IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR
46/PUU-VIII/2010 TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR
KAWIN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
AMIN UDIN
NIM : 21113009
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Hidup adalah perjuangan, dalam sebuah perjuangan akan selalu
PERSEMBAHAN
Sesungguhnya sholatku, perjuanganku, hidup dan matiku
hanya untuk Allah Tuhan seluruh sekalian alam;
Ibuku yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan
kasih sayang yang tak terbatas;
Kepada Adikku yang selalu memberikan inspirasi dan
semangat;
Keluarga Besar di rumah Wonosobo;
Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Cabang
Salatiga;
Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat
Karnoto Zarkasyi;
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah dan taufiq-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “IMPLIKASI
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUS NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TERHADAP KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN” tanpa halangan yang berarti. Shawalat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliau merupakan sosok pencerah kehidupan di dunia maupun di akhirat nanti dan semoga kita semua senantiasa mendapatkan Syafaatnya min hadza
ila yaumil qiyamah, Aamiin Yaa Robbal’alamin.
Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Dr Rahmat Haryadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga; 2. Dr. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah;
3. Sukron Ma’mun, M.Si., selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam IAIN Salatiga;
4. Farkhani S.H., M.H., M.HI., Sebagai dosen pembimbing yang dengan ikhlas dan
sabar membimbing, mengarahkan, serta mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya sehingga skripsi ini terselesaikan;
5. Drs. Mubasirun M. Ag., selaku dosen Pembimbing Akademik
6. Seluruh Dosen dan Staff IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat;
Abstrack
Udin, Amin. 2018. “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitus Nomor
46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak Luar Kawin”. Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.H., SHI., M.H.
Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin, Hak Waris.
Kelahiran anak di luar kawin baik karena perkawinan di bawah tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan di luar perkawinan. Berakibat pada kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai kedudukan hukum Anak Luar Kawin. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan kedudukan yang jelas dan mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah: (1) Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata Islam, KUH Perdata dan Hukum Adat? Dan (2) Bagaimana akibat Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya?
Untuk menjawab permasalahan diatas, maka penulis menggunakan penelitian hukum dengan menggunakan penelitian yuridis normatif (hukum normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Dari penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang anak luar kawin, tidak menghapus atau merubah ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan hanya saja mengubah makna asalkan memenuhi syarat
DAFTAR ISI
NOTA PEMBIMBING ... i
PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN KEASLAIAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 6
E. Penegasan Istilah ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 9
G. Metode Penelitian ... 11
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan... 12
2. Sumber Data ... 12
3. Teknik Pengumpulan Data ... 13
4. Analisis data ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16
A. TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK ... 16
1. Pengertian Anak Pada Umumnya ... 16
2. Anak Sah ... 17
a. Anak Sah Menurut Hukum Islam ... 17
b. Anak Sah Mneurut UU Pekawinan dan KHI ... 19
c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata ... 22
d. Anak Sah Menurut Hukum Adat... 24
3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin) ... 25
a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam ... 26
b. Anak Luar Kawin Menurut Uu Perkawinan Dan KHI ... 27
c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata ... 29
d. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Adat ... 29
B. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS ... 30
1. Pengertian Waris Pada Umumnya ... 30
2. Macam-macam Hukum Waris... 32
3. Hak Waris Anak Luar Kawin ... 34
a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia ... 34
b. Menurut Hukum Perdata ... 35
c. Menurut Hukum Adat ... 37
BAB III DATA PENELITIAN ... 39
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi ... 39
2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi ... 42
3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi ... 42
B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi ... 43
C. Tinjauan Perkara ... 45
D. Pokok Permohonan ... 48
E. Pertimbangan-pertimbangan ... 49
1. Pertimbangan Pemerintah ... 49
2. Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ... 53
3. Pertimbangan MK ... 55
F. Amar Putusan ... 59
BAB IV ANALISIS DATA ... 63
A. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kedudukan Anak Luar Kawin dalam perspektif Hukum Perdata Islam di Indonesia, Hukum Perdata, dan Hukum Adat ... 63
B. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Hak Keperdataan Anak Luar Kawin dalam hal Mewarisi dengan Ayah Biologisnya ... 69
BAB V PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan dua
anak manusia yang berbeda jenis kelamin sehingga menjadi suami isteri.
Secara umum perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan
keluarga yang lestari, utuh, harmonis, bahagia lahir dan batin. Oleh karena itu,
dengan sendirinya diperlukan kesesuaian dari kedua belah pihak yang akan
menyatu menjadi satu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat, sehingga
latar belakang kehidupan kedua belah pihak menjadi penting, dan salah satu
latar belakang kehidupan itu adalah agama.
Untuk memahami hakikat perkawinan menurut Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974, maka perlu ditinjau rumusan perkawinan yang terdapat
dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 pada undang-undang tersebut. Pasal 1 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi : “Perkawinan
kepercayaanya itu”. Ayat (2) nya berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Selanjutnya di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 tahun 1947
mengatakan: “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Ayat (2) berbunyi
:“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.
Ketentuan mengenai perkawinan yang berlandaskan agama pada
uraian di atas, merupakan pencerminan dari kewajiban pemerintah dalam
rangka mewujudkan ketentuan dalam pasal 29 UUD yang menyatakan bahwa
: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Sehubungan dengan hal yang di atas, maka bagi kaum muslimin di
Indonesia, berlaku Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pengertian perkawinan di
dalam KHI terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3, dinyatakan bahwa: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah”.
Menurut Ahmad Azhar Basyir tujuan perkawinan dalam Islam adalah
dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai ajaran
Allah dan Rasulnya (Ahmad Azhar Basyir, 1995: 11). Namun apa yang
direncanakan atau yang diinginkan tidak sesuai dengan harapan ketika
ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terpenuhi, maka
konsekwensinya tidak ada jaminan perlindungan hukum dari pemerintah
misalnya kelahiran anak diluar kawin baik karena perkawinan di bawah
tangan atau sering disebut nikah siri dan kelahiran anak dari kehamilan diluar
perkawinan.
Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya
secara hukum agama, tetapi tidak dicatatkan dalam kantor urusan agama atau
kantor catatan sipil. Nikah di bawah tangan biasanya hanya dilakukan di
hadapan tokoh masyarakat saja sebagai penghulu atau dilakukan berdasarkan
adat istiadat saja. Pernikahan di bawah tangan adalah pernikahan yang sah
secara agama akan tetapi mempunyai dampak negatif karena tidak dicatatkan
di hadapan penjabat pemerintahan sehingga tidak mempunyai akta nikah
sebagai bukti yang autentik. Karena hubungan pernikahan yang tidak jelas di
mata hukum, maka kedudukan hukum si anak sangat lemah. Di mata hukum
status anak tersebut sebagai anak di luar nikah. Pada pasal 43 UU No 1 Tahun
1974 ayat (1) menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya”. Maka hak-hak selayaknya anak-anak yang dari perkawinan yang sah secara
mengalami kerugian psikologis, dikucilkan masyarakat kesulitan biaya
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan lahiriyah lainnya.
Padahal dalam pasal 28 B ayat 2 dinyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Konvensi Hak Anak juga
menghendaki bahwa setiap anak harus dihormati dan dijamin hak-haknya
tanpa diskriminatif dalam bentuk apapun tanpa dipandang ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan, bangsa, etnik, kekayaan, kelahiran atau
kedudukan lain dari anak atau orang tua anak atau pengasuh yang sah maka
hak-hak anak luar kawin juga dijamin tanpa diskriminasi. Dalam
Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal 1 ayat (2) menyatakan, bahwa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri dan sifat khusus sehingga
wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Pada hari Jumat tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengenai status hukum
bahwa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk mempunyai hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut setidaknya dapat
menolong anak-anak yang ada di Indonesia mendapatkan status yang jelas dan
mendapatkan pertanggung jawaban dari ayah bilogisnya.
Akan tetapi, Putusan Mahkamah Konstitusi di atas belum sepenuhnya
memberikan kejelasan mengenai kedudukan dan hak keperdataan anak luar
kawin secara utuh terutama dalam hal kewarisan. Maka dari itu penulis
tertarik menyusun skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP
KEWARISAN ANAK LUAR KAWIN”.
B. Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan lebih memfokuskan kajian
dalam skripsi ini, berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata Islam di
Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah Putusan Mahkamah
2. Bagaimana Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar kawin dalam hal pewarisan terhadap
ayah bilogisnya?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin
dalam hukum Perdata Islam di Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat
setelah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan anak luar kawin
dalam hal mewarisi terhadap ayah bilogisnya sebagai implikasi dari
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VII/2010.
D. Kegunaan Penelitian
Dalam suatu penelitian, terdapat suatu kegunaan penelitian. Selain
berguna bagi penulis, diharapkan juga dapat berguna bagi semua pihak dan
tentunya mempunyai kegunaan yang dianggap positif. Kegunaan penelitian
dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis.
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam pengenmbangan studi Islam
b. Menghasilkan suatu penjelasan mengenai kedudukan anak luar kawin
dan hak keperdataan anak luar kawin terutama dalam bidang hak waris
pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
c. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencerahan pada masyartakat
yang berkenaan dengan hukum keluarga.
2. Secara praktis
a. Mengembangkan pola pikir, penalaran dan pengetahuan bagi penulis dalam menyusun suatu penulisan hukum;
b. Sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah IAIN Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda
dengan maksud utama penulis dalam pengunaan kata pada judul, maka perlu
penjelasan beberapa kata pokokyang menjadi inti penelitian.
Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut:
1. Implikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai
arti keterlibatan, keadaan terlibat, dampak atau akibat langsung.
2. Waris adalah adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan
fahuwa waritsun yang bermakna orang yang menerima waris.
atau perpindahan pusaka.
3. Anak :
a. Anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan;
b. KUH Perdata Tahun 1847 pasal 330 ayat (1) ʻʻseseorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya
belum genap 21 tahun, kecuali orang tersebut sudah menikah
sebelum umur 21 tahun”;
c. UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1)
ʻʻanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4. Anak Luar kawin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Anak
luar kawin dalam pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 memiliki 2
pengertian, pengertian pertama adalah anak hasil dari nikah siri atau
nikah bawah tangan dan pengertian kedua anak karena kehamilan di
luar perkawinan. (M Nurul Irfan, 2015:149)
5. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik, dan;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
F. Tinjauan Pustaka
Sesungguhnya penelitian dan pembahasan tentang Implikasi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Kewarisan Anak
Luar Kawin, sudah pernah diangkat menjadi karya tulis ilmiah baik dalam
bentuk buku, skripsi maupun karya tulis yang lainnya. Penulis menemukan
beberapa tema yang sama yaitu:
1) Skripsi Abdul Latief yang berjudul Status Anak Yang Lahir Diluar Nikah
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) yang
isinya membahas anak yang dilahirkan di luar pernikahan tidak dapat
diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan
dilahirkan dari perzinahan maka mempunyai hubungan perdata dengan
ayah bilogisnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai
realitas yang ada. Artinya setiap anak yang dilahirkan harus memperoleh
hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (bapak-ibunya).
2) Skripsi Ahmad Fariz Ihsanuddin yang berjudul Anak Luar Nikah Dalam
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Analisis Putusan MK
Tentang Status Anak Luar Nikah) yang isinya adalah status anak luar
nikah menurut fiqih dalam hal ini sangat terkait dengan hukum menikah
wanita hamil. Mazhab Syafi’i menyatakan sah-sah saja dilakukan pernikahan dengan pasangan zina sang perempuan tapi makruh untuk
berhubungan intim sampai perempuan itu melahirkan. Mazhab Hanafi
menyebutkan sah akad nikahnya, namun haram berhubungan intim
sampai dengan melahirkan dan melewati masa nifas. Sedangkan Hambali
dan Maliki serta ulama Madinah menyatakan secara tegas haram
menikahkan pasangan tersebut dan menunggu sampai melahirkan.
Terkait dengan kedudukan anak luar kawin perspektif fiqih anak luar
nikah tidak dianggap sebagai anak sahkarena itu berakibat hukum : tidak
adanya hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara
tidak sah.
3) Skripsi Khairul Anam yang berjudul Status Anak Dalam Putusan
yang isinya membahas anak yang terbukti terlahir sebagai akibat dari
pernikahan sirri yang sah secara syar’i, maka hubungan perdata dapat
dimaknai secara umum, sehingga anak bisa dinasabkan pada ayahnya,
bisa saling mewarisi, berlaku pula ketentuan wali nikah serta kewajiban
pemberi nafkah. Untuk anak yang terlahir sebagai akibat perzinahan,
maka “hubungan perdata” harus dimaknai secara khusus yakni terbatas
pada adanya kewajiban perdata untuk memberikan nafkah atau
memenuhi segala kebutuhan hidup anak tersebut sampai dewasa dan bisa
berdiri sendiri serta tidak bisa terjadi hubungan nashab dan saling
mewarisi.
Secara umum, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
yang sebelumnya ialah, penelitian ini berpijak pada Undang-Undang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Kitap Undang-Undang Hukum
Perdata Dan Hukum Adat. Sehingga pembahasannya lebih lengkap
mengenai kedudukan anak luar kawin dalam hukum Perdata Islam di
Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dan Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap kedudukan anak luar
G. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akurat, penulis menggunakan metode
penelitian yang diantaranya adalah:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
a. Jenis penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maksud dari
penelitian kualitatif disini adalah suatu cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif analitis.( Seorjono Seokanto, 1986: 32)
Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan
analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas
permasalahan yang diangkat.
b. Pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (hukum
normatif), bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu
pengetahuan digolongkan sebagai data sekunder. (Soerjono Seokanto
dan Sri Mamudji, 1994: 24). Metode ini digunakan untuk
memperoleh data ilmiah dan informasi yang berkaitan dengan skripsi
ini, baik yang berupa literature-literature seperti buku-buku,
peraturan perundang-undangan serta sumber-sumber informasi
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Untuk data
sekunder dapat diperoleh dari bahan-bahan pustaka (penelitian
kepustakaan). Dimana data yang diperlukan dapat diperoleh dan
bersumber dari: (Soerjono Seokanto dan Sri Mamudji, 1994: 12)
a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari:
i. Putusan Mahkamah Konstitusi
b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang mendukung atau
menunjang skripsi ini yang berupa buku-buku, artikel, jurnal dan
bahan kepustakaan lainnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dilakukan dengan studi dokumen atau bahan
pustaka. (Seorjono Seokanto, 1986: 66)
4. Analisis Data
Penulis menggunakan metode deskriptif analisi dalam menganalisis
data. Sifat deskriptif analitis yang dimaksudkan dari pembahasan dan
analisis kemudian akan diperoleh suatu bentuk jawaban atas
H. Sistematika Penulisa
Untuk memberika pemahaman dalam memahami penelitian ini,
penyusun membuat sistematika penelitian yang terbagi menjadi lima bab,
dan setiap bab terbagi menjadi sub bab, yaitu sebagaimana berikut:
Bab I, Pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunanaan penelitian, penegasan istilah,
tinjauan pustaka, metodelogi penelitian (pendekatan dan jenis penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data pengecekan keabsahan )
dan sistematika penulisan.
Bab II, dipaparkan tinjauan umum tentang anak meliputi pengertian
anak, hak anak, status dan kedudukan anak serta tinjauan umum tentang
hukum waris dalam Hukum Islam dan Hukum Perdata.
Bab III, adalah Deskripsi Yurispudensi. Dalam bab ini membahas
tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan perkara, pertimbangan-pertimbangan
dan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Bab IV, Analisis Data. Dalam bab ini akan membahas tentang
analisis kedudukan anak luar kawin dalam Hukum Perdata Islam di
Indonesia, KUH Perdata dan Hukum Adat setelah putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Implikasi Putusan Mahkamah
dalam hal pewarisan terhadap ayah bilogisnya.
Bab V, kesimpulan dan saran yang berisikan kesimpulan akhir yang
diperoleh penyusun setelah mengkaji, mencermati, dan memahami dari hasil
BAB II
Kajian Pustaka
A. Tinjauan Umum Tentang Anak
1. Pengertian Anak pada umumnya
Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan
hukum yang berbeda. Ini dapat dimengerti, karena pluralitas bangsa,
utamanya dari segi agama dan adat kebiasaan, akibatnya ketentuan hukum
yang berlaku pun bervariasi. Setidaknya ada tiga hukum yang berlaku, yaitu
Hukum Islam, Hukum Perdata yang termuat dalam KUH Perdata atau BW
(Burgelijk Wetbook), dan Hukum Adat, sebagai hukum tidak tertulis.
Masing-masing hukum tersebut, dalam hal asal-usul anak memiliki
persamaan dan perbedaan terutama dalam segi hak, etika dan moral. (Ahmad
Rofiq, 2017: 177)
Terlepas dari asal-usulnya, setiap anak dilahirkan memiliki hak yang
melekat secara otomatis dalam dirinya, dimana dalam hubungan
orangtua-anak, hak-hak anak tersebut merupakan kewajiban bagi orang tuanya.
Hak-hak anak tersebut antara lain menurut I Nyoman Sujana:
a. Hak atas kelangsungan hidup (Survival Rights)
b. Hak untuk tumbuh berkembang (Development Rights)
d. Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights). (I Nyoman Sujana,
2015: 50)
Dari uraian di atas mengenai anak, dapat dikatakan bahwa pengertian
anak adalah keturunan dari seorang laki-laki dan perempuan, tetapi untuk
lebih jelasnya maka perlu dikaji mengenai anak sah maupun anak tidak
sah atau anak luar kawin.
2. Anak Sah
a. Anak Sah menurut Hukum Islam
Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya
hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang
diyakini dalam fiqih, para ulama’ sepakat bahwa anak zina atau anak
li’an, hanya mempunyai nasab kepada ibu dan saudara ibunya.
(Ahmad Rofiq, 2017: 177).
Dalam rangka menjaga nasab atau keturunan agama Islam
mensyariatkan nikah sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga
dan memelihara nasab. Kata nasab sendiri berasal dari bahasa Arab,
yaitu ابسن – بسني – بسن yang artinya keturunan. Nasab yang sudah
menjadi bahasa Indonesia dalam KBBI diartikan sebagai keturunan
atau pertalian keluarga.
berdasarkan hubungan darah baik ke atas, ke bawah, maupun
kesamping, yang semuanya itu merupakan salah satu akibat dari
perkawinan yang sah, perkawinan yang fasid dan hubungan badan
secara syubhat. (M Nurul Irfan, 2015: 26).
Menurut Abdul Manan dalam pandangan hukum Islam ada
empat syarat supaya nasab anak itu dianggap sah, yaitu (1) kehamilan
bagi seorang isteri bukan hal yang mustahil, artinya normal
dan wajar; (2) tenggang waktu kelahiran dan pelaksanaan perkawinan
sedikit-dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang
ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam (fuqaha) sebagai masa
terpendek dari suatu kehamilan; (3) anak yang lahir itu terjadi dalam
waktu kurang dari masa sepanjang waktu kehamilan; (4) suami tidak
mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. (Abdul Manan,
2006: 79).
Memelihara dan menjaga kemurnian nasab dalam ajaran
agama Islam sangat penting sebab hukum Islam akan selalu terkait
dengan struktur keluarga, baik hukum yag berkaitan dengan
perkawinan maupun yang berkaitan dengan kewarisan. Kalau dalam
hukum perkawinan, nasab merupakan penyebab adanya hukum
keharaman untuk saling menikah, sementara dalam hukum kewarisan
waris terhadap harta warisan. (M Nurul Irfan, 2015: 15).
Jadi, jelas sekali anak yang sah menurut hukum Islam adalah
anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah.
Sepanjang bayi itu lahir dari ibu yang berada dalam perkawinan yang
sah, ia disebut sebagai anak sah. ( Ahmad Rofiq, 2017: 181).
b. Anak Sah Menurut UU Perkawinan dan KHI
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur tentang asal-usul anak sah dalam pasal 42, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”. Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi
toleransi hukum kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah,
meskipun jarak antara pernikahan dan kelahiran anak kurang dari
batas waktu minimal usia kandungan. Jadi, selama bayi yang di
kandung itu lahir pada saat ibunya dalam ikatan perkawinan yang
sah, maka anak tersebut adalah anak yang sah. (Ahmad Rofiq, 2015:
178).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, mengenai sah atau
tidaknya anak harus ada bukti yang jelas. Pembuktian asal usul anak
yang dapat dibuktikan bahwa anak itu sah, terdapat dalam pasal 55
1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang;
2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak
ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan
tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat;
3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal
ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan
mengeluaran akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Dalam pasal 55 UU No 1 tahun 1974 di atas, tampak bahwa
satu-satunya yang dapat membuktikan keabsahan seorang anak
hanyalah akte kelahiran. Mengenai penetapan yang dilakukan oleh
Pengadilan sebagaimana pasal 55 ayat (2) di atas, hanyalah suatu cara
untuk mendapatkan akte kelahiran.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 dijelaskan tentang
kriteria anak sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal
1) Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah;
2) Hasil pembuahan suami-isteri yang sah di luar rahim dan
di lahirkan oleh isteri tersebut.
Dalam KHI juga menentukan bahwa akta kelahiran
merupakan bukti sah atau tidaknya anak, sebagaimana pasal 103 KHI
yaitu:
1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran atau alat bukti lainnya;
2) Bila akta kelahiran atau alat bukti lainya tersebut dalam
ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan
bukti-bukti yang sah;
3) Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2),
maka instansi Pencatatan Kelahiran yang ada dalam
daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yag bersangkutan.
Dalam UU Perkawinan dan KHI menjelaskan bahwa anak
perkawinan itu darurat, tambelan, penutup malu, tanpa
mempertimbangkan tenggang waktu antara akad nikah dan kelahiran
bayi, maka status anaknya sah. Ini membawa implikasi bahwa anak
yang “hakikatnya” hasil dari perzinaan, secara formal dianggap anak
sah. (Ahmad Rofiq, 2017, 181). Karena secara formal yang dapat
membuktikan sah atau tidaknya anak sama yaitu akta kelahiran.
c. Anak Sah Menurut Hukum Perdata
Dalam KUH Perdata atau BW (Burgerlijk Wetbook) yang
membahas tentang anak sah ada dalam pasal 250 yaitu, “Tiap-tiap anak yang di lahirkan atau tumbuh sepanjang perkawinan,
memperoleh si suami sebagai bapaknya”
Ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan atau anak yang ditumbuhkan dalam
suatu perkawinan dan mendapatkan si suami sebagai bapaknya, dan
pengertian sebaliknya dari rumusan pasal di atas dapat di kategorikan
sebagai anak yang tidak sah. Dua kategori keabsahan anak dalam
ketentuan Pasal 250 BW dapat diuraikan menjadi : a. anak yang
dilahirkan sepanjang perkawinan, dan b. anak yang ditumbuhkan
sepanjang perkawinan. ( I Nyoman Sujana, 2015: 63)
Dalam Hukum Perdata (BW) juga menetukan bahwa sah atau
tidak ada pada pasal 261-262 yang menyatakan :
Pasal 261, keturunan anak-anak yang sah dapat dibuktikan
dengan akta-akta kelahiran mereka, sekedar telah dibukukan dalam
register catatan sipil;
Dalam hal tak adanya akta-akta yang demikian, maka, jika
anak itu terus menerus menikmati suatu kedudukan sebagai
anak-anak yang sah, kedudukan ini adalah bukti yang cukup;
Pasal 262, penikmatan akan kedudukan itu dapat dibuktikan
dengan peristiwa-peristiwa yang mana, baik dalam keseluruhannya,
maupun masing-masing, memperhatikan suatu pertalian karena
kelahiran, dan karena perkawinan, antara seorang tertentu dan
keturunan harus dibuktikan. Antara lain peristiwa-peristiwa yang
terpenting ialah:
1) Bahwa orang itu selalu memakai nama bapak, yang mana
katanya telah menurunkan dia;
2) Bahwa bapaknya itu selalu memperlakukan dia sebagai
anaknya dan sebagai anaknya pun telah mengatur pendidikan,
pemeliharan dan penghidupannya;
3) Bahwa masyarakat selalu mengakui dia sebagai anak di bapak;
Dalam pasal 261-261 BW jelas bahwa kelahiran dapat di
buktikan dengan akta kelahiran, apabila tidak ada akta kelahiran,
maka apabila sudah menikmati suatu kedudukan adalah bukti yang
cukup, kedudukan dapat dibuktikan dengan peristiwa-peristiwa yang
penting. Peritiwa yang penting ada pada pasal 262 KUH Perdata.
d. Anak Sah menurut Hukum Adat
Tujuan dari perkawinan pada dasarnya adalah untuk
memperoleh keturunan, yaitu anak. Apabila di dalam suatu
perkawinan telah ada keturunan (anak) maka tujuan perkawinan
dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.
Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan, oleh masyarakat
disebut sebagai anak kandung. (Soerjono Soekanto & Soleman b.
Taneko, 1986: 276)
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya
adalah anak kandung. Maka anaknya adalah anak kandung yang sah.
Untuk menghilangkan atau menutup malu akibat terjadinya wanita
hamil sebelum kawin, dibeberapa daerah orang mengusahakan
supaya dilaksanakan “kawin paksa” dengan pria yang membuahinya, atau melakukan “kawin paksa” (nikah tambelan, Jawa; patongkok
siriq, Bugis) dengan pria yang membuahinya atau pria lain yang mau
(kappang tubas, Lampung) dan dapat menjadi waris dari orang
tuanya yang sah. Dikalangan orang Jawa adakalanya jika tidak ada
pria yang mau mengawini wanita yang telah hamil itu, terpaksa
diantara pamong desa yang harus mengawininya. (Hilman
Hadikusuma, 1977: 146)
Selanjutnya anak kandung memiliki kedudukan yang sangat
penting dalam setiap somah (gezin) dalam suatu masyarakat adat.
Anak tersebut dilihat sebagai generasi penerus, juga dipandang
sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya di kelak
kemudian hari wajib di tumpahkan dan dipandang sebagai pelindung
orang tuanya ketika orang tua sudah tidak mampu lagi secara fisik
untuk mencari nafkah. (Bushar Muhammad, 1995: 5)
3. Anak Tidak Sah (Anak Luar Kawin)
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki dua pengertian,
pertama, anak yang lahir sebagai akibat dari nikah siri atau nikah bawah
tangan; kedua, anak yang lahir sebagai akibat dari perzinahan,
perselingkuhan samen leven (kumpul kebo) dan jenis-jenis kontak
seksual dalam bentuk hubungan khusus yang lain. (M Nurul Arifin,
a. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria
dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan
seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelaku tersebut gadis,
bersuami atau janda, jejaka beristeri atau duda. Ada dua macam
istilah bagi pezina, yaitu (1) zina muhson, yaitu zina yang dilakukan
oleh orang yang telah atau pernah menikah; (2) zina ghairu muhson
adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah,
mereka berstatus perjaka atau masih perawan. (Abdul Manan, 2006:
83).
Apabila perzinaan mengakibatkan lahirnya anak, maka
sebenarnya anak itu lahir dalam keadaan suci, tidak menanggung
beban dosa apa pun dari pasangan zina itu. Karena anak itu lahir dari
perbuatan nista, tercela dari segi moral maupun agama, maka
masyarakat menyebutnya sebagai anak zina, anak laknat dan anak
haram. Meskipun ia suci, tetapi ia mempunyai kedudukan lain di
banding dengan anak biasa yang lahir dalam perkawinan yang sah.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab
timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina
tidak boleh dihubungan dengan nasab ayahnya, meskipun secara
mereka bahwa nasab merupakan karunia dan nikmat sedangkan
perzinaan merupakan tindakan pidana (jarimah) yang sama sekali
tidak layak mendapatkan balasan nikmat. (M Nurul Arifin, 2015: 89).
Sebagai konsekuensi dari pezinaan , maka anak tersebut tidak
mempunyai garis nasab dengan ayah biologinya, tetapi anak tersebut
masih mempunyai nasab dengan ibu kandungnya, karena nasap anak
kepada ibu kandungnya dapat terbentuk melalui proses persalinan
atau kelahiran. Baik kelahiran bersifat syar’i maupun tidak. (M Nurul Arifin, 2015: 94).
Selain anak dari perzinaan, hukum Islam juga menetapkan
anak di luar kawin adalah (1) anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah sama dengan anak zina, ia tidak
mengikuti nasab suami ibu yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu
yang melahirka; (2) anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan
nasab dengan laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau
laki-laki itu mengakuinya. (Abdul Manan, 2006:83).
b. Anak Luar Kawin Menurut UU Perkawinan dan KHI
Anak luar kawin dalam UU Perkawinan diatur dalam pasal 43
Pasal 43 berbunyi (1) “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya” dan (2) “kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 44 berbunyi (1) “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut” dan (2) “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan”.
Sedangkan dalam KHI pasal 100 berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga keluarga ibunya”. Pasal 101 berbunyi “seorang suami
yang mengikari sahnya anak, sedangkan isteri tidak menyangkalnya,
dapat meneguhkan pengingkaran dengan li’an”. Pasal 102 berbunyi
(1) “suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari
isterinya, mengajukan kepada Pengadilan Agama dalam jangka
waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya
perkawinan atau setelah suami mengetahui bahwa isterinya
melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia
c. Anak Luar Kawin Menurut Hukum Perdata
Dalam KUH Perdata pembagian anak luar kawin menjadi 3
kelompok yaitu, Anak zina, Anak Sumbang, dan Anak Luar Kawin.
1) Anak Zina menurut prinsip hukum perdata barat adalah
anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan yang salah satu atau
keduanya terikat perkawinan, hal ini sebagai konsekuensi
dari asas monogami yang dianut dalam BW;
2) Anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan
antara laki-laki dan perempuan dimana hukum melarang
perkawinan antar mereka, misalnya karena masih terikat
hubungan darah;
3) Anak alami atau anak luar kawin lainnya adalah anak
yang dibenihkan atau dilahirkan di luar perkawinan orang
tuanya namun diakui oleh orang tuannya. ( I Nyoman
Sujana, 2015, 64)
d. Anak Luar Kawin menurut Hukum Adat
Di dalam masyarakat mungkin juga dijumpai anak yang lahir di
luar perkawinan atau anak tidak sah. Anak tidak sah yang sering
haram jadah dan sebagainya, adalah anak yang di lahirkan dari
perbuatan orang tua tidak menurut ketentuan (agama dan adat)
seperti:
1) Anak dari kandungan ibu sebelum terjadi pernikahan;
2) Anak dari kandungan ibu setelah bercerai lama dengan
suaminya;
3) Anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan sah;
4) Anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang
lain, dan
5) Anak dari kandungan ibu yang tidak di ketahui siapa ayahnya.
(Hilman Hadikusuma, 2015 :68)
B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Waris
1. Pengertian Hukum Waris pada Umumnya
Konsep pewarisan timbul karena terjadi peristiwa kematian. Peristiwa
kematian ini menimpa seorang anggota keluarga, terutama ayah dan ibu.
Apabila ada orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan yang
menjadi masalah bukan peristiwa kematian atau meninggal itu,
melainkan harta kekayaan yang di tinggalkan oleh almarhum.
Masalahnya, siapakah yang berhak atas harta kekayaan yang
wajib menanggung dan menyelesaikannya. (Abdulkadir Muhammad,
2014: 194)
Dengan demikan jelas, bahwa pewarisan di satu sisi berakar pada
keluarga dan di lain sisi berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan).
Berakar pada keluarga karena menyangkut siapa yang menjadi ahli waris.
Berakar pada harta peninggalan (harta kekayaan) karena menyangkut
siapa yang menjadi pewaris atas harta peninggalan setelah pemiliknya
meninggal. (Abdulkadir Muhammad, 2014: 194)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “pewarisan” adalah proses
beralihnya harta warisan dari pewaris kepada waris menurut aturan
hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam KHI Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagianya masing.
Unsur-unsur yang terdapat dalam kewarisan menurut Abdulkadir
Muhammad sebagai berikut:
a. Subjek Hukum
Yaitu anggota keluarga yang meninggal, anggota keluarga yang
b. Status Hukum
Yaitu anggota keluarga yang meninggal sebagai pewaris, anggota
keluarga yang di tinggalkan sebagai ahli waris terdiri atas
anak-anak dan isteri/suami pewaris dan orang sebagai penerima wasiat
dari pewaris.
c. Peristiwa Hukum
Meninggalnya anggota keluarga sebagai pewaris.
d. Hubungan Hukum
Timbul hak dan kewajiban ahli waris terhadap pewaris mengenai
harta peninggalan dan penyelesaian hutang pewaris.
e. Objek Hukum
Harta warisan dan utang-piutang peninggalan pewaris.
(Abdulkadir Muhammad, 2014: 195)
2. Macam-macam Hukum Waris
Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistik karena saat ini
berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum
Waris Islam dan Hukum Waris KUH Perdata.
Hukum Waris Adat meliputi keseluruhan asas, norma dan
pengendalian harta benda (materiil) dan cita (nonmatriil) dari generasi
yang satu kepada generasi berikutnya. Hukum waris adat yang berlaku di
Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya.Dalam
kewarisan ada ada yang matrilineal, patrilineal ataupun patrilineal dan
matrilineal beralih-alih atau bilateral. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul
Elmiyah, 2005: 01)
Hukum Waris Islam di rumuskan sebagai “ perangkat ketentuan
hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki seorang
pada waktu ia meninggal dunia. Sumber pokok hukum waris islam
adalah Al-Quran, Hadits Nabi, kemudian Qias dan Ijma. (Surini Ahlan
Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005: 02)
Hukum Waris KUH Per adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan,
dimana, berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya di
dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di
dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.
(Ali Afandi, 1997: 7)
R. Subekti beranggapan seperti halnya dalam Hukum Perkawinan,
begitu pula Hukum Waris di Indonesia masih beranekaragam. Di
samping Hukum waris menuru Hukum Adat, berlaku Hukum Waris
Menurut Seorojo Wongsowidjojo Hukum Waris berbeda-beda, antara
lain:
a) Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan
penduduk Indonesia;
b) Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang
berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada Hukum
Perdata Barat;
c) Adanya Hukum Adat yang di sana sini berbeda-beda, tergantung
pada daerahnya masing-masing, yang berlaku bagi orang-orang
yang tunduk kepada Hukum Adat. (Surini Ahlan Sjarif dan Nurul
Elmiyah, 2005: 03).
3. Hak Waris Anak Luar Kawin
a. Menurut Hukum Perdata Islam di Indonesia
Mengenai kewarisan anak luar kawin yang beragama islam di
Indonesia yang berlaku adalah pasal 183 Kompilasi Hukum Islam
yang berbunyi “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari ibunya”.
b. Menurut Hukum Perdata
Di dalam KUH Perdata ketentuan mengenai kewarisan anak
luar kawin di atur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 873 KUH
Perdata. Kemudian perlu di tegaskan bahwa hukum waris dari anak
luar kawin ini hanya terdapat antara ia sendiri dengan orang tua yang
mengakui. (Ali Afandi, 1997: 41). Sedangkan untuk bagian
warisannya terdapat pada pasal-pasal berikut ini:
Pasal 863, “jika yang meninggal meninggalkan keturunan
yang sah atau seorang suami atau isteri maka anak-anak luar kawin
mewarisi sepertiga dari bagian mereka yang sedianya harus
mendapatnya andai kata mereka anak-anak yang sah; jika si
meninggal tak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri,
akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah, dalam garis ke atas,
ataupun saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka,
maka mereka menguasai setengah dari warisan; dan jika hanya ada
sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat”. “jika
para waris yang sah denga si meninggal bertalian keluarga dalam
lain-lain penderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis
yang satu, pun terhadap merekayang dalam garis lain, menentukan
besarnya bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin.
sebagai berikut :
1) Anak luar kawin mewarisi dengan suami atau istri dan
keturunan yang sah maka bagiannya adalah 1/3 dari
bagian jika dia itu anak sah;
2) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan keluarga
sedarah dalam garis ke atas (kakek-nenek),
saudara-saudara atau keturunannya maka ia mewarisi ½ warisan;
3) Anak luar kawin mewarisi bersama-sama dengan ahli
waris yang lebih jauh dari ahli waris yang disebut diatas
maka ia mendapat ¾ bagian. (Ali Afandi, 1997 : 41).
Pasal 865, “jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris
yang sah, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh warisan”.
Pasal 866, “jika seorang anak luar kawin meninggal lebih
dahulu maka sekalian anak dan keturunan yang sah, berhak menuntut
bagian-bagian yang diberikan kepada mereka menurut pasal 863 dan
865”.
Pasal 867, “ketentuan-ketentuan termasuk di atas tak berlaku
bagi anak yang di benihkan dalam zinah atau dalam sumbang”. “Undang-undang memberikan kepada mereka hanya nafkah
c. Menurut Hukum Adat
Anak kandung yang tidak sah atau anak luar kawin ada
kemungkinan dalam hidupnya ikut serta bersama ayah dan ibu yang
melahirkannya, ada kemungkinan hanya mengikuti ibu tanpa ayah
kandung; atau mungkin juga mengikuti ayah tanpa ibu kandung; atau
mengikuti orang lain sebagai orang tua yang mengurusnya.
Anak kandung adalah ahli waris dari orang tua yang
melahirkannya, sedangkan anak luar kawin ada kemungkinan sebagai
berikut :
1) Tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tua yang
melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya;
2) Hanya berhak sebagai ahli waris dari ibu yang
melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari
ibunya;
3) Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai ahli
waris dari ayah ibu kandungnya. (Hilman Hadikusuma,
1977: 144)
Dalam masyarakat yang kekeluargaanya bersifat parental
(keorangtuaan) yang terbanyak di Indonesia, kedudukan anak di
keagamaan Islamnya anak di luar kawin tidak berhak mewarisi,
sebaliknya di Jawa anak kowar dapat mewarisi atau diberi bagian
warisan atas dasar parimirma (peri kemanusiaan, welas asih).
BAB III
DATA PENELITIAN
A. Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang diperkenalkan
oleh perubahan Ketiga UUD 1945. Sebagai ide, format kelembagaan
mahkamah ini dipelopori oleh Hans Kelsen yang untuk pertama kalinya
berhasil mengadopsikannya ke dalam rumusan Konstitusi Austria pada
tahun 1919-1920. Setelah itu, ide mahkamah ini diadopsi Italia pada
tahun 1947, baru kemudian diikuti Jerman dan diikuti oleh negara-negara
lain. Namun, meskipun dapat dikatakan baru, dalam sidang BPUPKI
tahun 1945, Muhammad Yamin sudah pernah melontarkan ide untuk
mengadopsikannya ke dalam UUD 1945. Akan tetapi ide ini ditentang
oleh Soepomo karena dikatakannya tidak sesuai dengan UUD 1945, yang
ketika itu didesain atas dasar prinsip ʻsupremasi parleman’ dengan menempatkan MPR sebagai ʻinstansi tertinggi’, sehingga tidak cocok
dengan asumsi dasar Mahkamah Konstitusi yang mengadakan hubungan
antar lembaga yang bersifat ʻchekc and balance’. (Jimly Asshiddiqie, 2005: 22)
ketatanegaraan. Sebagian besar negara-negara demokrasi yang sudah
mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri
sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk
mahkamah ini secara tersendiri. Fungsinya biasanya dicakup didalam
fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya
ialah Amerika. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi
Mahkamah Konstitusi seperti judicial review dalam rangka menguji
konstitussionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil maupun
dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan
Mahkamah Agung (Supreme Court). (Jimly Asshiddiqie, 2005: 89)
Perubahan UUD 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan besar
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan
kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudisial. Dalam sistem kekuasaan
kehakiman (yudisial), di samping Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, telah muncuk Mahkamah Konstitusi (MK)
dan Komisi Yudisial (KY). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006:109)
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide
pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945, maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah
Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana
diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan
Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada
tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di
Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15
salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
(www.mahkamahkonstitusi.go.id)
2. Tugas dan Fungsi Mahkamah Konstitusi
Tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi berdasarkan Penjelasan
Umum UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah
menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu dalam
rangkan menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita
demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap
pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan
oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga
merupakan penafsir tertinggi Konstitusi (the sole interpreter of
constitution). (Abdul Mukthie Fadjar, 2006: 119)
3. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi
bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak
dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini
mencangkup pula kekuatan hukum mengikat (final and biding).
B. Pengajuan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman di samping Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
tata usaha negara dan peradilan militer. Adapun kewenangan Mahkamah
Konstitusi di atur secara jelas dalam pasal 24 C UUD 1945, salah satunya
yaitu untuk pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar
(Judicial Review).
Pengujian judicial review undang-undang terhadap Undang-Udang
Dasar 1945, diatur dalam UU No 24 Tahun 2003 pasal 51 ayat (1) pemohon
adalah pihak yang menggangap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (a) perorangan warga
negara Indonesia ; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam Undang-undang ; (c) badan
hukum publik atau privat ; (d) lembaga negara”. Salah satu contoh putusan Mahkamah Konstitusi tentang Judicial Review yaitu pasal 2 ayat (2) dan
pasal 43 ayat (1) Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan terhadap pasal
Judicial Review yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias
Machica Binti Mochtar Ibrahim (Pemohon 1) dan Muhammad Iqbal
Ramadhan Bin Moerdiono (Pemohon 2) bertanggal 14 juni 2010 yang di
terima Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut (Kepaniteraan
Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan Akta
penerimaan berkas Permohonan Nomor 211/PAN/MK/2010 dan registrasi
pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang
telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11
Agustus 2010.
Bahwa pada tanggal 20 desember 1993, di Jakarta telah berlangsung
pernikahan antara Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti
Mochtar Ibrahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs. Moerdiono, dengan
wali nikah almarhun H. Mochtar Ibrahim, disaksikan oleh dua orang saksi,
masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman,
dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2000 Riyad (mata uang
Arab), satu set perhiasan emas, berlian di bayar tunai dan dengan ijab yang
di ucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama
Drs. Moerdiono. Dari pernikahan tersebut dilahirkan seorang anak bernama
Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono.
Bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau
Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang
dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan diperlakukan berbeda dimuka
hukum terhadap status hukum perkawinan oleh undang-undang.
Hak konstitusional dari Machica Mochtar sebagai pemohon ke-1 dan
Muhammad Iqbal Ramadhan sebagai pemohon ke-2 yang dirugikan oleh
ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 2 ayat (2) UU No 1 tahun 1974 menyatakan, “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku”.
Kemudian pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdatan
dengan ibu dan keluarga ibunya”.
C. Tinjauan Perkara
Para pemohon telah mengajuan permohonan bertanggal 14 Juni 2010
yang di terima kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut
(Kepaniteraan Mahkamah) pada hari senin tanggal 14 juni 2010 berdasarkan
akta penerimaan berkas permohonan nomor 211/PAN.MK/2010 dan
registrasi pada Rabu tanggal 23 juni 2010 dengan Nomor
46/PUU-VIII/2010, yang telah di perbaiki dan di terima Kepaniteraan Mahkamah
pada tanggal 11 Agustus 2010, menguraikan hal-hal sebagaimana berikut:
b. Bahwa pasal 51 ayat (1) menyatakan
1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau
kewenangan konstitusionalnya di rugikan oleh berlakunya
undang-undang,
2. Pemohon di klasifikasikan sebagai perorangan warga negara
Indonesia yang dirugikan hak konstitusionalnya di sebabkan
diperlakukan berbeda dimuka hukum terhadap status hukum
perkawinan oleh undang-undang.
Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal (2) menyatakan :
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”, sehingga oleh karenanya pernikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga dikuatkan dengan
Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract
van gewijdse) sebagaimana tercantum dalam penetapan atas Perkara Nomor
46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 juni 2008. “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon
sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan (2)
serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. Pasal 28B ayat (1)
menyatakan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara
Indonesia memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia yang
lainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan perkawinan tanpa
dibedakan dan wajib diberlakukan sama di depan hukum.
Sedangkan pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dan diskriminasi”. Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan
norma konstitusi bahwa anak pemohon juga memiliki hak atas status
hukumnya dan diperlakukan sama di depan hukum.
Bahwa pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak pemohon hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya, dan hal ini sama juga dianut dalam Islam. Dengan
berlakunya pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan maka hak-hak konstitusional
pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pegesahan atas
pernikahannya serta status hukum anaknya yang dijamin pasal 28B ayat (1)
dan ayat (2) serta pasal 28D ayat 1 telah dirugikan.
Bahwa pasal 28D ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
Bahwa sementara itu, pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan menyebabkan kerugian terhadap hak konstitusional pemohon
dan anaknya yang timbul berdasarkan pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 serta pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan
pengesahan terhadap pernikahan sekaligus status hukum anak pemohon.
D. Pokok Permohonan
Bahwa para pemohon sebagai orang yang berkedudukan sebagai
perorangan warga negara Indonesiayang mengajukan permohonan pengujian
ketentuan pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinana),
yang pada intinya sebagai berikut:
a. Bahwa menurut para pemohon ketentuan pasal 2 ayat (2) dan
pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian
hukum yang mengakibatkan kerugian para pemohon, khususnya
yang berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum yang
dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;
b. Bahwa hak konstitusional para pemohon telah diciderai oleh
norma hukum dalam Undang-Undang Perkawinan. Norma hukum
ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1
adalah sah dan sesuai rukun nikah dalam Islam. merujuk ke
1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai
rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh pasal 2 UU
Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum.
Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak pada
status hukum anak (pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan
pemohon 1 menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan
norma hukum dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang
tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di
muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.
c. Singkatnya menurut pemohon, ketentuan a quo telah
menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta
menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu
menurut para pemohon ketentuan a quo bertentangan dengan