmaCote dan BindSiland diletakkan di dalam rakitan, seperti yang

tertera pada gambar5.

Gambar5Contoh perakitan kaca poliakrilamid

3.3.5.4Pembuatan larutan poliakrilamida

Pembuatan satu kaca gel akrilamit diperlukan bahan sesuai yang tertera

pada tabel 5.

Tabel 5Komposisi pembuatan gel Poliakrilamid

Bahan 6% 8%

Akrilamid 5,7 gram 7,6 gram

Bisakrilamid 0,3 gram 0,4 gram

TBE (1x) 10 ml 10 ml

TEMED 50 µl 50 µl

APS 500 µl 500 µl

Aquades 60 ml 60 ml

Akrilamid, bisakrilamid, TBE (1x), dan aquades dicampur dalam

erlenmeyer dan distirrel selama 15 menit, kemudian pada menit ke-10

dimasukkan temed. Pada menit ke 14 dimasukkan APS, dan pada menit ke-15

memasukkan larutan ke dalam pasangan kaca yang sudah dipersiapkan, kemudian

menunggu sampai larutan memadat.

3.3.6 Loading Sampel

Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40mA, 80 W selama 75

menit. Buffer untuk running (TBE 1x) mengandung 18mM Triz-HCl, 8.9 mM

asam borat dan 2 mM Na2EDTA.

(18)

17  

  Pewarnaan dilakukan setelah kegiatan elektroforesis selesai. Pewarnaan ini

terdiri dari empat bak perendaman, secara berurutan bak satu sampai dengan

empat tertera pada tabel 6.

Tabel 6 Bahan pewarnaan DNA mikrosatelit

Bak Bahan larutan pewarna Lama perendaman

1 bilas ke bak 2 selama 10 detik Silbernitrat 0,5 gram

Formaldehyde 0,6 ml

4

Aquades 500 ml

Sampai terlihat pita DNA NaOH 7,5 gram

Formaldehyde 1 ml

3.4 Analisis Data

Hasil dari kegiatan analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu difoto

dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 6).

Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software

POPGENE 32 versi 1.31 (Yeh, 1999) dan NTSys Ver 2.0 (Rohlf, 2008). Selain

itu, digunakan juga Minitab versi 14 untuk memastikan besarnya panjang fragmen

(bp) dari DNA hasil amplifikasi.

Gambar 6 Cara skoring DNA mikrosatelit

Hartati (2007) menjelaskan bahwa POPGEN versi 1.32 digunakan untuk

menghitung distribusi keragaman genetik dan jarak genetik berdasarkan frekuensi

asumsi Hardy-Weinberg (HW). Jarak genetik digunakan untuk analisis gerombol

menggunakan metode UPGMA (unweighted pair group with arithmatic avarage)

pada Ntsys yang menghasilkan dendogram hubungan kekerabatan.

Hasil analisis dengan software Minitab versi 14 didapatkan persamaan

hubungan antara panjang pita DNA hasil amplifikasi pada foto dengan panjang

fragmen. Hasil perhitungan dengan persamaan dari Minitab versi 14 disajikan

pada Tabel 7,sedangkan grafik hubungan antara panjang foto mikrosatelit dan

(19)

bahwa rentang panjang DNA teramplifikasi pada bp yang hampir sama dengan

bp penelitian Eurling et al. (2009). Penggunaan persamaan bp dimaksudkan untuk

memastikan pita DNA mikrosatelit yang diskoring berada pada posisi yang benar.

Tabel 7 Hasil pendugaan panjang DNA hasil amplifikasi Jenis bp : panjang fragmen

(20)

19  

  BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Amplifikasi Silang Penanda Mikrosatelit

Penggunaan primer-primer mikrosatelit jenis A.crassna (6pa18,

10pa17,16pa17, dan 71pa17)dapat mengamplifikasi silang pada gaharu jenis

lainnya (sampel penelitian :A.malaccensis, A.microcarpa, A.crassna, Gyrinops sp

dan A.filaria). Hasil amplifikasi silang mikrosatelit disajikan pada Gambar

8.Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa hasil amplifikasi silang

menunjukkan panjang fragmen yang berbeda-beda sesuai Eurlings et al. (2009).

Gambar 8 Hasil amplifikasi silang mikrosatelit

Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari gaharu jenis A.crassna berhasil

dilakukan dengan kisaran panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Syarat utama

terjadinya amplifikasi DNA dengan satu jenis primer adalah apabila primer

tersebut mempunyai urutan basa nukleotida yang merupakan komplemen dari

kedua untai cetak DNA pada posisi yang berlawanan (Hartati et al.2007).Adapun komposisi lokus polimorfik disajikan dalam Tabel 8 dan 9. 

Tabel 8 Komposisi lokus polimorfik untuk masing-masing primer

Primer Panjang fragmen (bp) Keterangan Size range (bp) 6pa18 A158, A164, A180, A186, A196 Polimorfik 180–210

10pa17 A152, A153, A154 Polimorfik 152–156

16pa17 A143, A145, A147 Polimorfik 143–155

71pa17 A158, A186, A206, A210, A216, A224 Polimorfik 152–224 Tabel 9Panjang fragmen hasil amplifikasi silang tiap jenis gaharu

Allele (bp)

- = ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), tidak ada dalam penelitian Φ = tidak ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009), ada dalam penelitian =ada dalam A.crassna (Eurlings et al. 2009) dan penelitian

(21)

Tabel 8memperlihatkan bahwa hasil amplifikasi silang berada pada kisaran

panjang fragmen (bp) yang diharapkan.Berdasarkan Tabel 8 tersebut penulisan

alel didasarkan pada panjang panjang fragmen, misalnya untuk A. malacensis

alelnya dapat ditulis A143, A145, A153, A164, dan A186, begitu juga dengan jenis yang

lainnya. Pada Tabel 8 juga dapat dilihat adanya shared alelle, yaitu alel yang

ditemukan pada beberapa jenis gaharu yang diteliti. Fragmen ini dapat ditemui

pada base pair 143, 145, 153,158, 164, 180, 186, dan 216.Selanjutnya hasil

scoring genotype dari populasi yang diteliti berdasarkan jenis secara lengkap

disajikan pada Lampiran 3 sampai 10.

4.2Keragaman Genetik dalam Populasi Gaharu

Secara umum variasi genetik dapat diukur dengan dua parameter, yaitu

dalam populasi dan antar populasi. Peubah yang digunakan untuk mencirikan

variasi genetik dalam populasi yaitu Presentase Lokus Polimorfik (PLP), dan

rata-rata jumlah alel per lokus (A/L), dan variasi genetik (He) (Finkeldey 2005). Hasil

analisis mikrosatelit pada daun dan kayu gaharu disajikan pada Tabel 10.Adapun

hasil analisis dari PopGene disajikan pada Lampiran 11.

Tabel 10 Variasi genetik dalam populasi gaharu alam dan tanaman

No Populasi N PLP

N = Jumlah total individu; PLP = Persentase Lokus Polimorfik; Na = Jumah alel yang diamati; Na = Jumah alel efektif (Kimura and Crow (1964); He = Diferensiasi genetik Nei (1973)/Heterozigositas harapan

Secara umum nilai keragaman genetik (He) gaharu alam dan tanaman tidak

berbeda jauh, yaitu sebesar 0.5443 (hutan tanaman) dan 0.4642 (hutan alam). Hal

(22)

21  

  biji atau cabutan yang diambil dari alam.Akan tetapi, akhir-akhir ini beberapa

gaharu hasil budidaya sudah dikembangkan dengan menggunakan teknik kultur

jaringan sebagai akibat semakin langkanya gaharu di hutan alam.Penambahan zat

pengatur tumbuh ke dalam media kultur, sumber eksplan yang digunakan serta

sub kultur dapat mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal pada tanaman hasil

kultur jaringan (Azwin2007). Hal ini bisa menyebabkan keragaman genetik

berubah pada suatu populasi,sehingga dapat memberikan peluang dalam

membedakan struktur genetik gaharu hasil budidaya dengan hasil gaharu dari

alam.

Tabel 10menampilkankeragaman genetik (He) gaharu di dalam populasi

berkisar antara 0,3988 - 0,5672 dan persentase lokus polimorfik yaitu sebesar

100%.Nilai He tersebut tergolong masih tinggi.Hal ini sesuai dengan penelitian

Rambey (2011) yang menyatakan bahwa keragaman genetikmindi besar sebesar

0,439 dan mindi kecil sebesar 0,373 masih tergolong tinggi. Keragaman genetik

beberapatanaman kehutanan disajikan dalam Tabel 11.Selain itu, Harada et al.

(2003) menyatakan He sebesar 0.322 pada Avicennia marina (Forsk.) di Vietnam

termasuk tinggi yang digunakan sebagai pusat keragaman genetik.Harada et al.

(2006) juga menyatakan bahwa He sebesar 0.244 tergolong pada keragaman

genetik yang rendah.Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa rata-rata keragaman geneti

tanaman kehutanan adalah sebesar 0.4123.Nilai tersebut jika dibandingkan dengan

kergaman genetik gaharu (sampel penelitian) memiliki nilai yang lebih rendah,

sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman genetik gaharu masih tergolong

tinggi.

Tabel 11 Keragaman genetik (He) beberapa jenis tanaman kehutanan

No Jenis Sumber He(*)

8 Gaharu (sampel penelitian) 0.4988

(23)

Populasi yang mempunyai keragaman terendah (Tabel 10) adalah A.

malaccensis dari hutan alam, sedangkan yang mempunyai keragaman tertinggi

adalah A.crassna dari hutan tanaman. Rendahnya keragaman genetik dari jenisA.

malaccensisini mungkin disebabkan oleh kelangkaannya di alam (jarang

ditemukan/kerapatan rendah) jika dibandingkan dengan jenis gaharu yang

lainnya.Hal ini sesuai dengan Mahfudz (2010) yang menyatakan bahwa

keragaman Mebau yang mengalami eksploitasi lebih awal memiliki keragaman

genetik yang rendah.Finkeldey (2005) juga menyatakan bahwa jenis dalam

populasi yang mempunyai kerapatan rendah mempunyai variasi genetik rata-rata

yang lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis dalam populasi dengan

kerapatan tinggi.Salah satu hal yang menyebabkan kelangkaan ini misalnya

pemanenan berlebihan, karena jenis A. malaccensis merupakan penghasil gaharu

berkualitas terbaik dengan nilai jual yang tinggi (Sukandar 2009).

Nilai variasi genetik gaharu dari hutan tanaman dan hutan alam dapat

digunakan untuk kepentingan aktivitas pemuliaan pohon dan konservasi

sumberdaya genetik serta penelusuran asal-usul tanaman.Hal ini disebabkan

karena kemampuan suatu jenis pohon hutan untuk beradaptasi pada berbagai

kondisi lingkungan sangat tergantung pada keragaman genetik dan multiplisitas

individual pohon dalam populasi.

4.3Keragaman Genetik antar Populasi semua Jenis Gaharu

Peubah yang digunakan untuk mencirikan variasi genetik antar populasi

menurut Finkeldey (2005) yaitu pembagian variasi genetik (Fst atau Gst), jarak

genetik, dan analisis klaster/kelompok.Salah satu peubah yang digunakan untuk

mencirikan variasi genetik antar populasi adalah jarak genetik. Jarak genetik

mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen

tertentu.

Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis

dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan

pasangan kombinasi dari masing-masing populasi (Finkeldey2005).Adapun jarak

(24)

23  

  Tabel 12 Jarak genetik populasi gaharu

Pop 1 2 3 4 5 6 7 8 9

8 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 **** 9 0.1238 0.1836 0.3459 0.0012 0.0299 0.0922 0.0745 0.0000 **** Keterangan: 1). A. malaccensis (HT); 2). A. microcarpa (HT); 3). A. crassna (HT); 4). Gyrinops sp (HA); 5). A. malaccensis (HA “LOMBOK”); 6). A. malaccensis (HA “RIAU”); 7). A. microcarpa (HA “KALIMANTAN”); 8). Kayu A. malaccensis; 9). Kayu A. filaria

Hasil analisis jarak genetik pada Tabel 11 menunjukkan bahwa populasi

yang memiliki jarak genetik yang paling besar adalah populasi A. crassna (hutan

tanaman) dengan A. malaccensis (hutan alam “Riau”) dengan nilai jarak genetik

yaitu 0,3613. Jarak genetik yang besar ini mengindikasikan bahwa hubungan

kekerabatan kedua populasi ini cukup jauh. Sedangkan populasi dengan jarak

genetik terdekat adalah antara kayu A. malaccensis dengan kayu A. filaria yaitu

0,0000.

Selain dari jarak genetik, peubah lain yang dapat digunakan untuk

mencirikan variasi genetik antar populasi adalah analisis gerombol/kelompok atau

dendogram jarak genetik antar populasi.Berdasarkan analisis nilai jarak genetik

dihasilkan dendrogram jarak genetik antar populasi yang digunakan untuk melihat

kekerabatan antar populasi seperti terlihat pada Gambar9.Adapun tampilan hasil

dendrogram Ntsys disajikan pada Lampiran 12.

Gambar 9 Dendogram pengelompokan gaharu hutan alam dan hutan tanaman (Nei’s 1972) hutan

tanaman

(25)

Gambar 9memperlihatkan bahwa populasi nuklear daun gaharu tanaman

dengan gaharu alam berpisah membentuk dua klaster yang berbeda.Pengklasteran

mengindikasikan bahwa dalam satu klaster memiliki struktur genetik yang hampir

sama (penghomogenan), sehingga antara klaster yang satu dengan yang lainnya

memiliki struktur genetik yang berbeda. Hal ini memberikan peluang untuk

kegiatan diskriminasi kayu gaharu alam dengan kayu gaharu budidaya atau

tanaman.

Hartati et al. (2007) menyatakan bahwa proses evolusi dan adaptasi suatu

populasi pada lingkungan spesifik yang merupakan habitatnya akan menyebabkan

masing-masing populasi mengembangkan karakter dan ciri spesifik secara

morfologis dan genetik yang berbeda dengan populasi lainnya.Berdasarkan hasil

dendogram, secara garis besar pengelompokan tidak berhubungan dengan posisi

geografisnya. Artinya pengelompokan tidak menunjukkan bahwa semakin dekat

jarak geografisnya suatu populasi maka jarak genetik antar populasi tersebut

semakin dekat, akan tetapi populasi-populasi yang berdekatan mempunyai

kecenderungan untuk membentuk satu sub kelompok,

4.4 Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul Tidak Jelas

Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan

materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar

pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA

kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti

pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah

evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004).

Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi

dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu

(Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak

balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008). Pendugaan asal – usul kayu

gaharu yang tidak jelas dapat dilihat dari pengelompokan/klaster dendogram

(26)

25  

  Gambar 10 Dendogram pendugaan asal-usul kayu gaharu(Nei’s 1972)

Dendogram Gambar 10memperlihatkan bahwa potongan kayu gaharu

mengelompok dengan gaharu yang berasal dari hutan alam, sehingga kayu gaharu

dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan

gaharu dari alam. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara umum kayu gaharu

yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis

gaharu sudah termasuk kedalam daftar CITES Apendiks II.

Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), para pengumpul gaharu kini

cenderung mengabaikan pendekatan tradisional untuk mencari gaharu.Dari hasil

wawancara yang dilakukan oleh Soehatono dan Mardiastuti, terungkap bahwa

pada saat ini hanya 42% dari pengumpul gaharu yang masih menggunakan

metode tradisional untuk mencari gaharu.Karena pendapatan dari gaharu

menurun, para pengumpul gaharu cenderung untuk mencari gaharu

sebesar-besarnya untuk menutupi kerugian.Oleh karena itu, tekanan terhadap populasi

gaharu di alam terus berlangsung dan bahkan meningkat sepanjang waktu.

Menanggapi tentang kelestarian perdagangan di masa depan, Soehartono

dan Mardiastuti (2003) menjelaskan bahwa 56,6% pengumpul gaharu dari

Kalimantan percaya bahwa aktivitas mereka dapat terus berlanjut dan mereka

percaya bahwa pengawasan tradisional (adat) dalam mengumpulkan gaharu

semestinya dilakukan. Untuk menjawab ide ini, WWF Kayan Mentarang (1994)

dalam Soehartono dan Mardiastuti (2003) memprakarsai pengaktifan kembali

(27)

Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu gaharudapat diekstraksi dan

diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu

sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002).Selain dari kayu,

kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan

(Godoy and Jordano 2001).Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan

metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga

cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Atas dasar hal tersebut banyak

penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Finkeldey et al.

2007; Lowe 2007).

Penggunaan empat primer dalam penelitian ini mampu memperlihatkan

pemisahan/klaster antara hutan alam dan tanaman. Dari keempat primer tersebut

penggunaan satu primer yang mampu memperlihatkan pemisahan hutan alam dan

tanaman dengan lebih tajam (Gst= 0,965)adalah primer 10pa17 (Gambar 11). Pada

Gambar 11 dapat dilihat adanya klasterisasi populasi hutan alam dan tanaman.

Namun hasil yang lebih baik akan didapatkan jika menggunakan primer lebih dari

satu. Penggunaan satu primer ini bisa dimanfaatkan jika memerlukan waktu yang

singkat untuk mengetahui keragaman genetik pada suatu populasi.

Gambar 11 Dendogram klaster/pemisahan hutan alam dan tanaman dengan primer 10pa17.

Siregar (2000) menyatakan bahwa keragaman genetik dibagi menjadi

keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai

beberapa ukuran. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa

penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis

yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk

membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah

(28)

27  

  Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu

jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada

Perhutani (Siregar et al. 2008) dan aliran kayu meranti pada IUPHHK-HA di

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna ke jenis

gaharu lainnya dapat dilakukan. Analisis genetikmenunjukkan nilai

keragaman genetik (He) dalam populasi gaharu sebesar 0.5443 (hutan

tanaman) dan 0.4642 (hutan alam).

2. Berdasarkan dendogram, pendugaan asal-usul kayu gaharu dapat dikatakan

bahwa sampel potongan kayumengelompok dengan gaharu yang berasal dari

hutan alam. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum kayu gaharu yang

diperdagangkan masih berasal dari hutan alam, walaupun semua jenis

gaharu sudah termasuk ke dalam daftar CITES Appendix II.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian marka DNA lanjutan tentang gaharu, misalnya

(30)

KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI

BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

LASWI IRMAYANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho WC. 2010. Mengenal pohon gaharu.http://wahyukdephut.wordpress. com/2010/02/23/mengenal-pohon–gaharu-aquilaria-microcarpa/[19 November 2010]

Alamendah. 2010. Konferensi CITES ke-15 (CoP15 Species) Qatar. http://alamen dah.wordpress.com/2010/03/12/konferensi-cites-ke-15-cop15-species-qatar/[20November 2010]

Anonim.2010a. Cites. http://id.wikipedia.org/wiki/CITES#Latarbelakang[20 November 2010]

. 2010b. Reaksi berantai polymerase.http://id.wikipedia.org/wiki/Reaksi berantai polymerase [19 November 2010]

Aritonang KV, Siregar IZ, Yunanto T. 2007. Manual Analisis Genetik Tanaman Hutan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB

Aswin. 2007. Evaluasi stabilitas genetik tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) hasil kultur in vitro[Tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Aswoko G. 2009. Wahana gaharu.http:// wahanagaharu.blokspot. com/2009/02/ spesifikasi-klasifikasi-gaharu.html [30 Januari 2011]

[Balitbanghut] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.2006. Budidaya Gaharu dan rekayasa produksinya [Leaflet]. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservassi Alam

Barden A, NAwang AnakT, MullikenM, Song. 2000. Heart of the matter: Agarwood use andtrade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC report.

Boer D. 2007.Keragaman dan struktur genetik populasi jati Sulawesi Tenggara berdasarkan marka Mikrosatelit [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Deguilloux MF, Pemonge MH, Petit RJ. 2004. DNA based control of Oak wood geographic origin in the context of cooperage industry. Ann. For. Sci. 61: 97-104

Eurlings MCM, Van Beek HH, Gravendeel B. 2009. Polymorphic microsatellites for forensic identification of agarwood (Aquilaria crassna). FSI-197 30:34

(32)

30  

  Finkeldey R. 2005. Pengantar Genetika Hutan Tropis. Djamhuri E, Siregar IZ,

Siregar UJ, Kertadikara AW, penerjemah.Gottingen: Institute of Forest Genetics and Forest Tree Breeding. Terjemahan dari : An Introduction to Tropical Forest Genetic

Finkeldey R, Rachmayanti Y, Nuroniah H, Nguyen NP, Cao C, Gailing O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of dipterocarps. In: Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Godoy JA, Jordano P. 2001. Seed dispersal by animals: exact identification of source trees with endocarp DNA microsatellites. Mol. Ecol. 10: 2275-2283

Harada K, Giang LH, Hong PN, Tuan MS. 2003. Genetic variation of Avicennia marina (Forsk) Vierh.(Avicenniaceae) in Vietnam revealed by microsatellite and AFLP markers.Genes Genet.Syst 78 : 399-407

Harada K, Giang LH, Geada GL, Hong PN, Tuan MS, Lien NTH, Ikeda S. 2006.Genetic variation of two mangrove species in Kandelia (Rhizophoraceae) in Vietnam and surrounding area revealed by microsatellite markers.Int. J. Plant Sci 167(2) : 291-298

Hartati D, Rimbawanto A, Taryono, Sulistyaningsih, Widyatmoko. 2007. Pendugaan keragaman genetic di dalam dan antar provenan Pulai (Alstonia scholaris (L.) R. Br.) menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 : 89-98

Heuertz M, Fineschi S, Anzidei M, Pastorelli R, Salvini D, Paule L, Lacoste LN, Hardy OJ, Vekemans X, and Vendramin GG. 2004. Chloroplast DNA variation and postglacial recolonization of common ash (Fraxinus excelsior L.) in Europe. Molecular Eology 13: 3437-3452.

James C, Akiko I. 1994. The Use and Trade of Agarwood in Japan: 1-21.

Kamiya K, Harada K, Tachida H, Ashton PS. 2005. Phylogenetic of PgiC gen in Shorea and its closely related genera (Dipterocarpaceae) the dominant trees in Southeast Asian tropical rain forest. Am. J. Bot. 92 (5): 775-788

Lee SL, Tani N, Ng KKS, Tsumura Y. 2004.Isolation and characterization of microsatellite loci for an important tropical tree Shorea leprosula (Dipterocarpaceae) and their applicability to S.parvifolia. Molecular Ecology Notes 4: 222-225

(33)

methods for the identification of timber origins”, October 8-9 2007, Germany

Mahfudz, Na’iem, Sumardi, EB Hardiyanto. 2011. Variasi genetik dalam dan antar populasi alam Merbau (Intsia bijuga O.Ktze) di Papua dan Maluku.Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.Edisi Juli 2011, Vol.5 No.1

Mulyadiana A. 2010. Keragaman genetik Shorea leavis Ridl.Di Kalimantan berdasarkan penanda mikrosatelit [Skripsi].Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Nasoetion M. 2004. Marka molekuler. http://psb-psma.org/content/blog/2423-marka-molekuler [11 Desember 2010]

Rambey R. 2011. Pengetahuan Lokal Sistem Agroforestri Mindi (Melia azedarach L.) (Studi Kasus di Desa Selaawi, Kecamatan Talegong, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat) [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor

Rohlf FJ. 1998. Numerical Taxonomy and Analysis System (NTSYSpc) Version 2.0. New York: Department of Ecology and Evolution Sate University of New York.

Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta:Japan International Coorperation Agency (JICA)

Siregar IZ. 2000. Genetic aspects of the reproductive system of Pinus merkusii Jungh.et de Vriese in Indonesia. [dissertation]. Göttingen. Faculty of Forest Sciences and Forest Ecology, Georg-August University of Göttingen.147 p.

Siregar IZ, Siregar UJ, Karlinasari L. dan Yunanto T. 2008. Pengembangan Penanda Genetika Molekuler untuk Lacak Balak (Studi Kasus pada Jati). Laporan Akhir Hibah Bersaing. Bogor :LPPM Institut Pertanian Bogor

Smulders MJM, Van ‘T Westende WPC, Diway B, Esselink GD, Van Der Meer PJ and Koopman WJM. 2008. Development of microsatellite markers in Gonystylus bancanus (Ramin) useful for tracing and tracking of wood of this protected species. Molecular Ecology Resources 8: 168 –171

Sukandar. 2009. Pengembangan HHBK Jenis Gaharu (Aquilaria malaccenis) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Workshoop HHBK. Dinas Kehutanan Propinsi Bangka Belitung

(34)

32  

  Suryo. 2008. Genetika. Yogyakarta : Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada

Ujino T, Kawahara T, Tsumura Y, Nagamitsu T, Yoshimaru H, Wickneswari R. 1998. Development and Polymorphisme of Simpel Sequence Repeat DNA Marker ForShorea curtisii and Other Dipterocarpaceae Species. Heredity 81 : 422-428

Wulandari Y. 2008. Analisis keragaman genetik kayu afrika (Maesopsis eminii Engl.) berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphik DNA (RAPD) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB

Yeh FC, Yang R. 1999. POPGENE Version 1.31 : User Guide Centre for International Forestry Research: Universitas of Alberta

(35)

LASWI IRMAYANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(36)

iii 

LASWI IRMAYANTI. Keragaman

GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit.Dibimbin goleh ISKANDAR Z. SIREGAR

RINGKASAN

Gaharu merupakan salahsatuHasilHutanBukanKayu (HHBK) yang memiliki kandungan damar wangidengan keharuman yang khas,sehinggabanyakdigunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik, dupa, pengawet serta untuk keperluan ritual keagamaan. Eksploitasi gaharu yang berlebihanmengakibatkan kelangkaan dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Kelangkaan ini menyebabkan gaharu masuk kedalam daftar CITES Apendiks II, dengankonsekuensinyayaitupenjualan ekspor dan impor gaharu diaturolehkuota.Akan tetapi, kuotainitidak membedakan gaharu alami atau budidayasehingga masihmendorong terjadinyapraktek penebangan liar.Olehkarenaituperludilakukanupayapengendalian yang

efektfterhadapasal-usulkayugaharu.Akhir-akhirinipenggunaanpenanda DNA menjadipentinguntukmemverifikasiasal-usulkayudanbahantanamankarenasifatnya yang

sulitdimanipulasisehinggaperludiujicobapadakayugaharu.Penelitianinibertujuanuntuk 1) melakukanamplifikasisilang primer mikrosatelitAquilariacrassnakejenisgaharulainnya, dan 2) mendugaasalusulkayugaharuyang diperdagangkan di pasaran.Bahanpenelitianyaitupopulasigaharudarihutanalamdantanamansertakayugaharu

yang tidakdiketahuiasal-usulnya.Primer mikrosatelitA.crassna yang

digunakandalamamplifikasi DNA gaharuadaempatmacam, yaitu 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), dan 71pa17 (152-224 bp).Berdasarkanhasilpengamatandidapatkanbahwasemuajenissampelgaharubaikdarihutan alammaupunhutantanamandapatmengamplifikasisilangpadarentangukuranfragmen DNA

yang diharapkan.Analisisgenetikmenunjukkannilaikeragamangenetik (He)

dalampopulasigaharusebesar He=0.5443 (hutantanaman), dan He=0.4642 (hutanalam).

Nilaikeragamangenetiktersebutdapatdigunakansebagaiinformasiilmiahuntukupayapengko

nservasiangaharu.PadadendrogramNtsys (analisisklaster) terlihatadanyapengelompokangaharuasalhutantanamandanhutanalam,

dimanasampelpotongan kayu gaharu dengan asal-usul tidak jelas mengelompokke gaharudari hutanalam. Hal inimengindikasikanbahwakayu gaharu yang diperdagangkan masih berasal dari hutan alam.

(37)

ABSTRACT

Agarwood is one of the valuable Non Timber Forest Products (NTFPs) that contain resin with a specific fragrance, and is often used as raw materials of perfumes, pharmaceuticals, cosmetics, incense, preservatives as well as religious activities. Overexploitation of agarwoodhas resulted in scarcity of agarwood in the nature leading to the lossesof treesof superior genotypes. This scarcity has led agarwoodto be included into the CITES Appendix II list in which a quota system is imposed for trading activities. However, this quota still does not distinguish clearly between natural or cultivatedagarwood, opening opportunities for illegal trading practices. It is therefore necessary to provide an effective attemptsto control of the origin of. Nowdayas, the use of DNA markers gains significant importance in the forensic activities such as verification of the origin of timber and plant materials. This tool is difficult to be manipulated. Therefore, a study was carried with aims to 1) cross amplify

Aquilariacrassna microsatellite primers into other agarwood species (transferability study), and 2) to infer the origin of agarwoodbeing traded in the market. Materials for research were populations of agarwood from natural and planted forests and agarwood pieces of unknown origin. A.crassna microsatellite primers were used, namely 6pa18 (180-210 bp), 10pa17 (152-156 bp), 16pa17 (143-155 bp), and 71pa17 (152-224 bp). Results showed thatagarwood samples from both natural forests and plantations could cross amplify with expected fragment size ranges.Resultshowedthatgenetic diversity (He)

in the planted forest was 0.5443 a slighty higher than that of natural forest (He=0.4642).

Information on the level of genetic diversities can be used as scientific basis for conservation program. Cluster analysis showed different groupings of agarwood originated from plantations and natural forests. Futher analysis showed that agarwoodtimbers with unclear origins clustered intoagarwoodgroupd from natural forests indicatingcommon existence of traded natural agarwood.

Keywords: agarwood, cross amplification, microsatellite, CITES, genetic diversity.

(38)

ii 

KERAGAMAN GENETIK GAHARU BUDIDAYA DAN ALAMI

BERDASARKAN PENANDA MIKROSATELIT

Oleh :

LASWI IRMAYANTI E44070003

Skripsi

Sebagaisalahsatusyaratuntukmemperoleh gelar Sarjana Kehutanan padaFakultasKehutanan

InstitutPertanian Bogor

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(39)

JudulSkrips i

: Keragaman

GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosa telit

Nama : LaswiIrmayanti

NIM : E44070003

Menyetujui Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar ,M.For.Sc. NIP. 19660320 199002 1 001

Mengetahui,

KetuaDepartemenSilvikultur Fakultas Kehutanan IPB

(40)
(41)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelit” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing yang belum pernah digunakan sebagai karya pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

(42)

viii  RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada tanggal 23 Agustus 1988, putri dari pasangan Jayus dan Rupi’in. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN Sumurcinde I.Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMP Negeri 1 Soko. Padatahun 2007, penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tuban, dimana pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Silvikultur dengan sistem Mayor-Minor.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni pada periode tahun 2007/2008 sebagai staf FORCES (Forum for Scientific Studies), aktif di Himpro TGC (Tree Grower Community) divisi Scientific Improvement 2008-2010, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) periode 2009/2010 sebagai bendahara umum. Penulis pernah menjadi asisten program TPB IPB (Tingkat Persiapan Bersama) pada mata kuliah Fisikatahun 2009/2010, untuk program Sarjana pada mata kuliah: Silvikultur (2010), Genetika Hutan (2010-2011), dan Pemuliaan Pohon (2010). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada bulanJuli 2011.

Selama perkuliahan, penulis mengikuti PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan)yang dilaksanakan di Pangandaran–Gunung Sawal. PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi. PKP (Praktek Kerja Profesi) dilaksanakan di PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, Kalimantan Selatan pada periode Februari – April 2011. Guna memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

skripsi dengan judul Keragaman Genetik GaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanPenandaMikrosatelitdibawahbimbinganPro

(43)

Pujisyukurpenulispanjatkanataskehadirat Allah SWT yang telahmemberikanrahmatdanhidayah-Nya,

sehinggapenulisdapatmenyelesaikanpenulisan skripsiini. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, suri tauladan yang telah memberikan petunjuk kepada seluruh umat manusia.

Skripsiinimerupakansalahsatusyaratuntukmendapatkan gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas KehutananInstitutPertanian Bogor. Skripsi ini berjudul “Keragaman GenetikGaharuBudidayadanAlamiBerdasarkanMetodeMikrosatelit”.

Penulisanskripsi ini diharapkandapatmembukawacanakeilmuandalambidangkehutananterutamamenge

naikeragamangenetikgaharu, baikgaharupadahutantanamanmaupunhutanalam, sertadapatbergunabagisemuapihak yang berkepentingan.

Penulismengucapkanterimakasihkepadasemuapihak yang membantudalam menyelesaikanskripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi masukan dan perbaikan untuk penelitian yang akan datang.

Bogor, November 2011

(44)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof.Dr. Ir Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. selakudosenpembimbingatas bimbingan dan ilmunya yang telah diberikan.

2. RestiMeilaniS.Hut, M.Si selaku dosen

pengujidanDr.ArumSekarWulandariselakuketuasidang

3. Bapak tercinta Jayus dan Emak tercinta Rupi’indan Adik tersayang Taman Agung yang telah menyemangati dan mendoakan penulis.

4. Tedi Yunanto, S.Hut. M.Si, Fifi Gus Dwiyanti, S.Hut dan Elviana, S.Hut yang telah membantu penulis selama penelitian

5. Teman-teman di Laboratorium Genetik Silvikultur (Asep Mulyadiana, S.Hut, Azizah, Eka Perdanawati, Mira Novianti, Ridahati Rambey S.Hut, M.Si, Dr. Ir. Yulianti, MS, dan Dra. Dida Syamsuwida MSc)

6. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Silvikultur 44 (Hendra Prasetya, Lilik Sugirahayu,Nifa Hanifa, Nurunnajah, Anindita Kusumaningrum, Yuniar Safitri, danCyntia Yuni Ardanari), 45 dan 46 terimakasih atas do’a dan dukungannya, sertateman-teman yang tidakbisasayasebutkansatu per satu. 7. Keluarga Besar HMI Komisariat Fakultas Kehutanan IPB (Alex Yungan,

Wira Ari Ardana, DindaHidayanti, Sri Handayani, danNiaWidyastuti)

8. Teman-temanwismaAr-Riyadh (Lili Suryani, Ririn Masrina, Sri Lestari, Yunita Fatmah Sujati, Gita, Nurzakiyah, Maya Wulan ArinidanFitriani Rahayu)terimakasihatasbantuandandukungannya

9. Keluarga Besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Ronggolawe Tuban (IPMRT) 10. Civitas akademik Fakultas Kehutanan atas kekeluargaannya

11. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor

Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangannya.

(45)

KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... x DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii DAFTAR LAMPIRAN ... xiv BAB I.PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1DeskripsiSingkatGaharu ... 3 2.2Cites ... 4 2.3Deoksiribonukleat Acid (DNA) ... 5 2.4KeragamanGenetik ... 6 2.5PCR (Polymerase Chain Reaction) ... 8 2.6Mikrosatelit ... 9 BAB III. METODE PENELITIAN ... 11 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 11 3.2 Alat dan Bahan ... 11 3.3 Prosedur Penelitian ... 13 3.3.1 Pengambilan Sampel Daun ... 13 3.3.2 Ekstraksi DNA ... 13 3.3.3 Elektroforesis ... 14 3.3.4 PCR ... 14 3.3.5 Pembuatan Gel Poliakrilamid ... 15 3.4 Analisis Data ... 17 BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

(46)

xii  4.3Keragaman Genetik antarPopulasiJenisGaharu ... 22 4.4Pendugaan Kayu Gaharu dengan Asal-usul tidak Jelas ... 24 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 28 DAFTAR PUSTAKA ... 29 LAMPIRAN ... 33

(47)
(48)

xiv  DAFTAR GAMBAR

(49)
(50)

1  

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu merupakan salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang

memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon

penghasil gaharu, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi secara alami atau

buatan pada pohon gaharu.Adanya kandungan damar yang wangi dalam gaharu

ini, gaharu sering digunakan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan,

kosmetik, dupa, pengawet, serta untuk keperluan kegiatan agama.

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan Aquilaria dan

Gyrinops.Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003) saat ini di Indonesia

diketahui terdapat 6 jenis Aquilaria yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu

A.beccariana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis,A.cumingiana, dan A.

microcarpa.

Perdagangan gaharu di Indonesia tercatat telah dimulai sejak abad

ke-5.Cina merupakan pembeli terbesar untuk produk-produk gaharu.Perdagangan

gaharu berlanjut pada masa pemerintahan Belanda (dari abad ke-18 sampai

permulaan abad ke-19) dan berlangsung hingga sekarang (Soehartono dan

Mardiastuti 2003).

Eksploitasi gaharu yang disertai pembalakan hutan mengakibatkan

kelangkaan pohon gaharu dan hilangnya pohon (genotipe) unggul. Akibat

kelangkaan tersebut menurut Balitbanghut (2006) semua jenis Aquilaria, dan

Gyrinops ditempatkan pada CITES Apendiks II (Lampiran I),konsekuensinya

yaitupenjualan ekspor dan impor gaharu ditentukan kuota dan harus mendapat izin

dari CITES. Akan tetapi, kuota ini tidak membedakan gaharu alam atau budidaya

sehingga mendorong praktek penebangan liar.Oleh karena itu, perlu dilakukan

usaha pengendalian asal-usul kayu gaharu agar tetap terjaga kelestariannya.Hal ini

meningkatkanpengendalian perdagangan gaharu komersial di semua negara yang

berpartisipasi.

Pengendalian perdagangan internasionaldenganmetode deteksi tradisional

seperti cahaya mikroskop, gagal untuk membedakan antara gaharu legal dan

(51)

gaharu dari hutan alam dan hutan tanaman serta kepentingan pengendalian

perdagangan gaharu internasional diperlukan metode identifikasi alternatif yang

dapat diandalkan dan sulit dimanipulasi, misalnya dengan marka DNA.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Melakukan amplifikasi silang penanda mikrosatelit dari jenis Aquilaria crassna

ke jenis gaharu lainnya

2. Menduga asal usul kayu gaharu yang saat ini diperdagangkan di pasaran.

1.3Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar

tentang kelayakan metode DNA untuk menduga asal-usul kayu dan jenis-jenis

gaharu yang diperdagangkan sehingga dapat digunakan untuk pengendalian

Gambar

gambar peralatan yang digunakan disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 2 Lokasi pengambilan dan  jumlah sampel penelitian
Gambar 4 BaganAlur Penelitian
Tabel 4 Komponen Bahan yang Digunakan dalam Reaksi PCR.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulannya yang dapat diambil dari uraian di muka adalah bahwa perilaku keorganisasian adalah suatu studi tentang apa yang dikerjakan oleh orang-orang dalam

Pengaruh Zuhud Dalam Pengelolaan Ekonomi Islam Sebuah.. Analisis Terhadap Pandangan

[r]

Abdidalem adalah seseorang yang melakukan pengabdian dengan tulus ikhlas untuk Keraton dan dalam pengabdiannya tersebut mereka mengharapkan berkah dari Keraton

PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO UNIT LAYANAN PENGADAAN BARANG/JASA KELOMPOK KERJA 02 (POKJA 02) DI RUM AH S AKIT UMU M " Dr.. Kapten Piere

Berdasarkan Penetapan Pemenang Pelelangan Nomor : 239/ULP-POKJA.JL/XI/2015 Tanggal 05 Nopember 2015 dan Berita Acara Hasil Pelelangan Nomor :

Zdecydowaną większość cech przypisywanych przez Bordwella kinu artystycznemu odnaleźć można w fi lmach Kim Ki-duka, jedyny wyraźny wyjątek stanowi niemal zupełne pomijanie

21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik yang bertujuan untuk meningkatkan hasilguna dan dayaguna produk GMO bagi kesejahteraan rakyat berdasarkan prinsip