• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Bivariat

Dalam dokumen SKRIPSI VISKA LENGKAP pdf 1754836901 (Halaman 66-74)

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi. Analisa data menggunakan derajat kemaknaan signifikan 0,05. Hasil analisa chi-square dibandingkan dengan nilai p, dimana bila p < 0,05 artinya secara statistik bermakna dan apabila nilai p > 0,05 artinya secara statistik tidak bermakna. Adapun hasil analisa bviariat tergambar pada tabel berikut :

Tabel 4.6

Hubungan Stres dengan Kejadian Insomnia Lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar Tahun 2014

Stress Kejadian Insomnia Jumlah Pvalue OR Ringan Sedang f % F % f % Sedang Berat 44 5 93,6 38,5 3 8 6,4 61,5 47 13 100 100 0,000 23,467 (4,656-118,282) Total 49 81,7 11 18,3 60 100

Berdasarkan tabel 4.6 diperoleh informasi bahwa diantara 47 responden yang mengalami stres sedang, terdapat 44 orang (93,6 %) terjadi insomnia ringan. Dan dari 13 responden yang mengalmi stres berat, terdapat 5 orang (38,5 %) terjadi insomnia ringan. Hasil uji statistik dengan analisa chi-square didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05), artinya terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian insomnia lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar tahun 2014 (Hipotesa diterima). Dari hasil analisis

diperoleh nilai OR=23,467 dengan arti lansia yang mengalami stress sedang mempunyai peluang 23,467 kali untuk mengalami insomnia ringan.

BAB V PEMBAHASAN 1. Analisa Univariat

a. Tingkat Stress Lansia

Berdasarkan tabel 4.4 diperoleh informasi tentang tingkat stress yang dialami lansia, diketahui bahwa lebih dari separoh responden mengalami stress sedang yaitu sebanyak 47 orang (78,3 %).

Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan koping dan adaptasi. Sindrom adaptasi umum atau teori Selye, menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu (Isaacs, 2004).

Menurut Nugroho (2005) stres yang terjadi pada lansia berhubungan dengan kematian pasangan, status sosial ekonomi, penyakit, isolasi sosial dan spiritual, perubahan kedudukan, pensiun serta menurunnya kondisi fisik dan mental juga dapat mengakibatkan stres pada lansia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M Fajri Saputra (2012) dengan judul Hubungan Tingkat Stress Dengan Tingkat Insomnia Pada Lansia Di PSTW Kasih Kasang Ibu Batusangkar, diperoleh informasi tentang tingkat stres pada lansia, terlihat bahwa lebih dari sebagian responden mengalami tingkat stres sedang, yaitu sebanyak 48 orang (68,6 %).

Menurut asumsi peneliti, banyak responden yang mengalami stress sedang pada penelitian ini disebabkan stress yang mereka alami tidak terlalu mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya. Pada umumnya stres yang dialami lansia seperti merasa terganggu oleh bayang-bayang masa lalu yang buruk, nafsu makan menurun dan merasa tidak bisa mengusir masalah hidupnya. Stress yang dialami lansia pada penelitian ini dapat disebabkan peristiwa-peristiwa yang dapat memicu terjadinya stress seperti kegagalan dalam perkawinan, rasa rindu dengan keluarga yang jarang berkunjung, dan rasa kesepian karena jauh dari anggota keluarga serta kurang mendapat perhatian dari anggota keluarganya.

Sedangkan responden yang mengalami stres berat disebabkan seringnya gejala-gejala stres yang mereka alami seperti rasa ketakutan, gelisah saat tidur, dan merasa tidak bahagia. Timbulnya stres tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita, kematian suami/istri yang sangat mempengaruhi kondisi psikis responden. Faktor lain yang memicu

terjadinya stres pada responden adalah perubahan kesehatan, dan perubahan pada status keuangan. Timbulnya stres karena perubahan kesehatan dan status keuangan akan mempengaruhi pola hidup mereka selanjutnya, terutama bagi responden yang kurang mendapat perhatian/kunjungan dari keluarga.

b. Kejadian Insomnia

Berdasarkan tabel 4.5 diperoleh informasi tentang kejadian insomnia pada lansia, diketahui bahwa lebih dari separuh responden mengalami insomnia ringan yaitu sebanyak 49 orang (81,7 %).

Insomnia menurut Chaplin (2001) adalah ketidakmampuan yang kronis untuk tidur. Menurut sigmund (dalam Morin, 2000), insomnia adalah suatu penyakit gangguan tidur yang mencakup setiap sistem, gangguan pada setiap fungsi, dalam kegelapan, dalam kesunyian, dan kesendirian malam, semua ini disebabkan oleh masalah kecemasan, timbul bersamaan dengan energi yang berlebihan serta dihantui oleh perasaan tidak bersemangat. Sedangkan menurut Silber (2005), insomnia didefinisikan sebagai kesulitan dengan inisiasi pemeliharaan durasi atau kualitas dari tidur yang mengakibatkan aktifitas di siang hari terganggu, meskipun memiliki kesempatan dan situasi yang memadai untuk tidur.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian M Fajri Saputra (2012) dengan judul Hubungan Tingkat Stress Dengan Tingkat Insomnia

Pada Lansia Di PSTW Kasih Kasang Ibu Batusangkar, diperoleh informasi tentang tingkat insomnia pada lansia, terlihat bahwa lebih dari sebagian responden mengalami tingkat insomnia sedang, yaitu sebanyak 48 orang (68,6 %).

Menurut asumsi peneliti, banyak responden yang mengalami insomnia sedang disebabkan insomnia yang mereka alami tidak terlalu mengganggu kualitas tidur mereka dan hanya berlangsung beberapa hari saja. Bentuk gejala insomnia yang jarang dialami responden tersebut seperti jarang bermimpi buruk, waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur tidak terlalu lama, dan tidak merasa segar setelah bangun pagi dalam waktu 2 – 7 hari. Terjadinya insomnia tersebut karena responden memiliki kebiasaan buruk tidur siang hari dalam waktu yang lama, sehingga pada malam hari mereka sulit untuk memejamkan mata dan tidur.

Rasa gelisah sebelum tidur dan rasa tidak segar setelah bangun tidur terjadi karena adanya penyakit fisik yang diderita seperti rasa pusing karena darah tinggi, sering berkemih di malam hari, rasa gatal pada salah satu bagian tubuh. Penyakit fisik dan kegelisahan lansia tersebut tidak terlepas dari pengaruh faktor usia yang telah lanjut, seperti perubahan sistem genitourinaria yang mengakibatkan kapasitas kandung kemih menurun sehingga sering berkemih terutama pada malam hari, dan perubahan sistem integumen yang menyebabkan penurunan perlindungan terhadap suhu yang ekstrim serta berkurangnya sekresi minyak alami dan

keringat. Sehingga pada saat bangun tidur responden kurang merasa segar, karena tidur yang terganggu.

2. Analisa Bivariat

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa diantara 47 responden yang mengalami stres sedang, terdapat 44 orang (93,6 %) terjadi insomnia ringan. Dan dari 13 responden yang mengalmi stres berat, terdapat 5 orang (38,5 %) terjadi insomnia ringan. Hasil uji statistik dengan analisa chi-square didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) dan OR = 23,467. Artinya terdapat hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian insomnia lansia di PSTW Kasih Sayang Ibu Batusangkar tahun 2014 (Hipotesa diterima). Lansia yang mengalami stres sedang berpelung 23,467 kali untuk terjadi insomnia ringan dibandingkan dengan lansia yang mengalami stres berat.

Rafnowledge (2004) mengatakan, semakin tinggi stress pada lansia maka kebutuhan waktu tidur akan berkurang. Pemimpin klinik insomnia di Stanford AS, Dr. Nino Murcia mengatakan hal ini disebakan oleh ketegangan pikiran seseorang terhadap sesuatu yang kemudian mempengaruhi system saraf pusat (SSP) sehingga kondisi fisik senantiasa terjaga (Ridoaja, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh M Fajri Saputra (2012) dengan judul Hubungan Tingkat Stress Dengan Tingkat Insomnia Pada Lansia Di PSTW Kasih Kasang Ibu Batusangkar, di ketahui bahwa ada hubungan antara stress dengan tingkat tingkat insomnia Pada lansia, p=0,000

Menurut asumsi peneliti, adanya hubungan stres dengan insomnia pada lansia karena responden yang mengalami stres sedang untuk terjadi insomnia ringan, sebaliknya responden yang mengalami stres berat cendrung untuk terjadi insomnia sedang. Hal ini dapat terjadi karena akibat stres yang dialami mengganggu pikiran para lansia, sehingga mereka sering terbangun di malam hari dan sulit untuk tidur kembali. Stres yang mereka alami juga berdampak pada penyakit fisik lansia seperti sakit kepala, darah tinggi, dll yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan tidur pada lansia.

Bagi lansia yang mengalami stres sedang dan terjadi insomnia sedang disebabkan karena faktor pemicu stres yang terjadi pada lansia cukup menganggu pikiran dan aktifitas lansia, seperti status kesehatan yang semakin menurun dan kurangnya perhatian dari anggota keluarga. Menurunnya status kesehatan membutuhkan banyak biaya untuk pengobatan, sedangkan kondisi keuangan mereka tidak memungkinkan untuk membiayai pengobatan tersebut. Hal ini tentunya menjadi beban pikiran bagi lansia dan mereka tidak bisa istirahat dan tidur dengan tenang.

BAB VI

Baca selengkapnya

Dalam dokumen SKRIPSI VISKA LENGKAP pdf 1754836901 (Halaman 66-74)

Dokumen terkait