Bab ini berrisikan uraian hasil penelitian dan analisis data.
Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi yang
merupakan pembahasan dan perbandingan dengan teori-teori dan hasil
penelitian sebelumnya, serta saran, baik untuk penyempurnaan penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
II. A. Stres Kerja
II. A. 1. Pengertian Stres Kerja
Dalam hubungannya dengan pekerjaan, setiap orang pasti pernah
mengalami stres. Adakalanya stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan
hampir tak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan
berlanjut dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001). Pekerjaan dapat
menimbulkan stres karena pekerjaan memainkan peran yang sangat penting dalam
kehidupan manusia (Dawis, dkk, 1989). Lingkungan kerja, sebagaimana
lingkungan-lingkungan lainnya, menuntut adanya penyesuaian diri dari individu
yang menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki kemungkinan untuk
mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Leila, 2002).
Secara sederhana stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana
individu terganggu keseimbangannya (Dharmawan, dkk, 2005). Sering pula stres
diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1989). Hans Selye
(dalam Efendi, 2001) yang dikenal sebagai father of stress theory mendefinisikan stres sebagai respon tubuh non-spesifik terhadap segala tekanan yang
menimpanya. Cox dan Mackay (dalam Leila, 2002), menyatakan bahwa stres
merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam
lingkungannya, baik secara fisik maupun psikososial.
Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara
mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, dalam
Leila, 2002). Stres dapat disebabkan oleh apapun yang menstimulasi kita; hal itu
adalah bagian dari kehidupan. Beberapa tingkatan stres dapat distimulasi, namun
bila terlalu banyak akan bisa merusak (Lazarus, dalam Austin, 2004). Stres
berhubungan dengan situasi lingkungan yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan
yang melampaui kemampuan dan keadaan diri seseorang untuk mengatasinya (Mc
Grath, dalam Chandraiah, dkk, 2003). Penghayatan stres ditentukan oleh
penafsiran tentang tuntutan apa yang dihadapi dan oleh analisis dari
sumber-sumber yang dimiliki untuk mampu menghadapi tuntutan (Munandar, 2001).
Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut
stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, dkk,
2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana
stresor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak terhadap
kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Cooper (1998)
mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau
menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan
bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Dunnette dan Hough (1998)
menjelaskan bahwa dalam model stres dari Cooper ini stres muncul sebagai
sebuah bentuk hipotetik dari manifestasi fisik, perilaku, mental, dan organisasi,
yang pada akhirnya pemicu stres yang dipelajari akan menimbulkan hasil yang
dapat dilihat melalui sisi individu (kesehatan mental dan fisik) serta tingakt
organisasi (produktivitas, absen, turnover).
Stres kerja juga dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang
fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, struktur
pekerjaan, tingkah laku individu sebagi anggota, dan aspek-aspek organisasi
lainnya (Leila, 2002). Stres yang berlangsung dalam waktu yang lama akan
menunjukkan hasil yang beragam. Stres berkepanjangan akan menyebabkan
kerusakan kesehatan fisik dan psikologis, misalnya kesehatan memburuk,
timbulnya perilaku psikotis, dan kelelahan kerja (Berry, 1997).
II. A. 2. Elemen Stres Kerja
Williams dan Cooper (1998) mengidentifikasi 3 elemen dari proses stres,
yaitu:
1. Sumber tekanan; yaitu beban kerja, hubungan, pengenalan, kondisi
organisasi, tanggung jawab individu, peran manajer, keseimbangan
pekerjaan/rumah, gangguan sehari-hari.
2. Perbedaan individual; yaitu tipe kepribadian, sabar/tidak sabar, kontrol,
pengaruh pribadi, fokus masalah, keseimbangan kehidupan pekerjaan,
dukungan sosial.
3. Akibat; yaitu kepuasan kerja, kepuasan organisasi, stabilitas organisasi,
keadaan pikiran, resiliensi, tingkat kepercayaan, simptom-simptom fisik, dan
II. A. 3. Faktor-faktor Stres Kerja
Menurut Cooper dkk (2003) terdapat sembilan hal yang menjadi faktor
stres kerja, yaitu:
1. Keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau keluarga, yaitu faktor yang
berhubungan dengan hubungan sosial dan keluarga pekerja, misalnya resiko
kegagalan hubungan, sikap pasangan terhadap pekerjaan, kurangnya kualitas
hubungan dengan anak, tidak dapat menjalankan peran dalam keluarga dengan
baik, terganggunya kehidupan sosial, merasa terisolasi, serta pekerjaan yang
monoton.
2. Karir dan penghargaan, yaitu faktor yang berhubungan dengan kemajuan
pekerjaan individu, misalnya kurangnya promosi, kemampuan tidak
dihargai/dikembangkan, kehilangan kesempatan, kurang dukungan sosial,
kekhawatiran penurunan pendapatan, dan tingkat pembayaran.
3. Keamanan, yaitu faktor yang berhubungan dengan keselamatan kerja, misalnya
terjadinya bencana, masalah fasilitas medis, perasaan tidak nyaman, kondisi
kerja, resiko kesalahan, permasalahan konsentrasi, dan kesesuaian pekerjaan.
4. Persoalan manajemen dan hubungan dengan rekan kerja, yaitu persoalan
hubungan dalam organisasi atau tempat kerja, misalnya masalah kerjasama,
konselor, hubungan dengan atasan, ketidakpahaman instruksi, kesulitan untuk
fokus, dan tidak adanya keseuaian karena bekerja terlalu lama.
5. Lingkungan fisik tempat kerja, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan
fisik lingkungan kerja, misalnya ketidaknamanan lingkungan kerja akibat
6. Lingkungan tempat tinggal, yaitu faktor yang berhuibungan dengan kondisi
tempat tinggal, misalnya buruknya kualitas sirkulasi udara, terganggunya masa
istirahat, tinggal dengan orang lain, gangguan akomodasi tempat tinggal, dan
berkurangnya ruang pribadi.
7. Peran manajerial, yaitu faktor yang berhubungan dengan kebijakan
manajemen, misalnya dipromosikan terlalu tinggi, iklim dan semangat
organisasi, dan keharusan mengerjakan atau mengawasi pekerjaan lain.
8. Ergonomi, yaitu faktor yang berhubungan dengan masalah-masalah ergonomi,
misalnya sering mengangkat benda-benda berat, berlari cepat, atau bekerja
dalam waktu lama.
9. Struktur organisasi, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur dari
organisasi tempat pekerja berada, misalnya pembagian waktu kerja, waktu
libur, dan kurangnya kebebasan.
II. A. 4. Sumber-sumber Stres Kerja
Sumber stres kerja merupakan interaksi dari beberapa faktor, yaitu stres di
pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter
dan persepsi dari karyawan itu sendiri (Rini, 2002). Dengan kata lain, stres kerja
tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus
akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa
sumber stres yang menurut Cooper (dalam Rini, 2002) dianggap sebagai sumber
stres kerja adalah:
Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan
menurunnya produktivitas kerja.
Overload. Dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut
mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga
menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
Deprivational Stres, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul
adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang
mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).
Pekerjaan Berisiko Tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak
lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan
stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan
terjadinya kecelakaan.
2. Konflik Peran
Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau
yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stres karena konflik
peran. Mereka stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu
apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Para wanita yang bekerja
dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai
wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.
3. Pengembangan Karir
Setiap orang memiliki harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu
perusahaan atau organisasi. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita
untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak terlaksana.
Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan
karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen
perusahaan, atau karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.
4. Struktur Organisasi
Kebanyakan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional
dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang
menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Iklim perusahaan
yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi
stres karena merasa segala sesuatu menjadi tidak jelas.
II. B. Pekerja Sosial
II. B. 1. Pengertian Pekerja Sosial
Pengertian pekerja sosial diberikan kepada individu dalam lingkungan
yang melaksanakan berbagai pelayanan yang dinaungi oleh bermacam-macam
organisasi. Pengertian ini berbeda dengan mereka yang memberikan
kontribusinya melalui basis relawan, dalam hal ini relawan tidak menerima
Pekerja sosial merupakan pihak-pihak yang melaksanakan usaha
kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari
kalangan masyarakat atau LSM (Hidayat, 2004). Pekerja sosial adalah siapa saja
yang bekerja memberikan bantuannya atau menjadi pendamping untuk
pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar, hakiki, dan mendesak
kepada anggota komunitas atau populasi yang memiliki keterbatasan dalam
pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kerja
kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial merupakan orang-orang
yang membantu orang lain mencegah atau memecahkan masalah dalam fungsi
sosialnya. Untuk melaksanakan hal ini, maka seorang pekerja sosial harus
memiliki pengetahuan, nilai, dan kemampuan yang sesuai untuk memberikan
bantuan dalam masalah yang berada dalam jangkauan individual maupun
komunitas (Morales dan Sheafor, 1980).
Para pekerja sosial mendefinisikan masalah sosial sebagai terganggunya
keberfungsian sosial individu, kelompok, atau komunitas sehingga mempengaruhi
kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan, merealisasikan nilai-nilai yang
dianutnya, serta menjalankan peran-perannya di masyarakat (Suharto, 2006).
Melalui proses pengembangan masyarakat, pekerja sosial membantu korban agar
dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan
kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991).
Bagi pekerja sosial tidak ada kehidupan individu tertentu yang lebih
berharga daripada individu lainnya, tidak ada kehidupan suatu kelompok yang
lebih bermanfaat dari kelompok lainnya. Semua manusia dan masing-masing
akan dipengaruhi oleh bermacam-macam perbedaan yang mungkin muncul dalam
hal fisik, kultur, ideologis, dan bentuk perilaku tertentu (Morales dan Sheafor,
1980). Pekerja sosial melakukan pekerjaan sosial yang merupakan profesi
pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian
sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran
sosialnya (Suharto, 1997).
II. B. 2. Fungsi Pekerja Sosial
Hal utama yang dilakukan pekerja sosial dalam pekerjaan sosial adalah
memberikan perhatian dan kepedulian kepada orang lain. Bentuk perhatian dan
kepedulian ini dimanifestasikan dalam suatu tahap dimana pekerja sosial
membantu perubahan individual dalam kondisi eksternal maupun internal yang
menyebabkan munculnya permasalahan atau pembatasan pengembangan
personal. Dalam bentuk yang lebih luas, pekerja sosial akan terlibat untuk
membantu individu atau kelompok yang mengalami perubahan melalui pemberian
pengaruh terhadap kebijakan nasional dengan tujuan mencapai masyarakat yang
sejahtera (Morales dan Sheafor, 1980).
Istiana (2001) menyatakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan individu
dan kolektif, pekerjaan sosial melaksanakan fungsi sebagai berikut:
1. Membantu orang secara efektif meningkatkan dan menggunakan
kemampuannya secara lebih efektif untuk melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan memecahkan masalah mereka.
3. Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan hubungan baru
antarorang dan sistem sumber kemasyarakatan.
4. Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan relasi antarorang di
lingkungan sistem sumber.
5. Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, serta perkembangan
kebijakan dan perundang-undangan sosial.
6. Meratakan sumber-sumber material.
7. Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial.
Istiana (2001) lebih lanjut menjelaskan fungsi pekerjaan sosial tersebut
bertujuan untuk membantu orang meningkatkan kemampuannya dalam
menjalankan tugas kehidupan; memecahkan permasalahan yang dihadapi dalm
berinteraksi dengan orang lain maupun sistem sumber; dan mempengaruhi
kebijakan yang ada.
II. B. 3. Fungsi Pekerja Sosial di Aceh
Alhumami (2007) menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja
mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan,
membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang
hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons (IDPs), lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Pitaloka (2005) menyatakan daftar kerja utama yang dilakukan para
pekerja sosial di Aceh yang dirinci berdasarkan kegiatan pekerja sosial di Aceh
1. Identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi yang
dikelompokkan dalam: lokasi, jumlah pengungsi (berdasarkan gender dan
usia), kondisi makanan, kesehatan, pakaian, shelter, air dan sanitasi, juga permintaan informasi dan catatan khusus mengenai kondisi itu.
2. Distribusi kebutuhan tempat-tempat penampungan yang telah teridentifikasi.
3. Distribusi relawan ke tempat-tempat penampungan lainnya serta mendirikan
posko.
4. Evakuasi jenazah (korban).
5. Memperbarui informasi untuk dapat dimanfaatkan pihak luar (yang
berkepentingan).
6. Mengusahakan logistik untuk didistribusikan.
7. Bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian.
Melalui data dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, tercatat
tanggal 10 April 2007, bidang kerja yang dilakukan pekerja sosial dari berbagai
LSM di Aceh tercatat sebagai berikut:
1. Program makanan (distribusi dan keamanan makanan).
2. Kesehatan masyarakat (pembangunan rumah sakit, klinik)
3. Rekonstruksi perumahan (pembangunan rumah permanen, rekonstruksi
infrastruktur, rumah transisi).
4. Pemulihan ekonomi (pemulihan kemiskinan, budidaya udang/ikan,
rehabilitasi agrikultur).
5. Air dan sanitasi (distribusi air tangki, air bersih, rehabilitasi air, pemasangan
6. Pengembangan masyarakat (respon darurat terhadap gempa dan tsunami,
pendidikan kesehatan, pengembangan anak, pemulihan masyarakat).
7. Rehabilitasi lingkungan (rehabilitasi batu karang, hutan hujan, hutan
manggrove).
8. Pembenahan populasi dan tempat tinggal (rekonstruksi desa, penyatuan
komunitas).
II. C. Aceh
Dalam situs resmi pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, dijelaskan
bahwa provinsi ini merupakan daerah paling barat pulau Sumatera dengan ibukota
Banda Aceh yang luas wilayahnya 56.500,51 Km2. Nanggroe Aceh Darussalam
memiliki penduduk yang berjumlah 3.899.290 jiwa dengan suku bangsa Aceh,
Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleue, Kluet, dan Aneuk Jamee. Agama yang
tercatat di provinsi ini adalah Islam 98,80 %, Kristen Protestan 0,84%, Kristen
Katolik 0,16%, Buddha 0,18%, dan Hindu 0,02%.
Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia
maupun di dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini, ataupun mungkin
pada masa yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga
menarik perhatian para antropolog (Usman, 2003). Kajian sejarah membuktikan
bahwa ajaran Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
masyarakat Aceh dan menjadi nilai-nilai yang mengakar kuat dalam Hukum Adat,
seperti yang disebutkan oleh Riddel dalam Reid (2006):
There was also a set of judicial practices under the direction of the rulers, which drew on traditional local practice and was known as Hukom Adat. Some offences were judged according to Islamic law, others according to the Hukom Adat.
Secara kultural dapat dilihat bahwa penduduk Aceh dipengaruhi oleh
kebudayaan dari Gujarat dan Timur Tengah yang juga diklaim sebagai
Kebudayaan Islam. Hal ini terlihat dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa
dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Beberapa antropolog
menggunakan agama (Islam) untuk melihat kebudayaan Aceh. Melalatoa (2005)
menyatakan bahwa kajian untuk memahami masyarakat Aceh dapat dipilih
dengan melihat agama sebagai fokusnya, karena konfigurasi unsur-unsur
kebudayaan sebuah kelompok terjaring oleh akidah dan kaidah agama. Islam
merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh.
Sebagian orang juga mempercayai bahwa Islam di Indonesia masuk
melalui Aceh, dan karena itu, orang Aceh memiliki sejarah keislaman yang lebih
lama dibandingkan orang-orang di daerah lain di Indonesia (Melalatoa, 2005).
Sebagaimana Reid (2006) menyebutkan bahwa Aceh telah lama menjadi pusat
berkembangnya penyebaran Islam di nusantara,
Acehnese pilgrim visited Arabia in increasing numbers during this time, and Acehnese religion scholars increasingly traveled to Arabia to study at a various centre of Islamic learning.
Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Aceh tak bisa dilepaskan dari
nilai-nilai Islami. Keislaman orang Aceh dapat dilihat bagaimana cara berpakaian, cara
berbicara yang selalu mengucapkan salam, dan perilaku yang menampakkan
nuansa “Islami”. Sehingga, wajar jika terdapat kesan bahwa orang Aceh identik
dengan ketaatan dan fanatik terhadap ajaran Islam. Bahkan, Aceh dijuluki sebagai
“Serambi Makkah” atau terasnya Makkah, tempat kiblatnya umat muslim di
Selain itu, sejumlah studi antropologi juga menyatakan bahwa masyarakat
Aceh dikenal memiliki watak yang keras. Sebagaimana dinyatakan oleh Reid
(2005), hal ini sejak dulu tergambar dari sikap masyarakat Aceh dalam
menghadapi pendudukan asing di Nusantara, sehingga dalam sejarah penjajahan
Belanda di Indonesia, Aceh adalah wilayah paling akhir yang berhasil
ditaklukkan, dan bahkan penaklukan Belanda pun tidak bisa dikatakan berhasil
menduduki seluruh wilayah Aceh. Perpaduan antara nilai-nilai Islami yang kuat
dan kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial
lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh (Alfian, 1977). Hal
ini dapat dikaitkan dengan ilmu antropologi psikologi yang telah memperhatikan
psikologi dari kolektif-kolektif di berbagai daerah dan watak penduduk, sehingga
dapat menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua
ilmu yang berbeda, menjadi sangat erat hubungannya (Barnouw, dalam
Danandjaja, 1994).
Aceh di masa sekarang merupakan daerah yang sedang berbenah diri
setelah diterpa bencana dahsyat Tsunami. Bencana yang menimpa Nanggroe Aceh
Darussalam di hari Natal 2004 (untuk zona waktu Eropa) telah menghancurkan
sekaligus melahirkan ketakutan yang hadir secara nyata di Aceh, bahkan
dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. Sebelumnya Aceh juga
merupakan daerah dengan berbagai permasalahan, sehingga pendekatan
militeristik, darurat sipil hingga otonomi khusus pernah ditetapkan di daerah ini
(Yudha, 2006). Sampai akhirnya pada saat ini Aceh dengan segala kompleksitas
lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang telah mendirikan
perwakilannya di Aceh.
Ditinjau dari teori Korten (dalam Zaim, 1995), terdapat empat generasi
strategi lembaga swadaya masyarakat, yaitu relief and welfare, self reliance local development, sustainable system development, dan people movement. Dari 4 generasi tersebut, ditemukan 2 pendekatan konvenen untuk LSM, yaitu konvenen
politik dan konvenen sosial ekonomi sosial budaya. Hal ini sesuai dengan fungsi
utama pelayanan LSM menurut Kamerman dan Kahn (dalam Moroney, 1991)
yaitu pengembangan sosial dan kontrol sosial. Dari data yang diperoleh dari
BRR, diketahui terdapat 114 yang masih aktif di Aceh (terhitung hingga tanggal
10 April 2007) dan kebanyakan dari LSM yang berkegiatan di Aceh bergerak
dalam pendekatan konvenen kedua, yaitu sosial ekonomi budaya.
Organisasi-organisasi tersebut menjalankan program yang berhubungan dengan pemulihan
dan pencapaian kesejahteraan sosial di Nanggroe Aceh Darussalam, baik
individual maupun kolektif.
II. D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh Krisis yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya. Bencana dahsyat tsunami yang menerjang Aceh
telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar
biasa (Yudha, 2006). Data kehancuran yang diperoleh dari BAKORNAS (24
Januari 2005) adalah kematian 170.000 jiwa, hilangnya 30.000 jiwa, terlukanya
8.500 jiwa, dan 394.285 menjadi Internally Displaced Persons di 10 distrik di Aceh.
Aceh pasca tsunami menjadi daerah dimana kini berbagai organisasi
nasional maupun internasional telah menjadi suatu pemandangan umum di
provinsi yang sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini (Rokhadi, 2005).
Aceh pun kebanjiran pekerja sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di
Aceh, baik pekerja sosial yang berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam
maupun luar negeri, baik yang terlatih maupun nekat (Pitaloka, 2005).
Pekerja sosial adalah siapa saja yang bekerja memberikan bantuannya atau
menjadi pendamping untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang paling
mendasar, hakiki, dan mendesak kepada anggota komunitas atau populasi yang
memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan
pada prinsip-prinsip kerja kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial
yang bekerja melintasi wilayah akan memberikan kontribusi personal pada tingkat
global, untuk memperoleh pengalamanan belajar langsung mengenai negara dan
budaya lain, serta untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang sebelumnya
belum pernah ditemui (Collins, dkk, 2002).
Ketika bencana terjadi, ratusan bahkan ribuan orang akan mulai
menghubungi berbagai organisasi untuk mencoba menjadi relawan pada lokasi
bencana. Gambaran dan cerita juga akan memotivasi orang-orang ini untuk
membantu secepatnya, secara personal (Cravens, dkk, 2007).
Namun pelaksanaan pekerjaan sosial ini tidaklah semudah yang
dibayangkan. Apa yang seirngkali tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah
pekerja sosial dadakan yang tidak memiliki bekal dan pengalaman sebenarnya dapat menyebabkan lebih banyak masalah daripada yang dapat mereka atasi di
pekerjanya sendiri merupakan isu penting yang sering terlupakan dalam bidang
bantuan sosial dan kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2006). Pekerjaan sosial kerap
pula dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak dapat
diperkirakan (Scholte, 2006).
Menyusul trauma akibat suatu kejadian tunggal yang amat menggoncang,
dapat timbul kemungkinan terjadinya stress pascatrauma (Dharmawan, dkk,
2005). Orang yang bekerja memberi bantuan atau dukungan bagi orang lain,
khususnya korban trauma, sangat mungkin mengalami masalah-masalah khusus