• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.9. TB-HIV pada Anak

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik utama pada penderita HIV. Pada pasien yang terinfeksi pertama kali dengan Mycobacterium tuberculosis kemudian dengan HIV, risiko perkembangan tuberkulosis adalah 5-10 % per tahun. Bila infeksi-infeksi ini didapat dengan urutan sebaliknya, gabungannya bahkan lebih dramatis; tuberkulosis timbul pada sebanyak separuh dari pasien yang terinfeksi HIV setelah infeksi primer Mycobacterium tuberculosis dan biasanya timbul dalam beberapa bulan (Daniel, 2014).

Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada anak dapat terjadi sebelum atau sesudah timbulnya gejala AIDS. Karena Mycobacterium tuberculosis lebih virulen, infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis umumnya terjadi lebih awal dibanding infeksi lain. Disamping itu, walaupun dapat terjadi penularan dari pasien dengan infeksi aktif, infeksi TB pada pasien HIV lebih banyak terjadi sebagai akibat reaktivasi fokus laten yang sudah terdapat beberapa tahun sebelumnya. Sebagai akibatnya, infeksi TB umumnya lebih banyak dijumpai pada anak yang lebih besar atau dewasa (Suwendra dan Purniti, 2010).

2.9.1. Manifestasi Penyakit

Gambaran klinis, radiologis, dan histologis pada pasien HIV dan non HIV tidak sama. Pada anak dengan infeksi HIV, infeksi tuberkulosis pada umumnya jarang disertai oleh gejala klinis yang sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan (Suwendra dan Purniti, 2010). Tuberkulosis paru anak sering memberikan gambaran radiologi berupa atelektasis karena terdapat penekanan bronkus yang disebabkan oleh pembesaran Kelenjar Getah Bening (KGB) hilus sehingga terjadi kolaps alveoli. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan wheezing/mengi sehingga sering didiagnosis asma tetapi tidak membaik dengan pemberian bronkodilator (KEMENKES, 2013)

Tuberkulosis milier merupakan hasil penyebaran hematogen dengan jumlah kuman yang besar, yang tersangkut di ujung kapiler paru dan membentuk tuberkel dengan ukuran sama yang menyerupai butir-butir padi (milletsheed). Efusi pleura dapat berbentuk serosa (paling sering) atau empiema TB (jarang) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB pada rongga pleura. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral. Efusi perikardial TB jarang ditemukan pada anak, terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau melalui drainase limfatik (KEMENKES, 2013).

2.9.2. Diagnosis

Menurut JUKNIS TB-HIV pada anak KEMENKES tahun 2013, Diagnosis TB anak sampai saat ini masih banyak menghadapi tantangan akibat sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan bakteriologi serta rendahnya konfirmasi bakteriologi yang didapat. Pemeriksaan BTA aspirat lambung pada TB anak menunjukkan hasil positif pada 10-15% pasien saja. Namun demikian pemeriksaan bakteriologi (BTA dan biakan Mycobacterium tuberculosis) tetap harus dilakukan pada setiap pasien. Konfirmasi bakteriologi dapat dilakukan dengan pengambilan spesimen dari beberapa tempat yang memungkinkan sesuai dengan manifestasi klinis penyakit TB-nya, antara lain sputum, aspirasi cairan lambung, cairan pleura, induksi sputum, biopsi jarum halus pada kelenjar getah bening (KGB) yang membesar dan biopsi jaringan lainnya.

Infeksi HIV juga semakin memperberat masalah terkait TB karena dapat menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena beberapa faktor berikut (Basier dan Yani, 2010):

1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak mempunyai kemiripan gejala.

2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB.

3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.

Gejala klinis TB pada anak terinfeksi HIV hampir sama dengan yang tidak terinfeksi HIV tetapi pada anak yang terinfeksi HIV lebih sering mengalami TB diseminata. Tuberkulosis pada anak terinfeksi HIV sering sulit dibedakan dengan kondisi lain akibat infeksi HIV seperti Lymphocytic Interstitial Pneumonitis (LIP), pneumonia bakteri, bronkiektasis dan Sarkoma Kaposi. Gejala klinis umum TB pada anak terinfeksi HIV antara lain batuk persisten lebih dari 3 minggu yang tidak membaik setelah pemberian antibiotik spektrum luas, malnutrisi berat atau gagal tumbuh, demam lebih dari 2 minggu, keringat malam yang menyebabkan anak sampai harus ganti pakaian, gejala umum non-spesifik lainnya dapat berupa fatigue (kurang aktif, tidak bergairah). Indikator yang baik terdapatnya penyakit kronik dan TB anak adalah gagal tumbuh meskipun keadaan ini dapat pula disebabkan kurang nutrisi, diare kronik dan infeksi HIV (KEMENKES, 2013).

Pada gambaran radiologis, dapat dijumpai limfadenopati hilus atau mediastinum, infiltrat pada lobus tengah atau bawah, di luar paru dalam bentuk lesi milier atau tuberkulosis kelenjar. Dapat juga dijumpai efusi pleura, atelektasis, kavitas dan bronkiektasis. Pada anak terinfeksi HIV, gambaran radiologi LIP menyerupai TB milier. Lesi yang dijumpai di luar paru lebih banyak dan prognosisnya lebih jelek (Suwendra dan Purniti, 2010).

Icksan dan Luhur S (2008) melaporkan adanya kasus TB primer progresif pada pasien HIV. Diamana, pada gambaran radiologis tampak ada pelebaran mediastinum yang kemudian setelah 19 hari bertambah luas. Kemudian setelah 30 hari terdapat infiltrat luas di kedua paru.

Untuk diagnosis, tes tuberkulin masih dapat dilakukan dengan bahan old tuberculin (tes Mantoux) atau PPD 5 TU (purified protein derivative 5 tuberculin unit), karena 40%-nya masih dapat menunjukkan reaksi yang positif. Tes dianggap positif apabila setelah 48-72 jam terjadi indurasi ≥ 5 mm. apabila hasil tes meragukan atau negatif, maka diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan

adanya Mycobacterium dengan pewarnaan atau kultur. Pada pemeriksaan histologis dapat ditemukan granuloma spesifik atau non spesifik, yaitu tanpa sel raksasa Langhans, sel epiteloid, atau nekrosis perkijuan. Juga tidak jarang, tidak ditemukan kuman tahan asam di dalamnya. Tes lain yang dapat dilakukan adalah tes hibridisasi DNA, tes Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) atau pemindaian (scanning) dengan pemberian label gallium radioaktif (Suwendra dan Purniti, 2010).

Gambar 2.7. Konsolidasi lobus kanan atas, bagian kiri tengah dan adenopati pada penderita TB-HIV

Sumber: dikutip dari Allen et al., 2010. Gambar 2.6. Pelebaran mediastinum

pada penderita TB-HIV.

Sumber: dikutip dari Icksan & Luhur, 2008.

Gambar 2.9. Gambaran Fibrosis dan Bronkiektasis pada lobus kiri atas,

mediastinum tergeser ke kiri,

menggambarkan perubahan TB post primer pada anak dengan HIV.

Dokumen terkait