• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Bivariat

Dalam dokumen PERBEDAAN SKALA NYERI SEBELUM DAN SESUDA (Halaman 65-79)

BAB IV METODE PENELITIAN

C. Analisa Bivariat

Analisa Bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan, korelasi atau pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan penurunan nyeri pada kasus Plantar Fasciitis dengan Transverse Friction dan Kinesiotapping.

1. Perbedaan penurunan rata-rata nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sebelum dan sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotapping.

Tabel 5.3

Perbedaan rata-rata skala nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sebelum dan sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping di Ramayana

Bukittinggi tahun 2017 Variabel Nilai Min Nilai Max Z Standar Deviasi P – value N Nyeri pada kasus Plantar Fasciitis pre- post 6-4 7-6 -2.919 0.483-0.471 0.004 10

Berdasarkan uji wilcoxon pada tabel 5.3 Didapatkan nilai p untuk nyeri pada kasus Plantar Fasciitis adalah 0.004 < α (α = 0.05) maka dapat di simpulkan bahwa ada pengaruh penurunan nyeri sebelum dan sesudah diberikan

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Rata-rata skala nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sebelum pemberian Transverse Friction dan Kinesiotapping.

Penelitian yang telah dilakukan terhadap 10 orang responden penderita nyeri pada kasus Plantar Fasciitis didapatkan hasil rata rata nyeri sebelum pemberian Transverse Friction dan Kinesiotapping adalah 6.30 dengan standar deviasi 0.483 skala nyeri terendah 6 dan 7 tertinggi.

Plantar Fasciitis adalah peradangan dan atau degenerasi jaringan collagen dari plantar fascia yang membujur sepanjang kaki bagian bawah. Kondisi plantar fasciitis dapat menyebabkan gangguan yang serius. Terlebih untuk wanita yang memiliki mobilitas tinggi. Maka diperlukan penanganan yang tepat pada kasus plantar fasciitis. Karena jika dibiarkan akan terjadi gangguan

musculoskeletal lebih lanjut (Zidni, 2014).

Ada beberapa faktor penyebab pada kasus fasciitis plantaris. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu faktor anatomi, faktor biomekanik, dan faktor lingkungan. Contoh pada faktor anatomi termasuk arcus yang rendah atau pes planus, arcus yang tinggi atau pes cavus, dan tekanan tubuh yang berlebih atau obesitas.

Pada faktor biomekanik termasuk tightness pada tendon achilles, kelemahan flexor plantar fascia. Pada faktor lingkungan bisa disebabkan oleh trauma, dan aktivitas yang berlebih (Alghadir, 2006).

Efek dari posisi yang lama dan terus-menerus serta stress yang berlebihan dari plantar fascia, akan menyebabkan perubahan pada serabut

collagen, dimana terjadi penurunan kandungan air 3-4% dan penurunan GAG sekitar 20%. Sehingga akan menurunkan jarak diantara serabut-serabut

collagen dan menyebabkan perubahan gerak yang bebas diantara serabut- serabut. Menurunnya gerakan diantara serabut collagen membuat jaringan cenderung menjadi kurang elastis dan lebih rapuh, sehingga akan terbentuk serabut collagen dalam pola yang acak, disamping itu produksi fibroblas yang berlebihan pada fase produksi akan membentuk jaringan fibrous yang tidak beraturan sehingga menciptakan terjadinya abnormal crosslink yang akan menyebabkan perlengketan pada jaringan. Terjadinya abnormal crosslink disertai dengan inflamasi pada fascia plantarisnya. Sehingga timbul nyeri tekan pada fascianya (Periatna, 2006).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Zidni Sadati Maulana Aden (2014) yang berjudul “Penambahan Kinesiotaping pada Perlakuan Myofascial Release Technique Lebih Baik dalam Menurunkan Nyeri Fungsional pada Plantar Fasciitis oleh Karena Pemakaian Sepatu Hak tinggi (High Heels)” yang dilakukan selama 1

dua kelompok masing-masing 9 orang menjelaskan bahwa nyeri masing- masing kelompok diuji normalitas data dengan Shapiro Wilk Test, pada Kelompok I menunjukkan nilai p>0,05 dan pada Kelompok II menunjukkan nilai p<0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada kedua kelompok terjadi penurunan nyeri fungsional yang bermakna oleh karena perlakuan yang diberikan yaitu Myofascial Release dan ditambahkan dengan

Kinesiotaping yang dapat melepaskan adhesion atau perlengketan pada

plantar fascia dan mengurangi nyeri dengan gate control theory,

memulihkan kualitas cairan pelumas dari jaringan fascia, mobilitas jaringan dan fungsi normal sendi. Serta Kinesiotaping dapat memberikan penguluran secara simultan, mencegah terjadinya perlukaan baru, serta memperlancar aliran darah serta lymfa yang ada di area yang diterapi.

Hasil Penelitian ini juga sejalan dengan Iffa Herlina (2015) yang

berjudul “Hubungan Lama Pemakaian High Heels dengan Resiko Fasciitis Plantaris pada Sales Promotion Girl (SPG) PT. Sri Ratu Madiun” yang dilakukan pada 53 responden. Dan dari hasil penelitian ini secara deskriptif terdapat 83,02 % yang beresiko terjadi fasciitis plantaris. Dan dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini yaitu terdapat hubungan antara lama pemakaian high heels dengan resiko fasciitisplantaris.

Menurut asumsi peneliti, sebelum pemberian intervensi dengan

Transverse Friction dan Kinesiotapping diketahui bahwa rata-rata nyeri tumit pada karyawan wanita di Ramayana berada pada kategori sedang dan berat . Sebelum dilakukan intervensi responden menyatakan nyeri sepanjang telapak kaki, telebih jika responden berdiri lama, berjalan lama, dan ketika menapak pertama saat bangun tidur. Nyeri tumit terjadi karena regangan atau tarikan pada fascia yang berlebihan karena posisi kaki atau penggunaan sepatu yang salah dalam waktu yang lama. Hal ini terjadi secara berulang ulang tanpa disadari fascia mengalami peradangan atau inflamasi sehingga menyebabkan nyeri sepanjang telapak kaki.

Faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat nyeri pada karyawan penderita Plantar Fasciitis adalah lamanya aktivitas karyawan yang bisa mencapai 8 jam perhari dengan menggunakan High Heels sehingga fascia

menjadi overuse. Karyawan Ramayana hanya dapat duduk pada jam istirahat yaitu satu jam, selebihnya karyawan harus berdiri melayani pelanggan, oleh karena itu mereka hanya punya sedikit waktu untuk mengistirahatkan dan merilekskan kaki. Ini juga merupakan penyebab tingginya tingkat nyeri karyawan ramayana penderita Plantar Fasciitis. Karena pada saat berdiri berat badan menumpu pada kaki membuat Fascia

tertarik yang lama kelamaan bisa menyebabkan inflamasi. Hal ini juga dapat mempengaruhi produktivitas karyawan, karena apabila nyeri terasa pada saat bekerja itu akan dapat mengurangi keefektifan pelayanan konsumen di Ramayana itu sendiri.

2. Rata-rata skala nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotapping.

Penelitian yang telah dilakukan terhadap 10 orang responden penderita nyeri pada kasus Plantar Fasciitis didapatkan hasil rata rata nyeri sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotapping adalah 5.00 dengan standar deviasi 0.471 skala nyeri terendah 4 dan 6 tertinggi.

Nyeri merupakan respon subyektif dimana seseorang memperlihatkan tidak nyaman secara verbal maupun non verbal atau keduanya, akut maupun kronis. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi,tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi dan kegiatan yang biasa dilakukan. Nyeri yang dialami oleh klien artritis reumatoid didapatkan skala nyeri rata-rata enam atau nyeri sedang (Dina, 2009).

Nyeri pada plantar fasciitis diawali karena adanya lesi pada soft tissue di sisi tempat perlengketan plantar aponeurosis yang letaknya dibawah dari tuberositas calcaneus atau pada fascia plantaris bagian medial calcaneus akibat dari penekanan dan penguluran yang berlebihan. Adanya penekanan dan penguluran pada fascia plantaris dapat menimbulkan aksi potensial dari ujung saraf nocisensorik (serabut saraf

A-delta dan C) yang menghantarkan impuls nyeri ke kornu dorsalis medula spinalis lalu ke otak, dan di otak impuls tersebut di interpretasikan sebagai nyeri (Alamsyah, 2016).

Transverse friction adalah suatu metode massage yang bertujuan untuk memproduksi traumatic hyperemia dengan meningkatkan suplai darah di area otot yang spasme dengan cara mengurangi nodule dan melemaskan struktur serat otot yang spasme. Hal ini dapat mempengaruhi efektifitas gerakan dari serat otot seperti memanjang dan otot akan mudah digerakan kembali sehingga peredaran darah dan metabolisme disekitar otot tersebut dapat.

Kinesiotaping adalah suatu modalitas yang didasarkan pada proses penyembuhan alami tubuh kita. Metode Kinesiotaping menunjukkan kemanjurannya melalui aktivasi saraf dan sistem sirkulasi darah. Metode ini pada dasarnya berasal dari ilmu kinesiologi, mengakui pentingnya tubuh dan gerakan otot dalam rehabilitasi dan kehidupan sehari-hari.

Maka nama “kinesio” digunakan. Fungsi otot tidak hanya untuk gerakan

tubuh, tetapi juga mengontrol peredaran vena dan aliran getah bening. Oleh karena itu, kegagalan otot untuk berfungsi dengan baik menyebabkan berbagai macam penyakit kesehatan (Nugroho, 2013).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan

Partono (2006) dengan judul “Pengaruh Penambahan Transverse Friction pada Intervensi Ultrasound terhadap Pengurangan Nyeri pada

Kasus Tennis Elbow Tipe II”. Dapat disimpulkan bahwa terdapat

perubahan tingkat nyeri secara signifikan sebelum dan sesudah terapi dengan Ultrasound dan Transverse Friction akibat tennis elbow tipe II.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Suryo Nugroho (2013), dengan judul “Pengaruh Kinesiotaping dan Core Stability terhadap penurunan nyeri dan peningkatan LGS pada kasus nyeri punggung bawah fakultas ilmu kesehatan universitas muhammadiyah Surakarta”.

Metode penelitian yaitu Quasi Eksperiment dengan desain penelitian Pre and Post Test Two Group Design. Populasi dalam penelitian ini pengrajin tenun lidi di desa Janti. Responden yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 24 responden. Total sampel sebanyak 24 responden dengan rincian pada kelompok eksperimen kinesio tapping 12 responden, sedangkan pada kelompok eksperimen core stability 12 responden. Hasil penelitian dianalisa dengan uji Independent T-Test. Hasil Penelitian Uji Independent T-Test menunjukan hasil p= 0,0001 < 0,05 yang berarti ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara kelompok eksperimen kinesio tapping dan kelompok core stability terhadap penurunan nyeri dan peningkatan lingkup gerak sendi kasus nyeri punggung bawah.

Setelah intervensi diberikan responden menyatakan bahwa nyeri tumit berkurang, ketegangan otot mulai berkurang, sehingga responden dapat melakukan aktifitas secara fleksibel tanpa mengeluhkan nyeri tumit.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti berasumsi bahwa nyeri pada karyawan Ramayana penderita Plantar Fasciitis sesudah pemberian intervensi Transverse Friction dan Kinesiotaping lebih rendah dibandingkan sebelum pemberian intervensi Transverse Friction dan

Kinesiotaping. Dengan pemberian intervensi Transverse Friction dan

Kinesiotaping secara teratur dapat mengurangi nyeri pada Plantar Fasciitis, karena Transverse Friction dan Kinesiotaping dapat mengurangi perlengketan dan ketegangan yang terjadi pada fascia.

Selain itu Transverse Friction juga dapat dijadikan sebagai terapi rileksasi dan dapat dilakukan di sela sela jam kerja atau istirahat oleh karyawan secara mandiri. Apabila nyeri mulai terasa maka karyawan bisa melakukan Transverse Friction secara mandiri dan melanjutkan kembali pekerjaannya.

B. Bivariat

1. Analisis Rata-rata tingkat nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi Transverse Friction dan Kinesiotaping pada penderita Plantar Fasciitis

Hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 10 orang responden penderita Plantar Fasciitis menunjukkan bahwa ada perbedaan penurunan nyeri sebelum dan sesudah pemberian 6 kali terapi dengan Transverse Friction dan Kinesiotapping. Hasil analisis statistik menggunakan uji wilcoxon didapatkan nilai p value = 0,004. p < α (α = 0.05) yang menunjukkan bahwa H0 ditolak, berarti ada perbedaan

penurunan nyeri Plantar Fasciitis sebelum dan sesudah di berikan

Transverse Friction dan Kinesiotapping.

Plantar Fasciitis adalah peradangan dan atau degenerasi jaringan collagen dari plantar fascia yang membujur sepanjang kaki bagian bawah. Kondisi plantar fasciitis dapat menyebabkan gangguan yang serius. Terlebih untuk wanita yang memiliki mobilitas tinggi. Maka diperlukan penanganan yang tepat pada kasus plantar fasciitis. Karena jika dibiarkan akan terjadi gangguan musculoskeletal lebih lanjut (Zidni, 2014).

Ada beberapa faktor penyebab pada kasus fasciitis plantaris. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu faktor anatomi, faktor biomekanik, dan faktor lingkungan. Contoh pada faktor anatomi termasuk arcus yang rendah atau pes planus, arcus yang tinggi atau pes cavus, dan tekanan tubuh yang berlebih atau obesitas.

Transverse friction adalah suatu metode massage yang bertujuan untuk memproduksi traumatic hyperemia dengan meningkatkan suplai darah di area otot yang spasme dengan cara mengurangi nodule dan melemaskan struktur serat otot yang spasme. Hal ini dapat mempengaruhi efektifitas gerakan dari serat otot seperti memanjang dan otot akan mudah digerakan kembali sehingga peredaran darah dan metabolisme disekitar otot tersebut dapat berjalan lebih lancar dan membuat nyeri pada otot berkurang.

Kinesiotaping adalah suatu modalitas yang didasarkan pada proses penyembuhan alami tubuh kita. Metode Kinesiotaping

menunjukkan kemanjurannya melalui aktivasi saraf dan sistem sirkulasi darah. Metode ini pada dasarnya berasal dari ilmu kinesiologi, mengakui pentingnya tubuh dan gerakan otot dalam rehabilitasi dan kehidupan sehari-hari. Maka nama “kinesio” digunakan. Fungsi otot tidak hanya

untuk gerakan tubuh, tetapi juga mengontrol peredaran vena dan aliran getah bening. Oleh karena itu, kegagalan otot untuk berfungsi dengan baik menyebabkan berbagai macam penyakit kesehatan (Nugroho, 2013).

Efek lifting pada kinesiotaping berpengaruh pada sistem limfatik. Ketika terjadi inflamasi sistem limfatik pada superfisial dan deep limfatic vessels akanpenuh. Dengan adanya efek lifting pada kinesiotaping akan membantu aliran limfatik menjadi normal, sehingga terjadi penurunan tingkat inflamasi (Nugroho, 2013).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Indra Alamsyah (2016)

yang berjudul “Efek tivitas Penambahan Latihan Hold Relax pada Intervensi Transverse Friction dalam Mengurangi Nyeri pada Plantar Fasciitis” yang dilakukan selama 2 bulan dengan 20 responden usia 40- 65 tahun dibagi dua kelompok perlakuan secara random sama banyak. Kelompok I diberi intervensi transverse friction dan kelompok II diberi intervensi transverse friction dengan penambahan latihan hold relax. Pelatihan dilakukan 6 minggu dengan frekuensi 3x seminggu dan repetisi

latihan 10x pengulangan pada setiap latihan. Sebelum dan setelah 6 minggu pelatihan semua sampel diukur nilai nyeri dengan menggunakan

Visual Analog Scale. Hasil analisis didapatkan terjadi penurun skor nyeri pada Kelompok I nilai awal 6,90 dan nilai akhir 3,40 dengan nilai p<0,004 dan penurunan nilai skor nyeri pada Kelompok II nilai awal 7,10 dan nilai akhir 2,80 dengan nilai p<0,004. Artinya pada Kelompok I dan Kelompok II terjadi penurunan nyeri secara signifikan. Dari uji

Mann whitney perbandingan rerata penurunan nyeri setelah perlakuan pada kedua kelompok berbeda secara bermakna (p<0,05). Simpulan dari hasil penelitian ini bahwa intervensi Transverse Friction dengan penambahan latihan Hold Relax lebih efektif mengurangi nyeri dari pada intervensi Transverse Friction pada pasien Plantar Fasciitis.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Sofia Hanani (2013) yang

berjudul “Pengaruh Auto Stretching terhadap Penurunan Nyeri Fasciitis Plantaris pada Sales Promotion Girls Pengguna High Heels di Matahari Department Store Pekalongan” Uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro Wilk Test karena sample <30. Uji pengaruh dengan menggunakan Wilcoxon test sedangkan uji beda pengaruh dengan menggunakan Mann Whitney. Auto stretching dilakukan sendiri oleh pasien 2x sehari selama 30 hari, dilakukan dalam pengawasan terapis. Auto stretching dilakukan sebelum melakukan pekerjaan yaitu pada pagi hari dan sesudah selesai bekerja yaitu sore hari. Dimana

responden yang diberi latihan auto stretching mengalami penurunan nyeri yang signifikan dengan nilai probabilitasnya p<0,05.

Menurut asumsi peneliti pemberian dengan modalitas Transverse Friction dan Kinesiotaping pada pasien dengan kasus Plantar Fasciitis di Ramayana Bukittinggi tahun 2017 menunjukan hasil yang signifikan atau mengalami penurunan nyeri akibat efek massage dari Transverse Friction dan efek dari Kinesiotaping mampu melancarkan peredaran darah, aktivitas saraf dan mengontrol pergerakan kaki. Sehingga pasien merasakan perubahan pada kondisi nyeri yang di alaminya semakin menurun dalam 6 kali terapi, dan pasien diminta untuk tidak melakukan aktivitas yang berlebihan dan mengistirahatkan kaki sejenak saat bekerja agar nyeri pada telapak kaki tidak kembali dirasakan. Dan diharapkan kepada responden agar dapat melakukan Transverse Friction secara mandiri disela sela jam kerja karena Transverse Friction juga dapat dijadikan intervensi untuk relaksasi.

BAB VII

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian Tranvserse Friction dan Kinesiotapping pada kasus Plantar Fasciitis di Ramayana Bukittinggi tahun 2017 dapat disimpulkan bahwa :

1. Rata-rata nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sebelum diberikan Tranvserse Friction dan kinesiotapping adalah 6.30

2. Rata-rata nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sesudah diberikan Tranvserse Friction dan kinesiotapping adalah 5.00

3. Adanya perbedaan rata-rata nyeri pada kasus Plantar Fasciitis sesudah diberikan

Tranvserse Friction dan Kinesiotapping sebanyak 6 kali terapi. Hasil analisis

wilcoxon didapatkan p value <0.05, yaitu p value = 0.004.

Dalam dokumen PERBEDAAN SKALA NYERI SEBELUM DAN SESUDA (Halaman 65-79)

Dokumen terkait