• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN STRES KERJA

PADA PEKERJA SOSIAL SUKU NON ACEH DI ACEH

SKRIPSI

OLEH: ALYA ALANNA

031301093

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Desember 2007

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh”.

Terima kasih penulis haturkan kepada Dosen Pembimbing Ibu Rika Eliana, M. Psi atas bimbingannya selama proses penyelesaian skripsi ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Ferry Novliadi, M. Si. dan Bapak Eka D. J. Ginting, Psi selaku dosen wali yang telah memberi semangat. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis ucapkan kepada keluarga dan sahabat tercinta, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penelitian ini, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

.

Medan, Desember 2007

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GRAFIK ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang ... 1

I. B. Perumusan Masalah ... 9

I. C. Tujuan Penelitian ... 9

I. D. Manfaat Penelitian ... 10

I. E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II LANDASAN TEORI II. A. Stres Kerja ... 12

II. A. 1. Pengertian Stres Kerja ... 12

II. A. 2. Elemen Stres Kerja ... 14

II. A. 3. Faktor-faktor Stres Kerja ... 15

II. A. 4. Sumber Stres Kerja ... 16

II. B. Pekerja Sosial ... 18

(5)

II. B. 2. Fungsi Pekerja Sosial ... 20

II. B. 3. Fungsi Pekerja Sosial Di Aceh ... 21

II. C. Aceh ….. ... 23

II. D. Gambaran Stres Kerja Pekerja Sosial Suku Non Aceh Di Aceh ... 26

II. E. Permasalahan Penelitian ... 33

BAB III. METODE PENELITIAN III. A. Variabel Penelitian ... 34

III. A. 1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

III. A. 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

III. B. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 35

III. B. 1. Populasi dan Sampel ... 35

III. B. 2. Metode Pengambilan Sampel ... 35

III. C. Lokasi Penelitian ... 37

III. D. Alat Ukur atau Instruman Pengukuran ... 37

III. D. 1. Skala Stres Kerja ... 37

III. D. 2. Uji Coba Alat Ukur ... 40

1. Tujuan ... 40

2. Uji Validitas Alat Ukur ... 41

3. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 41

(6)

III. E. 1. Persiapan Peneltian ... 42

III. E. 2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 42

III. E. 3. Pelaksanaan Penelitian ... 43

III. F. Metode Analisis Data ... 43

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI IV. A. Gambaran Subjek Penelitian ... 45

IV. A. 1. Usia Subjek Penelitian ... 46

IV. A. 2. Status Pernikahan Subjek Penelitian ... 47

IV. A. 3. Wilayah Kerja Subjek Penelitian ... 47

IV. A. 4. Gaji Subjek Penelitian ... 48

IV. B. Hasil Utama Penelitian ... 48

IV. B. I. Gambaran Umum Stres Kerja ... 49

IV. C. Hasil Tambahan Penelitian... 50

IV. C. 1. Gambaran Stres Kerja Berdasarkan Karakteristik Subjek ... 50

IV. C. 1. 1. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Usia ... 50

IV. C. 1. 2. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Status Pernikahan ... 51

(7)

IV. C. 2. Gambaran Skor Faktor-faktor Stres Kerja Berdasarkan

Karakteristik Subjek ... 55 IV. C. 2. a. Gambaran Skor Faktor Keterkaitan Pekerjaan dengan

Kehidupan Sosial/Keluarga Ditinjau dari Karakteristik Subjek ...55 IV. C. 2. b. Gambaran Skor Faktor Karir dan Penghargaan

Berdasarkan Karakteristik Subjek ...56 IV. C. 2. c. Gambaran Skor Faktor Keamanan Berdasarkan

Karakteristik Subjek ...58 IV. C. 2. d. Gambaran Skor Faktor Persoalan Manajemen dan

Hubungan dengan Rekan Kerja Berdasarkan Karakteristik Subjek ...59 IV. C. 2. e. Gambaran Skor Faktor Lingkungan Fisik Tempat Kerja

Berdasarkan Karakteristik Subjek ...60 IV. C. 2. f. Gambaran Skor Faktor Lingkungan Tempat Tinggal

Berdasarkan Karakteristik Subjek ...62 IV. C. 2. g. Gambaran Skor Faktor Peran Manajerial Berdasarkan

Karakteristik Subjek ...63 IV. C. 2. h. Gambaran Skor Faktor Ergonomi Berdasarkan

Karakteristik Subjek ...65 IV. C. 2. i. Gambaran Skor Faktor Struktur Organisasi Berdasarkan

Karakteristik Subjek ...66 BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

(8)

V. B. Diskusi ...71

V. C. Saran ...75

V. C. 1. Saran Metodologis ...75

V. C. 2. Saran Praktis ...76

DAFTAR PUSTAKA ...78

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Cara Penilaian Skala Stres Kerja ... 40

Tabel 2. Blue Print Skala Stres Kerja Sebelum Uji Coba ... 40

Tabel 3. Distribusi Item Skala Stres Kerja Setelah Uji Coba ... 43

Tabel 4. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 46

Tabel 5. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan ... 47

Tabel 6. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Wilayah Kerja ... 47

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Gaji ... 48

Tabel 8. Gambaran Umum Stres Kerja ... 49

Tabel 9. Kategori Skor Stres Kerja ... 49

Tabel 10. Gambaran Umum Stres Kerja Ditinjau dari Usia ... 50

Tabel 11. Gambaran Umum Stres Kerja Ditinjau dari Status Pernikahan . 51 Tabel 12. Gambaran Umum Stres Kerja Ditinjau dari Wilayah Kerja ... 52

Tabel 13. Gambaran Umum Stres Kerja Ditinjau dari Gaji ... 53

Tabel 14. Gambaran Skor Faktor Keterkaitan Pekerjaan dengan Kehidupan Sosial/Keluarga Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 55

Tabel 15. Gambaran Skor Faktor Karir dan Penghargaan Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 56

Tabel 16. Gambaran Skor Faktor Keamanan Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 58

(10)

Tabel 18. Gambaran Skor Faktor Lingkungan Fisik Tempat Kerja

Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 61 Tabel 19. Gambaran Skor Faktor Lingkungan Tempat Tinggal Ditinjau

dari Karakteristik Subjek ... 62 Tabel 20. Gambaran Skor Faktor Peran Manajerial Ditinjau dari

Karakteristik Subjek ... 64 Tabel 21. Gambaran Skor Faktor Ergonomi Ditinjau dari Karakteristik

Subjek ... 65 Tabel 22. Gambaran Skor Faktor Struktur Organisasi Ditinjau dari

(11)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Kategorisasi Stres Kerja ... 50

Grafik 2. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Usia ... 51

Grafik 3. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Status Pernikahan ... 52

Grafik 4. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Wilayah Kerja ... 53

Grafik 5. Gambaran Stres Kerja Ditinjau dari Gaji ... 54

Grafik 6. Gambaran Faktor Keterkaitan Pekerjaan dengan Kehidupan Sosial/Keluarga Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 56

Grafik 7. Gambaran Faktor Karir dan Penghargaan Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 57

Grafik 8. Gambaran Faktor Keamanan Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 59

Grafik 9. Gambaran Faktor Persoalan Manajemen dan Hubungan dengan Rekan Kerja Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 60

Grafik 10. Gambaran Faktor Lingkungan Fisik Tempat Kerja Ditinjau dari Karakteristik Subjek ... 62

Grafik 11. Gambaran Faktor Lingkungan Tempat Tinggal Ditinjau dari Karakteristik Subjek... 63

(12)

Grafik 13. Gambaran Faktor Ergonomi Ditinjau dari Karakteristik

Subjek ... 66 Grafik 14. Gambaran Faktor Sruktur Organisasi Ditinjau dari

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

ABSTRAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Alya Alanna: 031301093

Gambaran Stres Kerja pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh xi + 82 halaman + 22 tabel + 14 grafik + lampiran

Bibliografi 57 (1977 - 2007)

Bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2004 memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darusssalam. Lembaga swadaya masyarakat atau non government organization baik nasional maupun internasional mendirikan perwakilannya di Aceh untuk membantu proses pemulihan, dan merekrut pekerja sosial untuk mendukung kinerja dan pencapaian tujuan bantuan secara sempurna.

Pekerja sosial membantu korban agar dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991). Namun pada praktiknya pekerjaan sosial seringkali dikarakteristikkan dengan gangguan dan hambatan yang dapat mempengaruhi keadaan pelaksanaan pekerjaan sosial, dan dapat menimbulkan keadaan stres di kalangan pekerjanya (Scholte, dkk, 2006).

(15)

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah stres kerja yang diungkap oleh skala yang disusun berdasarkan faktor-faktor stres kerja yang dikemukakan oleh Cooper dkk (2003). Item-item skala disusun dengan model Likert, dan disebarkan terhadap 100 orang subjek penelitian di Nanggroe Aceh Darussalam. Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS 12.0 for windows.

(16)

ABSTRAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Alya Alanna: 031301093

Gambaran Stres Kerja pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh xi + 82 halaman + 22 tabel + 14 grafik + lampiran

Bibliografi 57 (1977 - 2007)

Bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2004 memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darusssalam. Lembaga swadaya masyarakat atau non government organization baik nasional maupun internasional mendirikan perwakilannya di Aceh untuk membantu proses pemulihan, dan merekrut pekerja sosial untuk mendukung kinerja dan pencapaian tujuan bantuan secara sempurna.

Pekerja sosial membantu korban agar dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991). Namun pada praktiknya pekerjaan sosial seringkali dikarakteristikkan dengan gangguan dan hambatan yang dapat mempengaruhi keadaan pelaksanaan pekerjaan sosial, dan dapat menimbulkan keadaan stres di kalangan pekerjanya (Scholte, dkk, 2006).

(17)

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah stres kerja yang diungkap oleh skala yang disusun berdasarkan faktor-faktor stres kerja yang dikemukakan oleh Cooper dkk (2003). Item-item skala disusun dengan model Likert, dan disebarkan terhadap 100 orang subjek penelitian di Nanggroe Aceh Darussalam. Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS 12.0 for windows.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

I. A. Latar Belakang

Bencana gempa dan tsunami yang terjadi pada tanggal 24 Desember 2004

telah memporak-porandakan negara-negara di pesisir Samudra Hindia. Sebagai

lokasi terdekat dari episentrum gempa, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

provinsi terbarat Indonesia, merupakan lokasi yang paling parah mengalami

dampak kehancuran. Dua kota besar di Aceh, ibukota Banda Aceh dan kota

pesisir Meulaboh, menjadi saksi besarnya kehancuran yang ditimbulkan oleh

bencana alam ini. Rumah-rumah di sepanjang bibir pantai hingga beberapa

kilometer ke daratan, rata dengan tanah. Tidak terkecuali dengan vegetasi, yang

banyak mengalami kerusakan (Rokhadi, 2005).

Kehancuran sungguh dahsyat dilihat dari segala aspek: skala gempa,

gelombang air pasang, tingkat kerusakan fisik, jumlah korban tewas, arus

pengungsi, trauma psikologis para korban, dan luas wilayah bencana yang

melampaui batas-batas negara dan benua. Oleh karena itu, timbul sebutan

terhadap bencana di Aceh sebagai the most terrifying catastrophe for human beings (Alhumami, 2007). Tidak mengherankan bila bencana tsunami ini kemudian melahirkan simpati kemanusiaan yang luar biasa bukan saja di

lingkungan masyarakat domestik tetapi juga komunitas internasional.

Segera setelah bencana ini terjadi, pernyataan duka dan belasungkawa

mengalir dari segenap penjuru dunia (Alhumami, 2007). Media elektronik, yang

(19)

dunia untuk menggalang dana kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Bantuan

dalam berbagai bentuk dari berbagai negara pun tiba di provinsi itu. Bantuan

tersebut berupa bantuan nyata, seperti kebutuhan standar yaitu tenda untuk tempat

tinggal sementara, ditambah pangan dan obat-obatan. Ada pula bantuan

pemenuhan kebutuhan nonfisik seperti pemulihan psikososial. Lima bulan setelah

bencana, Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Badan Rekonstruksi dan

Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias. Berbagai organisasi nasional maupun

internasional pun kini menjadi suatu pemandangan umum di provinsi yang

sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini (Rokhadi, 2005).

Lembaga swadaya masyarakat atau non government organization (LSM atau NGO) nasional dan internasional tersebut kini telah mendirikan

perwakilannya di Aceh untuk kelancaran proses pemulihan yang mereka jalankan.

LSM/NGO tersebut merekrut pekerja sosial untuk mendukung kinerja dan

pencapaian tujuan bantuan secara sempurna. Aceh pun lalu kebanjiran pekerja

sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di Aceh, baik pekerja sosial yang

berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam maupun luar negeri, baik yang

terlatih maupun nekat (Pitaloka, 2005).

Pekerja sosial adalah pihak-pihak yang melaksanakan usaha kesejahteraan

sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari kalangan

masyarakat atau LSM (Hidayat, 2004). Usaha kesejahteraan sosial merupakan

kerja kemanusiaan yang berupa upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang

tidak terpenuhi pada populasi masyarakat yang menderita akibat bencana atau

kekerasan berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan, imparsialitas, dan netralitas

(20)

Pekerja sosial melalui proses pengembangan masyarakat membantu

korban agar dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui

tindakan-tindakan kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991). Payne (1986)

menyatakan, ketika seorang pekerja sosial mencoba untuk menolong seseorang, ia

akan mulai dari posisi dimana terdapat suatu hal positif dan berguna dalam

kehidupan dan lingkungan kliennya yang akan membantu mereka maju kedepan,

sebagaimana masalah atau halangan yang coba mereka lewati. Bagian dari

pekerjaan sosial adalah menemukan hal baik, dan membantu klien mengambil

manfaat darinya.

Namun pada praktiknya, pelaksanaan pekerjaan sosial tidaklah semudah

yang dibayangkan. Salah satu isu penting yang sering terlupakan dalam bidang

bantuan sosial dan kemanusiaan adalah kesejahteraan bagi para pekerjanya

sendiri. Dampak ini sering tidak disadari kemunculannya karena pekerja sosial

terlalu sibuk dengan pekerjaannya memberikan pendampingan dan memikirkan

kesejahteraan orang lain (Dharmawan, dkk, 2006). Pekerjaan-pekerjaan sosial

seringkali dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak

dapat diperkirakaan. Kondisi ini akan mempengaruhi keadaan pelaksanaan

pekerjaan sosial, dan mungkin dapat menimbulkan keadaan stres di kalangan

pekerjanya (Scholte, dkk, 2006).

McFarlane (2004) dalam The Australasian Journal of Disaster and Trauma

Studies menyebutkan bahwa pekerja sosial seringkali mengalami keadaan tidak

menyenangkan dan berbahaya ketika bekerja dalam lingkungan yang kompleks, di

mana masalah yang terjadi berhubungan dengan konflik sipil, kemiskinan, dan

(21)

Manchester juga telah menyatakan hasil penelitian mereka mengenai jenis profesi

yang paling rentan berhubungan dengan stres kerja, dan ditemukan bahwa dalam

skala 0 sampai 10 untuk tingkat stres, pekerja sosial berada pada tingkat nilai 6.

Braithwaite (2007) telah pula menyebutkan bahwa stres adalah masalah terbesar

yang muncul dalam masalah pelayanan sosial di masa sekarang, dimana stres

kerja menghabiskan biaya lebih dari 3 juta pound setiap tahunnya, dan pekerja

sosial adalah yang paling banyak mengalami stres dalam lingkup pekerjaannyaa.

Dalam situs resmi International Labour Organization (2007), disebutkan bahwa

karena stres adalah hal yang sangat menyebar, maka stres memberikan

konsekuensi dan biaya yang sangat tinggi pula bagi individu, perusahaan dan

organisasi, juga untuk masyarakat.

Sementara stres diketahui sebagai sesuatu yang umum dalam kehidupan

modern, mendefinisikan stres, simptom, serta efeknya, adalah sesuatu yang

kompleks. Pekerjaan sendiri menghasilkan stres karena pekerjaan memainkan

peran yang penting dalam kehidupan manusia (Dawis, dkk, 1989).

Stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi

tekanan, dimana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai

perubahan lingkungan atau keadaan (Cooper, 1988). Kahn dkk (dalam Cooper,

dkk, 2003) menyatakan bahwa stres kerja merupakan suatu proses yang kompleks,

bervariasi dan dinamis dimana stresor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon

singkat, dampak terhadap kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan.

Cooper dkk (1996) yang menyatakan bahwa terdapat sembilan hal yang menjadi

faktor stres kerja, yaitu keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau

(22)

dengan rekan kerja, lingkungan fisik tempat kerja, lingkungan tempat tinggal,

peran manajerial, ergonomi, serta struktur organisasi.

Kebanyakan stres yang terjadi di kalangan pekerja sosial adalah hasil

tekanan pekerjaan setiap hari. Pemicunya adalah terpisah dari keluarga, kondisi

kerja dan kehidupan fisik yang sulit, waktu kerja panjang dan tidak teratur,

ancaman bahaya, kelemahan manajemen organisasi, pengalaman pribadi, serta

konflik tim kerja (Scholte, dkk, 2006). Ehrenreich & Elliot (2004) juga

menggambarkan stresor pekerja sosial, yaitu adanya tuntutan fisik, beban kerja,

berkurang atau hilangnya ruang pribadi, jauh dari keluarga, bahaya mengancam,

pengalaman trauma pribadi, kurangnya dukungan, beban manajemen organisasi,

konflik kelompok, serta dilema etika.

Pekerja sosial suku non Aceh yang melakukan pekerjaan pendampingan

komunitas di Aceh biasanya memiliki tantangan yang berat. Hal ini dikarenakan

dalam wilayah konflik maupun wilyah pascabencana, struktur sosial masyarakat

yang terkena dampak bisa jadi akan bergeser. Pergeseran ini kadang menimbulkan

gesekan baru (Dharmawan, dkk, 2005).

Masuknya para pekerja sosial suku non Aceh dalam kehidupan masyarakat

Aceh dengan membawa serangkaian gagasan, budaya, dan pola pikir yang asing

bukan tidak mungkin akan ditanggapi dengan penolakan (Dharmawan, dkk,

2005). Aceh sendiri merupakan daerah yang penduduknya secara kultural

dipengaruhi oleh kebudayaan Islam yang tampak dalam tata cara berpakaian,

tari-tarian, bahasa dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Selain

itu jika dilihat dari segi kehidupan Aceh jauh “lebih tertib” dibanding

(23)

masyarakat Aceh dikenal memiliki watak yang keras, yang terlihat dari sikap

masyarakat Aceh dalam menghadapi pendudukan asing di nusantara (Reid, 2005).

Dari sejarah diketahui bahwa perpaduan antara nilai-nilai islami yang kuat dan

kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial di

Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh (Alfian, 1977). Kekhasan

ini tidak terdapat di budaya lain, sehingga penyesuaian dan pemahaman

karakteristik wilayah, akar permasalahan, dan karakteristik masyarakat

dampingan perlu dilakukan pekerja sosial suku non Aceh yang memasuki daerah

kerja barunya di Aceh (Dharmawan, dkk, 2005).

Permasalahan-permasalahan mengenai hal di atas tergambar dari hasil

wawancara terhadap beberapa orang pekerja sosial suku non Aceh, yang

menyatakan ketidakbetahannya bekerja di Aceh karena alasan-alasan

sebagaimana dikutip di bawah ini. Interviewee pertama merupakan seorang pekerja sosial asal Jawa, yang bekerja di Aceh setahun setelah tsunami pada

sebuah LSM internasional.

“Berkegiatan di Aceh membutuhkan kehati-hatian yang ekstra agar tidak diusir oleh masyarakat karena tersangkut pasal pendangkalan akidah. Selain itu Aceh cuacanya panas sekali.. Makanannya tidak sesuai selera saya, dan perempuan yang saya cintai ada di Jakarta. Jenuh.. Sudah hampir dua tahun kerja di sini.” (Komunikasi Personal, Maret 2007).

Subjek berikutnya yang diwawancara merupakan seorang pekerja sosial

suku non Aceh yang bekerja pada salah satu LSM internasional yang berada di

daerah Lamno, Aceh Besar,dan berikut kutipan wawancaranya.

(24)

Interviewee ke tiga merupakan seorang pekerja sosial di Aceh untuk isu-isu kebudayaan, terutama menganalisa dampak bantuan terhadap perubahan

kebudayaan orang Aceh. Permasalahannya tergambar dalam kutipan wawancara

berikut.

“Saya seorang yang bebas, jadi saya tak suka diikat oleh pola kerja dengan manajemen yang ketat. Katakanlah birokrasi (manajemen) di kantor saya. Kondisi ini membuat saya bosan dan terasing. Tapi saya memahami bahwa itu adalah ketentuan yang harus saya penuhi ketika saya bekerja dalam sebuah struktur manajerial. Di tempat lain biasanya ketika berhadapan dengan situasi ini saya akan mencari hiburan. Di Aceh bisa dikatakan tak ada tempat-tempat hiburan. Ini kemudian menambah kebosanan saya. Selain itu umumnya masyarakat yang terbuka dan kuat secara psikologis keras kepala dan saya kewalahan dan kadang-kadang membuat saya kehilangan semangat untuk bekerja.” (Komunikasi Personal, Februari 2007).

Interviewee berikutnya yang menyatakan pengalamannya bekerja di Aceh adalah seorang pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja pada salah satu non government organization internasional di Banda Aceh. Perkataannya sebagaimana dikutip sebagai berikut.

“Kadangkala perbedaan budaya berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu cuaca di kota Aceh sangat panas.” (Komunikasi Personal, Februari 2007).

Para pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja lintas wilayah ini sering

pula diterpa isu-isu kontekstual yang berkembang di Aceh. Hal ini menambah

hal-hal yang harus menjadi pemikiran lebih bila ingin bekerja di tanah rencong ini

(Noorsalim, 2006).

Pekerja sosial harus berhadapan dengan prasangka yang kadang tertuju

pada relawan asing atau mereka yang memiliki keyakinan berbeda dengan

mayoritas masyarakat korban bencana (Pitaloka, 2005), sebagaimana

digambarkan dari perkataan pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja di Aceh

(25)

yang bekerja di sebuah lembaga yang fokus menanggulangi penanganan trauma

pasca bencana. Dia bekerja di Aceh setelah tsunami 2004, dan setelah dua tahun

bekerja di lembaga itu, ia memilih bekerja free lance, untuk memfasilitasi beberapa kegiatan sosial di Aceh

“Perbedaan agama gue selalu dijadikan faktor diskriminasi. Banyak sekali dari apa yang gue pikirkan, lakukan dan ajukan sebagai wacana, selalu dipermasalahkan karena gue non-muslim. Gue sering dituduh melakukan kristenisasi, penganut sekulerisme, atau melakukan pendangkalan akidah, dll. oleh orang-orang tertentu yang diskriminatif tersebut, apa pun yang gue lakukan pokoknya gak ada yang bener. Tanpa menyaksikan sendiri apa yang gue lakukan, tanpa kesediaan untuk berdialog, gue sudah di-vonis demikian. Anak-anak yang ikut kegiatan bersama gue dikucilkan, nama gue dijelek-jelekkan di berbagai kesempatan, dll. Gue merasa gue akan lebih produktif bila di luar Aceh, dimana waktu, tenaga dan pemikiran lebih banyak habis untuk diskriminasi SARA ini daripada melakukan yang lain-lainnya yang gue (dan teman-teman gue) maksudkan untuk gue (dan teman-teman gue) lakukan. Banyak banget orang yang gue lihat hipokrit di Aceh ini. Dan gue gak tahan berlama-lama berada di tengah-tengah lingkungan hipokrit. Gue juga gak tahan dengan pemaksaan untuk patuh pada uniformitas, pemaksaan perluasan ranah publik ke ranah-ranah prifat, sanksi-sanksi sosial yang represif dan tidak adil. Ekspresi jujur gue banyak yang harus gue tekan karena gue menghadapi ancaman serangan balik. Gue gak akan terlalu peduli bila serangan balik itu hanya ditujukan ke gue. Masalahnya adalah, serangan balik juga ditujukan ke orang-orang terdekat dengan gue dan ke kelompok yang gue layani.” (Komunikasi Personal, Januari 2007).

Stereotip atau generalisasi mengenai masyarakat Aceh juga telah

berkembang di antara pemberi bantuan bahwa masyarakat Aceh bersikap pasif,

tidak turut membantu situasi darurat, dan tidak tahu berterima kasih (Dharmawan,

dkk, 2005). Hal ini tergambar dari hasil wawancara dengan salah seorang pekerja

sosial suku non Aceh yang bekerja di Aceh setelah tsunami, dan menangani

program psikososial untuk anak-anak.

“Orang-orangnya dikasih hati minta jantung, jadi bawaannya waspada melulu.” (Komunikasi Personal, Februari 2007).

Bekerja dalam kondisi yang kompleks dan dengan fasilitas serta akses

(26)

sanak keluarga, kehilangan anggota keluarga dan tuntutan pekerjaan yang tanpa

batas waktu karena keadaan darurat, akan mempengaruhi keadaan pekerja sosial

dan pelaksanaan pekerjaannya, serta dapat pula menimbulkan stres pada pekerja

sosial (Dharmawan, dkk, 2006).

Oleh karena itu, melalui peninjuan permasalahan yang telah dipaparkan,

maka penulis ingin melihat gambaran stres kerja pada pekerja sosial suku non

Aceh di Aceh. Sebagaimana lahan penggalian dalam bidang ini merupakan hal

yang relatif baru, penelitian ini ditujukan untuk memberikan pandangan umum

yang diharapkan dapat memulai kerja selanjutnya.

I.B. Perumusan Masalah

Penulis dalam penelitian ini hendak mengetahui bagaimana gambaran stres

kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh, serta menggambarkan stres

kerja dan faktor-faktornya ditinjau dari karakteristik subjek yang berupa usia,

status pernikahan, wilayah kerja dan gaji.

I.C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan, menggambarkan,

dan mendeskripsikan stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh,

untuk memberikan pandangan umum yang diharapkan dapat memulai penelitian

(27)

I.D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya khazanah ilmu

psikologi khususnya di bidang Psikologi Sosial, mengenai gambaran stres

kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh.

2. Manfaat praktisnya dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:

1) Untuk memberi gambaran dan pandangan yang tepat mengenai stres kerja

pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh.

2) Untuk mengetahui bagaimana mengatasi stres kerja pada pekerja sosial

dengan tepat, agar dapat memotivasi diri sendiri dan meningkatkan

efisiensi kerja.

3) Bermanfaat bagi kelompok, dengan menyadari dinamika yang ada

sehingga dapat dipilih ‘coping’ yang sesuai.

4) Bermanfaat bagi organisasi, dengan adanya review kembali keadaan yang bisa menimbulkan stres, sehingga dapat mengadakan suatu kebijakan

manajemen untuk mengatasi masalah stres.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dijelaskan latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, tujuan serta manfaat penelitian.

Bab II Landasan Teori

Dalam bab ini akan diuraikan landasan teori yang mendasari masalah yang

(28)

Bab III Metode Penelitian

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang

digunakan, identifikasi variabel penelitian, definisi variabel operasional

penelitian, subjek penelitian, lokasi penelitian, alat ukur yang digunakan,

uji daya beda item, dan reliabilitas serta metode analisis data.

Bab IV Analisa Data dan Interpretasi

Bab ini berrisikan uraian hasil penelitian dan analisis data.

Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi yang

merupakan pembahasan dan perbandingan dengan teori-teori dan hasil

penelitian sebelumnya, serta saran, baik untuk penyempurnaan penelitian

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Stres Kerja

II. A. 1. Pengertian Stres Kerja

Dalam hubungannya dengan pekerjaan, setiap orang pasti pernah

mengalami stres. Adakalanya stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan

hampir tak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan

berlanjut dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001). Pekerjaan dapat

menimbulkan stres karena pekerjaan memainkan peran yang sangat penting dalam

kehidupan manusia (Dawis, dkk, 1989). Lingkungan kerja, sebagaimana

lingkungan-lingkungan lainnya, menuntut adanya penyesuaian diri dari individu

yang menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki kemungkinan untuk

mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Leila, 2002).

Secara sederhana stres dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana

individu terganggu keseimbangannya (Dharmawan, dkk, 2005). Sering pula stres

diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1989). Hans Selye

(dalam Efendi, 2001) yang dikenal sebagai father of stress theory mendefinisikan stres sebagai respon tubuh non-spesifik terhadap segala tekanan yang

menimpanya. Cox dan Mackay (dalam Leila, 2002), menyatakan bahwa stres

merupakan hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam

lingkungannya, baik secara fisik maupun psikososial.

Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara

(30)

mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Fraser, dalam

Leila, 2002). Stres dapat disebabkan oleh apapun yang menstimulasi kita; hal itu

adalah bagian dari kehidupan. Beberapa tingkatan stres dapat distimulasi, namun

bila terlalu banyak akan bisa merusak (Lazarus, dalam Austin, 2004). Stres

berhubungan dengan situasi lingkungan yang dipersepsikan sebagai suatu tekanan

yang melampaui kemampuan dan keadaan diri seseorang untuk mengatasinya (Mc

Grath, dalam Chandraiah, dkk, 2003). Penghayatan stres ditentukan oleh

penafsiran tentang tuntutan apa yang dihadapi dan oleh analisis dari

sumber-sumber yang dimiliki untuk mampu menghadapi tuntutan (Munandar, 2001).

Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut

stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, dkk,

2003) merupakan suatu proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana

stresor, pandangan tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak terhadap

kesehatan, dan variabel-variabelnya saling berkaitan. Cooper (1998)

mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau

menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat berbeda-beda dan

bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Dunnette dan Hough (1998)

menjelaskan bahwa dalam model stres dari Cooper ini stres muncul sebagai

sebuah bentuk hipotetik dari manifestasi fisik, perilaku, mental, dan organisasi,

yang pada akhirnya pemicu stres yang dipelajari akan menimbulkan hasil yang

dapat dilihat melalui sisi individu (kesehatan mental dan fisik) serta tingakt

organisasi (produktivitas, absen, turnover).

Stres kerja juga dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang yang

(31)

fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial interpersonal, struktur

pekerjaan, tingkah laku individu sebagi anggota, dan aspek-aspek organisasi

lainnya (Leila, 2002). Stres yang berlangsung dalam waktu yang lama akan

menunjukkan hasil yang beragam. Stres berkepanjangan akan menyebabkan

kerusakan kesehatan fisik dan psikologis, misalnya kesehatan memburuk,

timbulnya perilaku psikotis, dan kelelahan kerja (Berry, 1997).

II. A. 2. Elemen Stres Kerja

Williams dan Cooper (1998) mengidentifikasi 3 elemen dari proses stres,

yaitu:

1. Sumber tekanan; yaitu beban kerja, hubungan, pengenalan, kondisi

organisasi, tanggung jawab individu, peran manajer, keseimbangan

pekerjaan/rumah, gangguan sehari-hari.

2. Perbedaan individual; yaitu tipe kepribadian, sabar/tidak sabar, kontrol,

pengaruh pribadi, fokus masalah, keseimbangan kehidupan pekerjaan,

dukungan sosial.

3. Akibat; yaitu kepuasan kerja, kepuasan organisasi, stabilitas organisasi,

keadaan pikiran, resiliensi, tingkat kepercayaan, simptom-simptom fisik, dan

(32)

II. A. 3. Faktor-faktor Stres Kerja

Menurut Cooper dkk (2003) terdapat sembilan hal yang menjadi faktor

stres kerja, yaitu:

1. Keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial atau keluarga, yaitu faktor yang

berhubungan dengan hubungan sosial dan keluarga pekerja, misalnya resiko

kegagalan hubungan, sikap pasangan terhadap pekerjaan, kurangnya kualitas

hubungan dengan anak, tidak dapat menjalankan peran dalam keluarga dengan

baik, terganggunya kehidupan sosial, merasa terisolasi, serta pekerjaan yang

monoton.

2. Karir dan penghargaan, yaitu faktor yang berhubungan dengan kemajuan

pekerjaan individu, misalnya kurangnya promosi, kemampuan tidak

dihargai/dikembangkan, kehilangan kesempatan, kurang dukungan sosial,

kekhawatiran penurunan pendapatan, dan tingkat pembayaran.

3. Keamanan, yaitu faktor yang berhubungan dengan keselamatan kerja, misalnya

terjadinya bencana, masalah fasilitas medis, perasaan tidak nyaman, kondisi

kerja, resiko kesalahan, permasalahan konsentrasi, dan kesesuaian pekerjaan.

4. Persoalan manajemen dan hubungan dengan rekan kerja, yaitu persoalan

hubungan dalam organisasi atau tempat kerja, misalnya masalah kerjasama,

konselor, hubungan dengan atasan, ketidakpahaman instruksi, kesulitan untuk

fokus, dan tidak adanya keseuaian karena bekerja terlalu lama.

5. Lingkungan fisik tempat kerja, yaitu faktor yang berhubungan dengan keadaan

fisik lingkungan kerja, misalnya ketidaknamanan lingkungan kerja akibat

(33)

6. Lingkungan tempat tinggal, yaitu faktor yang berhuibungan dengan kondisi

tempat tinggal, misalnya buruknya kualitas sirkulasi udara, terganggunya masa

istirahat, tinggal dengan orang lain, gangguan akomodasi tempat tinggal, dan

berkurangnya ruang pribadi.

7. Peran manajerial, yaitu faktor yang berhubungan dengan kebijakan

manajemen, misalnya dipromosikan terlalu tinggi, iklim dan semangat

organisasi, dan keharusan mengerjakan atau mengawasi pekerjaan lain.

8. Ergonomi, yaitu faktor yang berhubungan dengan masalah-masalah ergonomi,

misalnya sering mengangkat benda-benda berat, berlari cepat, atau bekerja

dalam waktu lama.

9. Struktur organisasi, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur dari

organisasi tempat pekerja berada, misalnya pembagian waktu kerja, waktu

libur, dan kurangnya kebebasan.

II. A. 4. Sumber-sumber Stres Kerja

Sumber stres kerja merupakan interaksi dari beberapa faktor, yaitu stres di

pekerjaan itu sendiri sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter

dan persepsi dari karyawan itu sendiri (Rini, 2002). Dengan kata lain, stres kerja

tidak semata-mata disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus

akan sangat tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing. Beberapa

sumber stres yang menurut Cooper (dalam Rini, 2002) dianggap sebagai sumber

stres kerja adalah:

(34)

 Lingkungan Kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab

karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi dan

menurunnya produktivitas kerja.

Overload. Dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan

overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut

mudah lelah dan berada dalam "tegangan tinggi". Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga

menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

Deprivational Stres, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang,

atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul

adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang

mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

 Pekerjaan Berisiko Tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau

berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak

lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan

stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan

terjadinya kecelakaan.

2. Konflik Peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, atau

yang kurang memiliki struktur yang jelas, mengalami stres karena konflik

peran. Mereka stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu

apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice, 1992). Para wanita yang bekerja

(35)

dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai

wanita karir sekaligus ibu rumah tangga.

3. Pengembangan Karir

Setiap orang memiliki harapan-harapan ketika mulai bekerja di suatu

perusahaan atau organisasi. Namun pada kenyataannya, impian dan cita-cita

untuk mencapai prestasi dan karir yang baik seringkali tidak terlaksana.

Alasannya bisa bermacam-macam seperti ketidakjelasan sistem pengembangan

karir dan penilaian prestasi kerja, budaya nepotisme dalam manajemen

perusahaan, atau karena sudah tidak ada kesempatan lagi untuk naik jabatan.

4. Struktur Organisasi

Kebanyakan bisnis-bisnis lain di Indonesia yang masih sangat konvensional

dan penuh dengan budaya nepotisme, minim akan kejelasan struktur yang

menjelaskan jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab. Iklim perusahaan

yang tidak sehat serta minimnya keterlibatan atasan membuat karyawan jadi

stres karena merasa segala sesuatu menjadi tidak jelas.

II. B. Pekerja Sosial

II. B. 1. Pengertian Pekerja Sosial

Pengertian pekerja sosial diberikan kepada individu dalam lingkungan

yang melaksanakan berbagai pelayanan yang dinaungi oleh bermacam-macam

organisasi. Pengertian ini berbeda dengan mereka yang memberikan

kontribusinya melalui basis relawan, dalam hal ini relawan tidak menerima

(36)

Pekerja sosial merupakan pihak-pihak yang melaksanakan usaha

kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintahan (birokrasi) maupun dari

kalangan masyarakat atau LSM (Hidayat, 2004). Pekerja sosial adalah siapa saja

yang bekerja memberikan bantuannya atau menjadi pendamping untuk

pemenuhan kebutuhan manusia yang paling mendasar, hakiki, dan mendesak

kepada anggota komunitas atau populasi yang memiliki keterbatasan dalam

pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kerja

kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial merupakan orang-orang

yang membantu orang lain mencegah atau memecahkan masalah dalam fungsi

sosialnya. Untuk melaksanakan hal ini, maka seorang pekerja sosial harus

memiliki pengetahuan, nilai, dan kemampuan yang sesuai untuk memberikan

bantuan dalam masalah yang berada dalam jangkauan individual maupun

komunitas (Morales dan Sheafor, 1980).

Para pekerja sosial mendefinisikan masalah sosial sebagai terganggunya

keberfungsian sosial individu, kelompok, atau komunitas sehingga mempengaruhi

kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan, merealisasikan nilai-nilai yang

dianutnya, serta menjalankan peran-perannya di masyarakat (Suharto, 2006).

Melalui proses pengembangan masyarakat, pekerja sosial membantu korban agar

dapat memperbaiki kehidupannya maupun masyarakat melalui tindakan-tindakan

kolektif (Suharto, dalam Twelvetrees, 1991).

Bagi pekerja sosial tidak ada kehidupan individu tertentu yang lebih

berharga daripada individu lainnya, tidak ada kehidupan suatu kelompok yang

lebih bermanfaat dari kelompok lainnya. Semua manusia dan masing-masing

(37)

akan dipengaruhi oleh bermacam-macam perbedaan yang mungkin muncul dalam

hal fisik, kultur, ideologis, dan bentuk perilaku tertentu (Morales dan Sheafor,

1980). Pekerja sosial melakukan pekerjaan sosial yang merupakan profesi

pertolongan kemanusiaan yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian

sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran

sosialnya (Suharto, 1997).

II. B. 2. Fungsi Pekerja Sosial

Hal utama yang dilakukan pekerja sosial dalam pekerjaan sosial adalah

memberikan perhatian dan kepedulian kepada orang lain. Bentuk perhatian dan

kepedulian ini dimanifestasikan dalam suatu tahap dimana pekerja sosial

membantu perubahan individual dalam kondisi eksternal maupun internal yang

menyebabkan munculnya permasalahan atau pembatasan pengembangan

personal. Dalam bentuk yang lebih luas, pekerja sosial akan terlibat untuk

membantu individu atau kelompok yang mengalami perubahan melalui pemberian

pengaruh terhadap kebijakan nasional dengan tujuan mencapai masyarakat yang

sejahtera (Morales dan Sheafor, 1980).

Istiana (2001) menyatakan untuk mencapai tujuan kesejahteraan individu

dan kolektif, pekerjaan sosial melaksanakan fungsi sebagai berikut:

1. Membantu orang secara efektif meningkatkan dan menggunakan

kemampuannya secara lebih efektif untuk melaksanakan tugas-tugas

kehidupan dan memecahkan masalah mereka.

(38)

3. Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan hubungan baru

antarorang dan sistem sumber kemasyarakatan.

4. Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan relasi antarorang di

lingkungan sistem sumber.

5. Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, serta perkembangan

kebijakan dan perundang-undangan sosial.

6. Meratakan sumber-sumber material.

7. Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial.

Istiana (2001) lebih lanjut menjelaskan fungsi pekerjaan sosial tersebut

bertujuan untuk membantu orang meningkatkan kemampuannya dalam

menjalankan tugas kehidupan; memecahkan permasalahan yang dihadapi dalm

berinteraksi dengan orang lain maupun sistem sumber; dan mempengaruhi

kebijakan yang ada.

II. B. 3. Fungsi Pekerja Sosial di Aceh

Alhumami (2007) menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja

mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan,

membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang

hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons (IDPs), lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Pitaloka (2005) menyatakan daftar kerja utama yang dilakukan para

pekerja sosial di Aceh yang dirinci berdasarkan kegiatan pekerja sosial di Aceh

(39)

1. Identifikasi tempat-tempat penampungan dan kebutuhan pengungsi yang

dikelompokkan dalam: lokasi, jumlah pengungsi (berdasarkan gender dan

usia), kondisi makanan, kesehatan, pakaian, shelter, air dan sanitasi, juga permintaan informasi dan catatan khusus mengenai kondisi itu.

2. Distribusi kebutuhan tempat-tempat penampungan yang telah teridentifikasi.

3. Distribusi relawan ke tempat-tempat penampungan lainnya serta mendirikan

posko.

4. Evakuasi jenazah (korban).

5. Memperbarui informasi untuk dapat dimanfaatkan pihak luar (yang

berkepentingan).

6. Mengusahakan logistik untuk didistribusikan.

7. Bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah pengungsian.

Melalui data dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, tercatat

tanggal 10 April 2007, bidang kerja yang dilakukan pekerja sosial dari berbagai

LSM di Aceh tercatat sebagai berikut:

1. Program makanan (distribusi dan keamanan makanan).

2. Kesehatan masyarakat (pembangunan rumah sakit, klinik)

3. Rekonstruksi perumahan (pembangunan rumah permanen, rekonstruksi

infrastruktur, rumah transisi).

4. Pemulihan ekonomi (pemulihan kemiskinan, budidaya udang/ikan,

rehabilitasi agrikultur).

5. Air dan sanitasi (distribusi air tangki, air bersih, rehabilitasi air, pemasangan

(40)

6. Pengembangan masyarakat (respon darurat terhadap gempa dan tsunami,

pendidikan kesehatan, pengembangan anak, pemulihan masyarakat).

7. Rehabilitasi lingkungan (rehabilitasi batu karang, hutan hujan, hutan

manggrove).

8. Pembenahan populasi dan tempat tinggal (rekonstruksi desa, penyatuan

komunitas).

II. C. Aceh

Dalam situs resmi pemerintahan Nanggroe Aceh Darussalam, dijelaskan

bahwa provinsi ini merupakan daerah paling barat pulau Sumatera dengan ibukota

Banda Aceh yang luas wilayahnya 56.500,51 Km2. Nanggroe Aceh Darussalam

memiliki penduduk yang berjumlah 3.899.290 jiwa dengan suku bangsa Aceh,

Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleue, Kluet, dan Aneuk Jamee. Agama yang

tercatat di provinsi ini adalah Islam 98,80 %, Kristen Protestan 0,84%, Kristen

Katolik 0,16%, Buddha 0,18%, dan Hindu 0,02%.

Aceh merupakan wilayah yang menarik perhatian masyarakat di Indonesia

maupun di dunia internasional pada masa yang lalu, saat ini, ataupun mungkin

pada masa yang akan datang. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga

menarik perhatian para antropolog (Usman, 2003). Kajian sejarah membuktikan

bahwa ajaran Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan

masyarakat Aceh dan menjadi nilai-nilai yang mengakar kuat dalam Hukum Adat,

seperti yang disebutkan oleh Riddel dalam Reid (2006):

(41)

Secara kultural dapat dilihat bahwa penduduk Aceh dipengaruhi oleh

kebudayaan dari Gujarat dan Timur Tengah yang juga diklaim sebagai

Kebudayaan Islam. Hal ini terlihat dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa

dan perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Beberapa antropolog

menggunakan agama (Islam) untuk melihat kebudayaan Aceh. Melalatoa (2005)

menyatakan bahwa kajian untuk memahami masyarakat Aceh dapat dipilih

dengan melihat agama sebagai fokusnya, karena konfigurasi unsur-unsur

kebudayaan sebuah kelompok terjaring oleh akidah dan kaidah agama. Islam

merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Aceh.

Sebagian orang juga mempercayai bahwa Islam di Indonesia masuk

melalui Aceh, dan karena itu, orang Aceh memiliki sejarah keislaman yang lebih

lama dibandingkan orang-orang di daerah lain di Indonesia (Melalatoa, 2005).

Sebagaimana Reid (2006) menyebutkan bahwa Aceh telah lama menjadi pusat

berkembangnya penyebaran Islam di nusantara,

Acehnese pilgrim visited Arabia in increasing numbers during this time, and Acehnese religion scholars increasingly traveled to Arabia to study at a various centre of Islamic learning.

Ini menunjukkan bahwa kebudayaan Aceh tak bisa dilepaskan dari

nilai-nilai Islami. Keislaman orang Aceh dapat dilihat bagaimana cara berpakaian, cara

berbicara yang selalu mengucapkan salam, dan perilaku yang menampakkan

nuansa “Islami”. Sehingga, wajar jika terdapat kesan bahwa orang Aceh identik

dengan ketaatan dan fanatik terhadap ajaran Islam. Bahkan, Aceh dijuluki sebagai

“Serambi Makkah” atau terasnya Makkah, tempat kiblatnya umat muslim di

(42)

Selain itu, sejumlah studi antropologi juga menyatakan bahwa masyarakat

Aceh dikenal memiliki watak yang keras. Sebagaimana dinyatakan oleh Reid

(2005), hal ini sejak dulu tergambar dari sikap masyarakat Aceh dalam

menghadapi pendudukan asing di Nusantara, sehingga dalam sejarah penjajahan

Belanda di Indonesia, Aceh adalah wilayah paling akhir yang berhasil

ditaklukkan, dan bahkan penaklukan Belanda pun tidak bisa dikatakan berhasil

menduduki seluruh wilayah Aceh. Perpaduan antara nilai-nilai Islami yang kuat

dan kecenderungan watak yang keras ini menyebabkan tidak ada perang kolonial

lain di Indonesia yang sedahsyat peperangan Belanda di Aceh (Alfian, 1977). Hal

ini dapat dikaitkan dengan ilmu antropologi psikologi yang telah memperhatikan

psikologi dari kolektif-kolektif di berbagai daerah dan watak penduduk, sehingga

dapat menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua

ilmu yang berbeda, menjadi sangat erat hubungannya (Barnouw, dalam

Danandjaja, 1994).

Aceh di masa sekarang merupakan daerah yang sedang berbenah diri

setelah diterpa bencana dahsyat Tsunami. Bencana yang menimpa Nanggroe Aceh

Darussalam di hari Natal 2004 (untuk zona waktu Eropa) telah menghancurkan

sekaligus melahirkan ketakutan yang hadir secara nyata di Aceh, bahkan

dikatakan sebagai bencana paling hebat di abad ini. Sebelumnya Aceh juga

merupakan daerah dengan berbagai permasalahan, sehingga pendekatan

militeristik, darurat sipil hingga otonomi khusus pernah ditetapkan di daerah ini

(Yudha, 2006). Sampai akhirnya pada saat ini Aceh dengan segala kompleksitas

(43)

lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional yang telah mendirikan

perwakilannya di Aceh.

Ditinjau dari teori Korten (dalam Zaim, 1995), terdapat empat generasi

strategi lembaga swadaya masyarakat, yaitu relief and welfare, self reliance local development, sustainable system development, dan people movement. Dari 4 generasi tersebut, ditemukan 2 pendekatan konvenen untuk LSM, yaitu konvenen

politik dan konvenen sosial ekonomi sosial budaya. Hal ini sesuai dengan fungsi

utama pelayanan LSM menurut Kamerman dan Kahn (dalam Moroney, 1991)

yaitu pengembangan sosial dan kontrol sosial. Dari data yang diperoleh dari

BRR, diketahui terdapat 114 yang masih aktif di Aceh (terhitung hingga tanggal

10 April 2007) dan kebanyakan dari LSM yang berkegiatan di Aceh bergerak

dalam pendekatan konvenen kedua, yaitu sosial ekonomi budaya.

Organisasi-organisasi tersebut menjalankan program yang berhubungan dengan pemulihan

dan pencapaian kesejahteraan sosial di Nanggroe Aceh Darussalam, baik

individual maupun kolektif.

II. D. Gambaran Stres Kerja Pada Pekerja Sosial Suku Non Aceh di Aceh Krisis yang disertai bencana hebat seringkali memiliki dampak yang tidak

dapat diperkirakan sebelumnya. Bencana dahsyat tsunami yang menerjang Aceh

telah menghancurkan sekaligus melahirkan drama horor kemanusiaan yang luar

biasa (Yudha, 2006). Data kehancuran yang diperoleh dari BAKORNAS (24

Januari 2005) adalah kematian 170.000 jiwa, hilangnya 30.000 jiwa, terlukanya

(44)

Aceh pasca tsunami menjadi daerah dimana kini berbagai organisasi

nasional maupun internasional telah menjadi suatu pemandangan umum di

provinsi yang sebelumnya sangat tertutup bagi orang asing ini (Rokhadi, 2005).

Aceh pun kebanjiran pekerja sosial yang bergabung dengan berbagai LSM di

Aceh, baik pekerja sosial yang berasal dari Aceh maupun non Aceh, dari dalam

maupun luar negeri, baik yang terlatih maupun nekat (Pitaloka, 2005).

Pekerja sosial adalah siapa saja yang bekerja memberikan bantuannya atau

menjadi pendamping untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang paling

mendasar, hakiki, dan mendesak kepada anggota komunitas atau populasi yang

memiliki keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut dengan berlandaskan

pada prinsip-prinsip kerja kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2005). Pekerja sosial

yang bekerja melintasi wilayah akan memberikan kontribusi personal pada tingkat

global, untuk memperoleh pengalamanan belajar langsung mengenai negara dan

budaya lain, serta untuk bertukar pikiran dengan orang-orang yang sebelumnya

belum pernah ditemui (Collins, dkk, 2002).

Ketika bencana terjadi, ratusan bahkan ribuan orang akan mulai

menghubungi berbagai organisasi untuk mencoba menjadi relawan pada lokasi

bencana. Gambaran dan cerita juga akan memotivasi orang-orang ini untuk

membantu secepatnya, secara personal (Cravens, dkk, 2007).

Namun pelaksanaan pekerjaan sosial ini tidaklah semudah yang

dibayangkan. Apa yang seirngkali tidak disadari oleh kebanyakan orang adalah

pekerja sosial dadakan yang tidak memiliki bekal dan pengalaman sebenarnya dapat menyebabkan lebih banyak masalah daripada yang dapat mereka atasi di

(45)

pekerjanya sendiri merupakan isu penting yang sering terlupakan dalam bidang

bantuan sosial dan kemanusiaan (Dharmawan, dkk, 2006). Pekerjaan sosial kerap

pula dikarakteristikkan dengan berbagai gangguan dan hambatan yang tidak dapat

diperkirakan (Scholte, 2006).

Menyusul trauma akibat suatu kejadian tunggal yang amat menggoncang,

dapat timbul kemungkinan terjadinya stress pascatrauma (Dharmawan, dkk,

2005). Orang yang bekerja memberi bantuan atau dukungan bagi orang lain,

khususnya korban trauma, sangat mungkin mengalami masalah-masalah khusus

akibat pekerjaannya (Dharmawan, dkk, 2005).

Salah satu survei yang dilakukan oleh Davies (1998) menemukan bahwa

dari 524 pekerja sosial yang disurvei, 96% menyatakan bahwa pekerjaan mereka

penuh tekanan, 77% menyatakan bahwa mereka menyadari adanya simptom fisik

yang berhubungan dengan stres, dan 58% menyatakan bahwa mereka memang

merasakan simptom fisiologis dari stres. Stres kerja merupakan ketidakmampuan

untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres tiap individu

dapat berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan

(Cooper, 1988).

Kebanyakan stres yang terjadi di kalangan pekerja sosial adalah hasil

tekanan pekerjaan setiap hari (Scholte, dkk, 2006). Ehrenreich & Elliot (2004)

menggambarkan stresor pekerja sosial, yaitu tuntutan fisik berat dan kondisi kerja

tidak menyenangkan, beban kerja berlebihan dan jangka waktu lama, berkurang

atau hilangnya ruang pribadi, jauh dari keluarga, adanya bahaya mengancam,

kemungkinan melakukan evakuasi berulang, kemungkinan menyaksikan

(46)

kurangnya dukungan, beban manajemen organisasi, konflik interpersonal,

perasaan sakit dan tidak berdaya ketika tidak bisa memenuhi tuntutan, serta

dilema etika. McFarlene (2004) juga menyatakan adanya konsekuensi kesehatan

yang berhubungan dengan pekerja sosial, yakni mencakup kematian, sakit fisik,

dan distres psikologi.

Eriksson dkk (dalam McFarlane, 2004) menyebutkan bahwa 10% sampel

dalam penelitian yang mereka lakukan (yaitu pekerja sosial yang berasal dari

Amerika) ditemukan mengalami post-traumatic stress disorder setelah 3 tahun kembali ke rumah. Holtz dkk (dalam Ehrenreich dan Elliot, 2004) menemukan

bahwa pekerja sosial di Kosovo mengalami depresi dan kecemasan yang

berhubungan dengan lamanya mereka bekerja.

Di Indonesia, seperti yang tercantum pada Harian Media Indonesia (edisi

11 Juli 2006), terdapat seorang sukarelawan asing dirawat di instalasi jiwa Rumah

Sakit Sardjito karena mengalami stres berat. Relawan yang negara asalnya

dirahasiakan itu adalah seorang dokter umum. Kemungkinan sukarelawan itu

tertekan melihat kondisi yang ada. Disebabkan sejak kedatangannya dua hari

pascagempa, sukarelawan tersebut berulang kali turun langsung ke lapangan,

melihat ribuan korban gempa dan ribuan rumah hancur.

Laporan dari sumber yang beragam juga telah berulangkali menyatakan

hubungan stres, culture shock, dan kelelahan yang dialami pekerja kemanusiaan (Danieli, dalam McFarlane, 2004). Untuk pekerja lintas wilayah, isolasi sosial,

kultur, dan geografi seringkali menjadi bagian dalam pengalaman mereka. Pekerja

lintas wilayah ini seringkali terisolasi dari masyarakat, jauh dari keakraban

(47)

mereka akan terisolasi secara geografi (McFarlane, 2004). Pekerja sosial sering

pula menemukan diri mereka bekerja secara minoritas, berbeda dengan komunitas

atau kelompok yang ada. Adanya perbedaan budaya dan bahasa akan

menyebabkan terhambatnya penciptaan komunikasi interpersonal bahkan

kepercayaan terhadap para pekerja sosial ini (McFarlane, 2004).

Bagi pekerja sosial suku non Aceh yang melakukan pekerjaan

pendampingan komunitas di Aceh, tantangan yang ada akan lebih berat. Hal ini

dikarenakan masuknya para pekerja sosial non Aceh dalam kehidupan masyarakat

Aceh dengan membawa serangkaian gagasan, budaya, dan pola pikir yang asing

mungkin saja akan ditanggapi dengan penolakan (Dharmawan, dkk, 2005). Aceh

sendiri adalah daerah yang penduduknya secara kultural dipengaruhi oleh

kebudayaan Islam yang tampak dalam tata cara berpakaian, tari-tarian, bahasa dan

perilaku yang dipraktikkan sehari-hari (Usman, 2003). Dari segi kehidupan, Aceh

merupakan daerah yang jauh “lebih tertib” dibanding daerah-daerah lain di

Indonesia (Muldya, 2005).

Dalam bidang kerja kemanusiaan, peraturan dan prosedur yang

mempunyai tingkat formalitas tinggi biasanya tidak diharapkan, dan hal ini

biasanya menjadi permasalahan autonomi profesionalisme dan kontrol terhadap

pekerjaan mereka. Formalitas yang akan membatasi kebebasan para pekerja sosial

untuk berinovasi ini merupakan kondisi yang tidak diharapkan dalam pekerjaan

mereka dan disadari sebagai stresor pekerjaan yang signifikan (Summers, dkk,

dalam Lait dan Wallace, 2002).

Selanjutnya, dalam studi yang dilakukan terhadap pekerja sosial, diketahui

(48)

akan diderita para pekerja sosial. Beban kerja dilaporkan sebagai stresor yang

signifikan (Matteson dan Ivancevich, dalam Lait dan Wallace, 2002).

Pekerja sosial di Aceh diketahui melakukan pekerjaan yang cukup berat.

Alhumami (2007) menyebutkan bahwa pekerja sosial di Aceh bekerja

mengevakuasi dan menguburkan mayat, membereskan reruntuhan bangunan,

membersihkan kota dari lumpur dan sampah, dan mengurusi penduduk yang

hanya dalam hitungan detik menjadi Internally Displaced Persons, lalu tinggal di kamp-kamp pengungsian. Pitaloka (2005) menyatakan daftar kerja utama yang

dilakukan para pekerja sosial di Aceh adalah identifikasi tempat-tempat

penampungan dan kebutuhan pengungsi, distribusi kebutuhan, distribusi relawan,

mendirikan posko, evakuasi korban, memperbarui informasi, mengusahakan

logistik, serta bongkar-muat pangan yang diangkat dan disebarkan ke wilayah

pengungsian.

Selain beratnya tugas yang harus dilakukan, pekerja sosial di Aceh yang

bekerja di wilayah konflik dan pascabencana tentunya akan memiliki karakteristik

konteks yang berbeda dengan situasi biasa. Kondisi lingkungan kerja akan penuh

dengan situasi sulit yang membawa dampak dan konsekuensi tersendiri. Di

wilayah pascabencana kelumpuhan infrastruktur, keterbatasan fasilitas dan

persediaan logistik maupun akses informasi dan transportasi menuntut pekerja

sosial untuk memiliki strategi agar bisa bertahan (Dharmawan, dkk, 2005).

Keamanan merupakan isu yang penting pula di Aceh, karena wilayah ini pernah

mengalami konflik kekerasan (Noorsalim, 2006).

Aceh sendiri dengan pendekatan militeristik dengan berbagai jenis operasi

(49)

ternyata bahkan tidak mampu menyelesaikan masalahnya. Aceh masih dan tetap

menjadi wilayah dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Bahkan dari dua

puluh satu kabupaten/kota yang terdapat di provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam,

enambelas diantaranya masuk dalam kategori Daerah Tertinggal (Yudha, 2006).

Hal ini dapat dikaitkan dengan penelitian McFarlane (2004) yang

menyatakan bahwa pekerja sosial yang bekerja pada lingkungan yang kompleks

dimana masalah yang ada berhubungan dengan konflik sipil yang berkepanjangan,

kemiskinan, dan bencana akan menempatkan pekerja–pekerja tersebut pada resiko

terjadinya pengalaman trauma dan kumulasi stres harian. Sehingga keadaan Aceh

yang wilayahnya dulu pernah mengalami konflik kekerasan dan sampai sekarang

memiliki kabupaten yang masih tergolong daerah tertinggal, akan mempengaruhi

keadaan pekerja sosial yang bekerja di daerahnya.

Dalam pekerjaan sosial, perhatian yang mendalam mengenai keamanan

pribadi, rekan, keluarga, dan teman adalah hal yang umum. Eriksson (dalam

McFarlane, 2004) menemukan bahwa tingginya frekuensi mengenai kecemasan

akan hal ini dapat meningkatkan level stres para pekerja sekembalinya mereka ke

rumah.

Pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja lintas wilayah dan terpisah jauh

dari keluarga ini juga kerap diterpa isu-isu kontekstual. Pekerja sosial dihadapkan

dengan prasangka yang kadang tertuju pada relawan asing atau mereka yang

memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritas masyarakat (Pitaloka, 2005).

Generalisasi mengenai masyarakat Aceh juga telah berkembang di antara pemberi

bantuan bahwa masyarakat Aceh bersikap pasif, tidak tahu berterima kasih, dan

(50)

II. E. Permasalahan Penelitian

Sebagaimana pembahasan sebelumnya maka yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah gambaran umum stres kerja pada pekerja sosial suku non

Aceh di Aceh. Penelitian ini juga akan melihat faktor-faktor yang terdapat dalam

stres kerja. Adapun permasalahan pada penelitian ini secara umum adalah:

1. Bagaimana gambaran umum stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di

Aceh?

2. Bagaimana gambaran mean score stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh ditinjau dari usia, status pernikahan, wilayah kerja dan gaji?

3. Bagaimana gambaran mean score faktor-faktor stres kerja pada pekerja sosial suku non Aceh di Aceh ditinjau dari usia, status pernikahan, wilayah kerja dan

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan penelitian yang tertulis di Bab Pendahuluan,

penulis ingin mendapatkan gambaran stres kerja pada pekerja sosial suku non

Aceh di Aceh. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan pendekatan

deskriptif.

Metode deskriptif merupakan metode yang menggambarkan dengan

sistematik dan akurat, fakta dengan tidak bermaksud menjelaskan, menguji

hipotesis, membuat prediksi maupun implikasi (Azwar, 1999). Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena yang terjadi, tanpa bermaksud

mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum (Hadi, 2000).

III. A. Variabel Penelitian

III. A. 1. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah stres kerja.

III. A. 2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dari stres kerja adalah ketidakmampuan untuk

memahami atau menghadapi tekanan, di mana tingkat stres tiap individu dapat

berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan. Hal ini

diungkap dengan skala yang disusun berdasarkan faktor-faktor stres kerja yang

dikemukakan oleh Cooper dkk (2003), yaitu keterkaitan pekerjaan dengan

(52)

manajemen dan hubungan dengan rekan kerja, lingkungan fisik tempat kerja,

lingkungan tempat tinggal, peran manajerial, ergonomi, serta struktur organisasi.

Aitem pernyataan skala stres kerja yang dibuat memiliki empat respon

jawaban yang harus dipilih salah satu oleh subjek, yaitu Sangat Sesuai (SS),

Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) yang bersifat

favorable dan unfavorable.

Skor total yang diperoleh merupakan gambaran tingkat stres kerja pada

pekerja sosial suku non Aceh di Aceh.

III. B. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel III. B. 1. Populasi dan Sampel

Hadi (2000) mengemukakan bahwa semua individu yang memiliki

generalisasi keadaan atau kenyataan yang sama disebut dengan populasi,

sedangkan individu yang diselidiki yang merupakan bagian dari populasi disebut

sampel. Sehubungan dengan hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa

sampel harus mencerminkan keadaan populasinya, agar sampel dapat

digeneralisasikan terhadap populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah

pekerja sosial non Aceh yang bekerja di Aceh.

III. B. 2. Metode Pengambilan Sampel

(53)

sesuai, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh

sampel yang benar-benar mewakili populasi.

Pada penelitian ini responden diperoleh melalui teknik non probability secara purposive sampling, dimana pemilihan kelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang

erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi,

2000). Adapun karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah:

1. Pekerja sosial suku non Aceh

2. Bekerja pada lembaga swadaya masyarakat tipikal development, yaitu LSM dengan konvenen hak ekonomi, sosial, budaya. Pertimbangan ini dilakukan

atas dasar pembagian tipikal LSM berdasarkan teori Korten (dalam Zaim,

1995), dan atas peninjauan data LSM yang aktif di Aceh (Data BRR, 2007).

3. Berusia 25–45 tahun, dikarenakan menurut Greenhaus (dalam Zulkarnain,

2003) pula, dalam usia 25-45 tahun individu berada pada tahap penetapan,

yaitu tahap dimana hubungan dengan rekan kerja merupakan hubungan

sejawat. Tahap ini meliputi keberhasilan dalam melakukan proses

rekruitmen, penerimaan pekerjaan, dan orientasi kedalam perusahaan yang

dipilih. Selama sosialisasi awal ini individu mengembangkan perasaan

tentang masa depannya dalam perusahaan, pertukaran informasi terjadi

secara terbuka dan saling memberikan umpan balik. Pada tahap ini individu

juga menetapkan keseimbangan antara menerima perintah dari orang lain

dan memprakarsai suatu aktivitas pada orang lain. Berdasarkan pada teori

ini, maka peneliti membatasi umur subjek penelitian pada umur 25 – 45

(54)

Menurut Hadi (2000), sebenarnya tidaklah ada suatu ketetapan yang

mutlak berapa persen suatu sampel harus diambil dari populasi. Peneliti

menetapkan sendiri atau memilih sampling mana yang akan dijadikan sebagai sampel dengan bertolak pada asumsi bahwa sampel yang diambil memiliki

karakteristik tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini berjumlah 100 orang.

III. C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Banda Aceh, provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam, terhadap para pekerja sosial suku non Aceh yang bekerja pada

lembaga swadaya masyarakat di Aceh.

III. D. Alat Ukur atau Instrumen Pengukuran III. D. 1. Skala Stres Kerja

Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah skala psikologis dan

kuesioner. Metode kuesioner mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri

(self report) atau setidak-tidaknya pada pengetahuan atau keyakinan pribadi (Hadi, 2000). Metode self report digunakan untuk memperoleh data mengenai usia, wilayah kerja, dan status pernikahan.

Penelitian ini menggunakan metode skala mengingat data yang ingin

diukur berupa konstrak atau konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak

langsung melalui aspek-aspek sikap yang diterjemahkan dalam bentuk butir-butir

pernyataan (Azwar, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa skala dapat digunakan

(55)

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada penyelidik adalah benar dan

dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan kepadanya

adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh penyelidik.

Skala stres kerja dikembangkan oleh peneliti berdasarkan faktor-faktor

stres kerja dari teori Cooper dkk (2003) yaitu:

1. Faktor keterkaitan pekerjaan dengan kehidupan sosial/keluarga.

2. Faktor karir dan penghargaan.

3. Faktor keamanan.

4. Faktor persoalan manajemen dan hubungan dengan rekan kerja.

5. Faktor lingkungan fisik tempat kerja.

6. Faktor lingkungan tempat tinggal.

7. Faktor peran manajerial.

8. Faktor ergonomi.

9. Faktor struktur organisasi.

Masing-masing faktor memiliki sebagian pernyataan mendukung

(favorable) dan sebagian tidak mendukung (unfavorable). Jumlah keseluruhan item dalam skala adalah 70 item, yang terdiri dari 36 item favorable dan 34 item unfavorable.

Alat ukur ini menggunakan skala model Likert, yang mana setiap butir

item memiliki empat kemungkinan jawaban yang bergerak dari “Sangat Sesuai”

(56)

skor 4 demikian seterusnya sampai jawaban “Sangat Tidak Sesuai” diberi skor 1.

Untuk jawaban unfavorable, jawaban “Sangat Tidak Sesuai” diberi skor 4 dan seterusnya sampai jawaban “Sangat Sesuai” diberi skor 1 (Azwar, 1997).

Untuk lebih jelasnya,

Gambar

Tabel 1. Cara Penilaian Skala Stres Kerja Skor
Tabel 2. Blue Print Skala Stres Kerja Sebelum Uji Coba Faktor Jumlah Item Jumlah Item Jumlah
Tabel 3. Distribusi Item Skala Stres Kerja Setelah Uji Coba Faktor Item Item Jumlah
Tabel 8. Gambaran Umum Stres Kerja Variabel N Min Maks Mean
+7

Referensi

Dokumen terkait

Moksa  Nawa Widha Bhakti mengaplikasika n pengetahuan dan pemahaman tentang:.  Catur Asrama 

Kedua Ketetapan pemenang ini dibuat dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku dalam pengadaan Barang/Jasa. Ditetapkan di

Peserta didik mampu menggunakan nalar dan logika dalam mengkaji:  Asta Aiswarya  Nawa Dewata  Avatara, Dewa.

Gedung Komplek Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jalan Pemuda Nomor

[r]

Metode Evaluasi : Pagu Anggaran Kualitas Maka dapat kami umumkan hasil sebagai berikut

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dan memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Usaha

Dengan adanya pabrik di lingkungan masyarakat ini merupakan momentum untuk meningkatkan kesejahteraan. Biasanya masyarakat akan berdampak positif semenjak