• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

D. Analisa Bivariat

Berdasarkan kerangka konsep, maka analisis bivariat akan menguji hubungan antara variabel independen dengan dependen. Variabel independen berupa tingkat kecemasan perpisahan dengan orang tua dan variabel dependen yaitu motivasi belajar.

Tabel 5.4 Hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap

Analisis hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta ini menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian didapat koefisien korelasi (r) antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta (r) -.271 dengan tingkat signifikan (p) 0,02. Hal ini menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta dimana semakin tinggi kecemasan perpisahan dengan orang tua maka semakin rendah motivasi belajar pada santri remaja.

Kecemasan

Motivasi belajar

Total Nilai r P Rendah Sedang Tinggi

N % N % N % N %

-.271 0,02 Rendah 2 4,9 15 36,6 24 58,5 41 100

Tinggi 2 6,2 19 59,4 11 34,4 32 100 Total 4 5,5 34 46,6 35 47,9 73 100

memiliki hubungan atau korelasi yang lemah (r=-.271) dengan motivasi belajar karena nilai kekuatan korelasinya (r) antara 0,20-0,399 (Dahlan, 2010).

62 BAB VI PEMBAHASAN

Penelitian ini seperti sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghubungkan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah . Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah untuk tingkat SMP dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti kepada 73 responden. Berikut uraian pembahasan serta keterbatasan penelitian dari hasil penelitian yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.

A. Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

Karakteristik resoponden berdasarkan usia reponden sebagian besar berusia 12 tahun yaitu masing-masing sebesar 46 responden (63,0%). Hal ini disebabkan karena mayoritas responden berada pada kelas VII tingkat SMP yang belum memiliki pengalaman tinggal dipesantren dan berpisah dengan orang tua. Mayoritas santri yang memulai sekolah di pondok pesantren kelas VII dimana pada usia ini santri berada pada remaja awal dengan yang usianya 12- 15 tahun (Desmita, 2010).

Pada usia 12- 18 tahun Adolescence mengalami perubahan pola pertumbuhan dan perkembangan, dimana hubungan dengan orang tua mulai mengalami perubahan yaitu mendefinisikan batasan kemandirian dan ketergantungan, keinginan kuat untuk tetap bergantung pada orang tua

remaja berusia 13- 14 tahun merupakan masa peralihan anatara masa anak- anak dan remaja, dimana akan terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan rasa tidak tenang pada diri remaja yang akan meningkatkan kecemasan, sehingga saat remaja pada usia tersebut masih mengalami kecemasan saat harus berpisah dengan orang tua (Hurlock, 2004).

2. Gambaran Kecemasan perpisahan dengan orang tua

Kecemasan perpisahan dengan orang tua merupakan kekhawatiran yang tidak realistik pada anak tentang apa yang akan terjadi bila ia berpisah dengan orang- orang yang berperan penting dalam hidupnya, misalnya orang tua (Semium,2009). Pada usia 12- 18 tahun Adolescence mengalami perubahan, dimana hubungan dengan orang tua mulai mengalami perubahan yaitu mendefinisikan batasan kemandirian dan ketergantungan, keinginan kuat untuk tetap bergantung pada orang tua sementara mencoba untuk berpisah dari orang tua, sehingga mulai ada batas antara anak dengan orang tua yang terkadang anak masih membutuhkan pertolongan orang tua atau anak belum mampu sepenuhnya untuk mandiri (Nasir, 2008).

Pada tahap hubungan dengan teman sebaya remaja usia 12- 18 tahun mereka mulai mencari kelompok sebaya dan meningkatkan kedekatan persahabatan yang ideal dengan anggota lain yang sejenis sehingga remaja lebih mudah untuk beradaptasi saat mereka berpisah dengan orang tua (Nasir,2008). Pada penelitian ini yaitu didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian santri remaja mengalami kecemasan rendah yaitu 41 responden (56,2%) dan kecemasan tinggi 32 responden (43,8%). Angka ini menunjukkan bahwa remaja usia 12- 18 tahun mengalami

64

kecemasan rendah dimana jarak nilai antara kecemasan rendah dan tinggi tidak terlalu jauh. Hal tersebut bisa diartikan bahwa adolescence mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan saat mereka jauh dari orang tua yaitu dengan mulai bergaul dengan teman sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang disebabkan oleh perubahan cepat. (Nasir, 2008).

Kecemasan tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan dapat juga dialami oleh remaja yang masih duduk dibangku sekolah. Menurut Ady (2012) sebanyak 20% remaja mengalami masalah kesehatan mental, paling banyak depresi dan gangguan kecemasan. Di pondok pesantren, kegiatan pembelajaran sama halnya dengan sekolah- sekolah umumnya, namun di pondok pesantren lebih fokus pada kegiatan keagamaan seperti sekolah diniyah, hafalan Al-Quran, hadist- hadist, bahasa arab, dan giliran untuk pidato atau dalam istilah pesantren dikenal dengan khitobah di depan kelas. Namun tidak jarang beberapa dari kegiatan tersebut dapat membuat santri mengalami kecemasan.

Kecemasan juga sering dialami pada murid pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan santri. Mayoritas santri memulai sekolah di pondok pesantren kelas VII ini merupakan santri usianya sama dengan SMP dikelas VII dimana pada usia ini berada pada remaja awal dengan usia 12- 15 tahun (Desmita,2010). Kebanyakan santri yang bersekolah di pondok pesantren atas permintaan kedua orang tua dengan harapan anak- anak meraka mau mengikuti dan menuruti agar menjadi anak muslim yang berintelektual, selain itu, oleh faktor keterbatasan para orang tua dalam mendidik agama pada anak- anak mereka sehingga orang tua menyekolahkan anak nya di lembaga

berpisah dengan orang tua dan beradaptasi dengan lingkungan pesantren. Di Pondok pesantren, santri dituntut untuk bisa aktif dan berani, seperti bertanya pada ustad dan ustadzah, mendapat giliran untuk ceramah dan tes ujian penghafalan beberapa ayat Al-Quran, hadist- hadist serta doa- doa didepan kelas. Kegiatan tersebut merupakan bentuk kegiatan santri di dalam kelas. Namun pada kenyataannya, tidak jarang santri merasa cemas, baik pada saat bertanya pada ustad atau ustadzah maupun ketika mendapat giliran untuk ceramah dan pada saat tes menghafal di depan kelas. Kecemasan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dari waktu ke waktu seperti saat ujian, pertandingan olahraga, pertemuan dengan orang penting dan kekhawatiran akan hubungan baru (Halgin & Whibourne, 2010). Namun kecemasan sering dialami oleh anak dan remaja usia sekolah dengan tingkat pravelensi berkisar 4% menjadi 25% (Deb, Chatterjee & Walshi, 2010). Tidak menutup kemungkinan, kecemasan dapat dialami oleh individu-individu yang berada dalam ruang lingkup pendidikan keagamaan seperti pondok pesantren. 3. Gambaran Motivasi Belajar

Hasil dari penelitian ini menunjukkan santri yang tinggal dipsantren memiliki motivasi yang tinggi yaitu 35 responden (47,9%) sedangkan santri remaja yang mengalangi motivasi rendah adalah 4 responden (5,5%) dan motivasi sedang 34 responden (46,6%). Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa keinginan berhasil, dorongan kebutuhan belajar dan harapan akan cita- cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif dan kegiatan belajar yang menarik (Uno,2007). Kondisi lingkungan belajar juga dapat mempengaruhi

66

motivasi belajar seperti keadaan alam, lingkungan tempat tinggal, pergaulan kemasyarakatan dan lingkungan isntitusi penyelenggaraan pendidikan. Kondisi lingkungan belajar juga termasuk hal yang penting untuk diperhatikan. Perubahan lingkungan tempat tinggal seperti dipesantren dengan jadwal belajar yang sudah terjadwal dan pergaulan kemasyarakatan kepada teman sebaya juga dapat mempengaruhi motivasi belajar (Suciati, 2001). Keadaan sekolah tempat belajar turut mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar. Kualitas guru, metode mengajarnya, kesesuaian kurikulum dengan kemampuan anak, keadaan fasilitas atau perlengkapan di sekolah, keadaan ruangan, dan jumlah murid per kelas (Dalyono, 2010)

Rendah dan tinggi nya motivasi belajar santri dapat dipengaruhi oleh berbagai hal salah satunya adalah lingkungan sosial di pesantren tempat santri belajar. Lingkungan sosial ialah semua orang/manusia yang mempengaruhi kita. Pengaruh langsung seperti dalam pergaluan sehari-hari, seperti keluarga (perpisahan dengan orang tua), teman-teman, kawan sekolah, kegiatan dan sebagainya(Dalyono, 2010).

Pada penelitian yuliani (2013) diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara lingkungan sosial pesantren dengan motivasi belajar santri di pesantren Madinatul Ilmi Islamiyah. Semakin baik keadaan lingkungan sosial pesantren akan mengakibatkan semakin tinggi motivasi santri untuk belajar. Sebaliknya kondisi lingkungan sosial yang kurang baik akan mengakibatkan rendahnya motivasi santri untuk belajar

Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan

motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat menghasilkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencpaian prestasi belajar (Sardiman, 2012).

B. Analisa Bivariat

Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Spearmen rank karena peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta. Hasil uji spearmen pada penelitian ini didapat koefisien korelasi (r) antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta (r) -2,71 dengan tingkat signifikan (p) 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta. Dimana kekuatan atau hubungan negatif, dalam arti bahwa semakin tinggi kecemasan maka semakin rendah motivasi belajar.

Hal ini sependapat dengan pendapat Kirklan ( dalam Slameto, 2010) yang menyebutkan bahwa tingkat kecemasan yang sedang biasanya mendorong belajar, sedang tingkat kecemasan tinggi mengganggu belajar dan Elliot (1996) yang menyebutkan bahwa pada dasarnya kecemasan dalam tingkat rendah dan sedang berpengaruh positif terhadap penampilan belajar siswa, salah satunya dapat meningkatkan motivasi sedangkan kecemasan siswa pada taraf yang tinggi dapat mengganggu dan memperburuk perilaku belajar siswa. Wolfoolk & McCuna-Nicolich, 1984 (dalam Jamaris, 2013) bahwa siswa yang memiliki kecemasan

68

tinggi menunjukkan hasil belajar yang rendah dibandingkan siswa yang mengalami kecemasan rendah. Sebalik nya penelitian lain menunjukkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan hasil belajar, ini sesuai dengan penelitian Yanti (2013) bahwa semakin tinggi kecemasan maka semakin tinggi motivasi. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan dapat meningkatkan motivasi dan melemahkan motivasi. Kecemasan yang dapat dikelola dengan baik dapat meningkatkan prestasi individu (Jamaris, 2013).

Dampak dari kecemasan ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Apabila tidak bisa mengendalikan kecemasan melalui cara- cara yang rasional, maka ego akan mengandalkan cara- cara yang tidak realistis (Freud dalam Ki Fudyartanta, 2012). Namun apabila siswa telah berhasil mengantisipasi dan mengatasi gejala- gejala kecemasan, maka perasaan ini akan menjadi sumber motivator, bahwa kecemasan adalah suatu keadaan tegang yang memotivasi kita untuk berbuat sesuatu(Corey, 2010). Pada tingkat yang rendah, kecemasan dapat membantu individu untuk bersiaga dan waspada dalam mengambil langkah untuk mencegah adanya bahaya atau untuk memperkecil dampak bahaya yang akan datang. Kecemasan sampai tingkat tertentu atau pada tingkat sedang dapat mendorong meningkatnya performa pada diri individu. Misalnya cemas mendapat tugas untuk menghafal beberapa ayat Al-Quran sehingga santri tersebut berusaha keras dalam menghafal dan mempersiapkan diri sebelum akan disetor pada ustad atau ustadzah serta tugas-tugas lain yang diberikan. Namun apabila kecemasan yang dialami individu sangat tinggi, justru akan sangat mengganggu keefektifan individu (Fausiah & Widuri, 2008). Kecemasan penting untuk meningkatkan motivasi dalam meraih suatu tujuan, karena kecemasan bukan merupakan sesuatu yang patologis, kecemasan bisa menjadi motivasional yang kuat.

Dalam penelitian ini peneliti masih menemukan keterbatasan peneliti, antara lain sebagai berikut :

1. Saat pembagian kuesioner peneliti tidak dapat membacakan kuesioner kecemasan kepada para responden, dikarenakan sekolah sedang mengejar mata pelajaran agar selesai tepat waktu karena akan mulai liburan puasa. Sehingga kuesioner dititipkan dan dibacakan oleh wakil kepala sekolah. 2. Pada kedua instrumen penelitian kecemasan dalam penelitian ini didapatkan

dari penelitian terdahulu yang dimodifikasi sendiri oleh peneliti sehingga tidak memiliki standar yang baku baik secara nasional ataupun internasional. Intrumen ini juga masih banyak item yang tidak valid sehingga diperlukan perbaikan dalam pembuatan kuesioner tersebut.

3. Ketidak sesuaian penelitian dengan jadwal sekolah tempat penelitian, dikarenakan pihak sekolah sedang sibuk untuk menyelesaikan materi sebelum libur puasa, sehingga penelitian yang dilakukan cukup mengganggu kegiatan proses belajar di pesantren.

71 BAB VII

KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan data yang diperoleh di Pondok pesantren Asshiddiqiyah Kebun Jeruk Jakarta dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada santri remaja usia 11 -14 tahun di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kebun Jeruk Jakarta sebagian besar mengalami kecemasan rendah sebanyak 41 responden (56,2%).

2. Pada santri remaja usia 11 -14 tahun di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kebun Jeruk Jakarta sebagian besar mengalami motivasi tinggi sebanyak 35 responden (47,9%).

3. Ada hubungan bermakna antara kecemasan perpisahan dengan orang tua terhadap motivasi belajar pada santri remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta dengan nilai p value = 0,02 serta memiliki hubungan negatif dengan nilai r sebesar -0,27 dalam arti bahwa semakin tinggi kecemasan maka semakin rendah motivasi belajar pada santri remaja di Pondok pesantren Asshiddiqiyah Kedoya Utara Kebun Jeruk Jakarta.

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diajukan antara lain : 1. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini bisa dijadikan data untuk memberi landasan bahwa adanya masalah gangguan adaptasi pada santri baru sehingga profesi keperawatab bisa memberikan intervensi dalam mengatasi kecemasan yang ditumbulkan seperti kurangnya motivasi belajar.

2. Bagi pondok pesantren

Merancang metode pembelajaran yang dapat mengurangi kecemasan pada santri baru dengan menyediakan bimbingan konseling.

3. Bagi santri

Mengelola kecemasan yang dialami dengan baik saat berpisah dengan orang tua agar motivasi belajar tetap ada dan meningkat.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Lebih spesifik lagi dalam memilih responden, misalnya responden yang terpaksa tinggal dipesantren agar terlihat kecemasan mereka saat memasuki pesantren dan berpisah dengan orang tua.

Dokumen terkait