• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46PUU-VIII2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46PUU-VIII2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR

KAWIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

AMIN UDIN

NIM : 21113009

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Hidup adalah perjuangan, dalam sebuah perjuangan akan selalu

(6)

PERSEMBAHAN

Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku

hanya untuk Allah Tuhan seluruh sekalian alam;

Ibuku yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan

kasih sayang yang tak terbatas;

Kepada Adikku yang selalu memberikan inspirasi dan

semangat;

Keluarga Besar di rumah Wonosobo;

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang

Salatiga;

Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat

Karnoto Zarkasyi;

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLIKASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU-VIII/2010

TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN” tanpa halangan yang berarti. Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza

ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga; 2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah;

3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam IAIN Salatiga;

4. Farkhani S.H., M.H., M.HI., Sebagai dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan

sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;

5. Drs. Mubasirun M. Ag., selaku dosen Pembimbing Akademik

6. Seluruh Dosen dan Staff IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat;

(8)
(9)

Abstrack

Udin, Amin. 2018. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitus Nomor

46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin”. Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., SHI., M.H.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin, Hak Waris.

Kelahiran anak di luar kawin baik karena perkawinan di bawah tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan di luar perkawinan. Berakibat pada kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai kedudukan hukum Anak Luar Kawin. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan kedudukan yang jelas dan mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata Islam, KUH Perdata dan Hukum Adat? Dan (2) Bagaimana akibat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya?

Untuk menjawab permasalahan diatas, maka penulis menggunakan penelitian hukum dengan menggunakan penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.

Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak luar kawin, tidak menghapus atau merubah ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat

(10)

DAFTAR ISI

NOTA PEMBIMBING ... i

PENGESAHAN ... ii

PERNYATAAN KEASLAIAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 9

G. Metode Penelitian ... 11

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan... 12

2. Sumber Data ... 12

3. Teknik Pengumpulan Data ... 13

4. Analisis data ... 13

(11)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK ... 16

1. Pengertian Anak Pada Umumnya ... 16

2. Anak Sah ... 17

a. Anak Sah Menurut Hukum Islam ... 17

b. Anak Sah Mneurut UU Pekawinan dan KHI ... 19

c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata ... 22

d. Anak Sah Menurut Hukum Adat... 24

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin) ... 25

a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam ... 26

b. Anak Luar Kawin Menurut Uu Perkawinan Dan KHI ... 27

c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata ... 29

d. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat ... 29

B. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ... 30

1. Pengertian Waris Pada Umumnya ... 30

2. Macam-macam Hukum Waris... 32

3. Hak Waris Anak Luar Kawin ... 34

a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia ... 34

b. Menurut Hukum Perdata ... 35

c. Menurut Hukum Adat ... 37

BAB III DATA PENELITIAN ... 39

(12)

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi ... 39

2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ... 42

3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi ... 42

B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi ... 43

C. Tinjauan Perkara ... 45

D. Pokok Permohonan ... 48

E. Pertimbangan-pertimbangan ... 49

1. Pertimbangan Pemerintah ... 49

2. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ... 53

3. Pertimbangan MK ... 55

F. Amar Putusan ... 59

BAB IV ANALISIS DATA ... 63

A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kedudukan Anak Luar Kawin dalam perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hukum Perdata, dan Hukum Adat ... 63

B. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Keperdataan Anak Luar Kawin dalam hal Mewarisi dengan Ayah Biologisnya ... 69

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

(13)

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua

anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi suami isteri.

Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan

keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin. Oleh karena itu,

dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan

menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga

latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu

latar belakang kehidupan itu adalah agama.

Untuk memahami hakikat perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974, maka perlu ditinjau rumusan perkawinan yang terdapat

dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 pada undang-undang tersebut. Pasal 1 UU

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : “Perkawinan

(15)

kepercayaanya itu”. Ayat (2) nya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Selanjutnya di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1947

mengatakan: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Ayat (2) berbunyi

:“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

Ketentuan mengenai perkawinan yang berlandaskan agama pada

uraian di atas, merupakan pencerminan dari kewajiban pemerintah dalam

rangka mewujudkan ketentuan dalam pasal 29 UUD yang menyatakan bahwa

: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Sehubungan dengan hal yang di atas, maka bagi kaum muslimin di

Indonesia, berlaku Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengertian perkawinan di

dalam KHI terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3, dinyatakan bahwa: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah”.

Menurut Ahmad Azhar Basyir tujuan perkawinan dalam Islam adalah

(16)

dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran

Allah dan Rasulnya (Ahmad Azhar Basyir, 1995: 11). Namun apa yang

direncanakan atau yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan ketika

ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi, maka

konsekwensinya tidak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah

misalnya kelahiran anak diluar kawin baik karena perkawinan di bawah

tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan diluar

perkawinan.

Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya

secara hukum agama, tetapi tidak dicatatkan dalam kantor urusan agama atau

kantor catatan sipil. Nikah di bawah tangan biasanya hanya dilakukan di

hadapan tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan

adat istiadat saja. Pernikahan di bawah tangan adalah pernikahan yang sah

secara agama akan tetapi mempunyai dampak negatif karena tidak dicatatkan

di hadapan penjabat pemerintahan sehingga tidak mempunyai akta nikah

sebagai bukti yang autentik. Karena hubungan pernikahan yang tidak jelas di

mata hukum, maka kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum

status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Pada pasal 43 UU No 1 Tahun

1974 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya”. Maka hak-hak selayaknya anak-anak yang dari perkawinan yang sah secara

(17)

mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat kesulitan biaya

pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriyah lainnya.

Padahal dalam pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Konvensi Hak Anak juga

menghendaki bahwa setiap anak harus dihormati dan dijamin hak-haknya

tanpa diskriminatif dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, keyakinan, bangsa, etnik, kekayaan, kelahiran atau

kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuh yang sah maka

hak-hak anak luar kawin juga dijamin tanpa diskriminasi. Dalam

Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus

cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga

wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi

mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status hukum

(18)

bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai

ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,

termasuk mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat

menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan status yang jelas dan

mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya.

Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi di atas belum sepenuhnya

memberikan kejelasan mengenai kedudukan dan hak keperdataan anak luar

kawin secara utuh terutama dalam hal kewarisan. Maka dari itu penulis

tertarik menyusun skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP

KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN”.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dan lebih memfokuskan kajian

dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah Putusan Mahkamah

(19)

2. Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor

46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap

ayah bilogisnya?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin

dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat

setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin

dalam hal mewarisi terhadap ayah bilogisnya sebagai implikasi dari

putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VII/2010.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam suatu penelitian, terdapat suatu kegunaan penelitian. Selain

berguna bagi penulis, diharapkan juga dapat berguna bagi semua pihak dan

tentunya mempunyai kegunaan yang dianggap positif. Kegunaan penelitian

dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis.

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Secara teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengenmbangan studi Islam

(20)

b. Menghasilkan suatu penjelasan mengenai kedudukan anak luar kawin

dan hak keperdataan anak luar kawin terutama dalam bidang hak waris

pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;

c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencerahan pada masyartakat

yang berkenaan dengan hukum keluarga.

2. Secara praktis

a. Mengembangkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan bagi penulis dalam menyusun suatu penulisan hukum;

b. Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Syariah IAIN Salatiga.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda

dengan maksud utama penulis dalam pengunaan kata pada judul, maka perlu

penjelasan beberapa kata pokokyang menjadi inti penelitian.

Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:

1. Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai

arti keterlibatan, keadaan terlibat, dampak atau akibat langsung.

2. Waris adalah adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan

fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.

(21)

atau perpindahan pusaka.

3. Anak :

a. Anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang

perempuan;

b. KUH Perdata Tahun 1847 pasal 330 ayat (1) ʻʻseseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya

belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut sudah menikah

sebelum umur 21 tahun”;

c. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)

ʻʻanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Anak Luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak

luar kawin dalam pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki 2

pengertian, pengertian pertama adalah anak hasil dari nikah siri atau

nikah bawah tangan dan pengertian kedua anak karena kehamilan di

luar perkawinan. (M Nurul Irfan, 2015:149)

5. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman

(22)

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik, dan;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

F. Tinjauan Pustaka

Sesungguhnya penelitian dan pembahasan tentang Implikasi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak

Luar Kawin, sudah pernah diangkat menjadi karya tulis ilmiah baik dalam

bentuk buku, skripsi maupun karya tulis yang lainnya. Penulis menemukan

beberapa tema yang sama yaitu:

1) Skripsi Abdul Latief yang berjudul Status Anak Yang Lahir Diluar Nikah

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) yang

isinya membahas anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak dapat

diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan

(23)

dilahirkan dari perzinahan maka mempunyai hubungan perdata dengan

ayah bilogisnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai

realitas yang ada. Artinya setiap anak yang dilahirkan harus memperoleh

hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (bapak-ibunya).

2) Skripsi Ahmad Fariz Ihsanuddin yang berjudul Anak Luar Nikah Dalam

Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MK

Tentang Status Anak Luar Nikah) yang isinya adalah status anak luar

nikah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah

wanita hamil. Mazhab Syafi’i menyatakan sah-sah saja dilakukan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh untuk

berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi

menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim

sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali

dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram

menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan.

Terkait dengan kedudukan anak luar kawin perspektif fiqih anak luar

nikah tidak dianggap sebagai anak sahkarena itu berakibat hukum : tidak

adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara

tidak sah.

3) Skripsi Khairul Anam yang berjudul Status Anak Dalam Putusan

(24)

yang isinya membahas anak yang terbukti terlahir sebagai akibat dari

pernikahan sirri yang sah secara syar’i, maka hubungan perdata dapat

dimaknai secara umum, sehingga anak bisa dinasabkan pada ayahnya,

bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah serta kewajiban

pemberi nafkah. Untuk anak yang terlahir sebagai akibat perzinahan,

maka “hubungan perdata” harus dimaknai secara khusus yakni terbatas

pada adanya kewajiban perdata untuk memberikan nafkah atau

memenuhi segala kebutuhan hidup anak tersebut sampai dewasa dan bisa

berdiri sendiri serta tidak bisa terjadi hubungan nashab dan saling

mewarisi.

Secara umum, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian

yang sebelumnya ialah, penelitian ini berpijak pada Undang-Undang

Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitap Undang-Undang Hukum

Perdata Dan Hukum Adat. Sehingga pembahasannya lebih lengkap

mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dan Implikasi Putusan Mahkamah

Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar

(25)

G. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode

penelitian yang diantaranya adalah:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

a. Jenis penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari

penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang

menghasilkan data deskriptif analitis.( Seorjono Seokanto, 1986: 32)

Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan

analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas

permasalahan yang diangkat.

b. Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (hukum

normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Seokanto

dan Sri Mamudji, 1994: 24). Metode ini digunakan untuk

memperoleh data ilmiah dan informasi yang berkaitan dengan skripsi

ini, baik yang berupa literature-literature seperti buku-buku,

peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber informasi

(26)

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk data

sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan pustaka (penelitian

kepustakaan). Dimana data yang diperlukan dapat diperoleh dan

bersumber dari: (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 12)

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari:

i. Putusan Mahkamah Konstitusi

b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang mendukung atau

menunjang skripsi ini yang berupa buku-buku, artikel, jurnal dan

bahan kepustakaan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan

pustaka. (Seorjono Seokanto, 1986: 66)

4. Analisis Data

Penulis menggunakan metode deskriptif analisi dalam menganalisis

data. Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan

analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas

(27)

H. Sistematika Penulisa

Untuk memberika pemahaman dalam memahami penelitian ini,

penyusun membuat sistematika penelitian yang terbagi menjadi lima bab,

dan setiap bab terbagi menjadi sub bab, yaitu sebagaimana berikut:

Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunanaan penelitian, penegasan istilah,

tinjauan pustaka, metodelogi penelitian (pendekatan dan jenis penelitian,

sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data pengecekan keabsahan )

dan sistematika penulisan.

Bab II, dipaparkan tinjauan umum tentang anak meliputi pengertian

anak, hak anak, status dan kedudukan anak serta tinjauan umum tentang

hukum waris dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.

Bab III, adalah Deskripsi Yurispudensi. Dalam bab ini membahas

tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan perkara, pertimbangan-pertimbangan

dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Bab IV, Analisis Data. Dalam bab ini akan membahas tentang

analisis kedudukan anak luar kawin dalam Hukum Perdata Islam di

Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasi Putusan Mahkamah

(28)

dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.

Bab V, kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan akhir yang

diperoleh penyusun setelah mengkaji, mencermati, dan memahami dari hasil

(29)

BAB II

Kajian Pustaka

A. Tinjauan Umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak pada umumnya

Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan

hukum yang berbeda. Ini dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa,

utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, akibatnya ketentuan hukum

yang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu

Hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW

(Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat, sebagai hukum tidak tertulis.

Masing-masing hukum tersebut, dalam hal asal-usul anak memiliki

persamaan dan perbedaan terutama dalam segi hak, etika dan moral. (Ahmad

Rofiq, 2017: 177)

Terlepas dari asal-usulnya, setiap anak dilahirkan memiliki hak yang

melekat secara otomatis dalam dirinya, dimana dalam hubungan

orangtua-anak, hak-hak anak tersebut merupakan kewajiban bagi orang tuanya.

Hak-hak anak tersebut antara lain menurut I Nyoman Sujana:

a. Hak atas kelangsungan hidup (Survival Rights)

b. Hak untuk tumbuh berkembang (Development Rights)

(30)

d. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). (I Nyoman Sujana,

2015: 50)

Dari uraian di atas mengenai anak, dapat dikatakan bahwa pengertian

anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi untuk

lebih jelasnya maka perlu dikaji mengenai anak sah maupun anak tidak

sah atau anak luar kawin.

2. Anak Sah

a. Anak Sah menurut Hukum Islam

Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya

hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang

diyakini dalam fiqih, para ulama’ sepakat bahwa anak zina atau anak

li’an, hanya mempunyai nasab kepada ibu dan saudara ibunya.

(Ahmad Rofiq, 2017: 177).

Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan agama Islam

mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga

dan memelihara nasab. Kata nasab sendiri berasal dari bahasa Arab,

yaitu ابسن – بسني – بسن yang artinya keturunan. Nasab yang sudah

menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI diartikan sebagai keturunan

atau pertalian keluarga.

(31)

berdasarkan hubungan darah baik ke atas, ke bawah, maupun

kesamping, yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari

perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan

secara syubhat. (M Nurul Irfan, 2015: 26).

Menurut Abdul Manan dalam pandangan hukum Islam ada

empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu (1) kehamilan

bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal

dan wajar; (2) tenggang waktu kelahiran dan pelaksanaan perkawinan

sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang

ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa

terpendek dari suatu kehamilan; (3) anak yang lahir itu terjadi dalam

waktu kurang dari masa sepanjang waktu kehamilan; (4) suami tidak

mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. (Abdul Manan,

2006: 79).

Memelihara dan menjaga kemurnian nasab dalam ajaran

agama Islam sangat penting sebab hukum Islam akan selalu terkait

dengan struktur keluarga, baik hukum yag berkaitan dengan

perkawinan maupun yang berkaitan dengan kewarisan. Kalau dalam

hukum perkawinan, nasab merupakan penyebab adanya hukum

keharaman untuk saling menikah, sementara dalam hukum kewarisan

(32)

waris terhadap harta warisan. (M Nurul Irfan, 2015: 15).

Jadi, jelas sekali anak yang sah menurut hukum Islam adalah

anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah.

Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang

sah, ia disebut sebagai anak sah. ( Ahmad Rofiq, 2017: 181).

b. Anak Sah Menurut UU Perkawinan dan KHI

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

mengatur tentang asal-usul anak sah dalam pasal 42, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah”. Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi

toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah,

meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari

batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang di

kandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang

sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. (Ahmad Rofiq, 2015:

178).

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, mengenai sah atau

tidaknya anak harus ada bukti yang jelas. Pembuktian asal usul anak

yang dapat dibuktikan bahwa anak itu sah, terdapat dalam pasal 55

(33)

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan

akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh

pejabat yang berwenang;

2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak

ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan

tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan

pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang

memenuhi syarat;

3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal

ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan

mengeluaran akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 di atas, tampak bahwa

satu-satunya yang dapat membuktikan keabsahan seorang anak

hanyalah akte kelahiran. Mengenai penetapan yang dilakukan oleh

Pengadilan sebagaimana pasal 55 ayat (2) di atas, hanyalah suatu cara

untuk mendapatkan akte kelahiran.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dijelaskan tentang

kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal

(34)

1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang

sah;

2) Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan

di lahirkan oleh isteri tersebut.

Dalam KHI juga menentukan bahwa akta kelahiran

merupakan bukti sah atau tidaknya anak, sebagaimana pasal 103 KHI

yaitu:

1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan

akta kelahiran atau alat bukti lainnya;

2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam

ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat

mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak

setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan

bukti-bukti yang sah;

3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2),

maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam

daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan

akta kelahiran bagi anak yag bersangkutan.

Dalam UU Perkawinan dan KHI menjelaskan bahwa anak

(35)

perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa

mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran

bayi, maka status anaknya sah. Ini membawa implikasi bahwa anak

yang “hakikatnya” hasil dari perzinaan, secara formal dianggap anak

sah. (Ahmad Rofiq, 2017, 181). Karena secara formal yang dapat

membuktikan sah atau tidaknya anak sama yaitu akta kelahiran.

c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata atau BW (Burgerlijk Wetbook) yang

membahas tentang anak sah ada dalam pasal 250 yaitu, “Tiap-tiap anak yang di lahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan,

memperoleh si suami sebagai bapaknya”

Ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sah

adalah anak yang dilahirkan atau anak yang ditumbuhkan dalam

suatu perkawinan dan mendapatkan si suami sebagai bapaknya, dan

pengertian sebaliknya dari rumusan pasal di atas dapat di kategorikan

sebagai anak yang tidak sah. Dua kategori keabsahan anak dalam

ketentuan Pasal 250 BW dapat diuraikan menjadi : a. anak yang

dilahirkan sepanjang perkawinan, dan b. anak yang ditumbuhkan

sepanjang perkawinan. ( I Nyoman Sujana, 2015: 63)

Dalam Hukum Perdata (BW) juga menetukan bahwa sah atau

(36)

tidak ada pada pasal 261-262 yang menyatakan :

Pasal 261, keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan

dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam

register catatan sipil;

Dalam hal tak adanya akta-akta yang demikian, maka, jika

anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan sebagai

anak-anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup;

Pasal 262, penikmatan akan kedudukan itu dapat dibuktikan

dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya,

maupun masing-masing, memperhatikan suatu pertalian karena

kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan

keturunan harus dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang

terpenting ialah:

1) Bahwa orang itu selalu memakai nama bapak, yang mana

katanya telah menurunkan dia;

2) Bahwa bapaknya itu selalu memperlakukan dia sebagai

anaknya dan sebagai anaknya pun telah mengatur pendidikan,

pemeliharan dan penghidupannya;

3) Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak di bapak;

(37)

Dalam pasal 261-261 BW jelas bahwa kelahiran dapat di

buktikan dengan akta kelahiran, apabila tidak ada akta kelahiran,

maka apabila sudah menikmati suatu kedudukan adalah bukti yang

cukup, kedudukan dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang

penting. Peritiwa yang penting ada pada pasal 262 KUH Perdata.

d. Anak Sah menurut Hukum Adat

Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk

memperoleh keturunan, yaitu anak. Apabila di dalam suatu

perkawinan telah ada keturunan (anak) maka tujuan perkawinan

dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.

Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan, oleh masyarakat

disebut sebagai anak kandung. (Soerjono Soekanto & Soleman b.

Taneko, 1986: 276)

Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya

adalah anak kandung. Maka anaknya adalah anak kandung yang sah.

Untuk menghilangkan atau menutup malu akibat terjadinya wanita

hamil sebelum kawin, dibeberapa daerah orang mengusahakan

supaya dilaksanakan “kawin paksa” dengan pria yang membuahinya, atau melakukan “kawin paksa” (nikah tambelan, Jawa; patongkok

siriq, Bugis) dengan pria yang membuahinya atau pria lain yang mau

(38)

(kappang tubas, Lampung) dan dapat menjadi waris dari orang

tuanya yang sah. Dikalangan orang Jawa adakalanya jika tidak ada

pria yang mau mengawini wanita yang telah hamil itu, terpaksa

diantara pamong desa yang harus mengawininya. (Hilman

Hadikusuma, 1977: 146)

Selanjutnya anak kandung memiliki kedudukan yang sangat

penting dalam setiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat.

Anak tersebut dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang

sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak

kemudian hari wajib di tumpahkan dan dipandang sebagai pelindung

orang tuanya ketika orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik

untuk mencari nafkah. (Bushar Muhammad, 1995: 5)

3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki dua pengertian,

pertama, anak yang lahir sebagai akibat dari nikah siri atau nikah bawah

tangan; kedua, anak yang lahir sebagai akibat dari perzinahan,

perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak

seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain. (M Nurul Arifin,

(39)

a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria

dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan

seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelaku tersebut gadis,

bersuami atau janda, jejaka beristeri atau duda. Ada dua macam

istilah bagi pezina, yaitu (1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan

oleh orang yang telah atau pernah menikah; (2) zina ghairu muhson

adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah,

mereka berstatus perjaka atau masih perawan. (Abdul Manan, 2006:

83).

Apabila perzinaan mengakibatkan lahirnya anak, maka

sebenarnya anak itu lahir dalam keadaan suci, tidak menanggung

beban dosa apa pun dari pasangan zina itu. Karena anak itu lahir dari

perbuatan nista, tercela dari segi moral maupun agama, maka

masyarakat menyebutnya sebagai anak zina, anak laknat dan anak

haram. Meskipun ia suci, tetapi ia mempunyai kedudukan lain di

banding dengan anak biasa yang lahir dalam perkawinan yang sah.

Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab

timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina

tidak boleh dihubungan dengan nasab ayahnya, meskipun secara

(40)

mereka bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan

perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali

tidak layak mendapatkan balasan nikmat. (M Nurul Arifin, 2015: 89).

Sebagai konsekuensi dari pezinaan , maka anak tersebut tidak

mempunyai garis nasab dengan ayah biologinya, tetapi anak tersebut

masih mempunyai nasab dengan ibu kandungnya, karena nasap anak

kepada ibu kandungnya dapat terbentuk melalui proses persalinan

atau kelahiran. Baik kelahiran bersifat syar’i maupun tidak. (M Nurul Arifin, 2015: 94).

Selain anak dari perzinaan, hukum Islam juga menetapkan

anak di luar kawin adalah (1) anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah sama dengan anak zina, ia tidak

mengikuti nasab suami ibu yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu

yang melahirka; (2) anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan

nasab dengan laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau

laki-laki itu mengakuinya. (Abdul Manan, 2006:83).

b. Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI

Anak luar kawin dalam UU Perkawinan diatur dalam pasal 43

(41)

Pasal 43 berbunyi (1) “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya” dan (2) “kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 44 berbunyi (1) “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh

isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah

berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut” dan (2) “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.

Sedangkan dalam KHI pasal 100 berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga keluarga ibunya”. Pasal 101 berbunyi “seorang suami

yang mengikari sahnya anak, sedangkan isteri tidak menyangkalnya,

dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an”. Pasal 102 berbunyi

(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari

isterinya, mengajukan kepada Pengadilan Agama dalam jangka

waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya

perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa isterinya

melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia

(42)

c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata

Dalam KUH Perdata pembagian anak luar kawin menjadi 3

kelompok yaitu, Anak zina, Anak Sumbang, dan Anak Luar Kawin.

1) Anak Zina menurut prinsip hukum perdata barat adalah

anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau

keduanya terikat perkawinan, hal ini sebagai konsekuensi

dari asas monogami yang dianut dalam BW;

2) Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan

antara laki-laki dan perempuan dimana hukum melarang

perkawinan antar mereka, misalnya karena masih terikat

hubungan darah;

3) Anak alami atau anak luar kawin lainnya adalah anak

yang dibenihkan atau dilahirkan di luar perkawinan orang

tuanya namun diakui oleh orang tuannya. ( I Nyoman

Sujana, 2015, 64)

d. Anak Luar Kawin menurut Hukum Adat

Di dalam masyarakat mungkin juga dijumpai anak yang lahir di

luar perkawinan atau anak tidak sah. Anak tidak sah yang sering

(43)

haram jadah dan sebagainya, adalah anak yang di lahirkan dari

perbuatan orang tua tidak menurut ketentuan (agama dan adat)

seperti:

1) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan;

2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dengan

suaminya;

3) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah;

4) Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang

lain, dan

5) Anak dari kandungan ibu yang tidak di ketahui siapa ayahnya.

(Hilman Hadikusuma, 2015 :68)

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Waris

1. Pengertian Hukum Waris pada Umumnya

Konsep pewarisan timbul karena terjadi peristiwa kematian. Peristiwa

kematian ini menimpa seorang anggota keluarga, terutama ayah dan ibu.

Apabila ada orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan yang

menjadi masalah bukan peristiwa kematian atau meninggal itu,

melainkan harta kekayaan yang di tinggalkan oleh almarhum.

Masalahnya, siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang

(44)

wajib menanggung dan menyelesaikannya. (Abdulkadir Muhammad,

2014: 194)

Dengan demikan jelas, bahwa pewarisan di satu sisi berakar pada

keluarga dan di lain sisi berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan).

Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris.

Berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan) karena menyangkut

siapa yang menjadi pewaris atas harta peninggalan setelah pemiliknya

meninggal. (Abdulkadir Muhammad, 2014: 194)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pewarisan” adalah proses

beralihnya harta warisan dari pewaris kepada waris menurut aturan

hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam KHI Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang

pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagianya masing.

Unsur-unsur yang terdapat dalam kewarisan menurut Abdulkadir

Muhammad sebagai berikut:

a. Subjek Hukum

Yaitu anggota keluarga yang meninggal, anggota keluarga yang

(45)

b. Status Hukum

Yaitu anggota keluarga yang meninggal sebagai pewaris, anggota

keluarga yang di tinggalkan sebagai ahli waris terdiri atas

anak-anak dan isteri/suami pewaris dan orang sebagai penerima wasiat

dari pewaris.

c. Peristiwa Hukum

Meninggalnya anggota keluarga sebagai pewaris.

d. Hubungan Hukum

Timbul hak dan kewajiban ahli waris terhadap pewaris mengenai

harta peninggalan dan penyelesaian hutang pewaris.

e. Objek Hukum

Harta warisan dan utang-piutang peninggalan pewaris.

(Abdulkadir Muhammad, 2014: 195)

2. Macam-macam Hukum Waris

Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistik karena saat ini

berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum

Waris Islam dan Hukum Waris KUH Perdata.

Hukum Waris Adat meliputi keseluruhan asas, norma dan

(46)

pengendalian harta benda (materiil) dan cita (nonmatriil) dari generasi

yang satu kepada generasi berikutnya. Hukum waris adat yang berlaku di

Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya.Dalam

kewarisan ada ada yang matrilineal, patrilineal ataupun patrilineal dan

matrilineal beralih-alih atau bilateral. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul

Elmiyah, 2005: 01)

Hukum Waris Islam di rumuskan sebagai “ perangkat ketentuan

hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seorang

pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris islam

adalah Al-Quran, Hadits Nabi, kemudian Qias dan Ijma. (Surini Ahlan

Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005: 02)

Hukum Waris KUH Per adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan,

dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di

dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta

peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di

dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.

(Ali Afandi, 1997: 7)

R. Subekti beranggapan seperti halnya dalam Hukum Perkawinan,

begitu pula Hukum Waris di Indonesia masih beranekaragam. Di

samping Hukum waris menuru Hukum Adat, berlaku Hukum Waris

(47)

Menurut Seorojo Wongsowidjojo Hukum Waris berbeda-beda, antara

lain:

a) Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan

penduduk Indonesia;

b) Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang

berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada Hukum

Perdata Barat;

c) Adanya Hukum Adat yang di sana sini berbeda-beda, tergantung

pada daerahnya masing-masing, yang berlaku bagi orang-orang

yang tunduk kepada Hukum Adat. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul

Elmiyah, 2005: 03).

3. Hak Waris Anak Luar Kawin

a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia

Mengenai kewarisan anak luar kawin yang beragama islam di

Indonesia yang berlaku adalah pasal 183 Kompilasi Hukum Islam

yang berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari ibunya”.

(48)

b. Menurut Hukum Perdata

Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewarisan anak

luar kawin di atur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873 KUH

Perdata. Kemudian perlu di tegaskan bahwa hukum waris dari anak

luar kawin ini hanya terdapat antara ia sendiri dengan orang tua yang

mengakui. (Ali Afandi, 1997: 41). Sedangkan untuk bagian

warisannya terdapat pada pasal-pasal berikut ini:

Pasal 863, “jika yang meninggal meninggalkan keturunan

yang sah atau seorang suami atau isteri maka anak-anak luar kawin

mewarisi sepertiga dari bagian mereka yang sedianya harus

mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si

meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri,

akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas,

ataupun saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka,

maka mereka menguasai setengah dari warisan; dan jika hanya ada

sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat”. “jika

para waris yang sah denga si meninggal bertalian keluarga dalam

lain-lain penderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis

yang satu, pun terhadap merekayang dalam garis lain, menentukan

besarnya bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin.

(49)

sebagai berikut :

1) Anak luar kawin mewarisi dengan suami atau istri dan

keturunan yang sah maka bagiannya adalah 1/3 dari

bagian jika dia itu anak sah;

2) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan keluarga

sedarah dalam garis ke atas (kakek-nenek),

saudara-saudara atau keturunannya maka ia mewarisi ½ warisan;

3) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan ahli

waris yang lebih jauh dari ahli waris yang disebut diatas

maka ia mendapat ¾ bagian. (Ali Afandi, 1997 : 41).

Pasal 865, “jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris

yang sah, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan”.

Pasal 866, “jika seorang anak luar kawin meninggal lebih

dahulu maka sekalian anak dan keturunan yang sah, berhak menuntut

bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut pasal 863 dan

865”.

Pasal 867, “ketentuan-ketentuan termasuk di atas tak berlaku

bagi anak yang di benihkan dalam zinah atau dalam sumbang”. “Undang-undang memberikan kepada mereka hanya nafkah

(50)

c. Menurut Hukum Adat

Anak kandung yang tidak sah atau anak luar kawin ada

kemungkinan dalam hidupnya ikut serta bersama ayah dan ibu yang

melahirkannya, ada kemungkinan hanya mengikuti ibu tanpa ayah

kandung; atau mungkin juga mengikuti ayah tanpa ibu kandung; atau

mengikuti orang lain sebagai orang tua yang mengurusnya.

Anak kandung adalah ahli waris dari orang tua yang

melahirkannya, sedangkan anak luar kawin ada kemungkinan sebagai

berikut :

1) Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang

melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya;

2) Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang

melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari

ibunya;

3) Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli

waris dari ayah ibu kandungnya. (Hilman Hadikusuma,

1977: 144)

Dalam masyarakat yang kekeluargaanya bersifat parental

(keorangtuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di

(51)

keagamaan Islamnya anak di luar kawin tidak berhak mewarisi,

sebaliknya di Jawa anak kowar dapat mewarisi atau diberi bagian

warisan atas dasar parimirma (peri kemanusiaan, welas asih).

(52)

BAB III

DATA PENELITIAN

A. Mahkamah Konstitusi

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan

oleh perubahan Ketiga UUD 1945. Sebagai ide, format kelembagaan

mahkamah ini dipelopori oleh Hans Kelsen yang untuk pertama kalinya

berhasil mengadopsikannya ke dalam rumusan Konstitusi Austria pada

tahun 1919-1920. Setelah itu, ide mahkamah ini diadopsi Italia pada

tahun 1947, baru kemudian diikuti Jerman dan diikuti oleh negara-negara

lain. Namun, meskipun dapat dikatakan baru, dalam sidang BPUPKI

tahun 1945, Muhammad Yamin sudah pernah melontarkan ide untuk

mengadopsikannya ke dalam UUD 1945. Akan tetapi ide ini ditentang

oleh Soepomo karena dikatakannya tidak sesuai dengan UUD 1945, yang

ketika itu didesain atas dasar prinsip ʻsupremasi parleman’ dengan menempatkan MPR sebagai ʻinstansi tertinggi’, sehingga tidak cocok

dengan asumsi dasar Mahkamah Konstitusi yang mengadakan hubungan

antar lembaga yang bersifat ʻchekc and balance’. (Jimly Asshiddiqie, 2005: 22)

(53)

ketatanegaraan. Sebagian besar negara-negara demokrasi yang sudah

mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri

sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk

mahkamah ini secara tersendiri. Fungsinya biasanya dicakup didalam

fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya

ialah Amerika. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi

Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji

konstitussionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun

dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan

Mahkamah Agung (Supreme Court). (Jimly Asshiddiqie, 2005: 89)

Perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan besar

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan

kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudisial. Dalam sistem kekuasaan

kehakiman (yudisial), di samping Mahkamah Agung dan badan-badan

peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, telah muncuk Mahkamah Konstitusi (MK)

dan Komisi Yudisial (KY). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006:109)

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali

dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen

(54)

pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat

(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil

Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide

pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran

hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam

rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah

Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana

diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan

Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan

Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan

mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan

disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan

Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada

tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor

147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang

dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di

Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK

selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15

(55)

salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.

(www.mahkamahkonstitusi.go.id)

2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi

Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan

Umum UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah

menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam

rangkan menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara

bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap

pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai

penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga

merupakan penafsir tertinggi Konstitusi (the sole interpreter of

constitution). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 119)

3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi

bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan

Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

(56)

dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini

mencangkup pula kekuatan hukum mengikat (final and biding).

B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga kekuasaan

kehakiman di samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan

tata usaha negara dan peradilan militer. Adapun kewenangan Mahkamah

Konstitusi di atur secara jelas dalam pasal 24 C UUD 1945, salah satunya

yaitu untuk pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar

(Judicial Review).

Pengujian judicial review undang-undang terhadap Undang-Udang

Dasar 1945, diatur dalam UU No 24 Tahun 2003 pasal 51 ayat (1) pemohon

adalah pihak yang menggangap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan warga

negara Indonesia ; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam Undang-undang ; (c) badan

hukum publik atau privat ; (d) lembaga negara”. Salah satu contoh putusan Mahkamah Konstitusi tentang Judicial Review yaitu pasal 2 ayat (2) dan

pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan terhadap pasal

(57)

Judicial Review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias

Machica Binti Mochtar Ibrahim (Pemohon 1) dan Muhammad Iqbal

Ramadhan Bin Moerdiono (Pemohon 2) bertanggal 14 juni 2010 yang di

terima Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut (Kepaniteraan

Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan Akta

penerimaan berkas Permohonan Nomor 211/PAN/MK/2010 dan registrasi

pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang

telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11

Agustus 2010.

Bahwa pada tanggal 20 desember 1993, di Jakarta telah berlangsung

pernikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti

Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan

wali nikah almarhun H. Mochtar Ibrahim, disaksikan oleh dua orang saksi,

masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman,

dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2000 Riyad (mata uang

Arab), satu set perhiasan emas, berlian di bayar tunai dan dengan ijab yang

di ucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama

Drs. Moerdiono. Dari pernikahan tersebut dilahirkan seorang anak bernama

Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono.

Bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau

(58)

Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang

dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan diperlakukan berbeda dimuka

hukum terhadap status hukum perkawinan oleh undang-undang.

Hak konstitusional dari Machica Mochtar sebagai pemohon ke-1 dan

Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon ke-2 yang dirugikan oleh

ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 2 ayat (2) UU No 1 tahun 1974 menyatakan, “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku”.

Kemudian pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak

yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdatan

dengan ibu dan keluarga ibunya”.

C. Tinjauan Perkara

Para pemohon telah mengajuan permohonan bertanggal 14 Juni 2010

yang di terima kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut

(Kepaniteraan Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan

akta penerimaan berkas permohonan nomor 211/PAN.MK/2010 dan

registrasi pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor

46/PUU-VIII/2010, yang telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah

pada tanggal 11 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagaimana berikut:

(59)

b. Bahwa pasal 51 ayat (1) menyatakan

1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau

kewenangan konstitusionalnya di rugikan oleh berlakunya

undang-undang,

2. Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara

Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan

diperlakukan berbeda dimuka hukum terhadap status hukum

perkawinan oleh undang-undang.

Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal (2) menyatakan :

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga dikuatkan dengan

Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract

van gewijdse) sebagaimana tercantum dalam penetapan atas Perkara Nomor

46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 juni 2008. “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon

sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan (2)

serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Pasal 28B ayat (1)

menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

(60)

melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara

Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia yang

lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa

dibedakan dan wajib diberlakukan sama di depan hukum.

Sedangkan pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dan diskriminasi”. Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan

norma konstitusi bahwa anak pemohon juga memiliki hak atas status

hukumnya dan diperlakukan sama di depan hukum.

Bahwa pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya”. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak pemohon hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya, dan hal ini sama juga dianut dalam Islam. Dengan

berlakunya pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan maka hak-hak konstitusional

pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pegesahan atas

pernikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin pasal 28B ayat (1)

dan ayat (2) serta pasal 28D ayat 1 telah dirugikan.

Bahwa pasal 28D ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

(61)

Bahwa sementara itu, pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU

Perkawinan menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional pemohon

dan anaknya yang timbul berdasarkan pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945 serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan

pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anak pemohon.

D. Pokok Permohonan

Bahwa para pemohon sebagai orang yang berkedudukan sebagai

perorangan warga negara Indonesiayang mengajukan permohonan pengujian

ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinana),

yang pada intinya sebagai berikut:

a. Bahwa menurut para pemohon ketentuan pasal 2 ayat (2) dan

pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian

hukum yang mengakibatkan kerugian para pemohon, khususnya

yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum yang

dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;

b. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah diciderai oleh

norma hukum dalam Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum

ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1

adalah sah dan sesuai rukun nikah dalam Islam. merujuk ke

(62)

1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai

rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh pasal 2 UU

Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum.

Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak pada

status hukum anak (pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan

pemohon 1 menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan

norma hukum dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang

tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di

muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.

c. Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah

menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta

menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu

menurut para pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan

Referensi

Dokumen terkait

pada silabus, modul, lembar kerja siswa (LKS), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), modul, dan soal evaluasi disisipkan aspek NEP ( New Ecological Paradigm

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen

Hasil Penelitian diperoleh hasil material logam induk adalah baja ST 42 dengan sifat sifat mekanis sebagai berikut Kekuatan tarik: 43,802 Kg/mm 2, Regangan patah: 4,833 % , Reduksi

Murid akan dapat melakukan kemahiran bola sepak dalam permainan kecil dan sebagai aktiviti riadah.. NILAI Semangat pasukan -Kerjasama ABM Bola sepak Bola jaring

This gives more evidences that the functioning of social capital in group lending method plays the role in microfinance performance in Indonesia.. 2 Individual

PERTUMBUHAN ALOMETRI DAN TINJAUAN MORFOLOGI SERABUT OTOT DADA (M.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa tentang penggunaan pendekatan konstruktivise untuk meningkatkan hasil

Daya tarik wisata pantai yang menempati prioritas utama dalam pengembangan adalah Pantai Marina didasarkan pada skor potensi gabungan tertinggi, disusul dengan