• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)

a. Anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan;

b. KUH Perdata Tahun 1847 pasal 330 ayat (1) ʻʻseseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut sudah menikah sebelum umur 21 tahun”;

c. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)

ʻʻanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Anak Luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak luar kawin dalam pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki 2 pengertian, pengertian pertama adalah anak hasil dari nikah siri atau nikah bawah tangan dan pengertian kedua anak karena kehamilan di luar perkawinan. (M Nurul Irfan, 2015:149)

5. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik, dan;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

F. Tinjauan Pustaka

Sesungguhnya penelitian dan pembahasan tentang Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin, sudah pernah diangkat menjadi karya tulis ilmiah baik dalam bentuk buku, skripsi maupun karya tulis yang lainnya. Penulis menemukan beberapa tema yang sama yaitu:

1) Skripsi Abdul Latief yang berjudul Status Anak Yang Lahir Diluar Nikah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) yang isinya membahas anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan sama sekali tidak tersentuh pernikahan. Karena bukan anak yang

dilahirkan dari perzinahan maka mempunyai hubungan perdata dengan ayah bilogisnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai realitas yang ada. Artinya setiap anak yang dilahirkan harus memperoleh hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (bapak-ibunya).

2) Skripsi Ahmad Fariz Ihsanuddin yang berjudul Anak Luar Nikah Dalam

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MK Tentang Status Anak Luar Nikah) yang isinya adalah status anak luar nikah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah wanita hamil. Mazhab Syafi’i menyatakan sah-sah saja dilakukan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh untuk berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan. Terkait dengan kedudukan anak luar kawin perspektif fiqih anak luar nikah tidak dianggap sebagai anak sahkarena itu berakibat hukum : tidak adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah.

3) Skripsi Khairul Anam yang berjudul Status Anak Dalam Putusan

yang isinya membahas anak yang terbukti terlahir sebagai akibat dari pernikahan sirri yang sah secara syar’i, maka hubungan perdata dapat dimaknai secara umum, sehingga anak bisa dinasabkan pada ayahnya, bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah serta kewajiban pemberi nafkah. Untuk anak yang terlahir sebagai akibat perzinahan,

maka “hubungan perdata” harus dimaknai secara khusus yakni terbatas

pada adanya kewajiban perdata untuk memberikan nafkah atau memenuhi segala kebutuhan hidup anak tersebut sampai dewasa dan bisa berdiri sendiri serta tidak bisa terjadi hubungan nashab dan saling mewarisi.

Secara umum, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sebelumnya ialah, penelitian ini berpijak pada Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitap Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat. Sehingga pembahasannya lebih lengkap mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode penelitian yang diantaranya adalah:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan a. Jenis penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.( Seorjono Seokanto, 1986: 32) Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas permasalahan yang diangkat.

b. Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 24). Metode ini digunakan untuk memperoleh data ilmiah dan informasi yang berkaitan dengan skripsi ini, baik yang berupa literature-literature seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber informasi lainnya yang berbentuk tertulis.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk data sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan pustaka (penelitian kepustakaan). Dimana data yang diperlukan dapat diperoleh dan bersumber dari: (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 12)

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

i. Putusan Mahkamah Konstitusi

b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang mendukung atau menunjang skripsi ini yang berupa buku-buku, artikel, jurnal dan bahan kepustakaan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan pustaka. (Seorjono Seokanto, 1986: 66)

4. Analisis Data

Penulis menggunakan metode deskriptif analisi dalam menganalisis data. Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas permasalahan yang diangkat. (Seorjono Seokanto, 1986:69)

H. Sistematika Penulisa

Untuk memberika pemahaman dalam memahami penelitian ini, penyusun membuat sistematika penelitian yang terbagi menjadi lima bab, dan setiap bab terbagi menjadi sub bab, yaitu sebagaimana berikut:

Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunanaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metodelogi penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data pengecekan keabsahan ) dan sistematika penulisan.

Bab II, dipaparkan tinjauan umum tentang anak meliputi pengertian anak, hak anak, status dan kedudukan anak serta tinjauan umum tentang hukum waris dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.

Bab III, adalah Deskripsi Yurispudensi. Dalam bab ini membahas tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan perkara, pertimbangan-pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Bab IV, Analisis Data. Dalam bab ini akan membahas tentang analisis kedudukan anak luar kawin dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin

dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

Bab V, kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan akhir yang diperoleh penyusun setelah mengkaji, mencermati, dan memahami dari hasil penelitian serta beberapa rekomendasi/saran untuk penelitian selanjutnya.

BAB II Kajian Pustaka A. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak pada umumnya

Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan hukum yang berbeda. Ini dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa, utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, akibatnya ketentuan hukum yang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW

(Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat, sebagai hukum tidak tertulis. Masing-masing hukum tersebut, dalam hal asal-usul anak memiliki persamaan dan perbedaan terutama dalam segi hak, etika dan moral. (Ahmad Rofiq, 2017: 177)

Terlepas dari asal-usulnya, setiap anak dilahirkan memiliki hak yang melekat secara otomatis dalam dirinya, dimana dalam hubungan orangtua-anak, hak-hak anak tersebut merupakan kewajiban bagi orang tuanya. Hak-hak anak tersebut antara lain menurut I Nyoman Sujana:

a. Hak atas kelangsungan hidup (Survival Rights)

b. Hak untuk tumbuh berkembang (Development Rights)

d. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). (I Nyoman Sujana, 2015: 50)

Dari uraian di atas mengenai anak, dapat dikatakan bahwa pengertian anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi untuk lebih jelasnya maka perlu dikaji mengenai anak sah maupun anak tidak sah atau anak luar kawin.

2. Anak Sah

a. Anak Sah menurut Hukum Islam

Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqih, para ulama’ sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai nasab kepada ibu dan saudara ibunya.

(Ahmad Rofiq, 2017: 177).

Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan agama Islam mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara nasab. Kata nasab sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu ابسن – بسني – بسن yang artinya keturunan. Nasab yang sudah menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI diartikan sebagai keturunan atau pertalian keluarga.

berdasarkan hubungan darah baik ke atas, ke bawah, maupun kesamping, yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan secara syubhat. (M Nurul Irfan, 2015: 26).

Menurut Abdul Manan dalam pandangan hukum Islam ada empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu (1) kehamilan

bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar; (2) tenggang waktu kelahiran dan pelaksanaan perkawinan sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang

ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa

terpendek dari suatu kehamilan; (3) anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang waktu kehamilan; (4) suami tidak

mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. (Abdul Manan,

2006: 79).

Memelihara dan menjaga kemurnian nasab dalam ajaran agama Islam sangat penting sebab hukum Islam akan selalu terkait dengan struktur keluarga, baik hukum yag berkaitan dengan perkawinan maupun yang berkaitan dengan kewarisan. Kalau dalam hukum perkawinan, nasab merupakan penyebab adanya hukum keharaman untuk saling menikah, sementara dalam hukum kewarisan nasab merupakan salah satu penyebab seseorang mendapatkan hak

waris terhadap harta warisan. (M Nurul Irfan, 2015: 15).

Jadi, jelas sekali anak yang sah menurut hukum Islam adalah anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah. Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang sah, ia disebut sebagai anak sah. ( Ahmad Rofiq, 2017: 181).

b. Anak Sah Menurut UU Perkawinan dan KHI

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang asal-usul anak sah dalam pasal 42, “anak yang sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah”. Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi

toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang di kandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. (Ahmad Rofiq, 2015: 178).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, mengenai sah atau tidaknya anak harus ada bukti yang jelas. Pembuktian asal usul anak yang dapat dibuktikan bahwa anak itu sah, terdapat dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 yang menyatakan:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang;

2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat;

3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan

mengeluaran akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 di atas, tampak bahwa satu-satunya yang dapat membuktikan keabsahan seorang anak hanyalah akte kelahiran. Mengenai penetapan yang dilakukan oleh Pengadilan sebagaimana pasal 55 ayat (2) di atas, hanyalah suatu cara untuk mendapatkan akte kelahiran.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dijelaskan tentang kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal tersebut yang berbunyi anak yang sah adalah:

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

2) Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan di lahirkan oleh isteri tersebut.

Dalam KHI juga menentukan bahwa akta kelahiran merupakan bukti sah atau tidaknya anak, sebagaimana pasal 103 KHI yaitu:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya;

2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah;

3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yag bersangkutan.

Dalam UU Perkawinan dan KHI menjelaskan bahwa anak yang lahir dari atau dalam ikatan perkawinan yang sah, baik

perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran bayi, maka status anaknya sah. Ini membawa implikasi bahwa anak

yang “hakikatnya” hasil dari perzinaan, secara formal dianggap anak

sah. (Ahmad Rofiq, 2017, 181). Karena secara formal yang dapat membuktikan sah atau tidaknya anak sama yaitu akta kelahiran.

c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata atau BW (Burgerlijk Wetbook) yang

membahas tentang anak sah ada dalam pasal 250 yaitu, “Tiap-tiap anak yang di lahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan,

memperoleh si suami sebagai bapaknya”

Ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan atau anak yang ditumbuhkan dalam suatu perkawinan dan mendapatkan si suami sebagai bapaknya, dan pengertian sebaliknya dari rumusan pasal di atas dapat di kategorikan sebagai anak yang tidak sah. Dua kategori keabsahan anak dalam ketentuan Pasal 250 BW dapat diuraikan menjadi : a. anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, dan b. anak yang ditumbuhkan sepanjang perkawinan. ( I Nyoman Sujana, 2015: 63)

Dalam Hukum Perdata (BW) juga menetukan bahwa sah atau tidaknya harus dibuktikan dengan jelas. Pembuktian anak sah atau

tidak ada pada pasal 261-262 yang menyatakan :

Pasal 261, keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam register catatan sipil;

Dalam hal tak adanya akta-akta yang demikian, maka, jika anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan sebagai anak-anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup;

Pasal 262, penikmatan akan kedudukan itu dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya, maupun masing-masing, memperhatikan suatu pertalian karena kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan keturunan harus dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang terpenting ialah:

1) Bahwa orang itu selalu memakai nama bapak, yang mana katanya telah menurunkan dia;

2) Bahwa bapaknya itu selalu memperlakukan dia sebagai

anaknya dan sebagai anaknya pun telah mengatur pendidikan, pemeliharan dan penghidupannya;

3) Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak di bapak;

Dalam pasal 261-261 BW jelas bahwa kelahiran dapat di buktikan dengan akta kelahiran, apabila tidak ada akta kelahiran, maka apabila sudah menikmati suatu kedudukan adalah bukti yang cukup, kedudukan dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang penting. Peritiwa yang penting ada pada pasal 262 KUH Perdata.

d. Anak Sah menurut Hukum Adat

Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan, yaitu anak. Apabila di dalam suatu perkawinan telah ada keturunan (anak) maka tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan. Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan, oleh masyarakat disebut sebagai anak kandung. (Soerjono Soekanto & Soleman b. Taneko, 1986: 276)

Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya adalah anak kandung. Maka anaknya adalah anak kandung yang sah. Untuk menghilangkan atau menutup malu akibat terjadinya wanita hamil sebelum kawin, dibeberapa daerah orang mengusahakan

supaya dilaksanakan “kawin paksa” dengan pria yang membuahinya, atau melakukan “kawin paksa” (nikah tambelan, Jawa; patongkok

siriq, Bugis) dengan pria yang membuahinya atau pria lain yang mau disuruh mengawininya, sehingga anak yang lahir mempunyai ayah

(kappang tubas, Lampung) dan dapat menjadi waris dari orang tuanya yang sah. Dikalangan orang Jawa adakalanya jika tidak ada pria yang mau mengawini wanita yang telah hamil itu, terpaksa diantara pamong desa yang harus mengawininya. (Hilman Hadikusuma, 1977: 146)

Selanjutnya anak kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat. Anak tersebut dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak kemudian hari wajib di tumpahkan dan dipandang sebagai pelindung orang tuanya ketika orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah. (Bushar Muhammad, 1995: 5)

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki dua pengertian,

pertama, anak yang lahir sebagai akibat dari nikah siri atau nikah bawah tangan; kedua, anak yang lahir sebagai akibat dari perzinahan, perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain. (M Nurul Arifin, 2015: 150).

a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelaku tersebut gadis, bersuami atau janda, jejaka beristeri atau duda. Ada dua macam istilah bagi pezina, yaitu (1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah; (2) zina ghairu muhson

adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau masih perawan. (Abdul Manan, 2006: 83).

Apabila perzinaan mengakibatkan lahirnya anak, maka sebenarnya anak itu lahir dalam keadaan suci, tidak menanggung beban dosa apa pun dari pasangan zina itu. Karena anak itu lahir dari perbuatan nista, tercela dari segi moral maupun agama, maka masyarakat menyebutnya sebagai anak zina, anak laknat dan anak haram. Meskipun ia suci, tetapi ia mempunyai kedudukan lain di banding dengan anak biasa yang lahir dalam perkawinan yang sah. Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh dihubungan dengan nasab ayahnya, meskipun secara bilogis berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya. Alasan

mereka bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapatkan balasan nikmat. (M Nurul Arifin, 2015: 89).

Sebagai konsekuensi dari pezinaan , maka anak tersebut tidak mempunyai garis nasab dengan ayah biologinya, tetapi anak tersebut masih mempunyai nasab dengan ibu kandungnya, karena nasap anak kepada ibu kandungnya dapat terbentuk melalui proses persalinan

atau kelahiran. Baik kelahiran bersifat syar’i maupun tidak. (M Nurul Arifin, 2015: 94).

Selain anak dari perzinaan, hukum Islam juga menetapkan

anak di luar kawin adalah (1) anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah sama dengan anak zina, ia tidak

mengikuti nasab suami ibu yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu

yang melahirka; (2) anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab dengan laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya. (Abdul Manan, 2006:83).

b. Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI

Anak luar kawin dalam UU Perkawinan diatur dalam pasal 43 dan 44. Sedangkan dalam KHI diatur dalam pasal 100, 101, dan 102.

Pasal 43 berbunyi (1) “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya” dan (2) “kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 44 berbunyi (1) “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah

berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut” dan (2) “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.

Sedangkan dalam KHI pasal 100 berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga keluarga ibunya”. Pasal 101 berbunyi “seorang suami

yang mengikari sahnya anak, sedangkan isteri tidak menyangkalnya,

dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an”. Pasal 102 berbunyi

(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari

isterinya, mengajukan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia

mengajukan perkara pada pengadilan agama” dan (2) “pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima”.

Dokumen terkait