• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

J. Anak Berkelainan Pendengaran

Dalam KBBI, tunarungu berarti tidak dapat mendengar. Secara medis, anak

dikatakan menderita kelainan pendengaran atau tunarungu jika karena sesuatu hal

berakibat dalam mekanisme pendengaran, terdapat satu atau lebih organ yang

mengalami gangguan atau rusak. Akibatnya, organ tersebut tidak mampu

menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara

yang ditangkap untuk diubah menjadi tanggapan akustik (Efendi, 2006).

Secara pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan sebagai anak

berkelainan pendengaran atau tunarungu, jika dampak dari disfungsinya

organ-organ yang berfungsi sebagai penghantar dan persepsi pendengaran

mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program pendidikan anak normal

sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti perkembangannya

(Efendi, 2006).

Proses pendengaran dikategorikan normal, apibila sumber bunyi di dekat

telinga yang memancarkan getaran-getaran suara dan menyebar ke sembarang

arah dapat tertangkap dan masuk ke dalam telinga sehingga membuat gendang

pendengaran mengalami gangguan. Anak yang berada dalam keadaan kelainan

pendengaran seperti itu disebut anak berkelainan pendengaran atau anak

tunarungu.

Gangguan fungsi pendengaran yang dialami oleh penyandang tunarungu

tidak semuanya pada derajat yang sama. Namun demikian, perlu dipahami bahwa

kelainan pendengaran dilihat dari ketajamannya untuk mendengar dapat

dikelompokkan dalam beberapa jenjang. Asumsinya, makin berat kelainan

pendengaran berarti semakin besar intensitas kekurangan ketajaman

pendengarannya (hering loss) (Efendi,2006).

Krik (1970) dalam Efendi (2006) mengemukakan bahwa anak yang lahir

dengan kelainan pendengaran atau kehilangan pendengarannya pada masa

kanak-kanak sebelum bahasa dan bicaranya terbentuk disebut dengan anak tunarungau

pre-lingual. Jenjang ketunarunguan yang dibawa sejak lahir, atau diperoleh pada masa kanak-kanak sebelum bahasa bicaranya terbentuk, ada kecenderungan

termasuk dalam kategori tunarungu berat. Sedangkan anak lahir dengan

pendengaran normal, namun setelah mencapai usia dimana anak sudah

mengalami percakapannya tiba-tiba mengalami kehilangan ketajaman

pendengaran, kondisi anak yang demikian disebut anak tunarungu post-lingual. Jenjang ketunarunguan yang diperoleh anak setelah anak memahami percakapan

atau bahasa dan bicaranya sudah terbentuk, ada kecenderungan termasuk dalam

2. Klasifikasi anak tunarungu.

Ketajaman pendengaran biasa diukur dengan satuan bunyi deci-Bell

(disingkat dB). Dengan disepakatinya menggunakan satuan ini maka dalam

mengukur dan mengklasifikasikan ketajaman pendengaran anak tunarungu

menjadi lebih mudah dilakukan. Pendengaran manusia dikatakan normal apabila

hasil tes pendengaran menunjukkan angka 0 dB. Namun hal ini jarang sekali

terjadi dan hampir tidak ada. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam

pendengarannya, namun orang yang kehilangan ketajaman pendengaran antara

0-20 dB masih dianggap normal. Dalam kondisi ini orang masih dapat menerima

rangsang bunyi secara normal.

Menurut Efendi (2006), ditinjau dari kepentingan pendidikannya, secara

terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:

a. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20 30 dB (slight losses). Untuk kepentingan pendidikan pada anak tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemahaman.

b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30 40 dB (mild losses). Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu membaca bibir, latihan pendengaran, latihan bicara artikulasi,

serta latihan kosakata.

c. Anak tunarungu yang kehilangan pendegarannya antara 40 60 dB (moderet losses). Kebutuhan layanan pendidikan untuk kelompok anak tunarungu ini meliputi artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosakata,

serta perlu menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman

pendengaran.

d. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60 75 dB (severelosses). Kebutuhan pendidikan kelompok anak tunarungu ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir, dan latihan pembentukan

kosakata.

e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly losses). Kebutuhan layanan pendidikan anak tunarungu kelompok ini meliputi membaca bibir, latihan mendengar untuk kesadaran, latihan

membentuk dan membaca ujaran dengan menggunakan pengajaran

khusus, seperti tactile kinesthetic, visualisasi yang dibantu dengan segenap kemampuan indranya yang tersisa.

3. Dampak Ketunarunguan.

Anak yang mengalami ketunarunguan akan menanggung dampak yang

kompleks dalam hidupnya, terutama berkaitan dengan masalah kejiwaannya.

Anak akan mengalami guncangan karena tidak mampu mengontrol

lingkungannya. Hal tersebut akan lebih terasa ketika anak harus mulai berjuang

dalam meniti tugas perkembangannnya. Anak akan mengalami hambatan

terutama dalam aspek bahasa, kecerdasan, dan penyesuaian sosialnya. Oleh

karena itu, anak penyandang tunarungu memerlukan layanan khusus untuk

membimbingnya dalam mengembangkan potensi serta meniti tugas

Ada dua bagian penting yang mengikuti dampak terjadinya hambatan yang

muncul akibat ketunarunguan. Pertama, kosekuensi akibat gangguan pendengaran

atau tunarungu tersebut bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan dalam

menerima segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitarnya.

Kedua, akibat kesulitan menangkap bunyi tersebut konsekuensinya penderita

tunarungu akan mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi

bahasa yang ada di sekitarnya (Efendi, 2006).

Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang,

bicara dan pendengaran sangat penting dalam mendukung perkembangan

seseorang. Jika salah satu dari ketiga hal tersebut terganggu, maka perkembangan

seseorang pun akan ikut terganggu. Apalagi jika lingkungan tempat anak tinggal

kurang mendukung perkembangannya. Anak yang tidak mendapatkan pendidikan

yang berkualitas baik dari sekolah maupun dari lingkungan keluarganya, akan

tampak terbelakang serta tampak tidak komunikatif. Namun anak yang

berkembang pada lingkungan yang tepat, perkembangannya akan lebih optimal.

4. Kemampuan Bicara dan Bahasa Anak Tunarungu.

Sebagian besar penderita tunarungu cenderung juga mengalami tunawicara.

Hal ini menjadi sulit dipisahkan karena keduanya mempunyai hubungan yang

sangat erat dan menunjukkan hubungan sebab akibat. Namun tidak semua anak

tunarungu juga tunawicara. Terdapat anak tunarungu yang dapat berbicara

dialami anak secara langsung dapat berpengarauh terhadap kelancaran

perkembangan bahasa bicaranya.

Terhambatnya perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu jelas

merupakan masalah utama, karena perkembangan bahasa dan bicara manusia

mempunyai peranan yang amat vital. Whors (1956, dalam Efendi, 2006)

berpendapat bahwa perkembangan intelektual sangat ditentukan oleh

pengalamannya terutama dalam bahasa. Hal ini dikarenakan bahasa dapat

digunakan untuk menerima konsep-konsep dalam ilmu pengetahuan. Tanpa

bahasa dan bicara, hal- hal yang dilihat anak tunarungu dalam kehidupan

sehari-hari hanya seperti pertunjukan film bisu, mereka hanya bisa menangkap secara

visual saja. Rata-rata anak mengalami masalah dari aspek kebahasaanya antara

lain adalah miskin perbendaharaan kosakata, sulit mengartikan ungkapan bahasa

yang mengandung arti kiasan atau sindiran, kesuliatan dalam mengartikan

kata-kata abstrak, dan kesuliatan dalam menguasai irama dan gaya bahasa

(Sastrawinata, 1979 dalam Efendi 2006).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak tunarungu mengalami

gangguan kemampuan bicara. Bagian ini antara lain:

a. anak tunarungu mengalami kesukaran dalam penyesuaian volume suara.

b. anak tunarungu memiliki kualitas suara yang monoton

c. anak tunarungu kesulitan dalam melakukan artikulasi bicara secara tepat.

Pendekatan yang lazim digunakan dalam mengembangkan kemampuan

dididik menggunakan komunikasi total (kombinasi antara oral dan isyarat)

memiliki kemampuan yang lebih baik dibanding yang dididik menggunakan oral

saja atau isyarat saja.

5. Karakteristik Kecerdasan Anak Tunarungu

Kecerdasan anak tunarungu sebenarnya tidak berbeda dengan anak normal

pada umumnya. Hal ini disebabkan anak tunarungu ada yang memiliki tingkat

kecerdasan di atas rata-rata (superior), rata-rata (average), maupun di bawah rata-rata (subnormal). Akibat dari dampak ketunarunguan, maka terkadang anak tunarungu seperti mengalami keterbelakangan dan tingkat kecerdasannya menjadi

tampak seperti dibawah anak normal.

Bagi anak tuna rungu yang tidak disertai dengan kelainan yang lain, ia

memiliki intelegensi yang normal. Perkembangan kognitif anak tuna rungu

mengalami hambatan jika dibandingkan dengan anak normal. Hal ini

dikarenakan ketunaan yang mereka miliki menjadi hambatan dalam hal

menerima informasi yang akan mendukung proses belajarnya (Ahmadi, 1991).

Akibat yang ditimbulkan oleh kelainan pendengaran adalah kelemahan dalam

mengidentifikasi ucapan yang diterimanya speech intellegency dan speech comperehension anak tunarungu yang mempunyai kemampuan bahasa yang lebih sulit strukturnya.

Dokumen terkait